Anda di halaman 1dari 5

Ibadah

Definisi ibadah secara umum berarti merendahkan diri serta tunduk kepada sang pencipta. Definisi
Ibadah secara keseluruhan dapat saya simpukan. Ibadah merupakan merendahkan dan tunduk serta
patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah(kecintaan) yang paling tinggi baik secara
ucapan ataupun perbuatan terhadap sang pencipta yaitu Allah Swt. Dengan melaksanakan perintah
perintah-Nya yang digariskan melalui para Rasul.

Makna Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan makna ibadah adalah,

Satu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Taala, baik itu perkataan
maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). (Al-Ubudiyyyah, hal.
44)

Kemudian beliau mencontohkan amalan-amalan lahir seperti, Sholat, zakat, puasa, haji, berkata
jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, menepati
janji, amar maruf nahi mungkar, berjihad terhadap orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik
kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak, baik manusia maupun hewan, berdoa,
dzikir, membaca al-Quran dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah.

Salah satu perintah untuk melakukan ibadah, terdapat dalam kandungan QS. Adz-Dzaariyaat: 56-58
yang artinya :

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.

Syarat diterimanya suatu ibadah merupakan perkara tauqifiyah,yaitu tidak terdapat satu bentuk
ibadah yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah, dan apa yang tidak di
syariatkan berarti bidah mardudah (bidah yang ditolak) .

Ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu ibadah hati, lisan, dan anggota badan/fisik

1. Ibadah hati (qalbiyah), memiliki rasa khauf (takut), raja (mengharap) , mahabbah (cinta),
tawakal , dan senang, merupakan ibadah yang berkaitan dengan hati (qalbiyah).
2. Ibadah lisan dan hati (Lisaniyah wa qalbiyah), tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur
merupakan ibadah yang berkaitan dengan lisan dan dilakukan dari hati.
3. Ibadah anggota badan/fisik dan hati (badaniyah qalbiyah), serti zakat, sholat, haji, jihad
merupakan ibadah yang berkaitan langsung dengan fisik dan hati.

Syarat Diterimanya Ibadah

Allah Subhanahu wa Taala telah menjelaskan dalam firman-Nya:

(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling
baik amalannya. (Al-Mulk: 2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Makna ayat ini, Allah Subhanahu wa Taala telah
menjadikan makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada) untuk
menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/176)

Al-Imam Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, Amalan yang paling baik adalah
yang paling ikhlas dan paling benar. Orang-orang bertanya, Wahai Abu Ali apakah yang
dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar? Beliau menjelaskan, Sesungguhnya amalan
jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima (oleh Allah Subhanahu wa Taala).

Demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima
(oleh Allah Subhanahu wa Taala) sampai menjadi ikhlas dan benar. Sedangkan yang dimaksud
dengan amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Taala dan yang
dimaksud dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam). (Iqtidho Shirothil Mustaqim, hal. 451-452)

Allah Subhanahu wa Taala juga berfirman:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal


shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya. (Al-
Kahfi: 110)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan makna, Barangsiapa yang mengharapkan


perjumpaan dengan Robbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia
beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syariat Allah Subhanahu wa Taala.

Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya, yaitu
hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dua hal ini (amal
sesuai syariat dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena
Allah Taala dan sesuai syariat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Keduanya merupakan dua pokok
terkumpulnya agama, yaitu kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah Taala dan kita
beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyariatkan oleh-Nya, tidak dengan bidah-bidah.
(Iqtidho Shirotil Mustaqim, hal. 451)

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan oleh
Allah Subhanahu wa Taala adalah:

1. Pertama: Ikhlas, yaitu beribadah karena Allah Subhanahu wa Taala.

Kedua: Mutabaah, yaitu mengikuti sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahualaihi wa sallam.

Kedua syarat ini sesungguhnya merupakan pokok keislaman, yaitu makna dan konsekuensi dua
kalimat syahadat; Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Karena syahadat Laa ilaaha
illallah menuntut kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Taala dan hanya
karena-Nya pula, sedang syahadat Muhammadur Rasulullah menuntut kita untuk meneladani
beliau shallallahualaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah.

Itulah sebabnya kenapa dua kalimat ini meski terdiri dari dua bagian tetapi dijadikan dalam satu
rukun; karena kedua syarat tersebut tidak boleh terpisah satu dengan yang lainnya (lihat Syarhu
Ushulil Iman, karya Ays-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah).

Maka wajib bagi kita untuk beramal dengan ikhlas dan mutabaah, serta menjauhi perkara-perkara
yang dapat merusak kedua syarat tersebut.

Perusak Ikhlas

Perusak ikhlas adalah riya dan sumah, yaitu beramal bukan karena Allah Subhanahu wa Taala,
tetapi karena ingin dipertontonkan atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal
karena dunia dapat merusak keikhlasan. Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan
balasan) sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan
barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka
hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Amirul Muminin Umar Bin Khaththab radhiyallahuanhu)

Riya dalam beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar,
sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam sangat khawatir penyakit riya ini akan menimpa manusia-manusia
terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat radhiyallahuanhum. Oleh karena itu, kita lebih lebih
layak untuk takut dari penyakit riya ini. Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil, para sahabat bertanya,
Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda, (Syirik kecil itu) riya,
Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya dalam
beramal),

yaitu ketika Allah Taala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada
mereka), Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya) amalan-
amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan)
dari mereka?!.
(HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanidalam Shohihut Targhib, no. 32)

Betapa bahayanya perbuatan syirik kecil (riya) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk
selamat darinya selain meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Taala dan senantiasa
menjaga niat kita. Rasulullah shallallahualaihi wa sallam telah mengajarkan sebuah doa:

Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon
ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih
Al-Adabil Mufrad, no. 266)

Perusak Mutabaah adalah Bidah

Adapun perusak mutabaah adalah perbuatan bidah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu
perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak
berdasarkan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Amalan bidah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Taala, bahkan inilah
sejelek-jelek perkara dan setiap bidah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia
shallallahualaihi wa sallam dalam beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Aisyah radhyallahuanha, Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan
daripadanya maka ia tertolak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan
tersebut tertolak. (HR. Muslim, no. 4590)

3. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahuanhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah


shallallahualaihi wa sallam:

Amma badu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad (shallallahualaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan adalah
perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat. (HR. Muslim, no.
2042)

4. Hadits Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahualaihi wa sallam


bersabda:

Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada
pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena
sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat
perselisihan yang banyak (dalam agama),

maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu
dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bidah
dalam agama) karena setiap bidah itu sesat. (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no.
2677)

Setelah Rasulullah shallallahualaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa semua perkara
baru dalam agama yang tidak bersandar kepada dalil syari adalah bidah dan setiap bidah itu
sesat, masihkah pantas bagi kita beramal hanya karena mengikuti seorang tokoh atau mengikuti
kebanyakan orang!? Dan masihkah layak kita berpendapat ada bidah yang baik (hasanah)!?

Maka di sinilah pentingnya ilmu sebelum beribadah kepada Allah Taala. Bahwa ibadah tidak boleh
sekedar semangat, tetapi harus berlandaskan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana
yang dipahami dan diamalkan oleh generasi awal ummat Islam.

Wallahu Ala wa Alam wa Huwal Muwafiq.

by islam tegas

ITTIBA

Ittib adalah mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam . Orang yang telah
bersyahadat bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan Allh,
maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ,
mentaati perintah Beliau, menjauhi larangan Beliau, dan beribadah kepada Allh hanya dengan
syariat Beliau. Oleh karena itu, barangsiapa membuat perkara baru dalam agama ini, maka itu
tertolak. Allh Azza wa Jalla berfirman:


Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-Imran/3: 85]

Allh Azza wa Jalla juga berfirman:



Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia larang kepadamu, maka
tinggalkanlah. [Al-Hasyr/59: 7]

Ayat ini nyata menjelaskan kewajiban ittiba kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam .

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:




Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya,
maka itu tertolak. [10]

Hadits ini nyata-nyata mengharamkan perbuatan membuat ibadah yang tidak diperintahkan dan
tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , dan mengharamkan perbuatan membuat
sifat ibadah walaupun asal ibadah itu disyariatkan, karena itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam . Dengan ini jelas bahwa ibadah harus sesuai tuntunan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam di dalam waktunya, sifatnya, dan tidak boleh menambahkan ibadah yang tidak dituntunkan,
baik berupa amalan atau perkataan.

Inilah syarat-syarat diterima amal ibadah oleh Allh Subhaana wa Taala, semoga Allh selalu
membimbing kita semua di atas jalan yang lurus.

Sumber: www.omahit.ga

www.meltekno.ga

www.gadgetlaponsel.ga

Anda mungkin juga menyukai