Anda di halaman 1dari 18

KONSEP IBADAH

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna dan dimuliakan (QS. At-Tin
(95): 4); dan manusia diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini bukan sekedar untuk hidup di dunia
tanpa pertanggungan jawab, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah, hal ini dapat
dipahami dari firman Allah (QS.Al-Mukminun (23): 115)

Ibadah merupakan amal saleh yang dianjurkan bahkan merupakan tujuan utama dalam
hidup dan kehidupan manusia di alam dunia ini. Amal saleh sendiri termasuk implementasi dari
iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah adalah cara untuk mendekatkan diri kepada sang
pencipta, melalui media ibadah kita akan selalu ingat dan terhubung dengan sang khalik.

Dalam islam sendiri, beribadah kepada Allah SWT hendaknya dilakukan dengan ikhlas
dan benar sesuai dengan syariat Rasulullah SAW keduanya merupakan rukun amal yang diterima
Allah SWT yaitu, ihklas dan benar.
PEMBAHASAN

A. Definisi Ibadah

Secara etimologis, kata ibadah merupakan mashdar dari kata abada yang terbentuk dari
kata ain, ba, dan dal. Kata tersebut memiliki dua makna pokok yang bertolak belakang atau
bertentangan. Pertama, mengandung pengertian lin wa zull yang memiliki arti; kelemahan dan
kerendahan. Kedua, mengandung arti syiddat wa qilazh yakni; kekerasan dan kekasaran. Dari
makna tersebut dapat diartikan dengan “tunduk merendahkan, dan menghinakan diri kepada dan
di hadapan Allah”.

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa tujuan utama diciptakannya manusia di dunia ini,
adalah untuk beribadah kepada Allah:

‫َو َم ا َخ َل ْق ُت ا ْل ِج َّن َو ا ِإْل ْن َس ِإ اَّل ِلَي ْع ُب ُد و ِن‬

Yang artinya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia supaya mereka mengabdi kepada-Ku”

(Q.S. Az-zariyat ayat 56)

Menyembah kepada Allah SWT sebagaimana yang dijjelaskan pada ayat di atas berarti
mengabdikan diri kepada-Nya. Dengan demikian, tujuan menusia diciptakan adalah untuk
mengabdikan seluruh aktivitas kehidupanna dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Dapat
dipahami bahwa ibadah adalah kebutuhan primer bagi manusia.

Hatib Rachmawan, S.Pd., S.Th.I menjelasksan ibadah adalah segala perbuatan orang
Islam yang halal yang dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam artian khusus
adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
Ibadah dalam artian yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalah, Zakat, Shaum, Hajji, Kurban,
Aqiqah Nadzar dan Kifarah.

Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’I khususnya dalam ibadah khas seperti
meliputi thaharah, shalah, zakat, shaum, hajji, kurban, dan sebagainya yang kesemuanya itu
ditunjukan sebagai rasa ketundukan dan harapan mencapai Ridha Allah SWT.

Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (‫( ;)الطاعة‬2) tunduk (‫( ;)الخضوع‬3)
hina ( ‫ ;)الذّل‬dan (‫ )التنّسك‬pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan, dan
pengabdian kepada Allah.

Adapun pendapat lain mengenai ibadah adalah:

‫التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة‬

Artinya;
“Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang dikatakan ibadah adalah beramal dengan
yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.; karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti
khusus.”
B. Dasar Hukum Ibadah

Dasar hukum ibadah adalah dalil yang menjadi pijakan umat islam melaksanakan ibadah.
Semua bentuk peribadahan dipersembahkan hanya kepada Allah. Oleh karena itu, jika ada yang
mempersembahkan pujian kepada selain Allah, ia dinyatakan sebagai orang yang syirik.

Ibadah yang diterima harus didasarkan pada ketauhidan, keikhlasan, dan sesuai dengan
syariat Islam.

Sumber syariat Islam yang utama adalah Al-Qur’an. Oleh karena itu, dasar hukum beribadah
yang pertama adalah ayat-ayat Al – Qur’an. Ayat yang memerintahkan hamba allah untuk
beribadah hanya kepada Allah adalah sebagai berikut;

)٥٦( ‫َو َم ا َخ َلْقُت اْلِج َّن َو اإلْنَس ِإال ِلَيْعُبُدوِن‬

Artinya:

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”

( Az-Zariyat ayat 56)

Berikutnya adalah;

‫ِإ َّياَك َنْع ُب ُد َو ِإ َّياَك َنْس َت ِع يُن‬

Artinya:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan.”

(Q.S. Al-Fatihah / 5)
Serta terdapat pula;

‫َو ا ْع ُب ُد وا ال َّل َه َو اَل ُتْش ِر ُك وا ِب ِه َش ْي ًئ اۖ َو ِب ا ْل َو ا ِل َد ْي ِن ِإ ْح َس ا ًن ا َو ِب ِذ ي ا ْل ُق ْر َب ٰى َو ا ْل َي َتا َم ٰى َو ا ْل َم َس ا ِك ي ِن َو ا ْل َج ا ِر ِذ ي ا ْل ُق ْر َب ٰى‬


‫َو ا ْل َج ا ِر ا ْل ُج ُن ِب َو الَّص ا ِح ِب ِب ا ْل َج ْن ِب َو اْب ِن الَّس ِب ي ِل َو َم ا َم َل َك ْت َأ ْي َم ا ُنُك ْم ۗ ِإ َّن ال َّل َه اَل ُي ِح ُّب َم ْن َك اَن ُم ْخ َتا اًل َفُخ وًر ا‬

Yang artinya:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri,”

(Q.S. An-Nisa/36)

Dasar hukum kedua dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT adalah As-Sunnah
atau Al-Hadis. Hadis yang memerintahkan manusia untuk beribadah kepada Allah adalah sebagai
berikut”.

Hadis dari Ibnu Mas’ud sebagai berikut:

(‫َم ْن َم اَت َو ُهَو َيْد ُع ْو ِم ْن ُد ْو ِن ِهللا ِنًّذ أْد َخ َل الَّناَر (رواه البخارى‬

“Barang siapa mati dalam keadaan menyeru (berdoa atau beribadah) kepada selain Allah maka ia
akan masuk neraka.” (H.R. Imam Bukhari) [5]”
C. Syarat Rukun Ibadah

a. Syarat-syarat Diterimanya suatu Ibadah


Setelah kita memahami rukun-rukun ibadah, kita munculkan pertanyaan untuk
menggugah perhatian kita. Apakah ibadah yang dilakukan dengan memenuhi rukun-
rukunnya itu sudah cukup bisa diterima oleh Allah SWT? Atau ada syarat-syarat tertentu
agar ibadah bisa diterima oleh Allah Azza Wa Jalla?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dari itu kita harus memahami satu hal
bahwa ibadah itu memiliki dua pondasi pokok. Yang pertama, tidak ada yang berhak untuk
diibadahi kecuali Allah SWT. Yang kedua, seorang hamba tidak boleh beribadah kepada
Allah Azza Wa Jalla selain dengan perkara yang diperintahkan dan disyari’atkan. Dua pokok
ibadah ini yang menjadi dua syarat diterimanya ibadah karena ibadah sesungguhnya ialah
hakikat dua kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim.

Dari Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala tatkala


menjelaskan rukun Islam yang pertama, beliau mengatakan : “Persaksian bahwa tidak
ada yang berhak diibadahi selain Allah Azza Wa Jalla dan bahwa Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam adalah utusan Allah, itu merupakan satu rukun. Ia merupakan satu rukun
meski ia tersusun dari dua bagian. Sebab peribadahan-peribadahan itu hanya terbangun di
atas penerapan keduanya sekaligus, yaitu bahwa ibadah itu tidak akan diterima kecuali
dengan keikhlasan kepada Allah Azza Wa Jalla, dan ini merupakan kandungan dari
persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan
dengan Ittiba’ (mengikuti) syari’at Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan ini
merupakan kandungan persaksian bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
merupakan utusan Allah.”

Jadi, syarat diterimanya ibadah terbagi menjadi dua yakni :


1. Ikhlas kepada Allah Azza Wa Jalla semata.
Ikhlas maknanya ialah seseorang dalam beribadah hanya bermaksud mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Hal ini mengharuskan bersihnya peribadahan seorang hamba dari
segala kesyirikan, yakni tidak sedikitpun diperuntukkan kepada selain Allah Subhanahu
wata’ala atau mengharap selain kepada-Nya misalnya berupa riya’ (ingin dilihat), dan
sum’ah (ingin didengar-dengarkan) atau pujian dari manusia.

2. Ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


Artinya ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan apa yang diteladankan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tentang dua syarat diterimanya ibadah ini Allah SWT berfirman


‫…َف َم ْن َك اَن َي ْر ُج و ِل َق ا َء َر ِّب ِه َف ْل َي ْع َم ْل َع َم اًل َص ا ِل ًح ا َو اَل ُي ْش ِر ْك ِب ِع َب اَد ِة َر ِّب ِه َأ َح ًد ا‬.
(yang artinya):
…… barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadah kepada Robbnya. (QS. al-Kahf [18]: 110)

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Inilah dua
rukun amalan yang diterima, ia harus ikhlas hanya untuk Allah subhanahu wata’ala dan tepat
di atas syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan telah diriwayatkan seperti
perkataan ini dari al-Qodhi Iyadh rahimahullahu ta’ala dan yang lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu
Katsir).

Sehingga amalan ibadah apapun yang tidak dibangun di atas kedua syarat tersebut
sekaligus, tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala meski siapa pun dan
bagaimana pun serta sebanyak apa pun seseorang telah payah melakukannya.

ikhlas tetapi tidak tepat maka tidak akan diterima. Begitu pula bila ia dilakukan
dengan tepat tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak akan diterima juga, sehingga
amalan (yang akan diterima) itu harus ikhlas dan tepat, ikhlas ialah hanya bagi Allah
sedangkan tepat ialah sesuai dengan sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).

b. Rukun-rukun Ibadah
Berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, suatu ibadah pastinya memiliki
rukun-rukun yang dibangun di atasnya. Karena tidaklah suatu amalan yang diperintahkan
menjadi sebuah ibadah bila ia tidak dibangun di atas rukun-rukunnya.
menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah rukun ibadah dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
1. Al-Hubb (cinta)
Kata “Ibadah” bisa mengartikan penghinaan diri, tetapi selain mengandung makna
penghinaan diri di hadapan Allah SWT, Ibadah juga bermakna al-Hubb (cinta) yang tinggi
kepada Allah SWT. Karena ketika seorang hamba memiliki rasa kecintaan yang tinggi
disertai penghinaan diri yang sesungguhnya kepada Allah SWT, maka seorang hamba akan
menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, karena puncak dari al-Hubb adalah at-
Tatayyum (penghambaan). Sehingga tidak akan terbangunlah penghambaan diri kepada Allah
SWT kecuali dengan terkumpulnya kedua rasa yang harus terdapat pada seorang hamba,
yakni cinta dan penghinaan diri yang sesungguhnya.

Dari Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala berkata :


“Dan peribadahan kepada Allah SWT itu terbangun atas dua hal; puncak kecintaan dan
puncak perendahan diri. Pada kecintaan terdapat tuntutan dan pencarian, sedangkan pada
penghinaan dan perendahan diri terdapat rasa takut dan al-Harob (lari menjauhi hal yang
ditakuti).”

Kemudian dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala juga


berkata : “Dan siapa saja yang tunduk dan merendahkan diri kepada seseorang, tetapi
disertai kebencian kepadanya maka ia tidak dikatakan telah menghambakan diri kepada
orang tersebut. Seandainya seseorang mencintai sesuatu, tetapi tidak ada ketundukan dan
penghinaan diri kepadanya ia juga tidak disebut menghambakan diri kepada sesuatu tersebut.
Hal ini sama seperti seseorang yang mencintai anak atau temannya.

Oleh sebab itu tidaklah mencukupi bila hanya salah satunya saja yang ada dalam sebuah
peribadahan, namun yang seharusnya lebih dicintai oleh hamba ialah Allah subhanahu
wata’ala dibanding kecintaan kepada selain-Nya, dan Allah Azza Wa Jalla-lah yang harus
lebih ia agungkan dari selain-Nya, dan tidak ada yang berhak atas kecintaan yang tinggi serta
penghinaan dan ketundukannya yang sempurna selain Allah Azza Wa Jalla….”.

2. Al-Khauf (takut)
Sifat ini merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang agung yang mana keikhlasan
seseorang dalam beragama bagi Allah SWT-sebagaimana yang Dia Azza Wa Jalla
perintahkan kepada hamba-Nya-tidak akan lurus kecuali dengannya. Khauf ialah kegundahan
hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa hukuman dan adzab Allah Azza Wa
Jalla yang menimbulkan sikap penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya
Azza Wa Jalla.

3. Ar-Raja’ (berharap).
Sifat ini juga termasuk peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung. Karena
Raja’ adalah harapan dari seseorang hamba yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala
dari Allah SWT yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya.

Maka, ibadah yang telah Allah Azza Wa Jalla perintahkan kepada hamba-Nya harus
terdapat tiga rukun tersebut agar dapat tercipta peribadahan diri secara sempurna.
Peribadahan kepada Allah Azza Wa Jalla harus disertai ketundukan dan kecintaan yang
sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah
amalan maka amalan tersebut benar-benar bermakna ibadah.

Di dalam al-Qur’an, Allah Azza Wa Jalla menfirmankan rukun-rukun ibadah itu ketika
menyifati peribadahan para anbiya’ (nabi-nabi) alaihimus salam, hal ini dijelaskan dalam
firman-Nya
‫…ِإ َّن ُه ْم َك ا ُن وا ُي َس ا ِر ُع وَن ِف ي ا ْل َخ ْي َر ا ِت َو َي ْد ُع وَنَنا َر َغ ًبا َو َر َهًباۖ َو َك ا ُن وا َل َنا َخ ا ِش ِع يَن‬.
(yang artinya):
….. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap (atas rohmat
Alloh) dan cemas (akan adzab-Nya). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada
kami. (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)
Dari Syaikh DR. Sholih al-Fauzan alaihimus salam mengatakan: “Sesungguhnya
ibadah itu tegak di atas tiga rukun; yaitu cinta, takut serta harapan. Kecintaan harus ada
bersama penghinaan diri dan ketundukan, sedangkan takut harus ada bersama harapan. Dan
dalam sebuah ibadah harus terdapat tiga perkara tersebut (sekaligus).”

Sebagian ulama salaf (ulama terdahulu) juga mengatakan: “Siapa saja yang beribadah
kepada Allah SWT hanya dengan cinta maka ia adalah seorang zindiq, dan siapa saja yang
beribadah kepada-Nya hanya dengan harapan semata maka ia adalah seorang murji’ah, dan
siapa saja yang beribadah kepada-Nya hanya dengan takut semata maka ia adalah
seorang haruri yaitu khawarij, sedangkan seorang yang beribadah kepada Allah Azza Wa
Jalla dengan kecintaan, rasa takut serta harapannya maka ia adalah seorang
mu’min muwahhid (yang meng-Esa-kan Alloh) .”
D. Tujuan Ibadah

Ibadah memiliki tujuan utama, yaitu sebagai bentuk ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Allah SWT berfirman :

‫َي ا َأ ُّي َه ا ال َّن اُس ا ْع ُب ُد وا َر َّب ُك ُم ا َّل ِذ ي َخ َلَقُك ْم َو ا َّلِذ يَن ِم ْن َق ْب ِل ُك ْم َل َع َّل ُك ْم َت َّتُق وَن‬

Artinya;

”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telat menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelumnya, agar kamu bertakwa”.

(Q.S. Al-Baqarah: 21).

Seseorang dikatakan bertakwa apabila dia selalu menjalankan perintah Allah SWT dan
menjauhi segala bentuk larangan -Nya baik dimanapun dan kapanpun ia berada. Orang yang
bertakwa akan senantiasa mengingat bahwa Allah SWT selalu mengawasi, dan Allah SWT selalu
Bersama dengan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah SWT :

‫َو ا َّتُق وا ال َّل َه َو ا ْع َل ُم وا َأ َّن ال َّل َه َم َع ا ْل ُم َّت ِق يَن‬

Artinya;

“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

(q.s. al-baqarah: 194).

Alam semesta beserta isinya, terutama bumi yang manusia tinggali telah Allah ciptakan
untuk para hambanya. Dan Allah memberikan kewajiban pada hambanya berupa perintah dalam
menjalankan ibadah guna terhindar dari segala hal buruk yang merugikan baik di dunia maupun
di akhirat kelak.
Sebagai makhluk ciptaan-Nya, sudah seharusnya manusia beribadah kepada Allah SWT,
dimana itu adalah tugas atau kewajiban tiap-tiap individua atau manusia. Dari uraian sebelumnya
sudah jelas bahwa ibadah bagi manusia semata-mata untuk mendekatakan diri dengan Allah
SWT, serta mencari ridho-Nya.

Sebagaimana penjelasan dalam Al-Quran :

‫ُق ْل ِإ َّن َص اَل ِت ي َو ُن ُس ِك ي َو َم ْح َي ا َي َو َم َم ا ِت ي ِل َّل ِه َر ِّب ا ْل َع ا َل ِم يَن‬

‫اَل َش ِر يَك َل ُهۖ َو ِب َٰذ ِل َك ُأ ِم ْر ُت َو َأ َنا َأ َّو ُل ا ْل ُم ْس ِلِم يَن‬

Yang berarti;

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk


Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.

(Q.S. Al-An’am: 162-163).

Disisi lain, ibadah dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban manusia kepada Allah SWT.
Manusia di dunia ini diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT dan melaksanakan
segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Allah berfirman :

‫َو َم ا َخ َل ْق ُت ا ْل ِج َّن َو ا ِإْل ْن َس ِإ اَّل ِلَي ْع ُب ُد و ِن‬

Berarti;

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

(Q.S. Az-Zariyat: 56)

Pada ayat-ayat tadi telah dipertegas bahwa seluruh alam semesta beserta isinya termasuk
hidup manusia sebagai hambanya diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Semua
tunduk dan patuh akan kehendak-Nya.
Bagi siapa yang mengerjakan ibadah kepada Allah SWT akan terpenuhi kewajibannya,
diridhoi urusannya, dan dihindarkan dari hal buruk yang merugi di dunia akhiratnya. Sebaliknya,
barang siapa yang melalikannya akan merugi dan mendapat balasan yang sesuai akan
perbuatannya.

Sebagai manusia kita harus meyakini bahwa segala sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah SWT itu pasti memiliki manfaat dan hikmah. Dalam kehidupan, kita diberikan cobaan dan
godaan oleh-Nya. Dan manusia sendiri diciptakan dengan sifat yang berbeda-beda. Segala
penyelesaian akan apa yang dihadapinya tergantung dengan keputusan manusia itu sendiri.

Tidak jarang bahkan sering manusia tergesa-gesa dan mengikuti nafsunya sehingga sering
kali perbuatannya justru merugikannya. Dan kerugian itu menjadi hal yang mengganggu pikiran
manusia. Ibadah disini menjadi upaya untuk menenangkan jiwa, memberikan kedamaian dan
menjaga kesehatan mental.

Seseorang yang dekat dengan tuhannya akan merasa percaya, aman, tenang dalam
menghadapi masalah. Selalu merasa bahwa tuhan-Nya selalu bersama dan meneranginya. Selain
itu, ibadah juga menjadi sarana untuk menghapus dosa atau mensucikan jiwa.

Bagaimana bisa dikatakan demikian? Perihal ibadah sebagai penghapusan dosa telat
tertuang dalam ayat berikut :

‫َو َأ ِق ِم الَّص اَل َة َط َر َف ِي ال َّن َه ا ِر َو ُز َلًف ا ِم َن ال َّل ْي ِل ۚ ِإ َّن ا ْل َح َس َنا ِت ُي ْذ ِه ْب َن الَّسِّيَئا ِت ۚ َٰذ ِل َك ِذ ْك َر ٰى ِل ل َّذ ا ِك ِر يَن‬

Artinya:

“Dan laksanakanlah sholat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan
malam. Sesungguhnya perbuata-perbuatan yang baik itu mengahapus (dosa) perbuatan-perbuatan
yang buruk, itulah peringatan bagi orang orang yang ingat.” (Q.S. Hud : 114)
E. Kedudukan Ibadah

Ibadah dalam islam disyariatkan untuk mendapatkan kemaslahatan besar yang tak terhitung
jumlahnya. Diantara banyaknya keutamaan dalam beribadah salah satunya untuk memperbanyak
pahala dan meningkatkan derajat manusia.

Manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat


membutuhkannya, karena manusia adalah makhluk lemah yang butuh perlindungan Allah SWT.
Semakin rajin seseorang beribadah maka Allah SWT pasti memberikan perlindungannya.
Beribadah juga memberi ketenangan untuk menjalani segala hal dalam hidup.

Allah SWT berfirman:

‫َو َقاَل َر ُّبُك ُم اْد ُعوِني َأْسَتِج ْب َلُك ْم ۚ ِإَّن اَّلِذ يَن َيْسَتْك ِبُروَن َع ْن ِعَباَد ِتي َسَيْدُخ ُلوَن َجَهَّنَم َداِخ ِريَن‬

Yang artinya:

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina.”

(Al-Mu’min/40: 60)

Tidak ada yang bisa membuat seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang mereka lakukan
kecuali dengan ibadah kepada Allah SWT.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan
dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan
ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya
daripada yang lain.”
F. Fungsi Ibadah dalam kehidupan individu, bermasyarakat, dan berenegara
Ibadah dalam kehidupan individu berfungsi untuk memperkuat ikatan atau hubungan
spiritual individu dengan Tuhan-Nya. Dengan keterikatan tersebut, seorang individu akan
merasa bahwa Tuhan-Nya selalu bersama dan mengawasinya sehingga ia akan menjadi lebih
mengingat, merasa aman, tenang, dan percaya diri namun juga was-was akan apa yang
dilakoninya.

Selain hal tersebut, ibadah disini juga berperan sebagai pedoman yang memberi arti pada
hidup sera membantu dalam pembentukan karakter yang lebih baik.

Lalu mengingat manusia adalah makhluk sosial, tentunya ada kegiatan atau saling
berinteraksi dengan sesamanya. Ibadah di sini menjadi pengikat sosial dan membangun
komunitas dimana ibadah menjadi wadah bagi para individu yang memiliki pendangan,
kepercayaan, atau agam yang sama.

Kemudian, sama seperti poin fungsi ibadah dalam kehidupan individu, ibadah
membantuk pembentukan karakter atau etika yang baik. Dengan hal tersebut seseorang dapat
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Tentunya ini akan berdampak untuk
kesejahteraan sosialnya dalam bermasyarakat

Yang terakhir, dalam kehidupan bernegara. Ibadah dalam hal ini memiliki fungsi yang
sama seperti sebelumnya namun perbedaannya adalah mencakup lingkungan yang lebih luas.
Moral dan etika baik yang telah terbentuk dalam diri seseorang akan mempengaruhi
lingkungan di sekitarnya.

Selain itu, ibadah adalah tolak ukur sejauh mana hamba itu taat dan patuh pada Tuhan-
Nya. Di negara sendiri, tidak ada yang semena-mena. Banyak aturan yang berlaku, dan
tentunya jika seseorang patuh dan taat maka kehidupan bernegara akan menjadi Sejahtera.
Secara sederhana, ketaatan dalam beribadah melatih seseorang untuk patuh pula pada aturan
disekitarnya.
KESIMPULAN

Manusia diciptakan oleh tuhan bukan semata-mata untuk sekedar hidup di dunia ini tanpa
menjalankan kewajibannya. beribadah adalah bentuk kewajiban seorang hamba kepada tuhan-
Nya. ibadah diartikan sebagai "tunduk, merendahkan, dan menghinakan diri kepada dan
dihadapan Tuhan.

Dalam islam, dasar hukum ibadah adalah dalil yang menjadi pijakan umat islam
melaksanakan ibadah. Semua bentuk peribadahan dipersembahkan hanya kepada Allah. Oleh
karena itu, jika ada yang mempersembahkan pujian kepada selain Allah, ia dinyatakan sebagai
orang yang syirik. syarat diterimanya suatu ibadah adalah ikhlas kepada Allah SWT dan
mengikuti ajaran Rasulullah SAW, sedangkan rukun ibadah terdiri atas cinta, takut, dan ibadah.

Ibadah bertujuan untuk memenuhi kewajiban hamba kepada Tuhan-Nya. Ibadah


dibutuhkan manusia melebihi segala-galanya, ini memberikan perlindungan dan ketenangan
dalam menjalan kehidupan. Secara sederhana, ibadah membuat individu menjadi merasa dekat
dengan sang pencipta-Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Abror, H. K., & MH, K. (2019). Fiqh Ibadah.

KONTEKS IBADAH MENURUT AL-QURAN | Kallang | Al-Din: Jurnal Dakwah dan


Sosial Keagamaan (iain-bone.ac.id)

Hidayati, A. N. (2021). Ibadah Menurut Surat Az-Zariyat Ayat 56 Dalam Tafsir Al-Mishbah Dan
Relevansinya Dengan Materi Alquran Hadis Kelas X Madrasah Aliyah (Doctoral
dissertation, IAIN Ponorogo).

lpsi.uad.ac.id/fiqih-ibadah-dan-prinsip-ibadah-dalam-islam/

Kallang, A (2018). Konteks Ibadah Menurut Al-Quran. Al-Din: Jurnal Dakwah Dan Sosial
Keagamaan, jurnal.iain-bone.ac.id,
http://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/aldin/article/view/630

Al-Bugis, E Konsep Ibadah Dalam Al-Qur'an Kajian Surat Al-Fatihah Ayat 1-7.
repository.uinjkt.ac.id, https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/24770

Anam, MK (2020). Konsep Ibadah Dalam Prespektif Tafsir Al-Azhar Karya Hamka.,
etheses.iainkediri.ac.id, http://etheses.iainkediri.ac.id/2727/

Memahami Ibadah, Rukun-Rukun Dan Syarat-Syaratnya (2011) Rumahku Surgaku. Available at:
https://alghoyami.wordpress.com/2011/04/16/memahami-ibadah-rukun-rukun-dan-
syarat-syaratnya/#_ftnref23 (Accessed: 31 October 2023).
Nurjaman, A. R. (2020). Pendidikan Agama Islam. Bumi Aksara.

Jawas, Y. B. A. Q. (2008). Prinsip Dasar Islam. Jakarta: Pustaka at-Taqwa.

Said, S. (2017). Wawasan Al-Qur’an Tentang Ibadah. Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, 15(1),
43-54.

Anda mungkin juga menyukai