Anda di halaman 1dari 22

KONSEP DALAM ISLAM

A. Pengertian Ibadah Secara Bahasa dan Istilah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
Sedangkan menurut syara (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi,
tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai
Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun
yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut),
raja (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah
(senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah
ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad
adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi
macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:




Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah
Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. [AdzDzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia
adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan
Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka
barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa
yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyariatkan-Nya,
maka ia adalah mubtadi (pelaku bidah). Dan barangsiapa yang beribadah
kepada-Nya hanya dengan apa yang disyariatkan-Nya, maka ia adalah mukmin
muwahhid (yang mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta),
khauf (takut), raja (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi
dengan raja. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah
berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. [Al-Maa-idah: 54]


Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah. [AlBaqarah: 165]

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap
dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami. [AlAnbiya: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta
saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja
saja, maka ia adalah murji[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya
dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepadaNya dengan hubb, khauf, dan raja, maka ia adalah mukmin muwahhid.
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
disyariatkan berarti bidah mardudah (bidah yang ditolak) sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
.

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan
tersebut tertolak. [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa
dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah,
karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat
Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul,
mengikuti syariatnya dan meninggal-kan bidah atau ibadah-ibadah yang diadaadakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak
ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah.
Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah
kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia
syariatkan, tidak dengan bidah.
Sebagaimana Allah berfirman:


Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia

mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam


beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat
syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua,
bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang
menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai
beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bidah. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bidah itu sesat.[7]
Bila ada orang yang bertanya: Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya
ibadah tersebut?
Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya
semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya
adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. [Az-Zumar:
2]
2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri (memerintah dan
melarang). Hak Tasyri adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah
kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan
dirinya di dalam Tasyri.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang
yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah
ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai
kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan
kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri
dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan
manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian
akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan,
padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syariat
yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syariat Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhaiNya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan
menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang
enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Dan Rabb-mu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku
perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau
beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.
[Al-Mumin: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyariatkan untuk mempersempit atau mempersulit
manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan
tetapi ibadah itu disyariatkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan
besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam

semua adalah mudah.


Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan
membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan
manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan
ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena
manusia secara tabiat adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana
halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh
memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh
manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada
makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu
adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap
(bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah
merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah
kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain
dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan
lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan
kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah
kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan
dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang
menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah
semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan
manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan
seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada
Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Tidak ada kebahagiaan,
kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai

Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai
puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang
untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah
dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban
penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan
lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya
kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada
makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia
merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada
Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama
untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

B. Klasifikasi Ibadah ( Umum dan Khusus )


Ibadah dalam Islam mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berbeza sama sekali
daripada konsep ibadah dalam agama dan kepercayaan yang lain. Antara ciri-ciri
tersebut adalah tidak ada sebarang perantaraan antara Allah dan manusia dan
ibadat dalam Islam tidak terikat dengan sesuatu tempatatau masa yang tertentu.
Firman ALLAH SWT yang bermaksud: "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia,
kecuali agar mereka beribadah kepadaKu"(Az-Zariyat:56)
Ibadah dalam Islam terbahagi kepada dua iaitu Ibadah Umum dan Ibadah
Khusus. Kedua-duanya penting bagi umat Islam untuk dilakukan supaya dapat
menjamin kedudukan di akhirat dan menjadi kewajipan seorang hamba kepada
ALLAH SWT.
Ibadah khusus, iaitu perkara yang wajib dilakukan oleh orang Islam sebagai satu
cara mengabdikan diri kepada ALLAH SWT. Ia merupakan perintah-perintah
yang wajib dilakukan sebagaimana yang terkandung dalam Rukun Islam seperti
seperti solat, puasa, zakat, haji dan beberapa amalan khusus seperti tilawah AlQuran, zikir dan seumpamanya.
Ianya bersifat taufiqiyyah, iaitu dilaksanakan menurut garis-garis yang
ditunjukkan oleh Rasulullah Sallalahu Alaihi Wasallam dan berhenti setakat
sempadan yang telah ditentukan oleh syara' dan sebagaimana yang
dilakukan sendiri oleh Rasulullah Sallalahu Alaihi Wasallam tanpa boleh
ditambah atau dikurangkan atau membuat sebarang perubahan terhadapnya.
Ibadah khusus ada banyak jenis. Ada ibadah khusus yang berkaitan dengan
waktu-waktu khususseperti solat fardhu. Ada yang berkaitan dengan kekhususan
tempat
dan
waktu
seperti
menunaikan
haji.
Ada
berkaitan
dengan kekhususan tempat seperti solat tahiyyatul masjid.
Sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam: "Sembahyanglah
sebagaimana kamu melihat aku sembahyang."(Sahih Bukhari)

kamu

Ibadah umum pula adalah segala perkara atau amalan selain daripada
kumpulan ibadah khusus di atas di mana ia dilakukan semata-mata
untuk mencari keredaan ALLAH SWT. Ini termasuklah seluruh perbuatan
manusia dalam kehidupan sehariannya.

Ibadah-ibadah yang tidak mengikut pengkhususan di atas, bersifat mutlah yang


boleh diamalkan, selagi tidak ada dalil-dalil yang mengharamkannya untuk
dilaksanakan pada tempat-tempat tertentu, atau pada masa-masa tertentu, atau
pada individu-individu tertentu dengan sebab ada mani/halangan.
Antara ibadah umum adalah solat sunat mutlak dan puasa sunat mutlak. Selama
tidak ada dalil yang mengharamkan pelaksanaannya, maka ia sunat dilakukan.
Contoh sesuatu ibadah sunat mutlah yang haram adalah puasa sunat pada Hari
Raya. Hal ini kerana terdapatnya dalil pengharaman tentang puasa
pada hari tersebut. Begitulah seterusnya.
Zikir adalah termasuk ibadah umum yang boleh dilakukan di mana sahaja, dalam
bentuk apa sahaja, selagi bentuk-bentuk dan cara pelaksanaannya tidak ada nas
yang mengharamkannya. Jika terdapat nas yang mengharamkannya, justeru zikir
adalah haram diucapkan.
Sebagai contoh, ada dalil yang melarang zikir dengan lisan di dalam tandas. Oleh
itu perbuatan berzikir secara lisan adalah haram selama dia berada di dalam
tandas. Sebaliknya, jika terdapat dalil umum yang mengharuskan sesuatu ibadah
sunat itu dan tidak ada pula dalil pengharaman dalam segala aspek, maka ibadah
umum tersebut dibenarkan untuk diamalkan.
Ada juga sesetengah dari ulamak menambahkan ibadah ini kepada beberapa lagi
jenis ibadah. Walaubagaimanapun, ketiga-tiga jenis ibadah di atas kita
rangkumkannya dalam sejenis ibadah umum. Jenis ibada lain itu adalah:
1.
Ibadah Badaniah: tubuh badan seperti sembahyang, menolong orang
dalam kesusahan dan lain-lain.
2.
Ibadah Maliyah: harta benda seperti zakat, memberi sedekah, derma dan
lain-lain
3.
Ibadah Qalbiyah: hati seperti sangka baik, ikhlas, tiada hasad dengki dan
lain-lain
Terdapat beberapa syarat amal yang disenaraikan untuk mendapat status ibadah.
Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya, Ibadah Dalam Islam, telah memberikan
syarat-syarat supaya sesuatu perbuatan itu mendapat status ibadah:
1.
Amalan-amalan yang dikerjakan itu mestilah bersesuaian dengan hukum
Islam dan tidak bercanggah dengan hukum tersebut.

10

2.
Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik atau kerana ALLAH
SWT.
3.
Amalan tersebut mestilah dilakukan dengan seelok-eloknya bagi menepati
oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya ALLAH suka apabila seseorang daripada
kamu membuat sesuatu kerja dengan memperelokkan kerjanya" (HR Muslim)
4.
Ketika membuat amalan tersebut, hendaklah sentiasa menurut hukumhukum syara dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat,
tidak menipu, tidak menindas orang lain dan merampas hak-hak orang.
5.
Tidak mengecualikan ibadah-ibadah khusus seperti solat, zakat dan
sebagainya dengan melaksanakan ibadah-ibadah umum
Sesungguhnya ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas kepada solat, zakat, puasa,
haji, berzikir, berdoa dan beristighfar sebagaimana yang difahami oleh setengahsetengah golongan dalam kalangan umat Islam. Kebanyakan mereka menyangka
bahawa apabila mereka telah menunaikan perkara-perkara fardhu bererti mereka
telah menyempurnakan segala hak ALLAH SWT dan kewajipan 'ubudiyyah'
terhadapNya.
Sebenarnya, kewajipan-kewajipan yang besar dan rukun-rukun asasi
walaubagaimana tinggi kedudukannya, ia hanyalah sebahagian daripada tuntutan
'ibadah kepada ALLAH SWT'. Ia tidak merupakan seluruh ibadah yang ditetapkan
oleh ALLAH SWT kepada hamba-hambaNya. Kewajipan-kewajipan tersebut
adalah tiang-tiang utama bagi mengasaskan dasar-dasar 'ubudiyah manusia kepada
ALLAH SWT'. Selepas itu, adalah dituntut bahawa setiap tindakan yang
dilakukan olehnya mestilah selaras dengan dasar-dasar tersebut serta
mengukuhkannya.
Manusia telah dijadikan oleh ALLAH SWT dengan tujuan untuk beribadah
kepada ALLAH SWT. Oleh itu, tujuan ini hanya dapat dilaksanakan oleh manusia
sekiranya ruang lingku ibadah dan daerah-daerahnya cukup luas sehingga ia
meliputi seluruh kehidupan manusia itu sendiri.
Ibadah dapat meningkatkan keimanan seseorang dengan cara yang tersendiri.
Setiap bentuk ibadah yang berbeza mengandungi cara yang berbeza dalam
meneguh dan menguatkan keimanan. Untuk memudahkan penerangan mengenai
cara ibadah menguatkan keimanan seseorang dan dapat mencegah perkara
mungkar, saya akan menerangkannya berdasarkan cara-cara beribadah yang
berbeza seperti di bawah.

11

Pertama sekali dalam solat. Tujuan utama solat adalah untuk mengingati ALLAH
SWT. Maksud firman ALLAH SWT:"Dan dirikanlah solat untuk mengingatiKU."
(Surah Taha: 14). "Ingati ALLAH" yang dimaksudkan di sini adalah merasakan
kehadiran ALLAH SWT dalam diri sehingga menimbulkan rasa takut, kagum,
malu, hina dan sangat berharap kepada ALLAH SWT dalam hati.
Dengan bersolat kita akan dapat menghadirkan rasa rendah diri kerana kita akan
sedar betapa kecil dan hinanya kita apabila berhadapan dengan ALLAH SWT. Hal
ini secara tidak langsung akan meningkatkan keimanan kita sebagai seorang
Muslim.
Apabila kita bersolat dengan khusyuk dan tawadduk, kita akan dapat membezakan
antara yang hak dan batil. Kita akan dapat membezakan hal kebenaran dan
keburukan. Maka, secara automatiknya, kita akan dapat menghindarkan diri kita
sendiri daripada melakukan perkara kemungkaran.
Bercakap mengenai puasa pula. Terdapat pelbagai kelebihan yang terdapat dalam
puasa. Hal ini telah berjaya dibuktikan dengan kaedah saintifik bahawa puasa
dapat meningkatkan taraf kesihatan manusia. Tujuan puasa adalah untuk
melahirkan sifat taqwa dengan hukum-hukum ALLAH SWT.
Firman ALLAH SWT yang bermaksud: "Wahai orang yang beriman, diwajibkan
ke atas kamu berpuasa seperti mana orang yang terdahulu daripada kamu agar
kamu menjadi orang yang bertaqwa" (Surah Al-Baqarah 2:183).
Dengan sifat taqwa seseorang akan naik "darjatnya" di sisi ALLAH SWT. Dengan
berpuasa kita akan dapat merasai penderitaan orang-orang yang tidak dapat
menikmati hidangan enak dan lazat seperti yang kita dapat setiap hari. Hal ini
akan melahirkan rasa syukur dalam diri dan menguatkan iman di hati kita.
Orang beriman adalah orang yang bersyukur dengan apa yang ada pada dirinya.
Apabila kita bersyukur, kita akan berusaha sedaya upaya untuk menzahirkan rasa
syukur tersebut. Justeru itu, kita akan berusaha melakukan perkara yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT dan meninggalkan laranganNYA yakni perkaraperkara mungkar.
Beralih pula kepada ibadat zakat. Tujuan utama mengeluarkan zakat adalah untuk
melatih hati agar mampu memberi kepada orang lain. Sesungguhnya dalam rezeki
kita yang melimpah ruah itu, sebahagiannya adalah milik orang lain. Sasaran

12

ibadah zakat ialah untuk melunturkan sifat tamak, rakus dan pentingkan diri
dalam diri manusia.
Zakat itu bermaksud 'bersih'. Zakat fitrah adalah untuk membersihkan diri
manakala zakat harta untuk membersihkan harta. Dengan kebersihan diri dan
harta ini akan bersihlah hati seseorang daripada kekotoran sifat mazmumah. Sifatsifat mazmumah inilah yang menjadi dalang kepada perbuatan-perbuatan
mungkar yang kita lakukan.
Jadi, apabila sifat mazmumah berjaya dihapuskan dengan memberi zakat, kita
akan sedar bahawa harta yang banyak tidaklah begitu penting jika hendak
dibandingkan dengan ibadah. Apabila kita membayar zakat, kita akan berjaya
melawan hawa nafsu dan rasa tamak pada harta. Apabila kita berjaya melawan
hawa nafsu ini, ia menandakan yang kita telah berjaya meningkatkan keimanan
dalam diri kita.
Ibadah haji dan korban pula meletakkan hati sebagai sasaran. Haji hakikatnya
adalah kembara seorang hamba membawa hatinya menuju kepada ALLAH SWT.
Ibadah korban bertujuan menyembelih rasa cinta selain ALLAH SWT dalam hati
manusia untuk hanya mencintai ALLAH.
Apabila kita menjalankan ibadah haji walaupun memerlukan kos yang tinggi bagi
penduduk luar Mekah, kita akan berjaya menzahirkan rasa kehambaan kita kepada
ALLAH SWT. Manakala apabila kita menyembelih binatang peliharaan yang
menjadi kesayangan kita, kita akan membuktikan bahawa tiada cinta lain yang
lebih tinggi daripada cinta kita terhadap ALLAH SWT.
Firman ALLAH SWT dalam al-Quran yang bermaksud: "Daging dan darah
korban itu tidak sampai kepada ALLAH, tetapi apa yang sampai adalah hati yang
bertaqwa".
Setakat ini dulu. Semoga kita rajin beribadah dan ibadah kita diterima oleh
ALLAH SWT. Semoga ibadah yang kita lakukan membantu kita di akhirat kelak.
Amiin.

MACAM-MACAM IBADAH DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI


Ibadah ditinjau dari beberapa segi memiliki begitu banyak klasifikasi, mulai
dari ruang lingkup bentuk dan sifat, dan juga lain sebagainya klasifikasi yang
dimaksut antara lain:
a. Dari Segi Ruang Lingkupnya.
Ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ibadah dapat dibagi menjadi dua macam:

13

1.

Ibadah khashsah, yaitu ibadah yang ketentuan dan caranya pelaksanaannya


secara khusus sudah ditetapkan oleh nash, seperti shalat, zakat, puasa dan haji
2. Ibadah ammah, yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat yang
baik dan semata-mata karena Allah SWT (ikhlas), seperti makan dan minum,
bekerja, amar maruf nahi munkar, berlaku adil, berbuat baik kepada orang lain
dan sebagainya.
b. Dari Segi Bentuk dan Sifatnya.
Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ibadah terbagi dalam enam macam
antara lain:
1. Ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti: tasbih, tahmid, tahlil,
takbir, taslim, doa, membaca hamdalah oleh orang bersin, tasymit (menyahuti)
orang bersin, memberi tahniyah (salam), khutbah, menyuruh yang maruf,
mencegah yang munkar, bertanya mengenai sesuatu yang tidak diketahui,
menjawab pertanyaan (memberi fatwa), mengungkapkan persaksian (syahadah),
membaca iqamah, membaca
adzan,
membaca
Al-Quran,
membaca basmalah ketika hendak makan, minum dan menyembelih binatang,
membaca Al-Quran ketika dikejuti syaitan dan lain-lain sebagainya.
2. Ibadah-ibadah berupa perbuatan, seperti menolong orang yang karam atau yang
tenggelam, berjihad di jalan Allah SWT, membela diri dari gangguan,
menyelenggarakan mayat dan mandi.
3. Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Termasuk kedalam ibadah ini, ibadah puasa, yaitu menahan diri dari makan,
minum dan dari segala yang merusak puasa.
4. Ibadah-ibadah yang terdiri dari melakukan dan menahan diri dari suatu
perbuatan, sepertiitikaf (duduk dirumah Allah) serta menahan diri
dari ijma dan mubasyaroh (bergaul dengan istri), haji, tawaf, wukuf di Arafah,
ihram serta menahan diri ketika haji atau umrah dari menggunting rambut,
memotong kuku, jima, nikah dan menikahkan, berburu, menutup muka oleh para
wanita dan menutup kepala oleh lelaki.
5. Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan orang
yang berhutang dari hutangnya dan memaafkan kesalahan dari orang yang
bersalah dan memerdekakan budak dengan kaffarat.
6. Ibadah-ibadah yang meliputi perkataan, pekerjaan, khudu, khusyu, menahan
diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin dari yang diperintahkan kita
menghadapinya, seperti shalat. Shalat di pandang sebagai ibadah yang paling
utama, karena shalat melengkapi perbuatan-perbuatan yang lahir dan batin,
melengkapi ucapan-ucapan dan menahan diri dari berbicara serta menahan diri
dari memalingkan hati dari Allah SWT.
c. Dari Segi Sifat, Waktu, Keadaan, dan Rukunya
Apabila ditinjau dari segi sifat, waktu, keadaan dan hukumnya, ibadah terbagi
menjadi:
1.
Muadda, yaitu ibadah yang dikerjakan dalam waktu yang ditetapkan syara.
Ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang ditetapkan itu untuk pertama kalinya,

14

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.
12.

13.

bukan sebagai pengulangan. Pelaksaan ibadah ini disebut dengan ibadah


tunai (ada).
Maqdhi, yaitu ibadah yang dikerjakan sesudah keluar waktu yang ditentukan
syara. Ibadah ini bersifat sebagai pengganti yang tertinggal, baik Karena
disengaja atau tidak, seperti tertinggal karena sakit atau sedang dalam berpergian.
Pelaksanaan ibadah ini disebut dengan qadha.
Muad, yaitu ibadah yang diulang sekali lagi dalam waktunya untuk menambah
kesempurnaan, misalnya melaksanakan shalat secara berjamaah dalam waktunya
yang ditentukan setelah melaksanakannya secara sendirian pada waktu yang sama.
Muthlaq, yaitu ibadah yang tidak dikaitkan waktunya oleh syara dengan
sesuatu waktu yang terbatas, seperti membayar kiffarat, sebagai hukuman bagi
pelanggar sumpah.
Muwaqqat, yaitu ibadah yang dikaitkan oleh syara dengan waktu tertentu yang
terbatas, seperti shalat pada waktu subuh, zuhur, asar, magrib dan isya. Termasuk
juga puasa pada bulan ramadhan.
Muwassa, yaitu ibadah yang lebih luas waktunya dari yang diperlukan untuk
melaksanakan kewajiban yang dituntut pada waktu itu, seperti shalat lima waktu.
Seorang yang shalat diberikan kepadanya hak mengerjakan shalatnya di awal
waktu, di pertengahan dan di akhirnya.
Mudhayyaq (miyar), yaitu ibadah yang waktunya sebanyak atau
sepanjang fardhu atau di-fardhu-kan dalam waktu itu, seperti puasa. Dalam bulan
ramadhan, hanya dikhususkan untuk puasa wajib dan tidak boleh dikerjakan puasa
yang lain pada waktu itu seperti puasa sunnah, nazar dan lain-lain.
Dzusyabain, yaitu ibadah yang mempunyai persamaan dengan mudhayyaq dan
mempunyai persamaan pula dengan muwassa, seperti pada ibadah haji. Dari segi
pelaksanaanya, ibadah haji menyerupai mudayyaq, karena hanya diwajibkan
sekali dalam setahun, dan dari segi keberlanjutan bulan-bulan haji itu
menyerupai muwassa.
Muayyan, yaitu ibadah tertentu dituntut oleh syara, misalnya Allah SWT
memerintahkan shalat, maka seorang mukallaf wajib melaksanakan shalat yang
diperintahkan itu, tidak boleh mengganti dengan ibadah lain.
Mukhayyar, yaitu ibadah yang boleh dipilih salah satu dari yang diperintahkan.
Seperti kebolehan memilih antara ber-istinja dengan air dan ber-istinja dengan
batu.
Muhaddad, yaitu ibadah yang dibatasi kadarnya oleh syara, seperti shalat fardu
dan zakat.
Ghairu muhaddad, yaitu ibadah yang tidak dibatasi kadarnya oleh syara, seperti
mengeluarkan harta di jalan Allah SWT, memberi makan orang yang lapar dan
memberi pakaian orang yang tidak berpakaian.
Muratab, yaitu ibadah yang harus dikerjakan secara tertib. Maksudnya, sesudah
pertama
tidak
disanggupi
barulah
dikerjakan
yang
kedua.
Seperti kaffarat jima yang dilakukan oleh orang yang sedang puasa ramadhan.
Mula-mula memerdekakan budak , kalau budak tidak disanggupi berpindah
kepada puasa dan bulan berurut-urut. Kalau puasa tidak sanggup, berpindah
kepada memberi makan 60 orang miskin.

15

14.

15.

16.

17.

18.
19.

20.

21.

22.

23.

24.

Ma yaqbal al-takhyir wa la yaqbal al-taqdim, yaitu ibadah yang dapat di-takhirkan (dilambatkan) dan tidak dapat didahulukan dari waktunya, seperti
shalat magrib dan puasa. Shalat magrib boleh dijama taqdimkan ke waktu isya
dan tidak boleh dijama taqdimkan ke waktu asar. Puasa juga
dapat ditakhirkan ke waktu-waktu yang dibolehkan puasa di dalamnya, seperti
puasa orang yang sakit atau sedang dalam berpergian. Kepada mereka
dibolehkan mentakhirkan puasanya setelah bulan ramadhan.
Ma yaqbal al-taqdim wa la yaqbal al-takhir, yaitu ibadah yang boleh
didahulukan dari waktunya, tetapi tidak boleh ditunda dari waktunya, seperti
shalat ashar dan isya. Shalat ashar bisa didahulukan pelaksanaanya ke waktu
dhuhur, tetapi tidak boleh ditakhirkanke waktu magrib, dan shalat isya bisa pula
didahulukan ke waktu magrib tetapi tidak bias ditunda ke waktu subuh.
Ma la yaqbal al-taqdim wa la takhir, yaitu ibadah tidak dapat didahulukan dan
ditunda dari waktunya, seperti shalat subuh. Shalat subuh tidak dapat didahulukan
ke waktu isya dan tidak pula dapat ditunda ke waktu dhuhur.
Ma yajibu ala al-faur, yaitu ibadah yang mesti segera dilaksanakan, seperti
menyuruh yang maruf dan mencegah yang munkar dan zakat yang telah
memenuhi persyaratan.
Ma yajibu ala al-tarakhi, yaitu ibadah yang boleh dilambatkan pelaksanaanya,
seperti nazar yang mutlak dan kaffarat.
Ma yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang dapat diterima secara tadakhul
(masuk-memasuki). Dengan kata lain ibadah yang dapat dengan sekali
pelaksanaan menghasilkan dua ibadah sekaligus, seperti dalam pelaksanaan haji
sudah termasuk didalamnya pelaksanaan umrah, dan dalam pelaksanaan puasa
qadha pada hari senin termasuk didalamnya pelaksanaanya puasa sunnah, wudu
untuk berbagai ibadah dapat dilakukan satu kali, seperti wudu untuk baca AlQuran dapat digunakan untuk shalat.
Ma la yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang tidak dapat menerima
secara tadakhul,seperti shalat, zakat, sedekah, hutang, haji dan umrah. Orang yang
melaksanakan dua shalat, qadha dan tunai, maka menurut syafiiyah shalatnya
tidak sah, sedangkan menurut jumhur fuqaha sah untuk tunai dan tidak
untuk qadha. Orang yang memberikan hartanya kepada fakir miskin dengan niat
zakat dan sedekah sunat, maka yang dipandang sah adalah zakat. Orang yang
berniat dua haji dan dua umrah, hanya sah satu haji dan satu umrah.
Ma ukhtulifa qabul al-tadakhul, yaitu ibadah yang diperbedakan para ulama
tentang dapat atau tidaknya secara tadakhul, seperti masuknya wudu ke dalam
mandi.
Ma azhimatuhu afdhal min rukhshatih, yaitu ibadah yang azimah-nya lebih
utama darirukhsah-nya, seperti istinja dengan air lebih utama dari istinja dengan
batu.
Ma rukhsatuh afdhal min azhimatih, yaitu ibadah yang rukhsah-nya lebih utama
dariazimah-nya, seperti shalat qashar (meringkas shalat) dalam perjalanan tiga
hari lebih utama dari menyempurnakanya (azimah).
Ma yaqbal fi jami al-auqat, yaitu ibadah yang boleh diselesaikan (di-qadha)
dalam segala waktu.

16

25.
26.

27.

28.

29.

30.

31.
32.
33.
34.

35.

36.

Ma la yuqdha illa fi mitsli watihi, yaitu ibadah yang tidak boleh di-qadha kecuali
waktu semisalnya, seperti haji.
Ma yaqbal ada wa al-qadha, yaitu ibadah yang boleh dilaksanakan di dalam
atau di luar waktunya, seperti haji dan puasa. Akan tetapi qadha haji harus
ditunggu masa haji berikutnya.
Ma yaqbal ada wa la yaqbal al-qadha, yaitu ibadah yang menerima pelaksanaan
dalam waktunya dan tidak menerima pelaksanaan di luar waktunya (tidak bisa diqadha), seperti shalat jumat.
Ma la yushafu bi qadha wa la ada, yaitu ibadah yang tidak disifatkan dengan
tunai dan tidak pula dengan qadha, seperti shalat sunah mutlaq dan memutuskan
perkara atau memberi fatwa.
Ma yataqaddar waqt adaih maa qabulih li takhir, yaitu ibadah yang terbatas
waktu meng-qadha-nya, tetapi dapat juga dikerjakan sesudah lewat
waktu qadha itu, seperti puasa yang waktunya ditentukan dalam setahun sebelum
masuk Ramadhan berikutnya. Tetapi diterima juga qadha itu bila dikerjakan
sesudah waktunya.
Ma yakun qadhauh mutarakhiyan, yaitu ibadah yang boleh di-qadha kapan saja
dikehendaki dan tidak perlu disegerakan. Menurut golongan syafiiyah shalat
yang terlewat karena tertidur atau lupa tidak perlu disegerakan meng-qadha-nya.
Ma yajibu qadhauh ala al-faur, yaitu ibadah yang wajib segera di-qadha,
seperti haji dan umrah yang dirusakkan.
Ma yadkhuluh al-syarth min al-ibadat, yaitu ibadah yang bisa dilaksanakan atas
dasar sesuatu syarat, seperti nazar. Ibadah ini dapat dikaitkan dengan suatu syarat.
Ma la yaqbal al-taliq wa la al-syarth, yaitu ibadah yang tidak bisa digantungkan
kepada suatu syarat, seperti puasa dan shalat yang telah diwajibkan oleh syara.
Ma yutabar bi waqt filih la liwaqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang waktu
pelaksanaanya, bukan waktu wajibnya, seperti suci untuk shalat, menghadap
qiblat dan menutup aurat dalam shalat. Contoh lain adalah keadilan, seorang saksi
dipandang keadilanya pada waktu pelaksanaan kesaksian, bukan waktu
menyaksikan suatu peristiwa.
Ma yutabaru bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang dengan waktu
wajibnya, seperti meninggalkan shalat yang wajib dalam hdhar (waktu hadir,
tidak berpergian) lalu di-qadha dalam saffar. Dalam keadaan seperti ini
shalat qadha-nya tidak boleh dilakukan dengan cara qashar, meskipun ketika itu
seseorang dalam keadaan bepergian, karena yang dipandang adalah waktu
wajibnya, yang dalam hal ini adalah waktu hadir.
Ma ukhtulifa fi itibarih bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang diperselisihkan
tentang apakah yang dipandang adalah waktu wajib dan waktu pelaksanaanya,
seperti
shalat
yang
ditinggalkan
dalam saffar bila
di-qadha di
waktu hadhar. Ulama yang memandang kepada waktu wajibnya, maka
mendahulukan shalat qadha lebih utama. Sedangkan ulama yang memendang
pada waktu pelaksanaanya, berpendapat bahwa mendahulukan shalat hadhar lebih
utama.

17

C. Prinsip Ibadah di Firman Allah


Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara
(rububiyyatullh), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT
(mulkiyyatullh).
Tentang penciptaan dan pemeliharaan tersebut, Allah SWT berfirman:

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang
Sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah/2: 21)

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu
dan Aku adalah Tuhan (Pencipta & Pemelihara)-mu, maka sembahlah Aku.(QS.
Al-Anbiy/21: 92)
Sebagai Yang Mencipta, tentu Dia-lah yang paling tahu tentang apa yang terbaik
dan apa yang terburuk bagi ciptaan-Nya. Tentang pemilikan dan penguasaan Allah

terhadap segala sesuatu, Allah berfirman:

Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada

Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS. Ali Imrn/3: 109)


Sebagai milik Allah, maka suka atau tidak sukasemuanya pasti dikembalikan

dan berserah diri kepada Allah SWT:

kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka


dikembalikan. (QS. Ali Imrn/3: 83)


Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan.(QS. Hd/11: 123) Sengaja Allah SWT memilih kalimat pasif:
dikembalikan karena memang semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan

18

dikembalikan atau dipaksa untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik & Sang
Penguasa (al-Malik). Atas dasar inilah sehingga tidak ada pilihan lain bagi
manusia kecuali berserah diri secara mutlak kepada Allah SWT.
Dan atas dasar ini pula, manusia tidak dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya,
sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain. Semuanya harus total

dipersembahkan hanya kepada Allah SWT:




Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah
untuk Allah Pemelihara alam semesta. (QS. Al-Anm/6: 162) Selain itu, Allah
menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna (QS. Al-Tn/95: 4)
dan paling dimuliakan Allah dengan memberinya berbagai kelebihan dibanding
makhluk yang lain (QS. Al-Isra/17: 70).
Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan fasilitas
yang lebih berupa akal dan nurani, tentunya bukan tanpa tujuan. Karena itu Allah
SWT memberikan pertanyaan reflektif kepada manusia:
" Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian hanya sia
sia dan mengira bahwa kalian tidak kembali kepada Kami?!" (QS. AlMu'minn/23: 115) Sengaja Allah merangkai dua pertanyaan dalam satu ayat
tentang tujuan penciptaan manusia secara sempurna oleh Allah SWT, dan tentang
kemana tempat kembali terakhir kita kalau bukan kepada Allah SWT, dengan
maksud mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang tujuan penciptaan
manusia. Tentu ada tujuan Allah untuk semua itu. Allah menciptakan manusia
lengkap dengan berbagai kelebihan dimaksudkan karena Allah akan memberikan
tugas mulia kepada manusia yakni menjadi khalifah Allah di bumi (QS. AlBaqarah/2: 30) yang bertugas memakmurkan bumi ini (QS. Hd/11: 61). Untuk
melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik maka tidak bisa tidak kecuali harus
didasarkan pada semangat pengabdian (ibadah) yang murni hanya karena Allah


SWT semata. Untuk itulah Allah SWT berfirman:

"Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah
kepada-Ku" (QS. Adz-Dzariyat/51: 56; Lihat juga QS. Al-Bayyinah/98: 5).
Dengan beribadah kepada Allah SWT maka manusia bisa menjadi manusia yang
bertaqwa. Firman Allah SWT:

19

Hai manusia,

sembahlah

(beribadahlah)

kepada Tuhanmu

yang

telah

menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. AlBaqarah/2: 21). Hanya dengan bekal taqwa, seseorang akan mampu
memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah (abdu-llh) dan khalifah Allah
(khlifatu-llh) di muka bumi sehingga ia mampu menyelesaikan tugas
kekhalifahannya

dengan

baik

ketika

di

dunia

untuk

kemudian

dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak. B. Makna Ibadah


Lalu apa makna Ibadah? Makna atau definisi ibadah menurut Muhammadiyah
adalah: Mendekatkan
diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangal-Nya serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan oleh-Nya."
(Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 276) C. Pembagian Ibadah Ditinjau dari segi
ruang lingkupnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian:
1. `Ibdah khshshah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang ketentuannya telah
ditetapkan oleh nash, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, dan semacamnya.
2. `Ibdah `mmah (ibadah umum), yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan
dengan niat karena Allah SWT. semata, misalnya: berdakwah, melakukan amar
ma`ruf nahi munkar di berbagai bidang, menuntut ilmu, bekerja, rekreasi dan lainlain yang semuanya itu diniatkan semata-mata karena Allah SWT dan ingin
mendekatkan diri kepada-Nya. D. Prinsip Ibadah Supaya manusia bisa diterima
amalan ibadahnya oleh Allah SWT dan selamat ketika dipanggil kembali untuk
bertemu dengan Allah, maka ada 6 prinsip ibadah yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam beribadah. Dari keenam ptinsip tersebut bisa diperas ke dalam
satu prinsip utama yaitu: Ibadah harus sesuai dengan tuntunan. Allah SWT
Barangsiapa

berfirman:

yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan
amal shalih dan ia jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada
Tuhannya.(QS.Al-Kahfi/18: 110) Arti kata shlih adalah baik karena sesuai.
Seseorang dikatakan beramal shaleh bila dalam beribadah kepada Allah sesuai
dengan cara yang disyari`atkan Allah melalui Nabi-Nya, bukan dengan cara yang
dibuat oleh manusia sendiri.

20

Syarat ibadah yang dikatakan sesuai dengan tuntunan Allah melalui Rasul-Nya
adalah:
1. Dilakukan secara ikhlas yakni murni hanya menyembah kepada Allah semata
(QS. Al-Ftihah/1: 5; Al-Nis/4: 36; al-Bayyinah/98: 5; al-Anm/6: 162) dan
murni hanya karena mengharap ridla-Nya. Keikhlasan harus ada dalam seluruh
ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa keikhlasan, maka tidak
mungkin ada ibadah yang sesungguhnya. Beribadah secara ikhlas didasarkan pada

firman Allah SWT:
Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
Pemelihara alam semesta. (QS. Al-Anm/6: 162) Bahkan, ibadah tanpa diserati
dengan keikhlasan maka tidak akan diterima oleh Allah SWT. Hal ini karena Nabi
saw pernah menyatakan bahwa setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya

(Muttafaq alayh). Demikian pula hadis Nabi saw yang lain yang berbunyi:
" Allah tidak menerima amalan kecuali


dikerjakan dengan ikhlas dan hanya mencari ridla-Nya." (HR. Al-Nas`i)
Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang dilakukan secara ikhlas saja
yang akan diterima oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah yang dilakukan secara
tidak ikhlas, seperti karena riya (baca: ingin dilihat dan mendapat
pujian/penghargaan dari selain Allah), meskipun itu baik, maka tidak akan punya
nilai apa-apa di hadapan Allah, bahkan bisa mendapatkan kecelakaan (QS. AlMn/107: 4-7).
2. Tata caranya harus sesuai Tuntunan Allah dan Rasul-Nya Dalam hal shalat,
Nabi Muhammad saw. bersabda: ( )

Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin
Al-Huwairits) Nabi Muhammad saw telah mengajarkan tentang tata cara shalat
secara lengkap melalui hadis-hadisnya yang maqbl, dari sejak niat yang tidak
dilafalkan, bagaimana gerakan dan bacaan shalat sejak takbir hingga salam,
berapa jumlah raka`at, kapan saja waktu-waktu shalat, dan lain-lain. Dalam
masalah ibadah mahdlah (khusus) yang sudah jelas ada keterangan dari Allah dan
Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran manusia yang boleh masuk di
dalamnya, kecuali menunggu perintah atau tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Ketika

21

seseorang melakukan shalat sebagai bagian dari ibadah mahdlah tidak sesuai
dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka ada dua akibat yang akan terjadi,
yakni: Pertama: Ibadahnya ditolak. Nabi saw bersabda:
Barangsiapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak
ada tuntunan (Islam) di dalamnya maka ditolak. (Muttafaq 'alayh) Kedua:
Divonis bidah, sesat dan masuk neraka. Nabi Muhammad saw memperingatkan

dengan sabdanya:



:( . )

Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitabullah (Al-Quran), dan sebaik-baik


bimbingan, adalah bimbingan Muhammad, sedang sejelek-jelek perkara adalah
mengada-ada padanya, dan setiap bid`ah (penyimpangan dengan mengada-ada)
adalah sesat. (HR. Muslim, Ibn Majah, Ahmad & Darimi) Dalam redaksi AlNasai: ... dan setiap yang sesat, di neraka. Hadis ini dimaksudkan sebagai
peringatan agar orang tidak mudah melakukan penyimpangan (bid`ah) dalam
masalah ibadah mahdlah. Itulah sebabnya para ulama menyusun sebuah kaidah
ushul dalam hal ibadah: Prinsip asal
dalam masalah ibadah itu dilarang kecuali terdapat dalil dari Allah (al-Syri)
yang mensyariatkannya

22

Anda mungkin juga menyukai