Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah
Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. [AdzDzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia
adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan
Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka
barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa
yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyariatkan-Nya,
maka ia adalah mubtadi (pelaku bidah). Dan barangsiapa yang beribadah
kepada-Nya hanya dengan apa yang disyariatkan-Nya, maka ia adalah mukmin
muwahhid (yang mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta),
khauf (takut), raja (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi
dengan raja. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah
berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. [Al-Maa-idah: 54]
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah. [AlBaqarah: 165]
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap
dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami. [AlAnbiya: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta
saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja
saja, maka ia adalah murji[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya
dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepadaNya dengan hubb, khauf, dan raja, maka ia adalah mukmin muwahhid.
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
disyariatkan berarti bidah mardudah (bidah yang ditolak) sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
.
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan
tersebut tertolak. [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa
dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah,
karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat
Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul,
mengikuti syariatnya dan meninggal-kan bidah atau ibadah-ibadah yang diadaadakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak
ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah.
Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah
kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia
syariatkan, tidak dengan bidah.
Sebagaimana Allah berfirman:
Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia
3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang
yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah
ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai
kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan
kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri
dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan
manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian
akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan,
padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syariat
yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syariat Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhaiNya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan
menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang
enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Dan Rabb-mu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku
perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau
beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.
[Al-Mumin: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyariatkan untuk mempersempit atau mempersulit
manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan
tetapi ibadah itu disyariatkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan
besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam
Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai
puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang
untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah
dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban
penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan
lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya
kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada
makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia
merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada
Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama
untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
kamu
Ibadah umum pula adalah segala perkara atau amalan selain daripada
kumpulan ibadah khusus di atas di mana ia dilakukan semata-mata
untuk mencari keredaan ALLAH SWT. Ini termasuklah seluruh perbuatan
manusia dalam kehidupan sehariannya.
10
2.
Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik atau kerana ALLAH
SWT.
3.
Amalan tersebut mestilah dilakukan dengan seelok-eloknya bagi menepati
oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya ALLAH suka apabila seseorang daripada
kamu membuat sesuatu kerja dengan memperelokkan kerjanya" (HR Muslim)
4.
Ketika membuat amalan tersebut, hendaklah sentiasa menurut hukumhukum syara dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat,
tidak menipu, tidak menindas orang lain dan merampas hak-hak orang.
5.
Tidak mengecualikan ibadah-ibadah khusus seperti solat, zakat dan
sebagainya dengan melaksanakan ibadah-ibadah umum
Sesungguhnya ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas kepada solat, zakat, puasa,
haji, berzikir, berdoa dan beristighfar sebagaimana yang difahami oleh setengahsetengah golongan dalam kalangan umat Islam. Kebanyakan mereka menyangka
bahawa apabila mereka telah menunaikan perkara-perkara fardhu bererti mereka
telah menyempurnakan segala hak ALLAH SWT dan kewajipan 'ubudiyyah'
terhadapNya.
Sebenarnya, kewajipan-kewajipan yang besar dan rukun-rukun asasi
walaubagaimana tinggi kedudukannya, ia hanyalah sebahagian daripada tuntutan
'ibadah kepada ALLAH SWT'. Ia tidak merupakan seluruh ibadah yang ditetapkan
oleh ALLAH SWT kepada hamba-hambaNya. Kewajipan-kewajipan tersebut
adalah tiang-tiang utama bagi mengasaskan dasar-dasar 'ubudiyah manusia kepada
ALLAH SWT'. Selepas itu, adalah dituntut bahawa setiap tindakan yang
dilakukan olehnya mestilah selaras dengan dasar-dasar tersebut serta
mengukuhkannya.
Manusia telah dijadikan oleh ALLAH SWT dengan tujuan untuk beribadah
kepada ALLAH SWT. Oleh itu, tujuan ini hanya dapat dilaksanakan oleh manusia
sekiranya ruang lingku ibadah dan daerah-daerahnya cukup luas sehingga ia
meliputi seluruh kehidupan manusia itu sendiri.
Ibadah dapat meningkatkan keimanan seseorang dengan cara yang tersendiri.
Setiap bentuk ibadah yang berbeza mengandungi cara yang berbeza dalam
meneguh dan menguatkan keimanan. Untuk memudahkan penerangan mengenai
cara ibadah menguatkan keimanan seseorang dan dapat mencegah perkara
mungkar, saya akan menerangkannya berdasarkan cara-cara beribadah yang
berbeza seperti di bawah.
11
Pertama sekali dalam solat. Tujuan utama solat adalah untuk mengingati ALLAH
SWT. Maksud firman ALLAH SWT:"Dan dirikanlah solat untuk mengingatiKU."
(Surah Taha: 14). "Ingati ALLAH" yang dimaksudkan di sini adalah merasakan
kehadiran ALLAH SWT dalam diri sehingga menimbulkan rasa takut, kagum,
malu, hina dan sangat berharap kepada ALLAH SWT dalam hati.
Dengan bersolat kita akan dapat menghadirkan rasa rendah diri kerana kita akan
sedar betapa kecil dan hinanya kita apabila berhadapan dengan ALLAH SWT. Hal
ini secara tidak langsung akan meningkatkan keimanan kita sebagai seorang
Muslim.
Apabila kita bersolat dengan khusyuk dan tawadduk, kita akan dapat membezakan
antara yang hak dan batil. Kita akan dapat membezakan hal kebenaran dan
keburukan. Maka, secara automatiknya, kita akan dapat menghindarkan diri kita
sendiri daripada melakukan perkara kemungkaran.
Bercakap mengenai puasa pula. Terdapat pelbagai kelebihan yang terdapat dalam
puasa. Hal ini telah berjaya dibuktikan dengan kaedah saintifik bahawa puasa
dapat meningkatkan taraf kesihatan manusia. Tujuan puasa adalah untuk
melahirkan sifat taqwa dengan hukum-hukum ALLAH SWT.
Firman ALLAH SWT yang bermaksud: "Wahai orang yang beriman, diwajibkan
ke atas kamu berpuasa seperti mana orang yang terdahulu daripada kamu agar
kamu menjadi orang yang bertaqwa" (Surah Al-Baqarah 2:183).
Dengan sifat taqwa seseorang akan naik "darjatnya" di sisi ALLAH SWT. Dengan
berpuasa kita akan dapat merasai penderitaan orang-orang yang tidak dapat
menikmati hidangan enak dan lazat seperti yang kita dapat setiap hari. Hal ini
akan melahirkan rasa syukur dalam diri dan menguatkan iman di hati kita.
Orang beriman adalah orang yang bersyukur dengan apa yang ada pada dirinya.
Apabila kita bersyukur, kita akan berusaha sedaya upaya untuk menzahirkan rasa
syukur tersebut. Justeru itu, kita akan berusaha melakukan perkara yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT dan meninggalkan laranganNYA yakni perkaraperkara mungkar.
Beralih pula kepada ibadat zakat. Tujuan utama mengeluarkan zakat adalah untuk
melatih hati agar mampu memberi kepada orang lain. Sesungguhnya dalam rezeki
kita yang melimpah ruah itu, sebahagiannya adalah milik orang lain. Sasaran
12
ibadah zakat ialah untuk melunturkan sifat tamak, rakus dan pentingkan diri
dalam diri manusia.
Zakat itu bermaksud 'bersih'. Zakat fitrah adalah untuk membersihkan diri
manakala zakat harta untuk membersihkan harta. Dengan kebersihan diri dan
harta ini akan bersihlah hati seseorang daripada kekotoran sifat mazmumah. Sifatsifat mazmumah inilah yang menjadi dalang kepada perbuatan-perbuatan
mungkar yang kita lakukan.
Jadi, apabila sifat mazmumah berjaya dihapuskan dengan memberi zakat, kita
akan sedar bahawa harta yang banyak tidaklah begitu penting jika hendak
dibandingkan dengan ibadah. Apabila kita membayar zakat, kita akan berjaya
melawan hawa nafsu dan rasa tamak pada harta. Apabila kita berjaya melawan
hawa nafsu ini, ia menandakan yang kita telah berjaya meningkatkan keimanan
dalam diri kita.
Ibadah haji dan korban pula meletakkan hati sebagai sasaran. Haji hakikatnya
adalah kembara seorang hamba membawa hatinya menuju kepada ALLAH SWT.
Ibadah korban bertujuan menyembelih rasa cinta selain ALLAH SWT dalam hati
manusia untuk hanya mencintai ALLAH.
Apabila kita menjalankan ibadah haji walaupun memerlukan kos yang tinggi bagi
penduduk luar Mekah, kita akan berjaya menzahirkan rasa kehambaan kita kepada
ALLAH SWT. Manakala apabila kita menyembelih binatang peliharaan yang
menjadi kesayangan kita, kita akan membuktikan bahawa tiada cinta lain yang
lebih tinggi daripada cinta kita terhadap ALLAH SWT.
Firman ALLAH SWT dalam al-Quran yang bermaksud: "Daging dan darah
korban itu tidak sampai kepada ALLAH, tetapi apa yang sampai adalah hati yang
bertaqwa".
Setakat ini dulu. Semoga kita rajin beribadah dan ibadah kita diterima oleh
ALLAH SWT. Semoga ibadah yang kita lakukan membantu kita di akhirat kelak.
Amiin.
13
1.
14
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
15
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Ma yaqbal al-takhyir wa la yaqbal al-taqdim, yaitu ibadah yang dapat di-takhirkan (dilambatkan) dan tidak dapat didahulukan dari waktunya, seperti
shalat magrib dan puasa. Shalat magrib boleh dijama taqdimkan ke waktu isya
dan tidak boleh dijama taqdimkan ke waktu asar. Puasa juga
dapat ditakhirkan ke waktu-waktu yang dibolehkan puasa di dalamnya, seperti
puasa orang yang sakit atau sedang dalam berpergian. Kepada mereka
dibolehkan mentakhirkan puasanya setelah bulan ramadhan.
Ma yaqbal al-taqdim wa la yaqbal al-takhir, yaitu ibadah yang boleh
didahulukan dari waktunya, tetapi tidak boleh ditunda dari waktunya, seperti
shalat ashar dan isya. Shalat ashar bisa didahulukan pelaksanaanya ke waktu
dhuhur, tetapi tidak boleh ditakhirkanke waktu magrib, dan shalat isya bisa pula
didahulukan ke waktu magrib tetapi tidak bias ditunda ke waktu subuh.
Ma la yaqbal al-taqdim wa la takhir, yaitu ibadah tidak dapat didahulukan dan
ditunda dari waktunya, seperti shalat subuh. Shalat subuh tidak dapat didahulukan
ke waktu isya dan tidak pula dapat ditunda ke waktu dhuhur.
Ma yajibu ala al-faur, yaitu ibadah yang mesti segera dilaksanakan, seperti
menyuruh yang maruf dan mencegah yang munkar dan zakat yang telah
memenuhi persyaratan.
Ma yajibu ala al-tarakhi, yaitu ibadah yang boleh dilambatkan pelaksanaanya,
seperti nazar yang mutlak dan kaffarat.
Ma yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang dapat diterima secara tadakhul
(masuk-memasuki). Dengan kata lain ibadah yang dapat dengan sekali
pelaksanaan menghasilkan dua ibadah sekaligus, seperti dalam pelaksanaan haji
sudah termasuk didalamnya pelaksanaan umrah, dan dalam pelaksanaan puasa
qadha pada hari senin termasuk didalamnya pelaksanaanya puasa sunnah, wudu
untuk berbagai ibadah dapat dilakukan satu kali, seperti wudu untuk baca AlQuran dapat digunakan untuk shalat.
Ma la yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang tidak dapat menerima
secara tadakhul,seperti shalat, zakat, sedekah, hutang, haji dan umrah. Orang yang
melaksanakan dua shalat, qadha dan tunai, maka menurut syafiiyah shalatnya
tidak sah, sedangkan menurut jumhur fuqaha sah untuk tunai dan tidak
untuk qadha. Orang yang memberikan hartanya kepada fakir miskin dengan niat
zakat dan sedekah sunat, maka yang dipandang sah adalah zakat. Orang yang
berniat dua haji dan dua umrah, hanya sah satu haji dan satu umrah.
Ma ukhtulifa qabul al-tadakhul, yaitu ibadah yang diperbedakan para ulama
tentang dapat atau tidaknya secara tadakhul, seperti masuknya wudu ke dalam
mandi.
Ma azhimatuhu afdhal min rukhshatih, yaitu ibadah yang azimah-nya lebih
utama darirukhsah-nya, seperti istinja dengan air lebih utama dari istinja dengan
batu.
Ma rukhsatuh afdhal min azhimatih, yaitu ibadah yang rukhsah-nya lebih utama
dariazimah-nya, seperti shalat qashar (meringkas shalat) dalam perjalanan tiga
hari lebih utama dari menyempurnakanya (azimah).
Ma yaqbal fi jami al-auqat, yaitu ibadah yang boleh diselesaikan (di-qadha)
dalam segala waktu.
16
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Ma la yuqdha illa fi mitsli watihi, yaitu ibadah yang tidak boleh di-qadha kecuali
waktu semisalnya, seperti haji.
Ma yaqbal ada wa al-qadha, yaitu ibadah yang boleh dilaksanakan di dalam
atau di luar waktunya, seperti haji dan puasa. Akan tetapi qadha haji harus
ditunggu masa haji berikutnya.
Ma yaqbal ada wa la yaqbal al-qadha, yaitu ibadah yang menerima pelaksanaan
dalam waktunya dan tidak menerima pelaksanaan di luar waktunya (tidak bisa diqadha), seperti shalat jumat.
Ma la yushafu bi qadha wa la ada, yaitu ibadah yang tidak disifatkan dengan
tunai dan tidak pula dengan qadha, seperti shalat sunah mutlaq dan memutuskan
perkara atau memberi fatwa.
Ma yataqaddar waqt adaih maa qabulih li takhir, yaitu ibadah yang terbatas
waktu meng-qadha-nya, tetapi dapat juga dikerjakan sesudah lewat
waktu qadha itu, seperti puasa yang waktunya ditentukan dalam setahun sebelum
masuk Ramadhan berikutnya. Tetapi diterima juga qadha itu bila dikerjakan
sesudah waktunya.
Ma yakun qadhauh mutarakhiyan, yaitu ibadah yang boleh di-qadha kapan saja
dikehendaki dan tidak perlu disegerakan. Menurut golongan syafiiyah shalat
yang terlewat karena tertidur atau lupa tidak perlu disegerakan meng-qadha-nya.
Ma yajibu qadhauh ala al-faur, yaitu ibadah yang wajib segera di-qadha,
seperti haji dan umrah yang dirusakkan.
Ma yadkhuluh al-syarth min al-ibadat, yaitu ibadah yang bisa dilaksanakan atas
dasar sesuatu syarat, seperti nazar. Ibadah ini dapat dikaitkan dengan suatu syarat.
Ma la yaqbal al-taliq wa la al-syarth, yaitu ibadah yang tidak bisa digantungkan
kepada suatu syarat, seperti puasa dan shalat yang telah diwajibkan oleh syara.
Ma yutabar bi waqt filih la liwaqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang waktu
pelaksanaanya, bukan waktu wajibnya, seperti suci untuk shalat, menghadap
qiblat dan menutup aurat dalam shalat. Contoh lain adalah keadilan, seorang saksi
dipandang keadilanya pada waktu pelaksanaan kesaksian, bukan waktu
menyaksikan suatu peristiwa.
Ma yutabaru bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang dengan waktu
wajibnya, seperti meninggalkan shalat yang wajib dalam hdhar (waktu hadir,
tidak berpergian) lalu di-qadha dalam saffar. Dalam keadaan seperti ini
shalat qadha-nya tidak boleh dilakukan dengan cara qashar, meskipun ketika itu
seseorang dalam keadaan bepergian, karena yang dipandang adalah waktu
wajibnya, yang dalam hal ini adalah waktu hadir.
Ma ukhtulifa fi itibarih bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang diperselisihkan
tentang apakah yang dipandang adalah waktu wajib dan waktu pelaksanaanya,
seperti
shalat
yang
ditinggalkan
dalam saffar bila
di-qadha di
waktu hadhar. Ulama yang memandang kepada waktu wajibnya, maka
mendahulukan shalat qadha lebih utama. Sedangkan ulama yang memendang
pada waktu pelaksanaanya, berpendapat bahwa mendahulukan shalat hadhar lebih
utama.
17
18
dikembalikan atau dipaksa untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik & Sang
Penguasa (al-Malik). Atas dasar inilah sehingga tidak ada pilihan lain bagi
manusia kecuali berserah diri secara mutlak kepada Allah SWT.
Dan atas dasar ini pula, manusia tidak dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya,
sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain. Semuanya harus total
SWT semata. Untuk itulah Allah SWT berfirman:
"Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah
kepada-Ku" (QS. Adz-Dzariyat/51: 56; Lihat juga QS. Al-Bayyinah/98: 5).
Dengan beribadah kepada Allah SWT maka manusia bisa menjadi manusia yang
bertaqwa. Firman Allah SWT:
19
Hai manusia,
sembahlah
(beribadahlah)
kepada Tuhanmu
yang
telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. AlBaqarah/2: 21). Hanya dengan bekal taqwa, seseorang akan mampu
memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah (abdu-llh) dan khalifah Allah
(khlifatu-llh) di muka bumi sehingga ia mampu menyelesaikan tugas
kekhalifahannya
dengan
baik
ketika
di
dunia
untuk
kemudian
20
Syarat ibadah yang dikatakan sesuai dengan tuntunan Allah melalui Rasul-Nya
adalah:
1. Dilakukan secara ikhlas yakni murni hanya menyembah kepada Allah semata
(QS. Al-Ftihah/1: 5; Al-Nis/4: 36; al-Bayyinah/98: 5; al-Anm/6: 162) dan
murni hanya karena mengharap ridla-Nya. Keikhlasan harus ada dalam seluruh
ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa keikhlasan, maka tidak
mungkin ada ibadah yang sesungguhnya. Beribadah secara ikhlas didasarkan pada
firman Allah SWT:
Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
Pemelihara alam semesta. (QS. Al-Anm/6: 162) Bahkan, ibadah tanpa diserati
dengan keikhlasan maka tidak akan diterima oleh Allah SWT. Hal ini karena Nabi
saw pernah menyatakan bahwa setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya
(Muttafaq alayh). Demikian pula hadis Nabi saw yang lain yang berbunyi:
" Allah tidak menerima amalan kecuali
dikerjakan dengan ikhlas dan hanya mencari ridla-Nya." (HR. Al-Nas`i)
Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang dilakukan secara ikhlas saja
yang akan diterima oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah yang dilakukan secara
tidak ikhlas, seperti karena riya (baca: ingin dilihat dan mendapat
pujian/penghargaan dari selain Allah), meskipun itu baik, maka tidak akan punya
nilai apa-apa di hadapan Allah, bahkan bisa mendapatkan kecelakaan (QS. AlMn/107: 4-7).
2. Tata caranya harus sesuai Tuntunan Allah dan Rasul-Nya Dalam hal shalat,
Nabi Muhammad saw. bersabda: ( )
Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin
Al-Huwairits) Nabi Muhammad saw telah mengajarkan tentang tata cara shalat
secara lengkap melalui hadis-hadisnya yang maqbl, dari sejak niat yang tidak
dilafalkan, bagaimana gerakan dan bacaan shalat sejak takbir hingga salam,
berapa jumlah raka`at, kapan saja waktu-waktu shalat, dan lain-lain. Dalam
masalah ibadah mahdlah (khusus) yang sudah jelas ada keterangan dari Allah dan
Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran manusia yang boleh masuk di
dalamnya, kecuali menunggu perintah atau tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Ketika
21
seseorang melakukan shalat sebagai bagian dari ibadah mahdlah tidak sesuai
dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka ada dua akibat yang akan terjadi,
yakni: Pertama: Ibadahnya ditolak. Nabi saw bersabda:
Barangsiapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak
ada tuntunan (Islam) di dalamnya maka ditolak. (Muttafaq 'alayh) Kedua:
Divonis bidah, sesat dan masuk neraka. Nabi Muhammad saw memperingatkan
dengan sabdanya:
:( . )
22