Allah swt. menciptakan jin dan manusia tidak lain adalah tujuan beribadah (ubudiyah).
Ibadah dalam arti menyembah Allah swt., mengesakan,
mengagungkan, membesarkan, dan mentaati-Nya, dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan- Nya. Sebagaimana firman-Nya : َ ت ْال ِج َّن َواإل ْن )٥٦( س; ِإال لِيَ ْعبُ ُدو ِن ُ َو َما َخلَ ْق
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Dari Mu'azd bin Jabal ra, ia berkata, "Saya membonceng Nabi saw. di atas keledai yang dinamakan 'afir, lalu 'Beliau bersabda, 'Wahai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah terhadap hamba dan apa hak hamba kepada Allah? Saya menjawab. 'Allah dan Rasul- Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda,: 'Sesungguhnya hak Allah terhadap hamba adalah bahwa mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah adalah bahwa Dia tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Saya bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada manusia?' Beliau menjawab, 'Jangan engkau beritakan kepada mereka, maka mereka menjadi enggan beramal.‖ (HR.Muttafaqun 'alaih) Definisi Ibadah Secara bahasa (etimologi), ibadah berarti merendahkan diri serta tunduk.
Sedangkan menurut syara‘ (terminologi), ibadah adalah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah swt., baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Jenis-jenis Ibadah Ibadah hati (qalbiyah): Khauf (takut), raja‘ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Ibadah lisan dan hati (lisaniyah dan qalbiyah): tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Ibadah badan dan hati (badaniyah dan qalbiyah): shalat, zakat, haji, dan jihad. Rukun Ibadah Setiap ibadah, harus menenuhi tiga pilar pokok, yaitu: - Hubb (cinta), - Khauf (takut), - Raja‘ (harapan).
Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang
mukmin: ُي ُِحبُّهُ ْم َويُ ِحبُّونَه “Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS.Al-Ma-idah: 54) Syarat Diterima Ibadah Agar ibadah diterima oleh Allah, maka harus mengikuti dua syarat, berikut ini: a. Al-Ikhlash, yaitu berniat ikhlas kepada Allah swt. b. Al-Ittiba, yaitu mengikuti syariat Nabi Muhammad saw. Dalil Syarat Ibadah Diterima Dua syarat ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur‘an (QS. Al Kahfi: 110), صالِ ًحا َوال يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه َأ َح ًدا َ ان يَرْ جُو لِقَا َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َمال َ فَ َم ْن َك )١١٠( “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb- nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya.” (QS. Al Kahfi: 110) Pandangan Ibnu Katsir Di dalam ayat ini, bahwa maksud dari firman Allah adalah: Amal ibadah yang shaleh merupakan bekal bagi siapa saja yang ingin berjumpa dengan Allah swt. Amal ibadah tersebut tidak akan pernah diterima, kecuali sesuai dengan syariat Allah, yaitu dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Dalam menyikapi dua syarat diterimanya amalan ibadah tersebut, manusia dibagi menjadi empat golongan. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin (1/95-97), yang kesimpulannya adalah sebagai berikut: 1. Kelompok Muwahid, yaitu orang yang dalam amalannya menyempurnakan kedua syarat di atas, yakni ikhlas dan mutaba‘ah, secara terintegrasi. Mereka adalah orang-orang menyembah kepada Allah dengan sebenar- benarnya dengan mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah dan mengikuti syari‘at Rasulullah 2. Kelompok Zindiq, yaitu orang yang kehilangan ikhlas dan Ittiba‘ dalam amalannya. Kelompok ini melakukan amalan hanya karena makhluk dan kepentingan duniawi, sehingga mereka tidak lagi mementingkan Ittiba‘ sunah Rasulullah 3. Kelompok Mubtadi’ah, yaitu orang yang beramal dengan ikhlas, tapi tanpa ittiba‘. Berawal dari kejahilan dalam mengamalkan syari‘at, sehingga mereka beribadah tanpa berdasarkan ilmu. Akibatnya, kebanyakan dari mereka terjatuh dalam kebid‘ahan, yaitu amalan-amalan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah 4. Kelompok Munafik, yaitu orang yang melakukan ittiba‘ dalam amalannya, tetapi meninggalkan keikhlasan. Hal ini disebabkan karena riya‘ dan mencari tujuan duniawi yang sifatnya fana, sehingga amalan ibadahnya mengharapkan pujian manusia, dan kedudukan di sisi mereka. Ikhlas A. Pengertian Ikhlas secara bahasa (lughah) memiliki beberapa makna, di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Al-tashfiyah, Al-tanqiyah, Al-tahdzib, yaitu memurnikan sesuatu dari segala macam campuran. 2) Al-Tauhid, yaitu mengesakan. 3) Al-Takhshish, yaitu mengkhususkan. 4) Al-Najah, yaitu selamat dari sesuatu. 5) Al-Ihsan, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan Adapun secara istilah, di antaranya para ulama ada yang berpendapat, ikhlas adalah: Memurnikan tujuan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Mengesakan Allah swt. dalam beribadah kepadaNya Menyelamatkan ibadah dari pamer (riya‘) kepada makhluk., Mensucikan amal dari sifat ujub, dan segala macam penyakit hati (afat al-qulub). Dalil Ikhlas Dalil-dalil dari Al-Qur‘an tentang ikhlas adalah sebagai berikut: صالِ ًحا َوال يُ ْش ِرك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه َأ َح ًدا َ ان يَرْ جُو لِقَا َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َمال َ فَ َم ْن َك )١١٠( “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb- nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya.” (QS. Al Kahfi: 110) Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima
amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah.” Al-Ittiba’ A. Pengertian (Ta‘rif)
Al-Ittiba‘ secara bahasa bersumber dari mashdar ittaba’a,
yang bermakna al-talwu, al-qafwu, al-i‟timam, yaitu mengikuti sesuatu. Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh. Dikatakan Ittiba’ kepada Al- Qur‘an, bermakna mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan Ittiba’ kepada Rasul, bermakna meneladani, mencontoh dan mengikuti sunah-sunahnya. Adapun secara istilah syar‘i, Al-Ittiba‟ adalah mengikuti petunjuk Rasulallah, dalam melaksanakan amalan ibadah, baik dalam keyakinan (i‟tiqad), perkataan (qauliyah), perbuatan (fi‟liyah) dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. B. Dalil-Dalil tentang Al-Ittiba‟ Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya Ittiba‟ dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-Qur‘an dan Al-Sunah. Dalil-dalil dari Al-Qur‘an, َ ُ ُّون هَّللا َ فَاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم هَّللا ُ َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َوهَّللا ُغفُو ٌر َ لْ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ِحب )٣١( َر ِحي ٌم “Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31) C. Kriteria Amalan Yang Mutaba‟ah Ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan Ittiba‟ kepada Rasulullah dalam ibadah, adalah dengan terwujudnya 6 kriteria, sebagaimana berikut ini: 1) Sebab pelaksanaannya (as-sabab)
Dalam masalah ibadah, sebab pelaksanaannya harus sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka siapa saja yang beribadah dengan sebab yang tidak sesuai dengan tuntunan syari‘at, maka ibadah tersebut akan berubah menjadi perbuatan bid‘ah. Sebagai contoh, seseorang shalat dua rakaat disebabkan mendengar suara petir, atau menyembelih hewan kurban sebab menyambut datangnya tahun baru Masehi. 2) Jenis (an-nau‟/al-jinsu) Dalam masalah ibadah, jenis yang dipilih harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka apabila ada yang menyelisihinya, maka dampaknya akan terjadi penyimpangan ibadah. Misalnya dalam masalah udhiyah (hewan kurban), syari‘at telah menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul an‟am (onta, sapi, domba, dan kambing). Bila ada seseorang yang berkurban (udhiyah) dengan jenis kuda atau ayam, maka ibadah kurbannya tersebut tidak sah, bahkan digolongkan dalam amal bid‘ah. 3) Ukuran (al-qadr) Dalam masalah ibadah, ukurannya harus sesuai dengan apa yang telah diukur oleh syari‘at, maka apabila ada seseorang yang shalat Zhuhur 6 raka‘at atau shalat magrib 7 raka‘at, maka shalat Zhuhurnya dan Magribnya tersebut, tidak diterima karena menyelisihi syari‘at 4) Sifat (as-sifat) Dalam masalah ibadah, sifatnya harus sesuai dengan apa yang telah disifati oleh syari‘at, maka ada orang yang wudhu menyelisihi sifat wudhu Nabi Muhammad seperti mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang yang mengawali shalat dengan salam, dan mengahiri dengan takbiratul ihram-, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima, karena menyelisihi sunah Nabi Muhammad. 5) Waktu Pelaksanaannya (al-zaman/al-waqtu) Dalam masalah ibadah, waktu pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka apabila ada orang yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat idul Adh-ha, maka tidak dianggap sebagai udhhiyah. Karena waktu disyari‘atkannya udhhiyah (menyembelih) di hari Iedul Adhha adalah setelah shalat Ied, bukan sebelumnya. 6) Tempat Pelaksanaannya (al-makan) Dalam masalah ibadah, tempat pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang telah tentukan oleh syari‘at, maka apabila ada orang yang beri‘tikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima, karena i‘tikaf tempat disyariatkannya adalah di masjid. Sedangkan thawaf hanya diperbolehkan di Ka‘bah D. Urgensi Niat dalam Ibadah Islam sangat memperhatikan masalah niat, karena niat adalah ruh amal ibadah dan inti sarinya (lubb). Perbuatan tanpa niat bagaikan jasad tanpa ruh, sehingga dapat dikatakan amalan tanpa niat ikhlas adalah tiada bermakna, dan menghilangkan pahala dari kebaikan yang dilakukan. Bahkan Imam Syafi‘i menegaskan, bahwa niat adalah mencakup sepertiga ilmu agama ini, dan merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih. Lebih dari itu, Ibnu Rajab mengatakan bahwa niat adalah pilar agama, tanpa niat agama ini akan runtuh. Niat adalah fondasi dasar (asas) dari amalan ibadah, yang dapat membedakan antara sah, dan rusaknya suatu ibadah, atau diterima dan ditolaknya suatu amalan ibadah. Perbuatan bisa dikatakan sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya rusak, maka amalannya juga dikatakan rusak, tentunya hal ini sangat menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan diterima di dunia dan di akhirat Pengertian Tentang Niat Niat secara lughah berasal dari kata an-nawa , yang bermakna al-qashdu (bermaksud), al-iradah (berkeinginan), al-azimah (bertujuan), al-ibtigha (mencari).30 Adapun niat menurut istilah syar‘i adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah, yang diiringi dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya. Adapun dalam pandangan Al-Sunah, niat selalu dikaitkan dengan maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan amalan ibadah. Jika tujuannya karena Allah maka hal itu disebut ikhlas, dan jika karena manusia atau kepentingan duniawi, maka niat tersebut berubah menjadi riya‘. Selain itu, Rasulullah menjadikan niat sebagai salah satu syarat sahnya suatu amalan, sehingga suatu amalan tiada bernilai pahala jika tanpa disertai dengan niat. Fungsi niat dalam amalan ibadah ada dua perkara, yaitu: 1. Pertama: membedakan antara ibadah dengan adat (tamyiz al- ibadat ‘an al-adat). Misalnya seseorang duduk di masjid untuk istirahat atau i‘tikaf, hal ini dapat dibedakan dengan niatnya. Demikian juga menyerahkan harta kepada orang lain, apakah akadnya hibah, hadiyah, atau wadi‘ah, atau zakat, sedekah biasa atau sebagai kaffarat. Semua itu, akan dibedakan dengan niatnya. 2. Kedua, membedakan antara peringkat ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya (tamyiz al-ibadat ba’dhuha min ba’dhin). Misalnya macam-macam shalat ada yang fardhu dan ada pula yang sunnah, demikian juga apakah bersifat qadha‘ atau ada‘. Waktu Niat dan Tempatnya Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa waktu niat itu di awal melakukan amalan ibadah. Adapun tempat niat adalah di hati, bukan diucapkan dengan lisan, kecuali waktu tertentu yang disunahkan untuk melafazkan niat, seperti ketika haji dan umrah, dengan mengatakan: "Labbaik Allahumma Hajjan" (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan" (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah), sehingga apa yang ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata yang dilafazkan. Besar Kecilnya Pahala Amalan Dzahir Tergantung Pada Kualitas Niatnya Niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pahala amalan dzahir yang kita lakukan, semakin niatnya ikhlas, semakin besar pula pahala yang akan kita dapatkan. Demikian juga sebaliknya, niat yang salah akan mempengaruhi rusaknya amalan yang kita lakukan, dan menghapus pahalanya. Oleh karena itu, menata niat sebelum melakukan amal adalah amat penting, sehingga amalan yang dilakukan terjaga pahalanya dan kualitasnya. Lebih jelasnya, kita tadaburi firman Allah berikut ini: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37