Anda di halaman 1dari 10

Al-Ihsan

Pengertian Ihsan

Ihsan berasal dari kata ‫ َح ُسَن‬yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya
adalah ‫ِاْح َس اْن‬, yang artinya kebaikan. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

‫ِإْن َأْح َس ْنُتْم َأْح َس ْنُتْم ألْنُفِس ُك ْم َوِإْن َأَس ْأُتْم َفَلَها‬

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat
jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’, 17: 7)

‫َو َأْح ِس ْن َك َم ا َأْح َس َن ُهَّللا ِإَلْيَك‬

“… Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu…. “
(Al-Qashash, 28: 77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah Ta’ala.

Landasan Syar’i Ihsan.

Pertama, Al Qur’anul Karim.

Dalam Al-Qur’an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari
sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga
mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur’an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi
landasan tentang ihsan.

‫َو َأْح ِس ُنوا ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِس ِنيَن‬

“… Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik. ” (Al-Baqarah: 195)

‫ِإَّن َهَّللا َيْأُم ُر ِباْلَعْد ِل َو اِإْل ْح َس اِن َوِإيَتاِء ِذ ي اْلُقْر َبى َو َيْنَهى َع ِن اْلَفْح َشاِء َو اْلُم ْنَك ِر َو اْلَبْغ ِي َيِع ُظُك ْم َلَعَّلُك ْم َتَذ َّك ُروَن‬

”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

‫َو ُقوُلوا ِللَّناِس ُح ْس ًنا‬

“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…. “ (Al-Baqarah: 83)


‫َوِباْلَو اِلَدْيِن ِإْح َس اًنا َوِبِذ ي اْلُقْر َبى َو اْلَيَتاَم ى َو اْلَم َس اِكيِن َو اْلَج اِر ِذ ي اْلُقْر َبى َو اْلَج اِر اْلُج ُنِب َو الَّص اِح ِب ِباْلَج ْنِب َو اْبِن‬
‫الَّس ِبيِل َو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم‬
“… Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba
sahayamu…. ” (An-Nisaa: 36)

Kedua, As-Sunnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi perhatian yang besar terhadap masalah
ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di
antara hadits-hadits mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama
dalam memahami agama ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan mengenai
ihsan ketika menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut
dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan,

‫َأْن َتْعُبَد َهللا َك َأَّنَك َتَر اُه َفِإْن َلْم َتُك ْن َتَر اُه َفِإَّنُه َيَر اَك‬

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. ” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ َفِاَذ ا َقَتْلُتْم َفَاْح ِس ُنْو اْلَقْتَلَة َو ِاَذ ا َذ َبْح ُتْم َفَاْح ِس ُنْو الَّذ ْبَح َة‬, ‫ِاَّن َهللا َكَتَب َع َلْيُك ُم ْااِل ْح َس اَن َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء‬

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu
membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik… “
(HR. Muslim)

Tiga Aspek Pokok

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan
akhlaq.

Ihsan dalam Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah,
seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan
syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh
seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut jiwanya dipenuhi dengan
syu’ur (perasaan) yang sangat kuat (menikmatinya) dan kesadaran penuh bahwa Allah
senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya.
Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan
inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil
dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu. “

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka,
selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah
lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri,
meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena
itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki umatnya senantiasa dalam
keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya

Berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang
pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya.
Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri
dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus, derajat
tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang
dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang
di langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.

Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tingkat at Taqwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat al Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama, Tingkat at Taqwa.

Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk
kategori al Muttaqun sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing.

Taqwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah Ta’ala dan
meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah
Ta’ala dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan
demikian, puncak taqwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua
larangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah Ta’ala Maha
Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan
kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara
penghapusan dosa, yaitu dengan cara taubat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah
Ta’ala akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan
ketakwaan. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak taqwa, boleh jadi
ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat taqwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini
membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling
rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah Ta’ala.

Kedua, Tingkat al Bir.

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al Abrar. Hal ini sesuai dengan
amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala. Hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala
yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat taqwa.

Peringkat ini disebut martabat al Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada
hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada
Allah Ta’ala dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang
diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya,
tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.

Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk ke dalam
kelompok al bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat taqwa.
Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat
selanjutnya.

Ketiga, Tingkatan Ihsan

Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah
orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat taqwa dan al bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna seperti yang telah kita sebutkan
sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal seraya menjaga keikhlasan dan kejujuran
pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa
memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal
itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.

Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-
amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar
mencari ridha Allah.
Ihsan dalam Muamalah
Ihsan dalam bermu’amalah diantaranya dijelaskan oleh Allah Ta’ala pada surah an Nisaa’ ayat
36,

‫َو اْع ُبُدوا َهَّللا َو اَل ُتْش ِر ُك وا ِبِه َشْيًئا َوِباْلَو اِلَدْيِن ِإْح َس اًنا َوِبِذ ي اْلُقْر َبى َو اْلَيَتاَم ى َو اْلَم َس اِكيِن َو اْلَج اِر ِذ ي اْلُقْر َبى َو اْلَج اِر‬
‫اْلُج ُنِب َو الَّص اِح ِب ِباْلَج ْنِب َو اْبِن الَّس ِبيِل َو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu… “

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap
seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka kita yakin bahwa
Allah Ta’ala melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang
masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.

Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.

‫ِإَّياُه َوِباْلَو اِلَدْيِن ِإْح َس اًنا ِإَّم ا َيْبُلَغَّن ِع ْنَدَك اْلِكَبَر َأَح ُدُهَم ا َأْو ِكاَل ُهَم ا َفاَل َتُقْل َلُهَم ا ُأٍّف َو اَل‬ ‫َو َقَض ى َر ُّبَك َأاَّل َتْعُبُدوا ِإاَّل‬
‫َك ِر يًم ا َو اْخ ِفْض َلُهَم ا َج َناَح الُّذ ِّل ِم َن الَّرْح َم ِة َو ُقْل َرِّب اْر َح ْم ُهَم ا َك َم ا َر َّبَياِني َص ِغ يًر ا‬ ‫َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقْل َلُهَم ا َقْو اًل‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil. ” (Al-
Israa’: 23-24)

Ayat di atas menyatakan bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada
Allah Ta’ala. Dalam sebuah hadits riwayat Turmudzi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِر َض ى ُهللا ِفى ِر َض ى ْالَو اِلَدْيِن َو ُس ْخ ُط ِهللا ِفى ُس ْخ ِط ْالَوِالَدْيِن‬


“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada
kemurkaan orang tua. “

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah Ta’ala tidak akan diterima, jika tidak
disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini,
maka bersamaan dengannya akan hilang ketaqwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlaq
kepada sesama manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlaq kepada mereka
adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup maupun setelah wafatnya,
sebagimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫َعْن َأِبي ُأَسْيٍد َم اِلِك ْبِن َر ِبيَعَة الَّس اِعِدِّي َقاَل َبْيَنا َنْح ُن ِع ْنَد َرُس وِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإْذ َج اَءُه َر ُج ٌل ِم ْن َبِني‬
‫َس َلَم َة َفَقاَل َيا َرُس وَل ِهَّللا َهْل َبِقَي ِم ْن ِبِّر َأَبَو َّي َش ْي ٌء َأَبُّر ُهَم ا ِبِه َبْعَد َم ْو ِتِهَم ا َقاَل َنَعْم الَّص اَل ُة َع َلْيِهَم ا َو ااِل ْسِتْغَفاُر‬
‫َلُهَم ا َوِإْنَفاُذ َع ْهِدِهَم ا ِم ْن َبْعِدِهَم ا َوِص َلُة الَّرِح ِم اَّلِتي اَل ُتوَص ُل ِإاَّل ِبِهَم ا َوِإْك َر اُم َصِد يِقِهَم ا‬

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata: “Tatkala kami sedang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya:
‘Ya Rasulullah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya
setelah keduanya wafat?’ Nabi menjawab: ‘Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon
ampun untuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturahim dari sanak saudaranya
serta memuliakan teman-temannya.”‘ (HR. Abu Daud)

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun silaturahim (hubungan yang baik)
dengan mereka. Hal ini adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala. Renungkanlah
hadits qudsi berikut ini dimana Allah Ta’ala berfirman,

‫َأَنا ُهَّللا َو َأَنا الَّرْح َم ُن َخ َلْقُت الَّرِح َم َو َش َقْقُت َلَها ِم ْن اْسِم ي َفَم ْن َو َص َلَها َو َص ْلُتُه َو َم ْن َقَطَعَها َبَتُّتُه‬

“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama
bagian dari nama-Ku. Maka, barang siapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula
baginya dan barang siapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya. ”
(HR. Turmuzdi)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َال َيْد ُخ ُل اْلَج َّنَة َقاِط ٌع‬

“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikhani dan Abu
Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.

Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫َأَنا َو َك اِفُل اْلَيِتيِم ِفى اْلَج َّنِة هَك َذ ا » وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئًا‬
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.

‫َعْن اْبِن َعَّباٍس َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َم ْن َقَبَض َيِتيًم ا ِم ْن َبْيِن اْلُم ْسِلِم يَن ِإَلى َطَعاِمِه َو َش َر اِبِه َأْد َخ َلُه ُهَّللا‬
‫اْلَج َّنَة ِإاَّل َأْن َيْع َمَل َذ ْنًبا اَل ُيْغَفُر َلُه‬

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa dari
Kaum Muslimin yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka
Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang
tidak terampuni.” (HR. Tirmidzi)

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di
dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari
rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya.
Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak
sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan
sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai
tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan hal ini dalam sabdanya,

‫َعْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َم ْسُعوٍد َقاَل َقاَل َرُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو اَّلِذ ي َنْفِس ي ِبَيِدِه اَل ُيْسِلُم َعْبٌد َح َّتى َيْس َلَم َقْلُبُه‬
‫َو ِلَس اُنُه َو اَل ُيْؤ ِم ُن َح َّتى َيْأَم َن َج اُرُه َبَو اِئَقُه‬

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam: ‘Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya tidaklah selamat seorang hamba sampai
hati dan lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya)
seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya.” (HR. Ahmad)

Pada hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َال ُيْؤ ِم ُن ِبي َم ْن بَاَت َش ْبَعاًنا َو َج اُرُه َج ا ِئٌع َو ُهَو َيْع ِر ُفُه‬

“Tidak beriman kepadaku barang siapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan
tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.” (HR. ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai hal ini,


َ‫َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر َفْلُيْك ِرْم َضْيَفُه‬

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya. ” (HR.
Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga
hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya
pelayanan.

Berkenaan berbuat baik kepada hamba sahaya, dijelaskan oleh hadits berikut ini,

‫َج اَء َر ُج ٌل ِإَلى الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَقاَل َيا َرُس وَل ِهَّللا َك ْم َأْع ُفو َعْن اْلَخ اِد ِم َفَص َم َت َع ْنُه َرُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ُثَّم َقاَل َيا َرُس وَل ِهَّللا َك ْم َأْع ُفو َعْن اْلَخ اِد ِم َفَقاَل ُك َّل َيْو ٍم َسْبِع يَن َم َّر ًة‬

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘”Ya,
Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam diam tidak menjawab. Orang itu bertanya lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul
menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َح َّرُه َو ُد َخ اَنُه َفْلُيْقِع ْد ُه َم َعُه َفْلَيْأُك ْل َفِإْن َك اَن الَّطَعاُم َم ْش ُفوًها َقِلياًل‬ ‫ِإَذ ا َص َنَع َأِلَح ِد ُك ْم َخ اِد ُم ُه َطَعاَم ُه ُثَّم َج اَءُه ِبِه َو َقْد َوِلَي‬
‫ُأْكَلَتْيِن َقاَل َداُو ُد َيْعِني ُلْقَم ًة َأْو ُلْقَم َتْيِن‬ ‫َفْلَيَضْع ِفي َيِدِه ِم ْنُه ُأْكَلًة َأْو‬

“Apabila budakmu membuatkan makanan untukmu, kemudian ia membawakannya ke


hadapanmu dalam keadaan matang dan telah mendapatkan lelahnya, maka suruhlah dia
duduk dan makan bersama. Jika makanan itu hanya sedikit, maka letakkanlah di tanganya
sesuap atau dua suap.” (HR.Muslim)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya
sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup
melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah
tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa
yang kita pakai.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر َفْلَيُقْل َخ ْيًر ا َاْو ِلَيْص ُم ْت‬

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َقْو ُل ْالَم ْع ُرْو ِف َص َد َقٌة‬

“Ucapan yang baik adalah sedekah. “

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya
jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak
mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika
ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah
dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau
yang tajam.

Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

Beberapa Contoh Ihsan dalam Hal Muamalah

1. Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam, yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya,
serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berdoa agar mereka diazab oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi, Rasulullah
malah berkata :

‫َاَّللُهَّم اْه ِد َقْو ِم ْي َفِاَّنُهْم اَل َيْع َلُم ْو َن‬

“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh. “

2. Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya,
“Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai ia
tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun,
beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu
terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar
kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan
kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana
engkau melakukannya padaku”.
Ihsan dalam Akhlaq

Ihsan dalam akhlaq sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan
mencapai tingkat ihsan dalam akhlaqnya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang
menjadi harapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah dikemukakan
di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh
seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan
berbuah menjadi akhlaq atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam
ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal
ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan dalam sebuah hadits :

‫ِاَّنَم ا ُبِع ْثُت ُأِلَتِّمَم َم َك اِرَم ْاَأل ْخ اَل ِق‬


“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlaq yang mulia. “

Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlaq. Oleh karena itu, semua
orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang
dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut.

Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain,
kecuali mereka yang telah naik ke tingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga
kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt mengambil ruh ini dari kita. Wallahu
a’lam bish shawab.

Anda mungkin juga menyukai