رواه مسلم.)) َف ِإن ّ َُه جِ بْ ِري ْ ُل أَتَاك ُْم ي ُ َع ِل ّ ُمك ُْم ِديْنَك ُْم
Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari kata َح ُس َنyang artinya adalah berbuat baik, sedangkan
bentuk masdarnya adalah ان
ْ اِ ْح َس, yang artinya kebaikan. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri…” (al-Isra’: 7)
Pertama, Al-Qur`an
Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara
tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu
makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat
porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat
yang menjadi landasan akan hal ini.
“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….”(an-Nisaa`: 36)
Kedua; As-Sunnah.
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini.
Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan,
diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang
menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw.
menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat
Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril,
dengan mengatakan :
ْ َ َفاِذَا َقتَلْتُ ْم َفا َْح ِسن ُ ْو الْقَتْل َ َة َو اِذَا ذَب, عل َى ك ّ ُِل َش ْي ٍء
َ ْحتُ ْم َفا َْح ِسن ُ ْو ال َّذب
ح َة َ ان ْ ِعل َيْك ُُم اْل
َ اح َس َ ب
َ َالله كَت
َ اِ ّ َن
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah
ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok
bahasan kita kali ini.
1 A.Ibadah
Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa
Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai
kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa.
Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan
cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan
mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan
hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat
puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada
pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang
dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini
adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.
Kedua,Tingkatal-Bir.
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal
ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari
ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang
wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru
kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)
B.Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’
ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut : “Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…” Kita sebelumnya telah
membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-
akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah
melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa
saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah
sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash,
Rasulullah saw. Bersabda :
َ ِخ ِط ا ْ َلوا
لدي ْ ِن ِ خ ُط
ْ الله ِفى ُس ْ الله ِفى ِر َضى ا ْ َلوالِ َدي ْ ِن َو ُس
ُ ِر َضى
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah
berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan
diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang
tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya
akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama
manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada
mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun
setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi :
Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami
sedngan bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani
Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan
untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?”
Nabi menjawab : “Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun
unyuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturrahmi dari sanak
saudarnya serta memuliakan teman-temannya
”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan
dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?”(Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini
dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah berfirman:
اس ِمي ف ََم ْن َو َصل ََها َو َصلْتُ ُه َو َم ْن ق ََط َع َها بَتَتّ ُُه
ْ ت ل ََها ِم ْن
ُ ْالر ِح َم َو َشقَق
َّ ت َ ّ أَنَا الل َّ ُه َوأَنَا
ُ ْالر ْح َم ُن َخلَق
“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim
yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang
menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang
memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang
yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi
kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya
jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba
sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia
datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka
hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia
hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua
suapan.”(HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud) Adapun muamalah terhadap
pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya.
Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa
yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya
firman-Nya yang berbunyi :
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang
tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya
ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh
Allah SWT.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
َ ْ ق َْو ُل ا
ِ لم ْع ُر ْو
ف َص َد َق ٌة
“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Contoh kedua, suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba
sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu,
hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk,
sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas
tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun,
maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar
kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan
mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini
kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.
C. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan
muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila
ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam
hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai
oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah.
Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas
dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh
dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam
muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia,
lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya
sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam
sebuah hadits :
Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh
karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha
dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat
tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada
yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik
ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua
dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita.
Wallahu a’lam bish-shawwab.