Anda di halaman 1dari 11

dakwatuna.

com –Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa


menjadi target seluruh hambah Allah SWT. Sebab, ihsan menjadikan kita
sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba
yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang
sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah SWT.
Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga
seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah
yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu
hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai
bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam
dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan,
seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya yang
shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan
Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam,
iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada
para sahabatnya :

‫ رواه مسلم‬.)) ‫َف ِإن ّ َُه جِ بْ ِري ْ ُل أَتَاك ُْم ي ُ َع ِل ّ ُمك ُْم ِديْنَك ُْم‬

“Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama


kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan
Allah SWT memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-
Qur`an.

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu


menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-
Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan


kebaikan….”(an-Nahl: 90)

Pengertian Ihsan

Ihsan berasal dari kata ‫ َح ُس َن‬yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan
bentuk masdarnya adalah ‫ان‬
ْ ‫ اِ ْح َس‬, yang artinya kebaikan. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri…” (al-Isra’: 7)

“…Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah


berbuat baik terhadapmu….” (al-Qashash:77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan


yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk
Allah SWT.

Landasan Syar’i Ihsan.

Pertama, Al-Qur`an

Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara
tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu
makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat
porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat
yang menjadi landasan akan hal ini.

“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai


orang-orang yang berbuat baik.”(al-Baqarah:195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan
kebaikan….” (an-Nahl: 90)

“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….”(al-Baqarah:


83)

“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….”(an-Nisaa`: 36)

Kedua; As-Sunnah.

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini.
Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan,
diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang
menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw.
menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat
Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril,
dengan mengatakan :

‫اه َف ِإن ّ َُه يَ َرا َك‬ ُ ‫الله ك َأَن ّ ََك تَ َر‬


ُ ‫اه َف ِإ ْن ل َْم تَك ُْن تَ َر‬ َ ‫أ َ ْن تَ ْعبُ َد‬ .

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila


engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(HR.
Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda:

ْ َ‫ َفاِذَا َقتَلْتُ ْم َفا َْح ِسن ُ ْو الْقَتْل َ َة َو اِذَا ذَب‬, ‫عل َى ك ّ ُِل َش ْي ٍء‬
َ ْ‫حتُ ْم َفا َْح ِسن ُ ْو ال َّذب‬
‫ح َة‬ َ ‫ان‬ ْ ِ‫عل َيْك ُُم اْل‬
َ ‫اح َس‬ َ ‫ب‬
َ َ‫الله كَت‬
َ ‫اِ ّ َن‬

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu,


maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu
menyembelih, sembelihlah dengan baik…”(HR. Muslim)
Tiga Aspek Pokok Dalam Ihsan

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah
ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok
bahasan kita kali ini.

1 A.Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua


jenis ibadah, seperti shalat, puasa§, haji, dan sebagainya dengan cara
yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-
adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,
kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan
cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran
penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia
sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba
merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia
dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna,
sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah
maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak
dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri
sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang
tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad§,
hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan
setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam
keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan
ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga


tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang
hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk
meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga.
Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus,
derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat
bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi,
laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang
menandakan jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang
berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang
berbeda-beda.
3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang
berbeda-beda pula.
Pertama,Tingkat Takwa.

Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh


mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan
masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah
dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan
salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah
satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah
melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkansemualarangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa
Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai
kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa.
Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan
cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan
mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan
hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat
puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada
pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang
dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini
adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.
Kedua,Tingkatal-Bir.

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal
ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari
ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang
wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini


merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan
dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan
ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu
bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk
kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang
pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan
syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan
kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam,
serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk
dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman
dalam kitab-Nya.

“…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,


akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu
dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian
beruntung.”(al-Baqarah: 189)

”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru
kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan


Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori
Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama
dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang
telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu
kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah
kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat
beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah
senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan
diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan
dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa
dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang
dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.

B.Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’
ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut : “Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…” Kita sebelumnya telah
membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-
akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah
melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa
saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.


Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain


Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah
sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash,
Rasulullah saw. Bersabda :

َ ِ‫خ ِط ا ْ َلوا‬
‫لدي ْ ِن‬ ِ ‫خ ُط‬
ْ ‫الله ِفى ُس‬ ْ ‫الله ِفى ِر َضى ا ْ َلوالِ َدي ْ ِن َو ُس‬
ُ ‫ِر َضى‬

“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah
berada pada kemurkaan orang tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan
diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang
tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya
akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama
manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada
mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun
setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi :

‫اء ُه َر ُج ٌل ِم ْن بَ ِني‬ َ ‫عل َيْ ِه َو َسل ّ َ َم ِإ ْذ َج‬


َ ‫ول الل ّ َ ِه َصلَّى الل َّ ُه‬ ِ ‫ح ُن ِعن ْ َد َر ُس‬ ْ َ ‫َال بَيْنَا ن‬ َ ‫ق‬ ‫اع ِد ِ ّي‬
ِ ‫الس‬ َّ َ ‫ع ْن أَبِي أ ُ َسي ْ ٍد َمالِ ِك بْ ِن َرب‬
‫ِيع َة‬ َ
‫ار ل َُه َما‬ ‫ف‬
َ ‫غ‬
ْ ِ
‫ت‬ ‫اس‬ ِ ‫ل‬‫ا‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ه‬ِ ‫َي‬ ‫ل‬‫ع‬ ‫ة‬
ُ ‫َا‬ ‫ل‬ ‫الص‬
َ ‫م‬ ‫ع‬ َ ‫ن‬ ‫َال‬
َ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬ِ ِ
‫ت‬ ‫و‬‫م‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ِ
‫ِه‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ر‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ء‬ ‫ي‬ ‫ش‬ َ ‫ي‬ َ
َّ َ َ ‫ب ِ ِّر‬
‫و‬ ‫ب‬ ‫أ‬ ‫ول الل ّ َ ِه َه ْل بَ ِق َي ِم ْن‬ َ ‫ال يَا َر ُس‬ َ ‫َسل ََم َة َف َق‬
ُ ْ َ َ ْ َ ّ ْ َ َ َْ َ َْ َ ُ ُّ َ ٌ ْ
)‫وص ُل ِإلَّا ب ِِه َما َو ِإك َْرا ُم َص ِدي ِق ِه َما(رواه ابو داود‬ َ ُ ‫ت‬ ‫َا‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ِ
‫ت‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬
ِ ِ
‫ح‬ ‫الر‬
َ ّ ‫ة‬
ُ َ ‫ل‬‫ص‬ِ ‫و‬َ َ ‫ِم ْن بَ ْع ِد‬
‫ا‬ ‫م‬ ِ
‫ه‬ ‫ع ْه ِد ِه َما‬ َ ‫َو ِإنْفَا ُذ‬

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami
sedngan bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani
Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan
untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?”
Nabi menjawab : “Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun
unyuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturrahmi dari sanak
saudarnya serta memuliakan teman-temannya

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.


Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik
dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan
hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :

”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan
dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?”(Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini
dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah berfirman:

‫اس ِمي ف ََم ْن َو َصل ََها َو َصلْتُ ُه َو َم ْن ق ََط َع َها بَتَتّ ُُه‬
ْ ‫ت ل ََها ِم ْن‬
ُ ْ‫الر ِح َم َو َشقَق‬
َّ ‫ت‬ َ ّ ‫أَنَا الل َّ ُه َوأَنَا‬
ُ ْ‫الر ْح َم ُن َخلَق‬

“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim
yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang
menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang
memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang
yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.Diriwayatkan oleh


Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku
dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…
(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”

Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda :

‫ام ِه َو َش َراب ِِه أ َ ْد َخل َُه الل َّ ُه‬


ِ ‫ين ِإل َى َط َع‬َ ‫يما ِم ْن بَيْ ِن ال ُْم ْسلِ ِم‬ َ ‫عل َيْ ِه َو َسل ّ َ َم ق‬
ً ‫َال َم ْن قَبَ َضي َ ِت‬ َ ّ ‫اس أ َ ّ َن النَّب‬
َ ‫ِي َصلَّى الل َّ ُه‬ ٍ َ ّ‫عب‬
َ ‫ع ْن ابْ ِن‬
َ
‫ال َْجن َّ َة ِإلَّا أ َ ْن ي َ ْع َم َل َذنْبًا ل َا ي ُ ْغفَ ُر ل َُه‬

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa—dari Kaum


Muslimin—yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya,
maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak
melakukan dosa yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman
sejawat.Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat
atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik
jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita
atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan,
ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga.
Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi
tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai
muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu
sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw.
menjelaskan hal ini dalam sabdanya :

َ ‫عل َي ْ ِه َو َسل ّ َ َم َوال َّ ِذي نَفْ ِسي بِي َ ِد ِه ل َا يُ ْسلِ ُم‬


‫عبْدٌ َحتّ َى ي َ ْسل ََم َقل ْبُ ُه‬ َ ‫ول الل ّ َ ِه َصلَّى الل ّ َ ُه‬
ُ ‫َال َر ُس‬ َ ‫َال ق‬ َ ‫عبْ ِد الل ّ َ ِه بْ ِن َم ْس ُعو ٍد ق‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫َولِ َسان ُ ُه َول َا ي ُ ْؤ ِم ُن َحتّ َى يَأ ْ َم َن َج ُار ُه بَ َوا ِئقَ ُه‬

Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : Demi


Yang jiwaku berada di tangan-NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai
hati dan lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman
(sempurna keimanannya) seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman
dari gangguannya. (HR.Ahmad)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda :

‫ال َ ي ُ ْؤ ِم ُن بِي َم ْن با ََت َشبْ َعانًا َو َج ُار ُه َجا ِئ ٌع َو ُه َو يَ ْع ِرف ُُه‬

“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam,


sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. ath-
Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini :

ِ ‫َان ي ُ ْؤ ِم ُن بِالل ّ َ ِه َوال ْيَ ْو ِم ال‬


َ‫ْآخ ِر َفل ْيُك ِْر ْم َضي ْ َف ُه‬ َ ‫َم ْن ك‬

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan


tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi
kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya
jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه‬


ُ ‫عن ْ ُه َر ُس‬ َ ‫ع ْن ال َْخا ِد ِم ف ََص َم‬
َ ‫ت‬ َ ‫عفُو‬ ْ َ ‫ول الل ّ َ ِه ك َْم أ‬َ ‫ال يَا َر ُس‬ َ َ‫عل َي ْ ِه َو َسل ّ َ َم َفق‬
َ ‫اء َر ُج ٌل ِإل َى النَّب ِ ِّي َصلَّى الل ّ َ ُه‬ َ ‫َج‬
َ ‫ال ك ّ َُل ي َ ْو ٍم َسبْ ِع‬
‫ين َم َّر ًة‬ َ َ‫ع ْن ال َْخا ِد ِم َفق‬ َ ‫عفُو‬ ْ َ ‫ول الل ّ َ ِه ك َْم أ‬
َ ‫َال يَا َر ُس‬َ ‫عل َي ْ ِه َو َسل ّ َ َم ث ُّمَ ق‬
َ

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang


kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya
harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang
itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab,
“Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.”(HR. Abu Daud dan at-
Turmuzdi)

‫وها َقلِيل ًا‬


ً ‫الط َعا ُم َم ْش ُف‬ َ ‫اء ُه ب ِِه َوق َْد َولِ َي َح ّ َر ُه َو ُد َخان َ ُه َفل ْي ُ ْق ِع ْد ُه َم َع ُه َفل ْيَأْك ُْل َف ِإ ْن ك‬
َ ّ ‫َان‬ َ ‫ام ُه ث ُّمَ َج‬
َ
َ ‫ِإذَا َصن َ َع لِأ َح ِدك ُْم َخا ِد ُم ُه َط َع‬
‫َفل ْي َ َض ْع ِفي ي َ ِد ِه ِمن ْ ُه أُكْل َ ًة أ َ ْو أُكْلَتَي ْ ِن‬

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba
sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia
datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka
hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia
hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua
suapan.”(HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud) Adapun muamalah terhadap
pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya.
Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa
yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya
firman-Nya yang berbunyi :

”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat


lagi mengingkari nikmat.”(al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang
tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya
ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh
Allah SWT.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

‫ت‬ ِ ‫َان ي ُ ْؤ ِم ُن بِالل ّ َ ِه َوال ْيَ ْو ِم ال‬


ْ ‫ْآخ ِر َفل ْي َ ُق ْل َخيْ ًرا ا َْو لِي َ ْص ُم‬ َ ‫َم ْن ك‬

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari


Kiamat§, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda :

َ ْ ‫ق َْو ُل ا‬
ِ ‫لم ْع ُر ْو‬
‫ف َص َد َق ٌة‬

“Ucapan yang baik adalah sedekah.”

 Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan,


saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat,
mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak
mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta
melukai mereka.Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada
binatang.Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya
makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya
diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih,
hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak
menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw.

· Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw,


yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta
memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw.
berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah
berkata :

‫اه ِد ق َْو ِم ْي َفاِن ّ َُه ْم ل َا يَ ْعل َُم ْو َن‬ ُ َ ّ ‫اَل‬


ْ َ‫له ّم‬

“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”

Contoh kedua, suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba
sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu,
hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk,
sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas
tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun,
maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar
kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan
mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini
kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.

C. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan
muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila
ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam
hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai
oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah.
Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas
dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh
dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam
muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia,
lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya
sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam
sebuah hadits :

ِ‫ْت ِلأُتَ ِ ّم َم َمك َِار َم اْأل َ ْخل َاق‬


ُ ‫اِن ّ ََما بُ ِعث‬

“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh
karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha
dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat
tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada
yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik
ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua
dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita.
Wallahu a’lam bish-shawwab.

Anda mungkin juga menyukai