Di antara makna yang tinggi [mulia] ini, muhsinin adalah mereka yang
hidup di dalam benteng akhlak yang kokoh dengan semua kemuliaannya
sehingga mencapai derajat yang tinggi dalam sifat-sifat kemanusiaan.
Tidak ada jalan yang mereka ketahui, kecuali iman kepada Allah swt. yang
mengantarkan mereka pada kemuliaan amal yang akhlak serta derajat yang
tinggi.
“[Yaitu] orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan [kesalahan] orang lain.
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali ‘Imraan: 134)
Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bagi kita bahwa makna ihsan mencakup
lebih banyak sifat. Jadi, menafkahkan harta di jalan Allah di waktu
lapang dan sempit adalah muhsin. Menahan amarah adalah suatu perbuatan
seorang yang muhsin. Begitu juga memaafkan kesalahan orang lain juga
termasuk muhsin.
Dari uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa ihsan adalah kemampuan
untuk selalu berbuat kebaikan, baik kecil maupun besar, dimulai dengan
kata-kata dan diakhiri dengan perbuatan, serta diikuti dengan iman
secara mutlak kepada Allah swt. dengan niat yang tulus dalam berbuat dan
hanya untuk Allah swt. semata.
Imam Nawawi;§
DR Musthafa Dieb al-Bugha Muhyidin Mistu§
Umar bin al-Kaththab ra berkata: Suatu hari kami duduk dekat Rasulullah
saw., tiba-tiba muncul seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat
putih dan rambutnya hitam legam. Tak terlihat tanda-tanda bekas
perjalanan jauh, dan tak seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Ia
duduk di depan Nabi, lututnya ditempelkan di lutut beliau, dan kedua
tangannya diletakkan di paha beliau, lalu berkata: “Hai Muhammad.
Beritahu aku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab: “Islam itu
engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa Ramadlan dan menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau mampu.”
Laki-laki itu berkata: “Benar.” Kami heran kepadanya; bertanya tetapi
setelah itu membenarkan jawaban Nabi?!
Ia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang iman.” Nabi menjawab: “Iman
itu engkau beriman kepada Allah , malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari akhir dan takdir, yang baik atau yang buruk.” Ia
berkata: “Benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang Ihsan.”
Nabi menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.”
Laki-laki itu berkata lagi: “Beritahu aku kapan terjadinya kiamat.”
Nabi menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi: “Beritahu aku tanda-tandanya.” Nabi menjawab:
“Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, orang yang
bertelanjang kaki dan tidak memakai baju (orang miskin), dan penggembala
kambing saling berlomba mendirikan bangunan megah.” Kemudian laki-laki
itu pergi. Aku diam beberapa waktu. Setelah itu Nabi bertanya kepadaku:
“Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi? Aku menjawab: “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia itu Jibril,
datang untuk mengajarkan Islam kepada kalian.” (HR Muslim)
Urgensi Hadits;
Ibnu Daqiq al-‘Id berkata; “Hadits ini sangat penting, meliputi semua
amal perbuatan, yang dhahir dan yang batin, bahkan semua ilmu syariat
mengacu kepadanya, karena semua hal yang ada dalam semua hadits, bahkan
seakan menjadi Ummus Sunnah (induk bagi hadits), sebagaimana surah al-
Fatihah disebut Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-niali
yang ada dalam al-Qur’an.
Hadits ini mutawathir karena diriwayatkan dari 8 shahabat: Abu Hurairah
ra., Umar ra., Abu Dzar ra., Anas ra., Ibnu ‘Abbas ra., Ibnu Umar ra.,
Abu ‘Amir, al-Asy’ari dan Jarir al-Bajali ra.