Anda di halaman 1dari 5

Surga Kenikmatan Yang Kekal; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy§

Ihsan adalah bentuk kata yang mempunyai makna “kebeningan tersendiri”


yaitu ungkapan perasaan yang berhubungan dengan Allah swt. dan hamba
yang mukmin. “Muhsinuun” adalah bentuk jamak dari “muhsin”. Kata ini
mempunyai hubungan yang kuat dengan kata “ihsan”. “Hasan” adalah
bentuk kata yang digunakan untuk mengungkapkan suatu kedudukan yang
tinggi dan mulia. Jadi, setiap bentukan katanya merupakan kata yang
digunakan untuk mengungkapkan ketinggian kehormatan dan kemuliaan.

Di antara makna yang tinggi [mulia] ini, muhsinin adalah mereka yang
hidup di dalam benteng akhlak yang kokoh dengan semua kemuliaannya
sehingga mencapai derajat yang tinggi dalam sifat-sifat kemanusiaan.
Tidak ada jalan yang mereka ketahui, kecuali iman kepada Allah swt. yang
mengantarkan mereka pada kemuliaan amal yang akhlak serta derajat yang
tinggi.

Muhsinuun adalah orang-orang yang sangat dicintai Allah swt. Dan


barangsiapa yang dicintai-Nya, ia berada dalam keadaan ihsan. Ia hidup
dan meninggal tetap dalam keadaan ihsan [baik]. Sifat inilah yang lebih
berhak masuk untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah swt.
karena sifat ihsan adalah tujuan amal seorang yang mukmin dan saleh.

Apakah seorang yang muhsin juga menafkahkan hartanya di jalan Allah


swt.? jawabannya tidak terbatas pada infak saja karena menafkahkan harta
di jalan Allah swt. hanya sebagian kecil dari sifat ihsan. Jadi makna
ihsan secara global adalah niat yang benar dalam semua kebaikan.

“[Yaitu] orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan [kesalahan] orang lain.
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali ‘Imraan: 134)

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bagi kita bahwa makna ihsan mencakup
lebih banyak sifat. Jadi, menafkahkan harta di jalan Allah di waktu
lapang dan sempit adalah muhsin. Menahan amarah adalah suatu perbuatan
seorang yang muhsin. Begitu juga memaafkan kesalahan orang lain juga
termasuk muhsin.

Dalam al-Qur’an, Allah mensifati orang-orang yang berbuat kebajikan


dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjadikannya suatu mahkota yang
diletakkan di atas kepala seorang muhsin. Hal ini menunjukkan betapa
besar pahala dan balasannya di sisi Allah swt.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan
ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan…”
(an-Nisaa’: 125)
“Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul [tali]
yang kukuh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)

Allah swt. meneguhkan orang-orang muhsin dan mengangkat derajat mereka


pada tempat yang tinggi atau menjadikan mereka golongan orang-orang yang
mempunyai kedudukan tinggi, yaitu mereka mempunyai kehormatan dari
segala kehormatan dan kemuliaan dari segala kemuliaan di akhirat. Mereka
akan mendapatkan apa saja yang mereka kehendaki di akhirat, yaitu di
dalam surga Allah swt.
“Sungguh, Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik.” (at-Taubah: 120)
“Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di
akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ali
‘Imraan: 148)

Kemudian Allah swt. memberitahukan kepada orang-orang yang berbuat


kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, dengan apa yang telah
dijanjikan kepada mereka di sisi Tuhan mereka.
“Mereka mendapatkan apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhannya.
Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik.” (az-Zumar: 34)

Di antara kenikmatan yang kekal adalah balasan besar yang dijanjikan


Allah swt bagi para perempuan yang berbuat baik.
“….maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa
saja yang berbuat baik di antara kamu.” (al-Ahzab: 29)

Dari uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa ihsan adalah kemampuan
untuk selalu berbuat kebaikan, baik kecil maupun besar, dimulai dengan
kata-kata dan diakhiri dengan perbuatan, serta diikuti dengan iman
secara mutlak kepada Allah swt. dengan niat yang tulus dalam berbuat dan
hanya untuk Allah swt. semata.

Imam Nawawi;§
DR Musthafa Dieb al-Bugha Muhyidin Mistu§

Umar bin al-Kaththab ra berkata: Suatu hari kami duduk dekat Rasulullah
saw., tiba-tiba muncul seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat
putih dan rambutnya hitam legam. Tak terlihat tanda-tanda bekas
perjalanan jauh, dan tak seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Ia
duduk di depan Nabi, lututnya ditempelkan di lutut beliau, dan kedua
tangannya diletakkan di paha beliau, lalu berkata: “Hai Muhammad.
Beritahu aku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab: “Islam itu
engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa Ramadlan dan menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau mampu.”
Laki-laki itu berkata: “Benar.” Kami heran kepadanya; bertanya tetapi
setelah itu membenarkan jawaban Nabi?!
Ia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang iman.” Nabi menjawab: “Iman
itu engkau beriman kepada Allah , malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari akhir dan takdir, yang baik atau yang buruk.” Ia
berkata: “Benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang Ihsan.”
Nabi menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.”
Laki-laki itu berkata lagi: “Beritahu aku kapan terjadinya kiamat.”
Nabi menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi: “Beritahu aku tanda-tandanya.” Nabi menjawab:
“Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, orang yang
bertelanjang kaki dan tidak memakai baju (orang miskin), dan penggembala
kambing saling berlomba mendirikan bangunan megah.” Kemudian laki-laki
itu pergi. Aku diam beberapa waktu. Setelah itu Nabi bertanya kepadaku:
“Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi? Aku menjawab: “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia itu Jibril,
datang untuk mengajarkan Islam kepada kalian.” (HR Muslim)

Urgensi Hadits;
Ibnu Daqiq al-‘Id berkata; “Hadits ini sangat penting, meliputi semua
amal perbuatan, yang dhahir dan yang batin, bahkan semua ilmu syariat
mengacu kepadanya, karena semua hal yang ada dalam semua hadits, bahkan
seakan menjadi Ummus Sunnah (induk bagi hadits), sebagaimana surah al-
Fatihah disebut Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-niali
yang ada dalam al-Qur’an.
Hadits ini mutawathir karena diriwayatkan dari 8 shahabat: Abu Hurairah
ra., Umar ra., Abu Dzar ra., Anas ra., Ibnu ‘Abbas ra., Ibnu Umar ra.,
Abu ‘Amir, al-Asy’ari dan Jarir al-Bajali ra.

Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)


1. Memperbaiki pakaian dan penampilan
Ketika hendak masuk masjid dan hendak menghadiri majelis ilmu,
disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi.
Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah
perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi
Muhammad saw. dengan penampilan dan sikap yang baik.
2. Definisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya pada
Allah swt. secara terminologi adalah agama yang dilandasi oleh lima
dasar yaitu: 1) syahadatain. 2) menunaikan shalat wajib pada waktunya
dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang
sunnah. 3) mengeluarkan zakat. 4) puasa di bulan Ramadlan. 5) Haji
sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke
tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
3. Secara etimologi, iman berarti pengakuan atau pembenaran. Secara
terminologi, berarti pembenaran dan pengakuan yang mendalam akan:
a. Adanya Allah swt. Pencipta alam semesta yang tidak mempunyai sekutu
apapun.
b. Adanya makhluk Allah swt. yang bernama malaikata. Mereka adalah hamba
Allah yang mulia, tidak pernah melakukan maksiat dan selalu menurut
perintah-Nya. Mereka diciptakan dari cahaya, tidak makan, tidak berjenis
kelamin, tidak mempunyai keturunan dan tidak ada yang tahu jumlahnya
kecuali Allah swt.
c. Adanya kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt. dan meyakini
bahwa kitab-kitab tersebut (sebelum diubah dan diselewengkan manusia)
merupakan syariat Allah.
d. Adanya rasul-rasul yang telah diutus Allah, yang dibekali dengan
kitab samawi sebagai perantara untuk memberikan hidayah kepada umat
manusia. Meyakini bahwa mereka adalah manusia biasa yang diistimewakan
dan ma’shum (terjaga dari segala dosa).
e. Adanya hari akhir, pada hari itu Allah membangkitkan manusia dari
kuburnya, lalu diperhitungkan seluruh amal perbuatannya. Amal perbuatan
yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal perbuatan buruk akan
dibalas dengan keburukan.
f. Adanya qadla dan qadar. Artinya apapun yang terjadi pada alam semesta
ini merupakan ketentuan dan kehendak Allah semata, untuk satu tujuan
yang hanya diketahui-Nya.
Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat
dan beruntung dan barangsiapa yang menentangnya maka ia tersesat dan
merugi. Allah swt. berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab
yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisaa’: 36)
4. Islam dan Iman;
Melalui penjelasan di atas kita pahami bahwa Iman dan Islam adalah dua
hal yang berbeda, secara etimologi maupun secara terminologi. Pada
dasarnya, jika berbeda nama tentu berbeda makna. Meskipun demikian,
tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, Islam berarti Iman dan
sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa
Islam, demikian juga sebaliknya.
5. Definisi Ihsan;
Ihsan adalah ikhlash dan pernuh perhatian. Artinya sepenuhnya ikhlas
untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian sehingga
seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu maka ingatlah bahwa
Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
6. Hari kiamat dan tanda-tandanya;
Tibanya hari kiamat adalah rahasia Allah. Tidak ada satupun makhluk yang
mengetahuinya, baik malaikat maupun rasul. Karenanya, Nabi saw. bersabda
kepada Jibril: “Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang
bertanya.” Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw. menjelaskan sebagian
tanda-tandanya, antara lain:
a. Krisis moral, sehingga banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya,
mereka memperlakukan orang tuanya seperti perlakuan terhadap budaknya.
b. Kehidupan yang jungkir balik. Banyak orang bodoh menjadi pemimpin,
pemberian wewenang kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, harta
melimpah, manusia banyak yang berlaku sombong dan foya-foya, bahkan
mereka berlomba dan saling meninggikan bangunan dengan penuh kebanggaan.
Mereka berlaku congkak pada orang lain, bahkan mereka seakan ingin
menguasainya.
7. Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang akan membawa manfaat bagi
dunia dan akhiratnya. Ia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak
mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu
tahu ia melihat bahwa audiens (orang-orang yang hadir disitu) ingin
mengetahui satu hal. Ternyata masalah tersebut belum ada yang
menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan meskipun ia sudah
mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari
jawaban yang diberikan.
Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui
jawabannya, hendaknya ia mengakui ketidaktahuannya agar tidak terjerumus
pada hal-hal yang ia tidak mengetahuinya.
8. Metode tanya jawab.
Pendidikan modern pun mengakui bahwa metode tanya jawab adalah metode
pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat
pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang akan diberikan. Metode
ini sering dipergunakan Rasulullah saw. dalam mendidik generasi
Shahabat.

Anda mungkin juga menyukai