Anda di halaman 1dari 6

FENOMENA IHSAN

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal sholeh, tentulah Kami


tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beramal (bekerja)
dengan ihsan.”
(QS Al Kahfi : 30)

“Dan jika kamu semua menginginkan (keri-dhoan) Allah dan Rasul-Nya


serta (kebahagiaan) di negeri akherat maka sesungguhnya Allah
menyediakan bagi siapa saja diantara kamu yang berbuat ihsan pahala yang
sangat besar.”
(QS Al Ahzab : 29)
“Tidak ada balasan bagi ihsan kecuali ihsan juga” (Surat Ar Rohman :
60)

MENGAPA BERBUAT IHSAN?

Bagi seorang muslim berbuat ihsan bukanlah karena mengejar keuntungan-


keuntungan materi atau yang sejenis dengannya, tapi lebih merupakan
karena menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya :

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu maka


jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang ihsan, dan jika
kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara ihsan, dan hendaklah
menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan dan menentramkan) hewan
sembelihan itu”. (Hadits riwayat Imam Muslim)

Tentulah untuk berbuat ihsan dalam Islam tidak hanya sekedar


maksimal(dituntut untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu : manusia,
binatang dan seluruh isi alam, termasuk terhadap diri sendiri), tetapi
juga optimal (karena tidak hanya dituntut untuk berbuat ihsan kepada
yang masih hidup, tetapi juga terhadap yang akan menemui kematian
sekalipun). Kalau kondisi memaksa seseorang untuk emmbunuh (dalam perang
melawan orang kafir, misalnya), maka jika mungkin kita membunuh musuh
kita tanpa membuatnya merasa sakit sedikitpun. Atau upayakan agar dia
mati seketika dengan memberikan pukulan yang telak dan mematikan.
Menyiksa seseorang sebelum dibunuh atau menguliti nya setelah mati jelas
bukan merupakan adab Islam. Apa yang dilakukanoleh Hindun terhadap
Hamzah dengan mengirim Wahsy sebagai pembunuh bayaran, kemudian dengan
tangannya sendirimembelah membelah perut Hamzah setelah syahid dan
mengambil hatinya serta memakannya mentah-mentah merupakan contoh
terburuk dalam sejarah manusia. Semua itu terjadi sebelum Hindun masuk
Islam kalau dalam membawa orang lain kepada kematian, kita dituntut
untuk berbuat ihsan bagaimana halnya jika yang menghadapi kematian itu
adalah diri kita sendiri? Tentunya kita lebih dituntut untuk berbuat
ihsan lagi terhadap diri kita sendiri dalam hal ini. Pernah terjadi di
tahun 1979 di Siria rejim An-Nusyariyyah berkedok partai sosialis
(Ba’ats) yang diperintah oleh Hafez el Assad menghukum gantung 29 orang
anggota Ikhwanul Muslimin. Pada saat eksekusi akan dilangsungkan salah
seorang dari mujahidin tersebut (maaf) celananya kedodoran, padahal tali
gantungan sudah berada di lehernya. Dengan segera ia meloncat dari kursi
pancal dan segera membetulkan celananya yang kedodoran. Tentu saja hal
ini membuat eksekusi sempat tertunda sejenak. Karenanya si algojo yang
bertugas merasa gusar dan menghardik : mau mati aja pakek ngerapiin
celana segala! Kemudian si mujahidin ini menjawab : jangan sembarangan !
Saya mau menghadap Allah tahu? Mungkin kita tidak dapat sehebat
mujahidin ini, brgitu ihsannya dalam menghadapi kematian. Tapi minimal
ucapkanlah : Asyhadu Allaa Ilaaha Illalloh Wa Asyhadu Anna Muhammadar
Rosulullooh menjelang ajal menjemput kita. Akan sanggupkah kita? Wallahu
A’lam!

Ada dua alasan mengapa kita berbuat ihsan : PERTAMA karena adanya
mentoring Allah (muraaqabatullaah) terhadap diri kita. Allaahu Ma’ii,
Allaahu Syaahidi, Allaahu Nadhiri (Allah beserta aku, Allah menyaksikan
aku, Allah Melihat aku) begitulah seharusnya yang dirasakan oleh setiap
muslim. Merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi dia. Kalau seorang
pegawai merasa selalu diawasi oleh atasannya kemana pun dia berjalan,
apa pun yang dia lakukan, tentu dia akan merasa malu. Malu apabila
membuat kesalahan atau mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginan atasannya atau tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Bagaimana halnya jika yang mengawasi seseorang itu adalah Allah yang
Maha Tinggi lagi Maha Mulia, sedangkan Dia tidak ada tidak ada yang
mengatasi-Nya lagi? Seharusnya seseorang lebih malu lagi, bukan? Tapi,
coba kita lihat! Manakah perkataan yang lebih sering muncul dari mulut
orang tua yang anaknya hamil duluan : Apaaa kata orang nanti!? Atau Apaa
kata Allah nanti!?

Jelaslah bahwa kebanyakan menusia lebih merasakan muraaqabatunnaas


(pengawasan manusia) ketimbang muraaqabatullaah (pengawasan Allah). Itu
semua pertanda tidak adanya ruhul ihsan pada diri seseorang. Coba ingat
kembali apa jawab Rasulullah ketika ditanya oleh Malaikat Jibril yang
menyamar sebagai manusia :
“Wahai Muhammad... terangkan kepadaku tentang ihsan” jawab
Rasulullah : “Mengabdilah kamu kepada Allah seakan-akan kamu melihat
Dia. Jika kamu tidak melihat Dia, sesungguhnya Dia melihat kamu”.
(Hadits Riwayat Imam Muslim)

Alasan KEDUA mengapa kita berbuat ihsan adalah kebaikan Allah


(ihsanullah). Betapa selama ini Allah telah banyak berbuat kebaikan
kepada kita. Semua sarana hidup di dunia ini Allah berikan gratis kepada
kita (lihat paket : Setetes Bismillah dan Alhamdulillah dalam Lautan Al
Fatihah). Allah tidak menyodorkan rekening tagihan kepada kita di
akherat nanti. Seluruh sarana itu Allah berikan sebagai modal bagi kita
di dunia. Mata kita, telinga kita, tangan kita, kaki kita, dan yang
lainnya adalah modal bagi kita. Kalau kita manfaatkan mata, telinga,
tangan, kaki dan yang lainnya sesuai dengan tujuan-Nya berarti kita
telah berhasil mengembangkan modal kita dan beruntunglah usaha kita.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya berarti perusahaan kita bengkrut.
Pada Hari Akhir nanti Allah tidak menagih rekening atas seluruh modal
yang telah Dia berikan kepada kita. Allah hanya memeriksa Pembukuan
Perusahaan kita.

Wahai Fulan, mata yang pernah Aku berikan kepadamu engkau gunakan untuk
apa? Wahai Fulan telinga yang pernah Aku berikan kepada engkau gunakan
untuk apa? Wahai Fulan ilmu yang pernah Aku berikan kepadamu engkau
gunakan untuk apa? Wahai Fulan masa muda yang pernah Aku berikan
kepadamu engkau gunakan untuk apa? Untuk apa!? Untuk apa!? Untuk apa!?

Kalau ternyata dari hasil pemeriksaan terhadap Pembukuan Perusahaan


kita, Allah menemukan adanya keuntungan, maka keuntungan itu untuk kita
sepenuhnya dan Allah tidak meinta pembagian atasnya. Bahkan Allah akan
memberikan surga kepada mereka yang memperoleh keuntungan dalam usahanya
di dunia. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya Allah menemukan adanya
kerugaian dalam Pembukuan Perusahaan kita, maka sedikit pun Allah tidak
ikut menanggung kerugaian atasnya. Bahkan Allah akan menambahkan dengan
Siksa Neraka. Naudzubillahi min dzalika!
Kalau Allah selalu memberi dan tak harap kembali, maka sudah
sepatutnyalah kita merasa malu dan tahu diri. Memanfaatkan semua
pemberian tersebut sesuai dengan tujuan-Nya. Coba kita perhatikan Surat
Ar Rahman di dalam Al Qur’an! Berapa kali Allah menyindir kita dengan
pertanyaan :
“Maka nikmat Robb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Surat Ar
Rahman : 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47,
49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77).

31 KALI Allah menyindir kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang lembut


tapi menghujam. Mempertanyakan kepada kita apakah ada dari seluruh
nikmat yang kita enyam selama ini yang bukan merupakan nikmat pemberian
Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Kalau saja setiap harinya Allah mengejukan
pertanyaan-pertanyaan itu kepada kita, maka kita akan sampai pada suatu
kesimpulan jawaban : Tiada Hari Hari Tanpa Nikmat Allah! Betapa tidak,
jumlah hari terbanyak dalam setiap bulan adalah 31 hari. Sedangkan Allah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu 31 kali banyaknya kepad kita. Jika
dikalkulasi maka setiap satu pertanyaan akan terdistribusi sempurna pada
satu hari. Kita tidak memiliki jawaban lain kecuali : Pada hari ini
tidak ada nikmat yang bukan pemberian-Mu! Begitu seterusnya setiap
harinya. Tidak ada satu haripun yang luput dari naikamt Allah.
Astaghfirullahal Azhiim! Apakah kita tidak merasa malu atas tagihan
Allah kepada kita?
“Dan berbuat ihsanlah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat fasad di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat fasad.” (Surat Al-Qashash : 77)

Dengan mengingat Muraqabatullah (pengawasan Allah) dan menimbang


Ihsanullah (kebaikan Allah) kepada kita, maka sudah selaiknya jika kita
memutuskan untuk Ihsanun Niyyah (niat yang baik, tapi tidak identik
dengan A Good Will). Karena hanya Ihsanun Niyyahlah yang akan melahirkan
3 hal di bawah ini :
1. ikhlasun niyyah (niat yang ikhlas)
2. itqaanul ‘amal (amal yang rapih)
3. jaudatul adaa’ (penyelesaian yang baik)

sebenarnya (1), (2) dan (3) merupakan suatu kontinum dan bukan merupakan
tiga hal yang terputus dan terpisah. Kesemuanya menunjukkan
kesinambungan keikhlasan seseorang dalam beramal. Adakalanya seseorang
ikhlas pada saat hendak beramal, tetapi keikhlasan itu hilang pada saat
sedang beramal. Atau adakalanya seseorang ikhlas pada saat akan dan
tengah beramal, tetapi setelah amal itu selesai atau akan selesai
dikerjakan, keikhlasannya hilang. Contoh untuk hal ini adalah apa yang
pernah dialami oleh Ali bin Abi Thalib RA. Suatu saat ia berkhutbah
syetan datang membisiki beliau : Wahai Ali, engkau begitu hebat dalam
berkhutbah. Cobalah kau lihat! Orang-orang sama menangis mendengar
khutbahmu. Ali meneruskan khutbahnya hingga selesai dan tidak peduli
dengan apa yang dikatakan oleh syeitan. Tapi setelah selesai berkhutbah
dan hendak melintas keluar masjid, Ali bin Abi Thalib RA melihat seorang
lelaki tua bersandar dekat pintu keluar masjid masih termenung
sendirian. Tergugah hati Ali untuk menegur lelaki tua tersebut, yang
nampak memang asing bagi Ali. Wahai bapak, bagaimana pendapat bapak
tentang khutbahku tadi? Di luar dugaan si lelaki tua tersebut menjawab :
kalau saja engkau tidak mengajukan pertanyaan ini, maka sempurnalah
khutbahmu. Lelaki tua itu pun pergi, menghilang entah kemana. Sadarlah
Ali akan perkataannya yang telah mengurangi keikhlasannya. Dia pun
beristighfar : Astaghfirullah, Astaghfirullah

Astaghfirullah, Astaghfirullah, sambil menangis. Rupanya pengalaman ini


betul-betuk menjadi pelajaran bagi Ali. Pernah suatu ketika Ali beradu
perang dengan seorang kafir dalam suatu peperangan. Dengan keahlian Ali
bermain pedang, maka pedang lawan berhasil dijatuhkan. Pada saat Ali
hendak menebas batang leher musuhnya, musuhnya meludahi muka Ali. Panas
hati Ali waktu itu, ingin rasanya dia segera menebas batang leher orang
kafir tersebut. Tapi segera Ali ingat bahwa syeitan berada di balik
maksud-maksud itu. Kalau ia tebas orang kafir itu, sedangkan emosinya
sedang naik maka Ali khawatir apa yang dia lakukan tidak lillahi
ta’ala, tetapi semata-mata karena melampiaskan amarahnya. Maka Ali pun
mengurungkan niatnya, karena ingin tetap memelihara Ihsanun Niyyah-nya.
Ditinggalkan orang kafir tersebut dan Ali meminta sahabat lain untuk
menglangi dari awal bertempur melawan orang kafir tersebut yang kini
sudah menggenggam kembali pedangnya. Kalau kita perhatikan dengan
seksama, apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib diatas, ia telah
mengeluarkan seluruh kendungan dari ihsanun niyyah : niat yang ikhlas,
amal yang rapih, dan penyelesaian yang baik (A good finishing touch).

Apabila seseorang beramal dan amalnya memenuhi ke-3 hal diatas, barulah
dikatakan dia telah memiliki : ihsanul ‘amal (amal yang ihsan). Selama
ke-3 persyaratan ini belum terpenuhi, maka betapa pun amal seseorang
telah memenuhi penampakan ihsan (Zhahiratul ihsan) yang sempurna seperti
apa yang dilakukan oleh orang-orang Barat dalam bidang menejemen, ilmu
pengetahuan dan teknologi misalnya, tetapi karena tidak didasari oleh
niat yang ikhlas maka pada hakekatnya di mata Allah belum memenuhi
kriteria Ihsanul ‘Amal atau amal yang baik. Mungkin dimata manusia
dinilai sebagai perfect, excelent, suma cum laude, wonderful, ck! Ck!
Ck! Dan sebagainya. Tapi dimata Allah tidak ada nilainya apa-apa.
Sungguh kasihan..., sungguh kasihan...

Ada 3 keuntungan jika seorang beramal dengan amal yang ihsan.


1. Dia akan dicintai oleh Allah
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan”
(Surat Al Baqarah : 195)

2. Dia diberikan pahala oleh Allah


“ Maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja diantara kamu
yang berbuat ihsan pahala yang besar” (Surat Al Ahzab : 29)

3. Dia akan ditolong oleh Allah


“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang
yang berbuat ihsan.” (Surat An Nahl : 128)

KRITERIA APLIKASI IHSAN

Faktor terpenting dalam mengaplikasikan ihsan adalah mamahami


kriterianya.
Ada 2 kriteria dalam mengaplikasikan ihsan dalam kehidupan sehari-hari :
1. Kriteria Zhahirotul Ihsan atau kriteria penampakan ihsan
2. Kriteria Qiimatul Ihsan atau kriteria nilai ihsan.

Yang disebut pertama adalah aspek lahir atau yang berkenaan dengan
penampilan ihsan itu sendiri, dan yang disebut terakhir adalah aspek
batinnya atau nilai-nilai yang mendasari ihsan itu sendiri.

Dalam penjabarannya masing-masing ini dapat dirumuskan secara sederhana.


Kriteria satu : perumusannya adalah Do The Best!
Kriteria dua : perumusannya adalah To Be Ikhlas, Please!

Masing-masing perumusan dari tiap-tiap kriteria ini dapat diturunkan


lagi sampai level yang operasional. Setiap kita pun dapat untuk
merumuskannya sendiri dengan bahasa kita sendiri. Contoh : perumusan
kriteria satu (do the best) dalam menerima tamu, dapat dirumuskan :
suguhkanlah tamu kita susu yang samam kentalnya dengan susu yang kita
minum. Dalam belajar, dapat dirumuskan : belajar sampai bisa. Dalam
berdagang, dapat dirumuskan : kalau kita pembeli, tentu kita ingin
barang yang terbaik. Dan begitu seterusnya, dapat kita turunkan terus
dalam berbagai aktivitas lain.

Perumusan kriteria dua (to be ikhlas, please!) Dalam berbagai aktivitas


keehidupan pada dasarnya hanya ada satu perumusan yang bahasanya dapat
berbeda. Contoh : biar manusia nggak tahu, kalau Allah ridho, mau apa?
Tetapi yang terpenting bukan perumusannya koq, tapi al-amal, al-amal,
al-amal, al-amal, Al-amal Huwal Asas!!!!!!

Anda mungkin juga menyukai