Ada dua alasan mengapa kita berbuat ihsan : PERTAMA karena adanya
mentoring Allah (muraaqabatullaah) terhadap diri kita. Allaahu Ma’ii,
Allaahu Syaahidi, Allaahu Nadhiri (Allah beserta aku, Allah menyaksikan
aku, Allah Melihat aku) begitulah seharusnya yang dirasakan oleh setiap
muslim. Merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi dia. Kalau seorang
pegawai merasa selalu diawasi oleh atasannya kemana pun dia berjalan,
apa pun yang dia lakukan, tentu dia akan merasa malu. Malu apabila
membuat kesalahan atau mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginan atasannya atau tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Bagaimana halnya jika yang mengawasi seseorang itu adalah Allah yang
Maha Tinggi lagi Maha Mulia, sedangkan Dia tidak ada tidak ada yang
mengatasi-Nya lagi? Seharusnya seseorang lebih malu lagi, bukan? Tapi,
coba kita lihat! Manakah perkataan yang lebih sering muncul dari mulut
orang tua yang anaknya hamil duluan : Apaaa kata orang nanti!? Atau Apaa
kata Allah nanti!?
Wahai Fulan, mata yang pernah Aku berikan kepadamu engkau gunakan untuk
apa? Wahai Fulan telinga yang pernah Aku berikan kepada engkau gunakan
untuk apa? Wahai Fulan ilmu yang pernah Aku berikan kepadamu engkau
gunakan untuk apa? Wahai Fulan masa muda yang pernah Aku berikan
kepadamu engkau gunakan untuk apa? Untuk apa!? Untuk apa!? Untuk apa!?
sebenarnya (1), (2) dan (3) merupakan suatu kontinum dan bukan merupakan
tiga hal yang terputus dan terpisah. Kesemuanya menunjukkan
kesinambungan keikhlasan seseorang dalam beramal. Adakalanya seseorang
ikhlas pada saat hendak beramal, tetapi keikhlasan itu hilang pada saat
sedang beramal. Atau adakalanya seseorang ikhlas pada saat akan dan
tengah beramal, tetapi setelah amal itu selesai atau akan selesai
dikerjakan, keikhlasannya hilang. Contoh untuk hal ini adalah apa yang
pernah dialami oleh Ali bin Abi Thalib RA. Suatu saat ia berkhutbah
syetan datang membisiki beliau : Wahai Ali, engkau begitu hebat dalam
berkhutbah. Cobalah kau lihat! Orang-orang sama menangis mendengar
khutbahmu. Ali meneruskan khutbahnya hingga selesai dan tidak peduli
dengan apa yang dikatakan oleh syeitan. Tapi setelah selesai berkhutbah
dan hendak melintas keluar masjid, Ali bin Abi Thalib RA melihat seorang
lelaki tua bersandar dekat pintu keluar masjid masih termenung
sendirian. Tergugah hati Ali untuk menegur lelaki tua tersebut, yang
nampak memang asing bagi Ali. Wahai bapak, bagaimana pendapat bapak
tentang khutbahku tadi? Di luar dugaan si lelaki tua tersebut menjawab :
kalau saja engkau tidak mengajukan pertanyaan ini, maka sempurnalah
khutbahmu. Lelaki tua itu pun pergi, menghilang entah kemana. Sadarlah
Ali akan perkataannya yang telah mengurangi keikhlasannya. Dia pun
beristighfar : Astaghfirullah, Astaghfirullah
Apabila seseorang beramal dan amalnya memenuhi ke-3 hal diatas, barulah
dikatakan dia telah memiliki : ihsanul ‘amal (amal yang ihsan). Selama
ke-3 persyaratan ini belum terpenuhi, maka betapa pun amal seseorang
telah memenuhi penampakan ihsan (Zhahiratul ihsan) yang sempurna seperti
apa yang dilakukan oleh orang-orang Barat dalam bidang menejemen, ilmu
pengetahuan dan teknologi misalnya, tetapi karena tidak didasari oleh
niat yang ikhlas maka pada hakekatnya di mata Allah belum memenuhi
kriteria Ihsanul ‘Amal atau amal yang baik. Mungkin dimata manusia
dinilai sebagai perfect, excelent, suma cum laude, wonderful, ck! Ck!
Ck! Dan sebagainya. Tapi dimata Allah tidak ada nilainya apa-apa.
Sungguh kasihan..., sungguh kasihan...
Yang disebut pertama adalah aspek lahir atau yang berkenaan dengan
penampilan ihsan itu sendiri, dan yang disebut terakhir adalah aspek
batinnya atau nilai-nilai yang mendasari ihsan itu sendiri.