Anda di halaman 1dari 14

Menyiapkan Amalan Terbaik di Detik-detik

Terakhir Kehidupan
Setiap manusia memiliki batasan waktunya masing-masing. Kematian
sejatinya adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk hidup. Kehidupan
manusia di dunia hanyalah sementara, seperti yang telah Allah firmankan di
dalam berbagai ayat Alquran sebagai berikut,

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka, dan sungguh kampung akhirat iti lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kalian memahaminya?” (QS. Al An’am 32)

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan


jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu
dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad 36)

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan suatu


yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. Al Hadid
20)

Ketiga ayat di atas memberikan maksud yang sama, yaitu Allah


mengingatkan kita untuk memperhatikan apa-apa yang kita lakukan di dunia
karena kehidupan di dunia hanya sementara sedangkan kehidupan di akhirat
itu selamanya. Yang menjadi hal utama yang bias kita perhatikan adalah
bagaimana kita meningkatkan amalan-amalan kita di dunia sebagai bekal
kita di akhirat kelak. Namun, setan tidak akan pernah tinggal diam. Semakin
tinggi tingkatan ilmu yang kita miliki, maka godaan setan akan semakin
besar.

Ada sebuah kisah tentang sahabat Rasulullah. Sahabat tersebut tidak pernah
terlambat melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid. Definisi
terlambat menurut sahabat tersebut adalah tertinggal dalam takbiratul ihram.
Suatu hari, sahabat ini tidak mendapatkan takbiratul ihram yang bertama.
Beliau sangat sedih, menyesal, dan menangis seharian karena kelalaiannya
dalam shalat subuh. Beliau berdoa kepada Allah untuk diampuni atas
kelalaiaannya tersebut. Keesokan harinya, sahabat tersebut terbangun
sebelum adzan subuh karena ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya.
Begitu pula dengan hari-hari setelahnya, sahabat tersebut tidak terlambat

1
shalat subuh berjamaah di masjid karena beliau terbangun oleh ketukan di
pintu rumahnya. Suatu saat sahabat tersebut penasaran dengan siapa
sesungguhnya orang tersebut. Sahabat tersebut akhirnya memergoki orang
yang mengetuk pintu rumahnya dan bertanya tentang orang tersebut.
Ternyata, yang selama ini membangunkan orang tersebut adalah iblis. Iblis
itu berkata, “aku khawatir jika kamu terlambat mengikuti shalat subuh
berjamaah di masjid, kamu akan mengingat Allah sepanjang hari. Sedangkan
jika kamu tidak terlambat, maka seharian itu kamu akan merasa cukup
dengan shalat subuh berjamaah mu itu.”

Subhanallah.. begitu berat tipu daya dan godaan yang dilancarkan oleh Iblis
kepada manusia. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah,

Sudah sebanyak apa kita mengingat Allah dalam setiap sisa hari yang kita
miliki? Waktu yang kita miliki semakin terbatas, kita tidak akan pernah tahu
kapan akhir dari hidup kita.

Kita harus menyiapkan amalan terbaik dan unggulan yang bisa kita
persembahkan kepada Allah kelak di akhirat nanti.

Gangguan dari setan adalah sebuah kenisayaan jika kita melakukan hal yang
baik dan menuju Allah. Kita harus memperkuat pertahanan kita dengan
banyak mengingat Allah.

Seseorang akan bersama dengan apa yang ia perbuat. Yang Allah minta dari
kita bukan banyaknya amal kita, namun optimalnya amal-amal yang kita
perbuat. Allah smengoptimalkan dan menurunkan semua risalah-Nya, lalu
apakah pantas jika kita setengah-setengah dalam menjalankan perintah
Allah. Apakah pantas jika kita tidak memaksimalkan ketaatan kita? Semua
nikmat yang Allah berikan kepada kita akan dihisab kelak, lalu bagaimana
kita menyikapinya?

Mensyukurinya: dengan cara mengoptimalkan segala potensi untuk


memberikan manfaat seluas-luasnya
Bersungguh-sungguh dalam beramal shalih untuk menghadapi kematian dan
dengan menuntut ilmu Allah
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya kita
memikirkan hari akhirat kita dan mempersiapkan kematian dengan sebaik-
baiknya. Mulai saat ini, kta harus memilih satu amalan unggulan yang akan
kita laksanakan secara konsisten hingga akhir hayat kita.

2
3
Orientasi Hidup

Drs. Ahmad Fuad Effendy, MA

“Dan raihlah akhirat dengan segala anugerah yang telah Allah berikan
kepadamu, dan jangan lupa bagianmu di dunia. Berbuatlah ihsan
sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu, dan janganlah berbuat
kerusakaan di bumi, sungguh Allah tidak suka kepada para perusak” (Al-
Qashash: 77)

Pandangan dan orientasi hidup manusia menentukan sikap, perilaku, dan


keputusan-keputusan yang diambilnya dalam kehidupan. Ada orang yang
orientasi hidupnya dunia semata, seperti Qarun yang hidup di zaman Fir’aun.
Ketika diingatkan untuk membagi hartanya kepada orang lain dia menolak
dengan alasan bahwa kekayaannya belum cukup dan harta yang dimilikinya
itu adalah hasil usahanya sendiri, hasil kerja keras dan keringatnya sendiri.
Ada pula yang orientasi hdupnya akherat semata, seperti tiga orang di zaman
Rasulullah. Yang pertama bertekad untuk melakukan sholat sepanjang
malam selama hidupnya, yang kedua akan melakukan puasa terus menerus
sepanjang umurnya, dan yang ketiga tidak akan menikah sepanjang
hidupnya karena hal itu akan mengganggu konsentrasi ibadahnya.

Allah Swt melalui firman-Nya di atas dan ayat-ayat lainnya memberikan


petunjuk mengenai orientasi hidup yang seimbang, yaitu orientasi hidup
akherat tanpa melupakan dunia. Jadi al-ghayatul qushwa atau tujuan akhir
hidup manusia memang akhirat, tapi jangan lupa bahwa manusia juga boleh
menikmati bagiannya di dunia. Rasulullah Saw memberikan nasihat kepada
tiga orang yang diceritakan di atas dengan bersabda: “Aku adalah orang
yang paling bertaqwa di antara kalian, tapi aku tetap tidur di malam hari,
makan di siang hari, dan tetap menikah”.

Kalimat “dan jangan lupa bagianmu di dunia” ini berbentuk larangan, tapi
dalam surat Al-Hasyr 18 Allah mengingatkan kita semua sebagai orang-
orang beriman agar berorientasi ke masa depan. “Hai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri melihat apa
yang sudah dia siapkan untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha mengetahu sedetail-detailnya apa yang kalian
lakukan”. Hari esok dalam wacana Al-Qur`an bukan hanya dalam hitungan
hari, bulan atau tahun bahkan kurun, tapi menembus keluar batas kehidupan

4
dunia sampai di akhirat. Jadi hari esok kita adalah akhirat kita. Masa depan
kehidupan kita adalah kehidupan akhirat, yang dimulai dengan hari kiamat.
Dan hari kiamat itu adalah hari perhitungan atau yaumul hisab.

Di yaumul hisab itu manusia ditanya atau diminta pertanggungjawaban


tentang empat hal yang paling mendasar. Pertama tentang umurnya dengan
apa dia mengisinya, untuk sesuatu yang bermakna atau sesuatu yang sia-sia.
Diisinya dengan amal baik atau amal buruk, dengan kegiatan yang
membawa kemanfaatan kepada sesama manusia atau membawa
kemadharatan.

Kedua, tentang jasadnya untuk apa dia gunakan. Kemana kakinya


melangkah, menuju sorga atau neraka. Tangannya digunakan untuk
membangun atau merusak, matanya, telinganya dan semua anggota
badannya, digunakan untuk kebaikan atau keburukan.

Ketiga, tentang ilmunya, apa yang dia lakukan dengannya. Untuk menerangi
atau menggelapi, untuk mencerdaskan atau membodohi dan membodohkan.
Untuk meluruskan yang bengkok atau membengkokkan yang lurus. Untuk
membela kebenaran dan keadilan atau untuk mendukung kepalsuan dan
kezaliman.

Keempat, tentang hartanya bagaimana dia memperolehnya dan untuk apa dia
gunakan. Diperoleh dengan cara halal atau haram, digunakan untuk
kemanfaatan atau kemadharatan. Termasuk dalam hal keempat ini adalah
jabatan atau kekuasaan, bagaimana kamu memperolehnya, dengan cara yang
haq, benar, sesuai dengan hukum dan akhlak yang mulia, atau dengan cara
yang bathil, tidak sesuai dengan aturan dan akhlak yang tercela. Dan setelah
jabatan atau kekuasaan itu digenggam, untuk apa kamu gunakan. Untuk
membangun kejayaan umat dan bangsa atau untuk membangun kejayaan
pribadi, keluarga, dan golongan.

Inilah empat hal yang perlu direnungkan oleh setiap manusia, karena tidak
seorang pun yang bisa melepaskan diri dari pertanggungjawaban di hadapan
Allah Subhanahu wata’ala.

Adapun pesan kedua yang terdapat dalam firman Allah di atas adalah,
“Berbuatlah ihsan sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. Hidup
di dunia ini adalah masa manusia menanam, sedangkan di akhirat adalah
masa kita mengetam. Maka Allah memberikan petunjuk kepada manusia

5
agar memperbanyak berbuat ihsan selama hidup di dunia. Kata ihsan sengaja
tidak diterjemahkan dengan kebaikan, karena ihsan lebih dari sekadar
kebaikan.

Ihsan adalah kebaikan luar biasa. Memberi lebih dari kewajiban, mengambil
kurang dari hak itulah ihsan. Mengendalikan amarah dan memaafkan adalah
contoh lain dari ihsan. Dalam ayat ini, manusia diperintahkan untuk berbuat
ihsan sambil diingatkan bahwa Allah pun berbuat ihsan kepada mereka.
Allah memberikan rezeki kepada semua manusia, baik yang beriman
maupun yang tidak, kepada orang yang menyembahnya atau tidak
menyembahnya. Jika manusia berbuat ihsan, maka ihsan Allah kepada
mereka pun akan dilipatgandakan.

Pesan ketiga, “Dan janganlah berbuat kerusakaan di bumi”. Melakukan


kerusakan adalah kebalikan yang sangat jauh dari melakukan ihsan. Ada
orang yang secara sadar melakukan kerusakan, tapi ada yang melakukan
kerusakan tapi tidak sadar bahwa dia melakukan kerusakan. Dalam surat Al-
Baqarah 11-12 Allah Swt menggambarkan salah satu sifat orang-orang
munafik adalah “Jika dikatakan kepada mereka janganlah kalian melakukan
kerusakan di bumi. Mereka menjawab: kami justru membangun, bukan
merusak. (lalu Allah menegaskan) tidak, mereka telah merusak tapi tidak
merasa”. Inilah yang sedang melanda negeri kita dewasa ini. Semua merasa
melakukan kebaikan untuk rakyat, bangsa dan negara, padahal sebenarnya
telah melakukan perusakan yang luar biasa terhadap sendi-sendi kebangsaan
dan nilai-nilai kebaikan. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada
kita semua terutama kepada mereka yang sedang memegang kekuasaan di
negeri ini.

6
Sudah Luruskah Orientasi Hidup Kita?

SAAT ini kebanyakan umat Islam telah mengalami penyimpangan orientasi


hidup dari apa yang dicita-citakan generasi terdahulu. Umat Islam telah
menjadikan harta sebagai standar kebahagiaan Muslim. Cukup jelas buktinya
dengan melihat kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan
berbagai alasan yang seakan-akan kebaikan, dia memilih orientasi hidup
dengan mengejar dunia.

“Kalau saya kaya, saya bisa beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan
ibadah haji sebagai rukun Islam. Saya bisa membahagiakan orangtua dan
bisa banyak bersedekah,” begitu kira-kira kalimat khayalan yang kerap
memenuhi benak kebanyakan umat Islam saat ini.
Padahal sudah banyak sekali contoh bahwa hal tersebut adalah amal angan-
angan yang belum tentu dia lakukan pada saat kaya nanti.

Cobalah simak kisah Tsa’labah bin Haathib yang bercita-cita ingin kaya lalu
minta didoakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam
pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.”

Namun, ketika keinginan kaya itu menjadi kenyataan Tsa’labah bukanlah


tambah taat, tapi justru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi
kambing yang semakin banyak.
Zaman sekarang, kejadian ini juga banyak dijumpai dengan berbagai macam
fakta yang berbeda tapi pada intinya sama yakni menjadikan dunia sebagai
tujuan dan standar kebahagiaan. Sadar ataupun tidak banyak para orangtua
dari kaum Muslimin yang mengarahkan anak-anaknya sejak kecil untu
bercita-cita menjadi jadi pilot, dokter, guru, dan lain sebagainya.

Menjadi pilot, dokter ataupun guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah
kalau tidak ada niat karena Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum
Muslimin. Aktifitas tersebut hanyalah aktifitas dunia belaka, tak ubahnya
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non Muslim.
Orientasi Hidup Menjadi Mukmin Mulia
Kemuliaan seorang Muslim dinilai dari takwanya (keterikatannya terhadap
hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga siapapun bisa mulia tanpa
memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi dan tanpa
memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya terhadap
hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si

7
miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya, sedangkan si kaya dia
bisa syukur dan taat dengan kekayaannya. Semuanya bernilai pahala di sisi
Allah. Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.

Sebanyak apapun prestasi yang diraih jika tidak berdasarkan iman,


melanggar syara’ dan tujuannya salah, maka di sisi Allah tiada nilai. Setinggi
apapun prestasi orang non Muslim, maka tiada nilai di sisi Allah. Setinggi
apapun prestasi Muslim jika melanggar syara’ dan salah tujuan, maka juga
tidak mempunyai nilai di sisi Allah.
Sehingga hari-hari kaum Muslimin senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia
terikat dengan hukum syara’. Mulai dari hal kecil hingga yang besar. Dia
Makan tidak hanya sekadar makan, tapi untuk menguatkan ibadah,
menguatkan shalat, belajar, membantu orangtua dan bekerja untuk
menafkahi istri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer karena
sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah, tapi untuk menutupi auratnya
sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena
semua demi tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi perintah Allah adalah ketika


dilakukan dengan penuh keikhlasan, mengharap ridha Allah, mensyukuri
terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di akhirat, menghidupkan
agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam. Sehingga
aktifitas menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah. Keluarnya keringat
dan lelahnya dinilai pahala di sisi Allah dan termasuk orang dimudahkan
jalannya ke surga oleh Allah.

Boleh menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di


masyarakat yang dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi
munkar, menjalankan kebenaran dan menegakkan agama Allah. Begitupun
juga orang bekerja, jika hanya untuk menumpuk-numpuk kekayaan tiada
nilai di sisi Allah. Hanya mendapatkan rasa lelah dan tumpukan uang.
Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk membukukan hadits
demi menjaga dari kepentingan dari pemalsuan hadits. Semangat ini tidak
akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya hanya berorientasi kepada dunia
dan standar kebahagiaannya ketika mendapatkan kesenangan-kesenangan
dunia.

Bisa dipastikan orang yang mempunyai tujuan dunia tersebut jika hidup di
zaman para sahabat maka akan menjadi orang munafik yang takut untuk
berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Dunia yakni harta,

8
tahta, dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah hijrah dari Allah.
Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai masuk ke hati.

Tentu saat ini, perjuangan untuk kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan
generasi terdahulu. Karena kebanyakan negeri-negeri kaum Muslimin
mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari Islam. Mereka
diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin sendiri
tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran
dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme.

Sehingga tolak ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan


tumpukan materi tanpa peduli agama membolehkan atau melarangnya. Inilah
yang terjadi juga pada kaum Muslimin dulu pada saat perang Uhud. Mereka
tidak tunduk kepada perintah Rasulullah dan menginginkan dunia (harta)
yakni rampasan perang.
Sepatutnya bagi umat Islam untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan
akhirat sebagai orientasi hidup di atas segala-galanya. Dunia yang sementara
jangan sampai menjadi penyakit dirinya. Sehingga apapun profesinya umat
bisa melakukan perang pemikiran terhadap para musuh-musuh kaum
Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Kesimpulannya, orang beriman yang berjuang (memiliki cita-cita) untuk
kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam kehidupannya di dunia, tapi
tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah dan rasul-
Nya (takwa) dalam segala aktifitasnya serta cinta dunia, maka tak ubahnya
hanya mengulang kegagalan-kegagalan pada perang Uhud di masa modern.

9
Memaknai Hakikat Kehidupan

Allah Ta’ala berfirman di dalam surat Ar Ruum ayat 40:


“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara
yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang
demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan.”
Seseorang tidak kuasa untuk menentukan kehadirannya di dunia, ia juga
tidak bisa memilih untuk terlahir dalam keluarga, keadaan ekonomi, sosial
dan budaya tertentu. Pada hakikatnya proses penciptaan manusia berawal
dari ketiadaan menjadi ada, kendati demikian prosesnya, penciptaan manusia
tidaklah lebih besar daripada penciptaan langit dan bumi sebagaimana
tertuang dalam penjelasan Alquran.

“ Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan


manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS Ghaafir
ayat 57).

Allah Ta’ala senantiasa memberi rezeki kepada setiap makhluk-Nya, rezeki-


Nya amat luas, tidak terbatas pada materi melimpah, melainkan bisa juga
berupa nikmat-nikmat berharga lainnya yang ada di sekitar manusia, di
antaranya:

1. Hidayah
2. Ketenangan hati
3. Kelapangan dada
4. Kesehatan
5. Keadaan menyenangkan
6. Waktu luang
7. Jiwa yang kaya karena senantiasa merasa cukup
8. Anak-anak yang shalih
9. Kehidupan yang layak
10. Menantu dan mertua yang bijak
11. Jodoh idaman dan lain-lain
Dalam ayat lain dikuatkan bahwasanya Allah Ta’ala sebenar-benar pemberi
rezeki:

10
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezki kepadamu.Dan akibat (yang baik) itu adalah
bagi orang yang bertakwa. (QS Thahaa ayat 132).

Ditambahkan di beberapa ayat lainnya:

1. Alquran surat Faathir ayat 3


Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada
kamu dari langit dan bumi ?
2. Alquran surat Al Israa’ ayat 31
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan
juga kepadamu.
3. Alquran surat Adz Dzaariyaat ayat 58
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
4. Al-Quran surat Saba’ ayat 39
dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.

Allah Ta’ala ialah Dzat yang Maha Kaya dan Suci dari segala kekurangan,
sekalipun semua manusia di muka bumi kufur kepada kepada-Nya, hal ini
sama sekali tidak menjadikan Allah Ta’ala menjadi miskin.

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu”.


(QS Az Zumar ayat 7).
Maksud yang terkandung dalam ayat ini ialah manusia beriman atau tidak,
beriman, hal itu tidak merugikan Tuhan sedikitpun. Pesan Ilahi ini senada
dengan perkataan nabi Musa ‘alaihi assalam yang diabadikan dalam Alquran
di surat Ibrahim ayat 8.

“Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi
semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.”

Jika kita renungi akan hakikat sebuah rezeki, pada dasarnya semua yang ada
di muka bumi, di dalam lautan dan di dasar bumi adalah milik Sang Maha
Kaya dan Sang Maha Terpuji.

11
“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya
Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Luqman ayat 26).

Adapun sesuatu yang seseorang miliki berupa isteri, anak, materi, jabatan,
umur, waktu, kebanggaan dan lain sebagainya merupakan hanya sebatas
titipan, bersifat sementara, kenapa demikian?

Karena dalam sebuah kehidupan tiada yang abadi menemani hidup


seseorang kecuali amal shalihnya, apa saja yang ada pada seseorang kelak
akan lenyap bak butiran pasir yang terhempas oleh tiupan angin, tak
berbekas sedikitpun, begitulah hakikat kehidupan.

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.
Dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang
sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(QS An Nahl ayat 96)

Jika seseorang sudah memahami akan hakikat kehidupan, maka ia akan


berpikir tidaklah ada yang patut untuk dibanggakan selain amal shalehnya,
hal ini didasari atas kehadirannya di dunia ini, bukanlah karena
permintaannya.

Dalam sebuah ungkapan bijak:

 Sungguh tercela, kau bangga dengan sesuatu yang tidak pernah


diperbuat oleh dirimu……
 Jangan kau bangga dengan kecantikan/ketampananmu karena kau
bukanlah yang menciptakannya…….

 Jangan kau bangga dengan nasab keturunanmu karena kau bukanlah


orang yang memilihnya…..

 Namun banggalah dengan akhlakmu karena dirimu yang


menghiasinya…!!
Sehebat apapun manusia, ia sekali-kali tidak akan kuasa untuk mengatur
penempatan garis keturunannya, apakah akan terlahir dari keturunan
bangsawan atau biasa-biasa aja, keturunan agamis atau dari kalangan umum,
kenapa demikian?

12
Karena hal ini adalah kehendak Allah Ta’ala, bukan kehendak manusia
seutuhnya.
Seorang muslim seyogyanya pandai untuk menempatkan diri dalam
mengatur kehidupannya, pandangannya jauh ke depan, mempunyai cita-cita
dan mimpi besar berorientasi akhirat, ia tidak berpikir untuk dirinya sendiri
melainkan berpikir untuk bisa memberi manfaat kepada sesama, sebagai
contoh:

1. Hartawan membantu dengan materinya


2. Pemangku kepentingan membantu dengan kebijakannya
3. Cendekiawan membantu dengan keilmuannya
Pada umumnya seseorang mempunyai kelebihan yang diberikan Allah
Ta’ala padanya, disatu sisi ia mempunyai kekurangan, tapi di sisi lain ia
memiliki kelebihan yang bermanfaat bagi sesama, pertolongan Allah Ta’ala
sangat beragam kepada hamba-hambaNya, di antaranya:

1. Dibuka/dicerahkan pikiran
2. Disehatkan jiwa dan raga
3. Diberikan kesejukan dan ketenangan hati
4. Munculnya rasa tanggung jawab
5. Hidup menjadi lebih bergairah dengan kasih sayang
6. Menjadi lebih produktif
7. Semakin bijak dan dewasa dan lain-lain

Dengan memahami hakikat penciptaan, seseorang akan mantap untuk


melangkah lebih jauh dalam mengarungi derasnya arus kehidupan, ia akan
pandai memilih dan memilah seorang sahabat yang senantiasa
mengingatkannya ketika ia lalai dan senantiasa mendoakannya.

Mereka bagaikan bintang-bintang yang terus menerangi/membimbing jalan


perahunya saat cahayanya mulai meredup di tengah luasnya samudera
kehidupan yang ia lalui, sahabat dari kalangan shalih, sesungguhnya jika ia
tidak sedang berada bersamanya, mereka merasa seperti (ada ruang kosong
di hatinya) kehilangan sosoknya dan pada hari esok di saat semua manusia
sudah diputuskan perkaranya di bawah ‘Ars Ar-Rahman, merekapun
senantiasa menunggunya.

Inilah alasan seseorang harus pandai dalam memilih sahabat yang


mencintainya karena Allah, karena ia akan dibimbing dalam mengetahui
hakikat kehidupan.

13
14

Anda mungkin juga menyukai