Terakhir Kehidupan
Setiap manusia memiliki batasan waktunya masing-masing. Kematian
sejatinya adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk hidup. Kehidupan
manusia di dunia hanyalah sementara, seperti yang telah Allah firmankan di
dalam berbagai ayat Alquran sebagai berikut,
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka, dan sungguh kampung akhirat iti lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kalian memahaminya?” (QS. Al An’am 32)
Ada sebuah kisah tentang sahabat Rasulullah. Sahabat tersebut tidak pernah
terlambat melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid. Definisi
terlambat menurut sahabat tersebut adalah tertinggal dalam takbiratul ihram.
Suatu hari, sahabat ini tidak mendapatkan takbiratul ihram yang bertama.
Beliau sangat sedih, menyesal, dan menangis seharian karena kelalaiannya
dalam shalat subuh. Beliau berdoa kepada Allah untuk diampuni atas
kelalaiaannya tersebut. Keesokan harinya, sahabat tersebut terbangun
sebelum adzan subuh karena ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya.
Begitu pula dengan hari-hari setelahnya, sahabat tersebut tidak terlambat
1
shalat subuh berjamaah di masjid karena beliau terbangun oleh ketukan di
pintu rumahnya. Suatu saat sahabat tersebut penasaran dengan siapa
sesungguhnya orang tersebut. Sahabat tersebut akhirnya memergoki orang
yang mengetuk pintu rumahnya dan bertanya tentang orang tersebut.
Ternyata, yang selama ini membangunkan orang tersebut adalah iblis. Iblis
itu berkata, “aku khawatir jika kamu terlambat mengikuti shalat subuh
berjamaah di masjid, kamu akan mengingat Allah sepanjang hari. Sedangkan
jika kamu tidak terlambat, maka seharian itu kamu akan merasa cukup
dengan shalat subuh berjamaah mu itu.”
Subhanallah.. begitu berat tipu daya dan godaan yang dilancarkan oleh Iblis
kepada manusia. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah,
Sudah sebanyak apa kita mengingat Allah dalam setiap sisa hari yang kita
miliki? Waktu yang kita miliki semakin terbatas, kita tidak akan pernah tahu
kapan akhir dari hidup kita.
Kita harus menyiapkan amalan terbaik dan unggulan yang bisa kita
persembahkan kepada Allah kelak di akhirat nanti.
Gangguan dari setan adalah sebuah kenisayaan jika kita melakukan hal yang
baik dan menuju Allah. Kita harus memperkuat pertahanan kita dengan
banyak mengingat Allah.
Seseorang akan bersama dengan apa yang ia perbuat. Yang Allah minta dari
kita bukan banyaknya amal kita, namun optimalnya amal-amal yang kita
perbuat. Allah smengoptimalkan dan menurunkan semua risalah-Nya, lalu
apakah pantas jika kita setengah-setengah dalam menjalankan perintah
Allah. Apakah pantas jika kita tidak memaksimalkan ketaatan kita? Semua
nikmat yang Allah berikan kepada kita akan dihisab kelak, lalu bagaimana
kita menyikapinya?
2
3
Orientasi Hidup
“Dan raihlah akhirat dengan segala anugerah yang telah Allah berikan
kepadamu, dan jangan lupa bagianmu di dunia. Berbuatlah ihsan
sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu, dan janganlah berbuat
kerusakaan di bumi, sungguh Allah tidak suka kepada para perusak” (Al-
Qashash: 77)
Kalimat “dan jangan lupa bagianmu di dunia” ini berbentuk larangan, tapi
dalam surat Al-Hasyr 18 Allah mengingatkan kita semua sebagai orang-
orang beriman agar berorientasi ke masa depan. “Hai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri melihat apa
yang sudah dia siapkan untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha mengetahu sedetail-detailnya apa yang kalian
lakukan”. Hari esok dalam wacana Al-Qur`an bukan hanya dalam hitungan
hari, bulan atau tahun bahkan kurun, tapi menembus keluar batas kehidupan
4
dunia sampai di akhirat. Jadi hari esok kita adalah akhirat kita. Masa depan
kehidupan kita adalah kehidupan akhirat, yang dimulai dengan hari kiamat.
Dan hari kiamat itu adalah hari perhitungan atau yaumul hisab.
Ketiga, tentang ilmunya, apa yang dia lakukan dengannya. Untuk menerangi
atau menggelapi, untuk mencerdaskan atau membodohi dan membodohkan.
Untuk meluruskan yang bengkok atau membengkokkan yang lurus. Untuk
membela kebenaran dan keadilan atau untuk mendukung kepalsuan dan
kezaliman.
Keempat, tentang hartanya bagaimana dia memperolehnya dan untuk apa dia
gunakan. Diperoleh dengan cara halal atau haram, digunakan untuk
kemanfaatan atau kemadharatan. Termasuk dalam hal keempat ini adalah
jabatan atau kekuasaan, bagaimana kamu memperolehnya, dengan cara yang
haq, benar, sesuai dengan hukum dan akhlak yang mulia, atau dengan cara
yang bathil, tidak sesuai dengan aturan dan akhlak yang tercela. Dan setelah
jabatan atau kekuasaan itu digenggam, untuk apa kamu gunakan. Untuk
membangun kejayaan umat dan bangsa atau untuk membangun kejayaan
pribadi, keluarga, dan golongan.
Inilah empat hal yang perlu direnungkan oleh setiap manusia, karena tidak
seorang pun yang bisa melepaskan diri dari pertanggungjawaban di hadapan
Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun pesan kedua yang terdapat dalam firman Allah di atas adalah,
“Berbuatlah ihsan sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. Hidup
di dunia ini adalah masa manusia menanam, sedangkan di akhirat adalah
masa kita mengetam. Maka Allah memberikan petunjuk kepada manusia
5
agar memperbanyak berbuat ihsan selama hidup di dunia. Kata ihsan sengaja
tidak diterjemahkan dengan kebaikan, karena ihsan lebih dari sekadar
kebaikan.
Ihsan adalah kebaikan luar biasa. Memberi lebih dari kewajiban, mengambil
kurang dari hak itulah ihsan. Mengendalikan amarah dan memaafkan adalah
contoh lain dari ihsan. Dalam ayat ini, manusia diperintahkan untuk berbuat
ihsan sambil diingatkan bahwa Allah pun berbuat ihsan kepada mereka.
Allah memberikan rezeki kepada semua manusia, baik yang beriman
maupun yang tidak, kepada orang yang menyembahnya atau tidak
menyembahnya. Jika manusia berbuat ihsan, maka ihsan Allah kepada
mereka pun akan dilipatgandakan.
6
Sudah Luruskah Orientasi Hidup Kita?
“Kalau saya kaya, saya bisa beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan
ibadah haji sebagai rukun Islam. Saya bisa membahagiakan orangtua dan
bisa banyak bersedekah,” begitu kira-kira kalimat khayalan yang kerap
memenuhi benak kebanyakan umat Islam saat ini.
Padahal sudah banyak sekali contoh bahwa hal tersebut adalah amal angan-
angan yang belum tentu dia lakukan pada saat kaya nanti.
Cobalah simak kisah Tsa’labah bin Haathib yang bercita-cita ingin kaya lalu
minta didoakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam
pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.”
Menjadi pilot, dokter ataupun guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah
kalau tidak ada niat karena Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum
Muslimin. Aktifitas tersebut hanyalah aktifitas dunia belaka, tak ubahnya
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non Muslim.
Orientasi Hidup Menjadi Mukmin Mulia
Kemuliaan seorang Muslim dinilai dari takwanya (keterikatannya terhadap
hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga siapapun bisa mulia tanpa
memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi dan tanpa
memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya terhadap
hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si
7
miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya, sedangkan si kaya dia
bisa syukur dan taat dengan kekayaannya. Semuanya bernilai pahala di sisi
Allah. Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.
Bisa dipastikan orang yang mempunyai tujuan dunia tersebut jika hidup di
zaman para sahabat maka akan menjadi orang munafik yang takut untuk
berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Dunia yakni harta,
8
tahta, dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah hijrah dari Allah.
Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai masuk ke hati.
Tentu saat ini, perjuangan untuk kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan
generasi terdahulu. Karena kebanyakan negeri-negeri kaum Muslimin
mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari Islam. Mereka
diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin sendiri
tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran
dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme.
9
Memaknai Hakikat Kehidupan
1. Hidayah
2. Ketenangan hati
3. Kelapangan dada
4. Kesehatan
5. Keadaan menyenangkan
6. Waktu luang
7. Jiwa yang kaya karena senantiasa merasa cukup
8. Anak-anak yang shalih
9. Kehidupan yang layak
10. Menantu dan mertua yang bijak
11. Jodoh idaman dan lain-lain
Dalam ayat lain dikuatkan bahwasanya Allah Ta’ala sebenar-benar pemberi
rezeki:
10
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezki kepadamu.Dan akibat (yang baik) itu adalah
bagi orang yang bertakwa. (QS Thahaa ayat 132).
Allah Ta’ala ialah Dzat yang Maha Kaya dan Suci dari segala kekurangan,
sekalipun semua manusia di muka bumi kufur kepada kepada-Nya, hal ini
sama sekali tidak menjadikan Allah Ta’ala menjadi miskin.
“Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi
semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.”
Jika kita renungi akan hakikat sebuah rezeki, pada dasarnya semua yang ada
di muka bumi, di dalam lautan dan di dasar bumi adalah milik Sang Maha
Kaya dan Sang Maha Terpuji.
11
“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya
Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Luqman ayat 26).
Adapun sesuatu yang seseorang miliki berupa isteri, anak, materi, jabatan,
umur, waktu, kebanggaan dan lain sebagainya merupakan hanya sebatas
titipan, bersifat sementara, kenapa demikian?
Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.
Dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang
sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(QS An Nahl ayat 96)
12
Karena hal ini adalah kehendak Allah Ta’ala, bukan kehendak manusia
seutuhnya.
Seorang muslim seyogyanya pandai untuk menempatkan diri dalam
mengatur kehidupannya, pandangannya jauh ke depan, mempunyai cita-cita
dan mimpi besar berorientasi akhirat, ia tidak berpikir untuk dirinya sendiri
melainkan berpikir untuk bisa memberi manfaat kepada sesama, sebagai
contoh:
1. Dibuka/dicerahkan pikiran
2. Disehatkan jiwa dan raga
3. Diberikan kesejukan dan ketenangan hati
4. Munculnya rasa tanggung jawab
5. Hidup menjadi lebih bergairah dengan kasih sayang
6. Menjadi lebih produktif
7. Semakin bijak dan dewasa dan lain-lain
13
14