Anda di halaman 1dari 7

Manusia Pemikul Amanah

Manusia tidak dicipta sia-sia. Demikian yang


Allah tegaskan dalam beberapa ayat dalam kitab-Nya. Ada amanah besar dan berat di
pundak setiap manusia. Sebelum manusia memikul amanah itu, Allah telah menawarkannya
kepada makhluk-makhluk yang sangat hebat terlebih dahulu, kepada langit, bumi dan
gunung-gunung. Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung,” Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
Amat zalim dan Amat bodoh.” (QS. Al Ahzab: 72)
Amanah itu bukan sekedar tawaran tanpa makna tentu saja. Tawaran itu mengandung dua
akibat; pahala jika amanah itu ditunaikan dengan baik, dan siksa jika amanah itu disia-
siakan. Oleh karena itu, semua makhluk-makhluk Allah itu enggan menerimanya. Manusia
lah kemudian yang memikul amanah tersebut. Setelah itu, Allah menyebutkan bahwa
manusia terbagi menjadi tiga dalam penunaian amanah ini. Hal diisyaratkan dalam ayat
setelahnya:

“Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-
orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-
orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 73)
Pertama: orang-orang yang menelantarkan amanah ini lahir dan batin, mereka adalah
orang-orang musyrik baik laki-laki atau perempuan.
Kedua: orang-orang yang memikulnya secara lahir saja, namun mereka menelantarkan
amanah tersebut secara batin. Mereka adalah orang-orang munafik baik laki-laki atau
perempuan.
Ketiga: orang-orang yang memikul dan menunaikan amanah tersebut lahir dan batin.
Mereka adalah orang-orang yang beriman baik laki-laki atau perempuan.
Intinya, manusia adalah makhluk pemikul amanah itu. Rentang waktunya dari sejak ia
memasuki usia baligh hingga ia meninggalkan dunia ini. Ia wajib menjaganya,
menunaikannya dan haram untuk menelantarkannya serta bermudah-mudahan dengannya.
Setiap manusia menunaikan amanah itu sesuai dengan kemampuannya. Setiap manusia
yang berakal, ia adalah pemikul amanah.

 Manusia pemikul amanah dirinya, dengan cara membawanya pada ketaatan kepada
Allah dan menjauhi maksiat.
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-
Syams: 7 – 10)
 Manusia pemikul amanah keluarganya, dengan cara menjaga diri dan mereka dari api
neraka.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
 Manusia pemikul amanah masyarakatnya, dengan cara berdakwah kepada agama
Allah, memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah perbuatan munkar.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Wallahu a’lam.
[Disarikan dari Muhadharah Syaikh Shaleh bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah dalam
kitab ‘Muhaadharaatu Fil ‘Aqiidah wad-Da’wah’: 2/113 – 114]

Mengapa Kita Harus Beribadah


Kepada Allah?

Untuk sia-sia kah Allah menciptakan kita?


Menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan? Hanya untuk main-main saja kah Allah
mempergilirkan siang dan malam? Menurunkan hujan? Menumbuhkan pepohonan dan
mengalirkan sungai-sungai? Tanpa tujuan kah Allah mengaruniakan akal pikiran kepada
kita?
Sederet pertanyaan yang jawabannya sangat mudah dan tidak membutuhkan pemikiran
mendalam sebetulnya, namun sering terlewatkan dalam pengamatan kita karena hati kita
kerap sibuk dengan keinginan-keinginan jiwa kita yang melalaikan, karena mata kita sering
silau dengan kerling indah dunia, dan karena akal pikiran kita tidak jarang tertutup kabut
kegelapan yang menyamarkan kebenaran. Bahkan, sebagian kita lupa daratan dan menjadi
pengingkar hakikat dirinya ..

Satu kata saja, dengan satu tarikan nafas saja untuk mengucapkannya, yang kita butuhkan
untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Yaitu: Al Ibaadah. Ya, semua itu Allah
lakukan agar kita beribadah kepada-Nya. Dengan tegas Allah menyatakan,
‫َوَم ا َخ َلْقُت اْلِج َّن َو اِإْل ْنَس ِإاَّل ِلَيْعُبُدوِن‬
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Allah pun menyindir kita dengan pertanyaan,

‫َأَفَح ِس ْبُتْم َأَّنَم ا َخ َلْقَناُك ْم َعَبًثا َو َأَّنُك ْم ِإَلْيَنا اَل ُتْر َج ُعوَن‬
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al
Mukminun [23]: 115)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Firman Allah, “Maka apakah kamu mengira,
bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja)?” “Apakah kaling
menyangka bahwa kalian diciptakan tanpa maksud, tujuan dan hikmah?” “Firman
Allah, “bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” “Tidak dikembalikan ke
negeri akhirat?” (Tafsir Al Qur`an Al Adzim: 5/500)
Jika muncul dalam benak kita pertanyaan, “lalu, mengapa Allah memerintahkan kita untuk
beribadah?” Alasan-alasan berikut mudah-mudahan semakin dapat meyakinkan kita
mengapa kita harus beribadah kepada Sang Pencipta kita, Allah subhaanahu wa ta’aala.

Karena Allah adalah Pencipta Kita dan Semesta serta Pemelihara Semuanya.
Hal ini sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat yang telah lalu penyebutannya (QS. Adz-
Dzariyat [51]: 56, Al Mukminun [23]: 115)

Allah pun berfirman,

‫ُهَّللا َخ اِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء َو ُهَو َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َوِكيٌل‬


“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az Zumar
[39]: 62)
Oleh karena Allah satu-satunya dzat yang menciptakan kita dan juga menciptakan semesta
tempat hidup kita, maka kita harus beribadah kepada-Nya, mengabdi sebagai hamba dan
bagian dari makhluk-Nya.

Karena Allah menciptakan Kita dengan Bentuk yang Terbaik


Allah tidak menciptakan kita dalam bentuk yang asal-asalan, tapi menciptakan kita dengan
bentuk yang terbaik. Perhatikan firman Allah berikut,

‫َلَقْد َخ َلْقَنا اإلْنَساَن ِفي َأْح َس ِن َتْقِويٍم‬


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.” (QS. At Tiin [95]: 4)
As-Si’diy berkata, “Maksudnya adalah diciptakan dengan sempurna, anggota tubuh yang
sesuai dan perawakan yang pantas, tidak kurang sesuatu apa pun yang ia butuhkan.” (Taisir
Karim Al Rahman: 929)

Karena Allah Memuliakan kita dengan Akal Pikiran


Tidak hanya itu, Allah pun mengistimewakan kita dengan akal pikiran. Allah berfirman,

‫َو َلَقْد َك َّر ْم َنا َبِني آَد َم‬


“Dan sungguh kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al Isra [17]: 70)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa manusia telah dimuliakan dengan akal. (Lihat Tafsir Al
Baghawi: 5/108)

Karena Allah yang Mengarunikan kepada Kita Rizki untuk Menopang


Kehidupan Kita
Setelah diciptakan, diciptakan dengan bentuk terbaik dan dimuliakan dengan akal pikiran,
karunia Allah selanjutnya adalah menurunkan beragam rizki yang dengannya manusia
mampu bertahan hidup di bumi ini. Allah berfirman,

‫َأَّم ْن َهَذ ا اَّلِذ ي َيْر ُز ُقُك ْم ِإْن َأْم َس َك ِرْز َقُه‬


“Atau siapakah dia yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezki-Nya?” (QS. Al
Mulk [67]: 21)
Itulah beberapa alasan mengapa kita harus beribadah kepada Dzat yang telah
mengaruniakan kepada kita segala hal yang kita miliki saat ini. Jelas sekali, sejelas matahari
di siang hari. Bagi orang-orang yang mau berfikir, bagi orang-orang yang berakal, bagi
orang-orang yang mau mengambil pelajaran dan bagi orang-orang yang mau mengikuti
fitrah sucinya. Begitulah Allah sering menyinggung nalar kita untuk berfikir di dalam Al
Qur`an. Semoga Allah menuntun kita kepada petunjuk dan keridhaan-Nya***Wallahu
a’lam.
Abu Khalid – Riyadh, Albatha

———————-

Bismillahir rahmanir rahim. Para pengunjung blog sabilulilmi.wordpress.com yang kami


hormati. Dalam rangka meningkatkan performa, kami telah beralih ke website yang
baru: http://www.sabilulilmi.com/
Silahkan kunjungi untuk membaca artikel-artikel terbaru. Semoga Allah memberkahi dan
semoga bermanfaat..

Mencari Nilai Ibadah


Dalam Bekerja

Islam mencintai seorang muslim yang giat


bekerja, mandiri, apalagi rajin memberi. Sebaliknya, Islam membenci manusia yang
pemalas, suka berpangku tangan dan menjadi beban orang lain. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
‫َفاْبَتُغوا ِع ْنَد ِهَّللا الِّر ْز َق‬
“Maka carilah rizki disisi Allah..” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 17)
Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-nya. Hingga Allah dalam Al Qur`an
menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir.

‫َو آَخ ُروَن َيْض ِرُبوَن ِفي اَأْلْر ِض َيْبَتُغوَن ِم ْن َفْض ِل ِهَّللا َو آَخ ُروَن ُيَقاِتُلوَن ِفي َس ِبيِل ِهَّللا‬
“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al Muzzammil [73]: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan me-nyebut aktifitas bekerja sebagai jihad di
jalan Allah. Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin
bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin dan giat)
dilakukan untuk jihad di jalan Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyela
mereka dengan sabdanya, “Janganlan kamu berkata seperti itu. Jika ia bekerja untuk
menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja
untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia
bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia
bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR Thabrani,
dinilai shahih oleh Al Albani)
Manusia paling mulia di muka bumi ini adalah para nabi. Tugas yang mereka emban di
dunia ini sangat mulia, yaitu berdakwah kepada agama Allah dan mengajarkan risalahnya
kepada manusia yang lain. Allah sering mengisahkan kepada kita perjuangan dakwah
mereka dalam Al Qur`an. Namun begitu, Allah dalam Al Qur`an juga menyebutkan sisi lain
dari kehidupan mereka. Mereka juga seperti manusia yang lain pada umumnya, termasuk
dalam hal bekerja dan mencari penghidupan. Allah berfirman,

‫َوَم ا َأْر َس ْلَنا َقْبَلَك ِم َن اْلُم ْر َسِليَن ِإاَّل ِإَّنُهْم َلَيْأُك ُلوَن الَّطَعاَم َو َيْم ُشوَن ِفي اَأْلْس َو اِق‬
“dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan
makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. Al Furqan [25]: 20)
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya berkata, “Maksud-nya, mereka mencari penghidupan di
dunia.. ayat ini merupakan landasan disyariatkannya bekerja mencari penghasilan baik
dengan berniaga, produksi atau yang lainnya.”

Nabi Adam bertani, Ibrahim menjual pakaian, Nuh dan Zakaria tukang kayu, Idris Penjahit
dan Musa penggembala. Allah mengisahkan dalam Al Qur`an bahwa Nabi Dawud membuat
baju besi.

‫َو َع َّلْم َناُه َص ْنَعَة َلُبوٍس َلُك ْم ِلُتْح ِص َنُك ْم ِم ْن َبْأِس ُك ْم َفَهْل َأْنُتْم َشاِكُروَن‬
“dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara
kamu dalam pepe–ranganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al
Anbiya [21]: 80)
“dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (kami berfirman):
“Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”,
dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan
ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba` [34]: 10-11)
Nabi kita yang mulia juga mengabarkan, bahwa beliau pernah bekerja sebagai penggembala
kambing. “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan pernah menjadi penggembala
kambing.” Para sahabat berkata, “Begitu juga engkau?” beliau bersabda, “Ya, aku pernah
menggembala kambing penduduk Makkah dengan upah sejumlah uang.” (HR Bukhari)
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdagang. Beliau pernah melakukan
perjalanan bisnis ke negeri Syam untuk menjual barang-barang dagangan milik
Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Oleh karena itu semua, Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha
mencari penghidupan. Allah berfirman,

‫ُهَو اَّلِذ ي َج َعَل َلُك ُم اَأْلْر َض َذ ُلواًل َفاْم ُشوا ِفي َم َناِكِبَها َو ُك ُلوا ِم ْن ِرْز ِقِه َوِإَلْيِه الُّنُشوُر‬
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mukl [67]: 15)
‫َفِإَذ ا ُقِض َيِت الَّص اَل ُة َفاْنَتِش ُر وا ِفي اَأْلْر ِض َو اْبَتُغوا ِم ْن َفْض ِل ِهَّللا َو اْذ ُك ُر وا َهَّللا َك ِثيًر ا َلَعَّلُك ْم ُتْفِلُح وَن‬
“apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al
Jumu’ah [62]: 10)
Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, “Diriwayat-kan dari sebagian salaf bahwa ia
berkata, “Barangsiapa yang membeli atau menjual sesuatu pada hari jumat setelah shalat,
Allah akan memberkahi untuknya 70 kali.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang
lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangannya sendiri.” (HR Bukhari)
Semangat ini juga difahami oleh para sahabat yang mulia –semoga Allah meridhai mereka.
Mereka juga para pekerja. Diriwayatkan Abu Bakar penjual pakaian, Umar bekerja
mengurusi kulit, Utsman bin Affan pedagang, Ali bin Abi Thalib bekerja sebagai pegawai
lebih dari satu kali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Begitu juga para sahabat yang
lain seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Az Zubai bin Al Awwam, Amr bin
al Ash dan yang lainnya memiliki pekerjaan masing-masing dalam rangka mencari
penghidupan di dunia ini.
Agar Bekerja Bernilai Ibadah
Telah dijelaskan bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan
dan tidak menjadi beban orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih
pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang. Namun
demikian, Islam mengatur batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan
nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya benar-
benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi keuntungan berlipat di
dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan tersebut:

Pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172)
Setiap muslim diperintahkan untuk makan yang halal-halal saja serta hanya memberi dari
hasil usahanya yang halal, agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru
menimbulkan kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang
dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam. Maka tidak boleh
bagi seorang muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai
kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan yang
diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis barang yang
memamukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengan-dung unsur judi,
riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri, merampok, menipu dan memanipulasi dan
begitu pula seluruh pekerjaan yang termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual
anggur kepada produsen arak, menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum
muslimin, bekerja di tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia
dan lain sebagainya.

Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan
umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja
dengan baik dan bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara ka-lian yang jika bekerja, maka ia bekerja
dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As
Shahihah”)
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala
sesuatu.” (HR Muslim)
Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab
atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk
tidak melakukan kesalahan.

Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari
ridho Allah dan beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan
mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim)
Niat sangat penting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat
ibadah itu harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena
bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh disebabkan karena
niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga
kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu.

Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika
pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari
kewajiban-kewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita
meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah
mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan
kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib
lainnya.
Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah
bekerja untuk mencukup diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja
adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang
muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia
dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan
kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya. Wallahu a’lam.
Abu Khalid Resa Gunarsa – Subang, 2 November 2013 (28 Dzulhijjah 1434 H)

Anda mungkin juga menyukai