Anda di halaman 1dari 7

THAQATUL INSAN (Potensi Manusia)

Allah Ta’ala membekali manusia dengan at-thaqah –potensi-, yaitu as-


sam’u (pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fuadu (hati).
Banyak sekali firman Allah Ta’ala yang menyebutkan tentang hal  ini,
diantaranya adalah.

“Katakanlah: ‘Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi


kamu pendengaran, penglihatan dan hati’. (Tetapi) amat sedikit kamu
bersyukur.” (QS. Al-Mulk, 67: 23)

Allah Ta’ala menganugerahkan telinga kepada manusia yang dengannya ia


dapat mendengarkan ajaran-ajaran agama Allah yang disampaikan
kepadanya oleh rasul-rasul Allah. Dianugerahi-Nya pula manusia mata
yang dengannya ia dapat melihat, memandang dan memperhatikan
kejadian alam semesta ini. Diberi-Nya manusia hati, akal dan pikiran untuk
memikirkan, merenungkan, menimbang dan membedakan mana yang baik
bagimu dan mana yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana pula
yang tidak bermanfaat. Sebenarnya dengan anugerah-Nya itu manusia
dapat mencapai semua yang baik bagi dirinya sebagai makhluk Allah.[1]

Firman-Nya yang lain:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl, 16: 78)

Allah Ta’ala mengeluarkan manusia dari rahim ibunya dalam keadaan


tidak mengetahui apa-apa. Tetapi sewaktu masih di dalam rahim,
Allah Ta’ala menganugerahkan bakat dan kemampuan pada diri manusia,
seperti bakat berpikir, mengindra dan lain sebagainya.

Setelah manusia itu lahir, dengan hidayah Allah Ta’ala segala bakat-bakat


itu berkembang. Akalnya dapat memikirkan tentang kebaikan, kejahatan,
kebenaran dan kesalahan, hak dan batal. Dan dengan bakat pendengaran
dan penglihatan yang telah berkembang itu manusia mengenali dunia
sekitarnya dan mempertahankan hidupnya serta mengadakan hubungan
sesama manusia. Dan dengan perantaraan akal dan indra itu pengalaman
dari pengetahuan manusia dari hari ke hari semakin bertambah dan
berkembang. Kesemuanya itu merupakan rahmat dan anugerah Tuhan
kepada manusia yang tidak terhingga.[2]

Karena itu seharusnyalah manusia bersyukur kepada-Nya dengan


menjalankan al-mas’uliyyah (tanggung jawab) yang telah dipikulkan
kepadanya, yakni mempergunakan segala nikmat Allah Ta’ala itu untuk
beribadah dan patuh kepada-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56)

Di saat memikul al-mas’uliyyah itu, ada dua pilihan di hadapan manusia;


apakah menindaklanjutinya dengan al-amanah (sikap amanah) atau
dengan al-khiyanah (sikap khianat).

*****

Mereka yang memilih sikap amanah, di dunia ini akan dianugerahi


kehormatan al-khilafah (kepemimpinan), sebagaimana disebutkan oleh
Allah Ta’ala dalam kitab-Nya.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara


kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-
Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur, 24: 55)

Berkenaan dengan al-khilafah ini ada beberapa hal yang harus


diperhatikan manusia:

Pertama, manusia bukan pemilik yang hakiki (‘adamu haqiqatil


mulkiyah), karena Pemilik yang hakiki adalah Allah Ta’ala.

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki
segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. Al-Hasyr, 59: 23)

Allah itu merajai segala apa yang di bumi dan di langit, bertasbih kepada-
Nya dengan kehendak-Nya berdasarkan kekuasaan dan kebijaksanaan-
Nya, suci dari segala yang tidak layak dan tidak sesuai dengan ketinggian
dan kesempurnaan-Nya. Tuhan Yang Maha Perkasa, menundukkan segala
makhluk-Nya dengan kekuasaan-Nya, Maha Bijaksana dalam mengatur hal
ihwal mereka. Dia-lah yang lebih mengetahui kemaslahatan mereka, yang
akan membawa mereka kepada kebahagiaan mereka di dunia dan di
akhirat kelak.[3]
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Jumu’ah, 62: 1)

Kedua, manusia harus mengembannya  sesuai dengan kehendak pihak


yang mewakilkan kepemimpinan tersebut ( at-tasharruf bi-iradatil
mustakhlif), yakni Allah Ta’ala.

Apa yang dikehendaki Allah Ta’ala dari mereka yang telah diberi


kekuasaan di muka bumi?

Dia berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di


muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj, 22: 41)

Ayat di atas menegaskan bahwa mereka yang diberi kekuasaan di muka


bumi hendaknya melakukan hal-hal berikut ini:

1. Mendirikan shalat pada setiap waktu yang telah ditentukan sesuai


dengan yang diperintahkan Allah. Makna yang lebih luas adalah
bahwa para pemimpin Islam hendaknya membimbing umat Islam
agar menjalankan shalat dan peribadahan dengan konsekuen,
mengarahkan mereka agar menjaga hubungan dengan
Allah Ta’ala, menjaga akhlak, keimanan, dan ketakwaan mereka.
Karena salah satu tujuan dari shalat adalah menyucikan jiwa dan
raga, mencegah manusia dari perbuatan keji dan perbuatan
mungkar serta mewujudkan takwa yang sebenarnya.
2. Menunaikan zakat. Makna yang lebih luas adalah bahwa para
pemimpin Islam hendaknya mengarahkan umatnya agar meyakini
bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak orang-orang fakir dan
miskin. Dengan kata lain, seorang pemimpin Islam hendaknya
berupaya mewujudkan solidaritas sosial di tengah-tengah umatnya,
diantaranya adalah dengan menegakkan syariat zakat.
3. Menyuruh manusia berbuat makruf dan mencegah
perbuatan munkar. Para pemimpin Islam memiliki tugas untuk
mendorong manusia mengerjakan amal saleh, memimpin manusia
malalui jalan lurus yang dibentangkan Allah, dan dengan
kekuatannya, mereka mencegah orang-orang yang biasa
mengerjakan larangan-larangan Allah. Dengan kata lain, seorang
pemimpin Islam berkewajiban menjalankan fungsi kontrol sosial.

Tindakan mereka sesuai dengan firman Allah Ta’ala,


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan
beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110)

Ketiga, dalam mengembannya manusia tidak boleh menentang peraturan


yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala (‘adamut ta’addi ‘alal hudud).

Sebagai pengemban khilafah, manusia wajib melaksanakan peraturan Allah


dan menjaganya. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri
orang beriman itu adalah,

“…dan yang memelihara hukum-hukum Allah.” (QS. At-Taubah, 9: 112)

Jadi, sebagai individu dan pemimpin, manusia harus berupaya menjaga


diri dan umatnya agar tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah
ditetapkan Allah Ta’ala, yaitu berupa syariat dan hukum-hukum-Nya demi
kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

*****

Bagi manusia yang memilih sikap khianat, maka Allah Ta’ala akan


mengazab dan menghinakannya, na’udzubillahi min dzalik. Mereka yang
tidak mau menggunakan potensi dirinya untuk beribadah, diumpakan oleh
Allah Ta’ala dengan berbagai perumpamaan yang hina:

Kal an’am (bagaikan binatang ternak).

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)


kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7: 179)

Kal kalbi (bagaikan anjing).

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan


(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya
seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika
kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian
itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.” (QS. Al-A’raf, 7: 176)
Kal qirdi (seperti monyet dan kal khinzir (seperti babi).

“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-


orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu
disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di
antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang)
menyembah thaghut ?’. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih
tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah, 5: 60)

Kutukan yang disebutkan dalam ayat di atas -dan juga disebutkan dalam
surat Al-Baqarah ayat 65- adalah menceritakan tentang orang-orang
Yahudi pada masa lalu yang melanggar ketentuan yang terdapat di dalam
Taurat. Mereka meninggalkan kewajiban beribadah pada hari Sabtu hanya
karena ingin melakukan pekerjaan duniawi menangkap ikan di laut,
dimana pada hari itu ikan-ikan di laut bermunculan dan mudah ditangkap.

Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “Fisik


mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa dan sifat mereka
dirubah menjadi seperti kera. Oleh sebab itu mereka tidak dapat menerima
pengajaran dan tidak dapat memahami ancaman”

Namun, jumhur ulama berpendapat, bahwa mereka benar-benar bertukar


rupa menjadi kera. Disebut di dalam riwayat lain bahwa mereka yang
dirubah menjadi kera itu, tidak beranak, tidak makan, tidak minum dan
tidak dapat hidup lebih dari tiga hari.[4]

Mengenai kutukan ini Ibnu Mas’ud berkata,

“Kami pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam


tentang kera dan babi, ‘Apakah kera dan babi yang ada sekarang
merupakan keturunan dari orang-orang Yahudi ?’. Maka Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, sesungguhnya Allah
sama sekali belum pernah mengutuk suatu kaum, lalu membiarkan
mereka berketurunan. Tetapi kera dan babi yang ada merupakan
makhluk yang telah ada sebelumnya. Dan ketika Allah murka terhadap
orang-orang Yahudi, maka Dia mengutuk mereka dan menjadikan
mereka seperti kera dan babi.’” (HR. Muslim)

Kal khasabi (seperti kayu).

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan


kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan
mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka
mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.
Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap
mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka
sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun, 63: 4)
Ayat di atas menyebutkan tentang orang-orang munafik. Mereka memiliki
penampilan yang baik, pandai berbicara, dan berlisan fasih. Perkataan
mereka membuat pendengarnya akan terpesona. Padahal kenyataannya
hati mereka sangat lemah, rapuh, mudah sok, penakut, dan pengecut.
Kalbu mereka kosong dari iman. Mereka bagaikan kayu yang tersandar, tak
ada kehidupan dalam diri mereka. Manakala terdengar seruan
sebagaimana seruan di dalam kemiliteran, atau bagaikan seruan orang
yang mencari barang yang hilang, mereka rasakan hal itu ditujukan kepada
mereka. Demikian itu karena hati mereka sudah memendam rasa kecut dan
takut terhadap hal-hal yang akan menimpa mereka yang memperbolehkan
darah mereka dialirkan.[5]

Kal hijarah (seperti batu).

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang
terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh
ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-
sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 74)

Ayat di atas berbicara tentang watak orang-orang Yahudi. Sesudah mereka


diberi petunjuk ke jalan yang benar dan mereka sudah pula memahami
kebenaran itu, mereka lari darinya dan hati mereka mengeras seperti batu
bahkan lebih keras lagi. Padahal sekeras apa pun batu, oleh suatu sebab
dapat terbelah atau retak. Lalu memancarlah air dan kemudian berkumpul
menjadi anak-anak sungai. Kadang-kadang batu-batu itu jatuh dari gunung
karena patuh kepada kekuasaan Allah. Tapi, hati orang Yahudi lebih keras
dari batu bagaikan tak mengenal retak sedikit pun. Hati mereka tak
terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama ataupun nasihat-nasihat yang
biasanya dapat menembus hati manusia.

Kal himar (seperti keledai).

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat,


kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan
kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Jum’ah, 62: 5)

Orang yang tidak mau mengamalkan isi kitabullah diumpamakan oleh


Allah Ta’ala seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Bahkan
mereka lebih bodoh lagi dari keledai, karena keledai itu memang tidak
mempunyai akal untuk memahaminya sedangkan mereka itu mempunyai
akal tetapi tidak dipergunakanan.
Kal ‘ankabut (seperti laba-laba).

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung


selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau
mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut, 29: 41)

Orang yang berkhianat kepada Allah Ta’ala, yakni mereka yang berbuat


musyrik, tak ubahnya bagaikan laba-laba yang membuat sarang, sangat
rapuh dan lemah, sebab sarang laba-laba itulah ibarat dari suatu bangunan
rumah yang sangat rapuh.

*****

Oleh karena itu, at-thaqah (potensi), as-sam’u (pendengaran), al-


basharu (penglihatan), dan al-fuadu (hati) yang telah dianugerahkan
Allah Ta’ala kepada kita harus dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh
untuk menjalankan amanah, sehingga Allah Ta’ala akan memuliakan kita
di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai