Anda di halaman 1dari 4

Ahammiyatu Syahadatain (Pentingnya Dua Kalimat Syahadat)

Urgensi Syahadatain (QS. 4:41 , 2:143 )

Pintu masuk ke dalam Islam (QS. 7:172 , 47:19 )

Intisari ajaran Islam (QS. 21:25 , 45:18 )

Konsep dasar reformasi total (QS. 6:122 , 13:11 ).

Hakikat da'wah para Rasul (QS. 21:15 , 3:31 , 6:19 , 16:36 )

Keutamaan yang besar (Hadits: Man qala Lailaha illallah, dakhalal jannah)

URGENSI SYAHADATAIN
Syahadatain adalah rukun Islam yang pertama. Ia adalah fondasi bagi tegaknya rukun-rukun
yang lain. Artinya, semakin kokoh pemahaman dan penghayatan syahadatain, akan semakin
kokoh pula komitmen terhadap rukun-rukun Islam secara khusus dan terhadap seluruh ajaran
Islam secara umum. Dengan demikian, sangatlah penting mempelajari kalimat persaksian ini
sehingga tumbuh kefahaman, keyakinan dan kemantapan iman.
Syahadatain itu penting diantaranya karena beberapa alasan berikut ini, wallahu a’lam:
Madkhalun Ilal Islam (Pintu gerbang masuk ke dalam Islam)
Seseorang diakui sebagai seorang muslim diantaranya jika memenuhi tiga syarat: (1)
Mengakui rububiyyah Allah, (2) Mengakui uluhiyah Allah, dan (3) Mengakui risalah Nabi
Muhammad saw.
Mengakui rububiyyah Allah:
Sesungguhnya manusia telah diciptakan oleh Allah ta’ala dalam keadaan fitrah, mengakui
rububiyyah Allah ta’ala:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam
keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman),
‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami
bersaksi’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,
‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”. (QS. Al-A’raf, 7: 172)
Seluruh manusia pasti mengakui Allah sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemilik alam
semesta. Tidak ada yang mengingkari Dia sebagai Rabb kecuali para penganut faham
materialis-atheis. Bahkan kaum musyrikin sekalipun mengakui rububiyyah Allah ini, seperti
telah diungkapkan di dalam Al-Qur’an:
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan?’ pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka mengapa
mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)” (QS. Al-Ankabut, 29: 61)
“Dan jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu
dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?’ Pasti mereka akan menjawab,
‘Allah’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah,’ Tetapi kebanyakan mereka tidak
mengerti”(QS. Al-Ankabut, 29: 63)
“Katakanlah (Muhammad), ‘Milik siapakah bumi, dan semua yang ada di dalamnya, jika
kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, “Milik Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu
tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan Yang memiliki langit yang tujuh dan yang
memiliki Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka
mengapa kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapa yang ditangan-Nya berada kekuasaan
segala sesuatu. Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi (dari azabnya), jika
kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian)
maka bagimana sampai kamu tertipu?” (QS. Al-Mu’minun, 23: 84-89)
Mengakui uluhiyyah Allah dan Risalah:
Akan tetapi pengakuan akan rububiyyah Allah ini tidak otomatis menghantarkan mereka menjadi
seorang muslim, kecuali menyempurnakannya dengan mengakui uluhiyyah Allah ta’ala dan
mengakui Risalah Muhammad saw.

Dengan kata lain—untuk menjadi seorang muslim—tidak cukup hanya dengan mengatakan: “Saya
mengakui Allah adalah Pencipta”, “Saya mengimani Allah adalah Pemelihara”, “saya meyakini Allah
adalah Pemilik langit dan bumi” tanpa disertai pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat
yang wajib diiibadahi dan Muhammad adalah benar-benar utusan Allah yang membawa risalah dari-
Nya, Laa ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah.

Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita pentingnya syahadatain: ia adalah kalimat pengakuan akan
uluhiyyah Allah ta’ala dan kebenaran risalah Muhammad saw. Dengan kalimat inilah kita diakui
sebagai seorang muslim, madkhalun ilal Islam.

Khulaashatu ta’aaliimil Islam (Intisari Ajaran Islam)


Intisari ajaran Islam itu ada dua: Pertama, beribadah kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan hanya kepada-Nya:“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan
ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama…” (QS. 98:
5); Penghambaan kepada Allah adalah ajaran Islam sepanjang zaman. Tidak ada seorang
rasul pun kecuali membawa ajaran tauhid ini: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum Engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku”. (QS. 21: 25).
Kedua, beribadah berlandaskan manhaj-Nya, yakni dengan cara mengikuti contoh teladan
Nabi Muhammad saw (ittiba): “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” (QS. 33: 21).
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi
mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”. (QS. 33: 36).
“Katakanlah Muhammad: ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyanyang”.
(QS. 3: 31).
Dua intisari ajaran Islam ini terkandung dalam syahadatain, Laa Ilaaha illa-llah
Muhammadur-rasulullah.
Jadi, segala bentuk peribadatan—yang dilakukan oleh seorang muslim secara fardhiyyan
(individu) maupun secara jama’iyyan (kolektif)—sesungguhnya bermuara kepada
syahadatain ini; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, penegakan hukum, tazkiyatu nafs, dakwah,
akhlakul karimah, dan lain sebagainya, adalah implementasi syahadatain. Semuanya itu
adalah konsekwensi amaliyah dari persaksian manusia di hadapan Allah ta’ala. Karena itulah
syahadatain disebut sebagai intisari ajaran Islam.
Asasul Inqilab (Dasar-dasar Perubahan Total)
Syahadatain penting karena ia adalah asas perubahan total: individu dan masyarakat. Mari
kita buka lembaran sejarah para sahabat seperti Umar bin Khattab, Mush’ab bin Umair,
Salman Al-Farisi, Saad bin Abi Waqash, dan yang lainnya, apakah yang membuat performa,
akal, hati, aktivitas, pemikiran dan aqidah mereka berubah total?
Berikutnya renungkanlah kondisi bangsa Arab dahulu kala sebelum datangnya cahaya Islam;
kebanyakan mereka terlilit kebodohan, kehinaan, kefakiran dan perpecahan. Mereka
bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh 2 negara super power waktu itu (Romawi dan
Persia). Tapi tiba-tiba berubah total menjadi bangsa yang memiliki pengetahuan, izzah,
kekayaan dan rasa persaudaraan yang kokoh, sehingga mampu menggetarkan para tirani
durjana.
Apakah yang membuat semua itu terjadi? Tiada lain jawabannya, adalah karena cahaya Islam
yang menggelora dalam dada senantiasa hidup dibakar kalimat agung yang kokoh, Laa
ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah!
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri…” (QS. 13: 11)
Haqiqotu da’wati Rasuli (Hakikat Dakwah Rasul)
Syahadatain penting karena ia adalah hakikat dakwah Rasulullah saw:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu
semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia…” (QS. 7: 158)
Bahkan ia pun adalah hakikat dakwah para rasul terdahulu:
“Dan sungguh, kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan),
‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut’…” (QS. 16: 36)
“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami
wahyukan, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah
Aku”. (QS. 21: 25).
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk memahami, mengamalkan, dan
mendakwahkannya kepada segenap umat manusia di muka bumi ini.
“Dan kami tidak mengutus Engkau (Muhammad) melainkan kepada semua umat manusia
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (QS. 34: 28)
Fadhaailun ‘adhziimah (Keutamaan yang Besar)
Syahadatain itu penting karena mengandung keutamaan yang besar. Ali Juraisyah[1]
menyatakan bahwa dengan mengucapkan kalimat syahadat seseorang akan mendapatkan dua
keuntungan, yaitu keuntungan duniawi dan keuntungan ukhrawi.
Keuntungan di dunia adalah ia diakui sebagai seorang muslim, darah dan hartanya
terlindungi. Rasulullah bersabda,
“Aku diperintahkan untuk memerangi orang, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan mereka beriman kepadaku dengan apa yang aku bawa. Siapa yang
mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’, maka dirinya dan hartanya terlindung dariku, kecuali
dengan haknya, dan perhitungan selanjutnya terserah kepada Allah” [2].
Sepatah kalimat saja sudah cukup untuk melindungi darah dan harta seseorang, dan sekaligus
memasukkannya ke dalam diinul Islam. Kita tidak diperintahkan untuk membedah dada
seseorang untuk mengetahui isi hatinya,
“Aku tidak diperintahkan untuk melubangi kalbu orang dan membelah dada mereka.” [3]
Oleh karena itu Nabi pernah menegur Usamah bin Zaid cukup keras karena telah membunuh
seseorang dalam peperangan, padahal orang tersebut telah mengucapkan laa ilaaha illallah.
Nabi tidak menerima alasan Usamah yang menyatakan bahwa orang tersebut mengucapkan
laa ilaaha illallah hanya karena ingin menyelamatkan diri, bukan karena keimanan.[4]
Adapun keuntungan akhiratnya—lanjut Ali Juraisyah—ialah bahwa seseorang yang
mengucapkan kalimat syahadat akan dikeluarkan dari neraka, asalkan ucapannya itu
didukung oleh keimanan meskipun hanya sebesar debu! Artinya dengan syahadat ia akan
terselamatkan dari mendekam selama-lamanya di dalam neraka. Hal ini ditegaskan oleh Nabi
saw,
“Akan keluar dari api neraka siapa yang pernah mengucapkan laa ilaaha illallaah, sedang
di dalam kalbunya terdapat kebaikan meskipun hanya seberat syairah (jawawut) kemudian
akan keluar dari api neraka siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah, sedang dalam
kalbunya terdapat kebaikan meskipun hanya seberat burrah (gandum), kemudian akan
keluar dari api neraka siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, sedang dalam kalbunya
terdapat kebaikan meskipun hanya seberat zarrah (debu).” [5]
Wallahu a’lam.
*****

[1] Al-Iimanul Haq, Beriman Yang Benar, Gema Insani Press, hal. 25
[2] HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i.
[3] HR. Muslim
[4] Hadits Muttafaqun ‘alaih, riwayat Abu Hurairah

Anda mungkin juga menyukai