Anda di halaman 1dari 2

At-Tadhiyah

Ajruki ‘ala qadri nashabiki" (Ganjaranmu tergantung kadar lelahmu)


HR. Muslim dari Aisyah. RA.

Kemauan Berkurban dan Sikap Jujur


Kemauan yang jujur akan wujud dalam aplikasi yang berani menantang bahaya dan segala hambatan, seperti
akar yang sehat menembus tanah yang keras dan bebatuan. Ketika kaum beriman dihadang berulang kali, yang
muncul adalah keberanian dan kelezatan merespon tantangan. Dua kali mereka berhasil dengan gemilang
memukul mundur serangan kuffar Quraisy di Badar dan Uhud dalam rentang waktu yang amat singkat.
Ternyata masih disusul dengan serangan sekutu yang secara kuantitatif tak seimbang (gabungan Yahudi,
Quraisy, Ghathafan dan Munafiqun). Mungkin kekuatan lain sudah shock, tetapi alih-alih dari itu semua,
mereka serentak mengungkapkan sikap yang sama dan padu "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya dan
benarlah Allah dan Rasul-Nya" (QS. Al-Ahzab: 22).

Tidak seperti hewan yang digemukkan dengan memberi makanan, ternyata iman dan amal shalih digemukkan
dengan pengurbanan. Semakin sedikit tubuh mendapatkan respon bagi kenikmatan syahwatnya maka semakin
besar ruh berkurban.

Manusia semacam Bal’am adalah sejenis makhluk yang tak henti-hentinya mengikuti tarikan gravitasi syahwat
dan mulutnya selalu berliur oleh selera dunia. Berapapun ia diberi, tetaplah ia menjulur, bagaikan anjing (QS.
Al Araf: 175). Ia akan rela mengurbankan kehormatannya sebagai orang berilmu demi dunia yang tak pernah
memuaskan dahaga. Pasanglah jam dan perhiasan mahal di tangan seharga 1 miliar, lalu lemparkan sepotong
tulang dengan sedikit saja daging dan lihatlah apakah anjing itu tetap tertegun melihat kilauan perhiasan yang
sangat mahal ataukah akan berlari mengejar tulang? Ah, jangankan perbandingan miliar dengan tulang betulan,
bayang-bayang tulang yang dilihatnya di permukaan telaga membuatnya terjerumus oleh bayang-bayang tulang
di mulut anjing lain yang tak lebih dari bayang-bayang dirinya.

Jadi Orang Besar dengan Risiko Besar


Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu diminta waktunya sejenak oleh seseorang untuk suatu urusan kecil, beliau
mengatakan, ”Datanglah kepadaku dengan urusan besar, urusan kecil berikan buat yang lain.” Mengapa nabi
Ibrahim selalu meminta lisan shidq di kalangan generasi berikut ? Mengapa nabi Ismail dan Abu Bakar digelari
si jujur? Apa jadinya bila nabi Ibrahim gagal meninggalkan Ummu Ismail dan Ismail ’alaihissalam di lembah
tak bertanaman di sisi rumah-Nya yang dihormati (QS. Ibrahim: 37)? Apa jadinya bila Ismail ’alaihissalam
yang beranjak remaja memanfaatkan kemanusiaan bapaknya agar tak terjadi pengurbanan besar itu (QS. Shaad:
102)? Jelas mereka akan menjadi orang yang tak pernah punya peran di atas panggung sejarah, karena sejarah
tak pernah mau mengabadikan orang-orang biasa yang perjalanannya datar tanpa tantangan. Kadang orang
merasa ada dinamika dalam sejarah dan ia menontonnya tanpa berfikir ia sendiri mampu menjadi aktor sejarah.
Inilah thufuiliyat (sifat kekanak-kanakan) yang betapapun usia fisik telah jauh di ambang tua, namun fikiran
pemiliknya tertinggal di masa lalu yang lugu, mentah dan khas kanak-kanak.

Belakangan datang generasi yang tak merasakan lelahnya berkurban di zaman awal Islam, saat Muhajirin dan
Anshar bahu membahu membangun masyarakat baru Madinah dan tidak menjadikan Islam sebagai wacana
teoritik belaka. Mereka tak merasakan makan daun perdu padang pasir yang membuat luka kerongkongan dan
remah mereka menjadi sama dengan kotoran kambing dan unta. Mereka tak merasakan blokade tiga tahun di
Syi’b Abi Thalib, pergi meninggalkan tanah air atau disita harta dan dibunuhi keluarga mereka.

Suatu hari datanglah Mush’ab bin Umair ke majelis Rasulullah SAW dengan pakaian bertambal. Beliau
menangis mengenang masa-masa Mush’ab dimanjakan orang tuanya dalam jahiliyah. Beliau ingatkan para
sahabat: "Bagaimana kamu, bila kelak pagi kamu berpakaian kebesaran dan petang hari mengganti pakaian
kebesaran lainnya, piring-piring makanan datang silih berganti dan kamu sudah mulai memasang penutup
dinding seperti Ka’bah dibalut sitar (kelambu)." Para sahabat bertanya, “Bukankah saat itu kami jadi lebih baik,
karena dapat sepenuh waktu beribadah dan tercukupi kebutuhan pokok?" Rasulullah SAW menjawab, "Tidak,
kamu hari ini lebih baik daripada hari itu."

Pengurbanan dan Tabiat Dakwah


Ia adalah langkah kembali yang benar dan jalan menghindari eksploitasi pengurbanan manusia bagi
kepentingan Fira’unisme, Hamanisme, Qarunisme dan Bal’amisme. Dan target ini sesungguhnya target da’wah
itu sendiri, yaitu pembebasan. Ia perlindungan sejati bagi hamba-hamba tak berdaya, yang selama ini meniti
bukit kurban mereka yang salah dengan lelah, membawa sen demi sen uang yang mereka peroleh dengan
keringat dan darah, bagi monster periba yang kejam dan mati rasa, pemilik modal yang arogan dan sais kereta
kebendaan yang ringkih, tua dan berat, dihela keledai-keledai proletar dengan jasad yang semakin kurus,
dimangsa para kamerad elite yang tak bermalu, memimpin dengan fanatisme, dendam dan dusta.

Pengurbanan rakyat bodoh yang terus dibodohi oleh para pemimpin berbaju paderi dan kiai, yang
memanfaatkan kultus individu dan keyakinan lugu mereka tentang kewalian dan adi kodrati, padahal sang
pemimpin lebih dekat kepada ateisme daripada monoteisme, bahkan daripada politeisme sekalipun.
Pengurbanan menjadi shahih (bila) bila dapat mengantarkan atau mempersembahkan supremasi tertinggi di
tangan Allah dan termuliakannya darah dan nyawa, kehidupan dan kematian hamba, karena tertutup sudah
semua jalan bagi berjayanya para penipu, pemeras dan kalangan yang memperdayakan mayoritas mengambang.

Sesungguhnya pada generasi sebelum kamu, ada yang disisir dengan sisir besi yang menancap ke bawah
tulang, daging atau sarafnya. Semua itu tak mengalihkan mereka dari agama. Sungguh Allah akan
sempurnakan urusan ini, sampai seseorang dapat pergi sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut tanpa takut
kepada siapapun kecuali Allah" (Al Buthy, Fiqh Sirah 106)

Hanya Untuk-Nya
Dalil yang paling terang bahwa misi ini tak membuka peluang bagi pengurbanan individu untuk kepentingan
figur, adalah melimpahnya teks teks larangan kultus, sampai celaan yang sangat bagi seseorang yang senang
orang lain berdiri menyambut kedatangannya. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkunjung ke suatu tempat,
rakyat datang dengan sikap merunduk-runduk. ”Alangkah ruginya kelelahan yang berujung siksaan dan
alangkah beruntungnya sikap ringan yang berbuah aman dari neraka," demikian nasihatnya.

Seseorang dapat menikmati kekaguman masyarakat terhadap kuantitas ibadah ritualnya dan ia menikmati
ketenteraman beribadah sambil melupakan tugas jihad lisan mecegah kemunkaran di masyarakat, penaka
burung unta yang merasa telah aman karena berhasil menyembunyikan kepalanya ke dalam gundukan pasir,
namun ia tak pernah akan aman diri tuntutan Allah. Suatu hari Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk
menumpahkan adzab kepada penduduk suatu negeri. "Ya Rabbi, disana ada seorang shalih," lapor malaikat dan
Allah sungguh telah tahu hal itu. "Justru mulailah dari dia, karena tak pernah wajahnya memerah karena-Ku
(ketersinggungan karena kehormatan Allah dihinakan)." (HR. Ahmad).

Mahar pejuangan yang mahal, tidak hanya menjadi tiket menuju kemenangan generasi ta’sis (perintis), tetapi
juga bagi generasi sesudahnya. Dan mereka harus membayar dengan pengurbanan yang sama dalam bentuk,
format, dan gaya yang berbeda. Bagi generasi yang tak terdesak oleh jihad qital (tempur) selalu terbuka
pengurbanan dengan berbagai jalan: pengurbanan waktu, perasaan, harta, kesenangan diri, kenyamanan dan
lain sebagainya.

Mukmin sejati takkan bergembira karena tertinggal dari kesertaan berkurban, betapa pun udzur memberi
mereka rukhshah (keringanan), namun "Mereka berpaling dengan mata yang basah menangis, karena mereka
tak menemukan biaya (untuk biaya angkutan perang)."(QS. At Taubah: 92) Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai