Tidak seperti hewan yang digemukkan dengan memberi makanan, ternyata iman dan amal shalih digemukkan
dengan pengurbanan. Semakin sedikit tubuh mendapatkan respon bagi kenikmatan syahwatnya maka semakin
besar ruh berkurban.
Manusia semacam Bal’am adalah sejenis makhluk yang tak henti-hentinya mengikuti tarikan gravitasi syahwat
dan mulutnya selalu berliur oleh selera dunia. Berapapun ia diberi, tetaplah ia menjulur, bagaikan anjing (QS.
Al Araf: 175). Ia akan rela mengurbankan kehormatannya sebagai orang berilmu demi dunia yang tak pernah
memuaskan dahaga. Pasanglah jam dan perhiasan mahal di tangan seharga 1 miliar, lalu lemparkan sepotong
tulang dengan sedikit saja daging dan lihatlah apakah anjing itu tetap tertegun melihat kilauan perhiasan yang
sangat mahal ataukah akan berlari mengejar tulang? Ah, jangankan perbandingan miliar dengan tulang betulan,
bayang-bayang tulang yang dilihatnya di permukaan telaga membuatnya terjerumus oleh bayang-bayang tulang
di mulut anjing lain yang tak lebih dari bayang-bayang dirinya.
Belakangan datang generasi yang tak merasakan lelahnya berkurban di zaman awal Islam, saat Muhajirin dan
Anshar bahu membahu membangun masyarakat baru Madinah dan tidak menjadikan Islam sebagai wacana
teoritik belaka. Mereka tak merasakan makan daun perdu padang pasir yang membuat luka kerongkongan dan
remah mereka menjadi sama dengan kotoran kambing dan unta. Mereka tak merasakan blokade tiga tahun di
Syi’b Abi Thalib, pergi meninggalkan tanah air atau disita harta dan dibunuhi keluarga mereka.
Suatu hari datanglah Mush’ab bin Umair ke majelis Rasulullah SAW dengan pakaian bertambal. Beliau
menangis mengenang masa-masa Mush’ab dimanjakan orang tuanya dalam jahiliyah. Beliau ingatkan para
sahabat: "Bagaimana kamu, bila kelak pagi kamu berpakaian kebesaran dan petang hari mengganti pakaian
kebesaran lainnya, piring-piring makanan datang silih berganti dan kamu sudah mulai memasang penutup
dinding seperti Ka’bah dibalut sitar (kelambu)." Para sahabat bertanya, “Bukankah saat itu kami jadi lebih baik,
karena dapat sepenuh waktu beribadah dan tercukupi kebutuhan pokok?" Rasulullah SAW menjawab, "Tidak,
kamu hari ini lebih baik daripada hari itu."
Pengurbanan rakyat bodoh yang terus dibodohi oleh para pemimpin berbaju paderi dan kiai, yang
memanfaatkan kultus individu dan keyakinan lugu mereka tentang kewalian dan adi kodrati, padahal sang
pemimpin lebih dekat kepada ateisme daripada monoteisme, bahkan daripada politeisme sekalipun.
Pengurbanan menjadi shahih (bila) bila dapat mengantarkan atau mempersembahkan supremasi tertinggi di
tangan Allah dan termuliakannya darah dan nyawa, kehidupan dan kematian hamba, karena tertutup sudah
semua jalan bagi berjayanya para penipu, pemeras dan kalangan yang memperdayakan mayoritas mengambang.
Sesungguhnya pada generasi sebelum kamu, ada yang disisir dengan sisir besi yang menancap ke bawah
tulang, daging atau sarafnya. Semua itu tak mengalihkan mereka dari agama. Sungguh Allah akan
sempurnakan urusan ini, sampai seseorang dapat pergi sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut tanpa takut
kepada siapapun kecuali Allah" (Al Buthy, Fiqh Sirah 106)
Hanya Untuk-Nya
Dalil yang paling terang bahwa misi ini tak membuka peluang bagi pengurbanan individu untuk kepentingan
figur, adalah melimpahnya teks teks larangan kultus, sampai celaan yang sangat bagi seseorang yang senang
orang lain berdiri menyambut kedatangannya. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkunjung ke suatu tempat,
rakyat datang dengan sikap merunduk-runduk. ”Alangkah ruginya kelelahan yang berujung siksaan dan
alangkah beruntungnya sikap ringan yang berbuah aman dari neraka," demikian nasihatnya.
Seseorang dapat menikmati kekaguman masyarakat terhadap kuantitas ibadah ritualnya dan ia menikmati
ketenteraman beribadah sambil melupakan tugas jihad lisan mecegah kemunkaran di masyarakat, penaka
burung unta yang merasa telah aman karena berhasil menyembunyikan kepalanya ke dalam gundukan pasir,
namun ia tak pernah akan aman diri tuntutan Allah. Suatu hari Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk
menumpahkan adzab kepada penduduk suatu negeri. "Ya Rabbi, disana ada seorang shalih," lapor malaikat dan
Allah sungguh telah tahu hal itu. "Justru mulailah dari dia, karena tak pernah wajahnya memerah karena-Ku
(ketersinggungan karena kehormatan Allah dihinakan)." (HR. Ahmad).
Mahar pejuangan yang mahal, tidak hanya menjadi tiket menuju kemenangan generasi ta’sis (perintis), tetapi
juga bagi generasi sesudahnya. Dan mereka harus membayar dengan pengurbanan yang sama dalam bentuk,
format, dan gaya yang berbeda. Bagi generasi yang tak terdesak oleh jihad qital (tempur) selalu terbuka
pengurbanan dengan berbagai jalan: pengurbanan waktu, perasaan, harta, kesenangan diri, kenyamanan dan
lain sebagainya.
Mukmin sejati takkan bergembira karena tertinggal dari kesertaan berkurban, betapa pun udzur memberi
mereka rukhshah (keringanan), namun "Mereka berpaling dengan mata yang basah menangis, karena mereka
tak menemukan biaya (untuk biaya angkutan perang)."(QS. At Taubah: 92) Wallahu’alam.