Anda di halaman 1dari 12

MENGOBATI HATI DARI PENYAKIT RIYA'

Khutbah I

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Takwa adalah kata yang ringan untuk diucapkan,
akan tetapi berat dalam timbangan amal perbuatan. Takwa tempatnya adalah hati. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dadanya tiga kali dan mengatakan: 

Maknanya: “Takwa ada di sini, takwa ada di sini” (HR Ahmad dalam Musnad-nya).
Jadi, hati adalah pemimpin anggota badan. Jika hati baik, maka seluruh anggota badan
akan baik sehingga orang menjadi bertakwa. Sebaliknya jika hati rusak, maka anggota
badan menjadi rusak sehingga orang menjadi pelaku maksiat. Maka marilah kita
bertakwa kepada Allah, yaitu melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua
yang diharamkan serta mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan akhirat.
Allah ta’ala berfirman:

Maknanya: “(yaitu) di hari yang harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang dihisab oleh Allah dengan hati yang bersih (dari kekufuran)” (QS asy-
Syu’ara’: 88-89)
Saudaraku seiman rahimakumullah,
Oleh karenanya mari kita perbaiki hati kita dengan menerapkan adab-adab yang
diajarkan dalam Islam secara lahir dan batin. Kita obati hati dengan mengikuti ajaran
Allah ta’ala dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita obati hati kita
karena hati memiliki penyakit-penyakit yang tidak bisa diobati oleh para dokter.
Penyakit-penyakit hati itu hanya bisa diobati dengan kesungguhan kita mengikuti
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Di antara penyakit hati adalah riya’, yaitu melakukan bentuk ketaatan agar dilihat oleh
orang lain dengan tujuan mengharapkan pujian darinya. Allah ta’ala berfirman:

Maknanya: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS al Bayyinah: 5)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Mari kita ikhlaskan niat selalu hanya karena Allah ta’ala dan jangan sampai jatuh pada
maksiat riya’. Sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits qudsi
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman:

Maknanya: “Aku tidak menerima tujuan lain dalam beramal, barangsiapa melakukan
satu amal perbuatan dan memiliki tujuan lain selain ridha-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya dan tidak menerimanya” (HR Muslim) Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah,
Jika kita melakukan suatu amal perbuatan untuk mencari pahala dari Allah dan
sekaligus mengharap pujian sesama manusia, maka Allah tidak akan menerima amal
tersebut dari kita. Jadi seseorang yang melakukan amal perbuatan yang disertai riya’,
maka tidak ada pahalanya sama sekali, bahkan dia berdosa karena riya’nya. Oleh
karenanya, marilah kita introspeksi diri. Kita awasi dan amati hati kita.
Jika kita melakukan shalat lima waktu sendirian, kita tidak mengiringinya dengan shalat
sunnah rawatib, tapi jika kita shalat berjamaah di masjid, kita mengiringinya dengan
shalat sunnah rawatib. Kita tanyai diri kita, kenapa kita melakukan itu?
Jika kita melakukan shalat sendirian, kita selesaikan dengan cepat dan hanya
melakukan rukun-rukunnya saja, sedangkan jika berada di tengah-tengah banyak orang
kita perpanjang shalat kita, kita berusaha untuk menghadirkan rasa khusyu’ dan kita
baguskan shalat kita, maka tanyakanlah kepada diri kita, kenapa kita melakukan itu?
Apakah kita menginginkan pujian sesama hamba? Apakah kita ingin agar dihormati oleh
mereka? Apakah ini lebih kita sukai daripada ridha Allah ta’ala? Padahal seluruh
manusia adalah makhluk-makhluk ciptaan Allah sama seperti kita. Mereka tidak dapat
menciptakan manfaat maupun mudlarat. Mereka tidak bisa memberikan manfaat
kepada kita atau mencelakai kita kecuali atas kehendak Allah. Kenapa kita memilih
dicela oleh Allah agar dipuji oleh sesama hamba? Pujian mereka kepada kita tidak akan
menambah rezeki, tidak menunda ajal dan tidak bermanfaat bagi kita dalam kehidupan
akhirat. Oleh karenanya, obatilah hati kita dari penyakit riya`. Kita jadikan ridha Allah
Sang pencipta kebaikan dan keburukan sebagai tujuan kita. Kita ikhlaskan niat karena
Allah dan jangan kita pedulikan apakah orang mencela atau memuji kita. Sungguh
kebaikan seluruhnya ada pada ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah bersama-sama kita renungkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Sulaiman bin Yasar, ia berkata:
Ketika majelis Abu Hurairah usai dan orang-orang pergi meninggalkan majelis, maka
Natil–seorang penduduk Syam–berkata kepada Abu Hurairah: Wahai Guru,
sampaikanlah kepada kami sebuah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah berkata: Iya, aku telah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang pertama kali diberikan keputusan
kepadanya di hari kiamat adalah orang yang tewas di medan peperangan. Ia pun
didatangkan dan diingatkan tentang nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya di dunia
maka dia pun mengingatnya. Dikatakan kepadanya: Apa yang engkau lakukan terhadap
nikmat-nikmat tersebut? Dia pun menjawab: aku berperang di jalan-Mu hingga aku
mati syahid. Maka dikatakan kepadanya: Engkau telah berdusta, engkau berperang
untuk dikatakan sebagai pemberani dan itu sudah dikatakan. Kemudian diperintahkan
agar orang tersebut diseret dengan posisi muka di bawah hingga dilempar ke neraka.
Begitu juga seorang hamba yang telah mempelajari ilmu agama, mengajarkannya dan
rajin membaca al Qur`an, maka didatangkan dan diberitahukan nikmat-nikmat yang
diberikan kepadanya, maka ia pun mengingatnya. Ditanyakan kepadanya: Apakah yang
engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Ia menjawab: Aku mempelajari ilmu,
mengajarkannya dan membaca al Qur`an karena-Mu ya Allah. Dikatakan kepadanya:
Engkau berdusta, kenyataannya engkau mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai
ulama, engkau membaca al Qur`an agar engkau dikatakan pandai membaca al Qur`an
dan ini telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret dengan posisi
muka di bawah sehingga dilempar ke neraka. Begitu juga seseorang yang Allah
lapangkan rezekinya dan Allah berikan kepadanya seluruh jenis harta, maka ia
didatangkan, diingatkan tentang nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengingatnya.
Dikatakan kepadanya: Apa yang engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Ia
pun menjawab: Aku tidak meninggalkan jalan infaq yang Engkau anjurkan kecuali aku
infaqkan hartaku untuk meraih ridha-Mu ya Allah. Lalu dikatakan kepadanya: Engkau
berdusta, engkau lakukan ini agar dikatakan sebagai dermawan dan itu telah dikatakan.
Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret dengan posisi muka di bawah sehingga
dilemparkan di neraka” (HR Muslim). Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Jika kita
melakukan shalat, maka kita lakukan karena Allah. Jika kita bersedekah, maka kita
bersedekah karena Allah. Jika kita perindah akhlak, kita lakukan itu karena Allah. Jika
kita belajar ilmu agama, maka juga karena Allah. Jika kita mengajarkan ilmu agama,
maka kita mengajar karena Allah. Jika kita menaati Allah, maka kita taat karena
semata-mata ingin meraih ridha-Nya. Jika kita melakukan itu semua bukan karena Allah
melainkan karena tujuan-tujuan lain, maka sia-sialah umur kita dan alangkah ruginya
waktu kita.
Hadirin rahimakumullah,
Demikian khutbah yang singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

Khutbah II
‘NORMAL BARU’ UNTUK MEMADAMKAN API JAHANAM

Khutbah I

Jamaah Jumat rahimakumullah,


Marilah kita bersyukur, bertaubat memohon ampun kepada-Nya. Marilah pada Jumat
ini kita tingkatkan takwa dan kita berkahi diri kita dengan cahaya dari Surat al-Anfal 33.
Allah berfirman:

“Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Dan Allah tidak
akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun” (QS al-Anfal: 33).
Ayat ini memberi petunjuk pada kita istighfar dan shalawat adalah dua sarana yang
sangat kuat mempercepat turunnya pertolongan Allah subhanahu wata’ala agar wabah
ini segera berakhir.
Dalam ikhtiar untuk menghilangkannya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam Adabus Suluk
wat Tawasul memberi nasihat: bertawakal, bersabar, dan sebisanya berusaha
mensyukurinya.
“Janganlah memilih kenikmatan saja dan menolak musibah. (..) Jika telah menjadi
bagianmu, maka ia akan menuntunmu, baik ketika engkau menghendakinya atau
engkau berusaha untuk menghilangkannya dengan berdoa, bersabar atau menguatkan
diri pada apa yang menjadi keridhaan Allah.”
Karena wabah, dosa dihapus, batin dibersihkan, dekat pada Allah dan dari generasi ini
dan keturunannya insyaallah akan terlahir wali-wali Allah, dan usaha-usaha yang
sukses.
“Serahkan semuanya kepada Allah, sebab ketentuan-Nya akan berlaku kepada dirimu.
Berusahalah untuk mensyukurinya sesuai dengan kadar kemampuan dirimu. Dengan
begitu, engkau menempati kedudukan orang-orang terdahulu dari golongan shiddiqqin,
syuhada, dan shalihin.”
Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya neraka
Jahanam itu berkata kepada seorang Mukmin; ‘Hai Orang Mukmin, lewatlah engkau di
atasku. Sungguh, nyala apiku telah padam dengan cahayamu!” (HR Thabrani).
Tidaklah cahaya seorang Mukmin yang membuat padam kobaran api neraka Jahanam
itu, kecuali hanyalah cahaya yang telah mendampinginya di kehidupan dunia, yang
ditunjukkan dengan kesabaran menghadapi cobaan. “Padamkan api neraka jahanam
dengan kesabaran dan keikhlasan itu,” kata Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Mari kita jadikan istighfar, tawakkal, sabar, dan ikhlas ini sebagai “normal baru”. Jika
bentangan peristiwa ini terasa berat mari kita ingat firman Allah: "Dan janganlah kamu
(merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang yang beriman" (QS Ali 'Imran 3: 139).

Khutbah II
6 HAL YANG MEMBUAT HATI RUSAK MENURUT HASAN AL-BASHRI

Khutbah I

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ‫ ﷺ‬mengingatkan:

“Ingatlah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula
seluruh jasad. Jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah
hati (jantung).” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini bisa dimaknai dalam dua sudut pandang. Pertama, secara jasmani. Secara
lahiriah, Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬berpesan tentang betapa vitalnya fungsi
jantung (bahasa Arab: qalb) dalam tubuh manusia. Jantung punya fungsi utama
memompa darah ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Jantung bertugas pula
menyalurkan nutrisi ke seluruh tubuh dan membuang sisa metabolisme tubuh. Jantung
yang normal adalah pangkal jasmani yang sehat. Sebaliknya, ketika jantung mengalami
gangguan, maka terganggu pula kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Kedua, secara rohani. Istilah qalb dimaknai sebagai apa yang sering kita sebut dengan
“hati”. Hati memang tak kasat mata tapi pengaruhnya kepada setiap gerak-gerik
manusia amat menentukan. Ia tempat berpangkalnya niat. Tulus atau tidak, jujur atau
pura-pura, lebih sering hanya diketahui oleh Allah dan pemilik hati sendiri. Dalam Islam,
hati merupakan sesuatu yang paling pokok. Ibarat jantung, rusaknya hati berarti
rusaknya tiap perilaku manusia secara keseluruhan. Maksud dari hadits Rasulullah tentu
lebih pada pemaknaan yang kedua ini.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Untuk menjaga agar hati tetap “sehat”, perlu kiranya kita menjawab sebuah
pertanyaan: apa yang menyebabkan hati rusak? Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab
Munabbihât ‘ala Isti‘dâdi li Yaumil Mî‘âd memaparkan penjelasan Imam Hasan al-Bashri
bahwa setidaknya ada enam hal yang membuat hati manusia menjadi rusak.
Pertama, berbuat dosa dengan berharap kelak ia bisa bertobat. Ia sadar bahwa apa
yang dilakukan adalah kedurhakaan, tapi berangan-angan ia bisa menghapus
kesalahan-kesalahan kini di kemudian hari. Ini merupakan sebuah kesombongan karena
terlalu percaya diri bahwa Allah akan memberinya kesempatan bertobat lalu
melimpahinya rahmat. Juga masuk kategori sikap meremehkan karena perbuatan dosa
dilakukan bukan karena kebodohan melainkan kesengajaan. Alih-alih tobat bakal
datang, bisa jadi justru hati makin gelap, dosa-dosa kian menumpuk, dan kesadaran
untuk kembali kepada Allah makin tumpul.
Kedua, berilmu tapi tidak mau mengamalkannya. Pepatan bijak mengatakan, al-‘ilmu
bilâ ‘amalin kasy syajari bilâ tsamarin (ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah).
Pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dari setiap pengetahuan tentang hal-hal baik
adalah tujuan dari ilmu. Hal ini juga menjadi penanda akan keberkahan ilmu.
Pengertian “tidak mengamalkan ilmu” bisa dua: mendiamkannya hanya sebagai koleksi
pengetahuan dalam kepala, atau si pemilik ilmu berbuat yang bertentangan dengan
ilmu yang dimiliki. Kondisi ini bisa menyebabkan rusaknya hati.
Ketiga, ketika seseorang beramal, ia tidak ikhlas. Setelah ilmu diamalkan, urusan belum
sepenuhnya beres. Sebab, manusia masih dihinggapi hawa nafsu dari mana-mana. Ia
mungkin saja berbuat baik banyak sekali, namun sia-sia belaka karena tidak ada
ketulusan berbuat baik. Ikhlas adalah hal yang cukup berat sebab meniscayakan
kerelaan hati meskipun ada yang dikorbankan.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Keempat, memakan rezeki Allah tapi tidak mau bersyukur. Karunia dan syukur
merupakan pasangan yang tak bisa dipisahkan. Jika tidak ada kehidupan manusia di
dunia ini yang luput dari karunia Allah, maka bersyukur adalah pilihan sikap yang wajib.
Orang yang tak mau bersyukur adalah orang yang tidak memahami hakikat rezeki.
Jenis anugerah Allah mungkin ia batasi hanya kepada ukuran-ukuran yang bersifat
material belaka, misalnya jumlah uang, rumah, jenis makanan, dan lain-lain. Padahal,
rezeki telah diterima setiap saat, berupa nikmat bendawi maupun nonbendawi. Mulai
dari napas, waktu luang, akal sehat, hingga berbagai kecukupan kebutuhan lainnya
seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Hanya mereka yang sanggup
merenungkannya yang akan jauh dari kufur nikmat alias tidak bersyukur.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad mengartikan syukur dengan ijrâ’ul
a‘dlâ’ fî mardlâtillâh ta‘âlâ wa ijrâ’ul amwâl fîhâ (menggunakan anggota badan dan
harta benda untuk sesuatu yang mendatangkan ridha Allah). Artinya, selain ucapan
“alhamdulillah”, kita dianggap bersyukur bila tingkah laku kita, termasuk dalam
penggunaan kekayaan kita, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah ‫ﷻ‬.
Perusak hati yang kelima adalah tidak ridha dengan karunia Allah. Pada level ini, orang
bukan hanya tidak mau mengucapkan rasa syukur, tapi juga kerap mengeluh, merasa
kurang, bahkan dalam bentuknya yang ekstrem melakukan protes kepada Allah. Allah
memberikan kadar rezeki pada hambanya sesuai dengan proporsional. Tidak ada
hubungan langsung bahwa yang kaya adalah mereka yang paling disayang Allah,
sementara yang miskin adalah mereka yang sedang dibenci Allah. Bisa jadi justru apa
yang kita sebut “kurang” sebenarnya adalah kondisi yang paling pas agar kita selamat
dari tindakan melampaui batas. Betapa banyak orang berlimpah harta namun malah
lalai dengan tanggung jawab kehambaannya: boros, sombong, berfoya-foya, kikir,
tenggelam dalam kesibukan duniawi dan lupa akhirat, dan lain sebagainya.

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka


akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-
Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-
Nya lagi Maha Melihat." (QS Asy-Syura: 27)
Keenam, mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran darinya. Peristiwa
kematian adalah nasihat yang lebih gamblang daripada pidato-pidato dalam panggung
ceramah. Ketika ada orang meninggal, kita disajikan fakta yang jelas bahwa kehidupan
dunia ini fana. Liang kuburan adalah momen perpisahan kita dengan seluruh kekayaan,
jabatan, status sosial, dan popularitas yang pernah dimiliki. Selanjutnya, orang mati
akan berhadapan dengan semua pertanggungjawaban atas apa yang ia perbuat selama
hidup di dunia. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

“Sungguh liang kubur merupakan awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari
(siksaan)-nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak
selamat dari (siksaan)-nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR Tirmidzi)

Khutbah II

HINDARKAN DIRI DARI MENGGUNJING DI MEDSOS!


Khutbah I

Ma’asyiral hadirin, jamaah Jumat hafidzakumullah,


Pada kesempatan yang mulia ini, di tempat yang mulia ini, saya berwasiat kepada
pribadi saya sendiri dan juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita senantiasa
meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan selalu berusaha
melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya.
Semoga usaha takwa kita akan selalu terbawa sepanjang hayat sehingga kelak usaha
tersebut dapat menghantarkan kita saat dipanggil Allah subhanahu wa ta’ala dalam
keadaan mati husnul khatimah, amin ya Rabbal Alamin.
Hadirin hafidhakumullah,
Kita sekarang berada di zaman informasi tanpa sekat ruang dan waktu. Sebuah
kejadian di belahan bumi yang lain, misalnya di Amerika, Jepang dan sebagainya, pada
menit itu pula bisa kita mengakses informasinya tanpa menunggu beberapa hari
kemudian. Hal ini tercipta dengan mudah setelah berkembangnya teknologi informasi
dan media sosial (medsos) di tangan mayoritas masyarakat dunia.
Bagai pedang bermata dua, di satu sisi, atas segala kemudahan penyebaran informasi,
kita patut bersyukur karena media mencari informasi keilmuan terbuka luas, komunikasi
bisnis sangat terbantu. Namun, di satu sisi lain, lewat medsos pula, orang bisa menjadi
mudah melanggar norma-norma agama maupun tatanan sosial masyarakat.
Dahulu orang hanya bisa membicarakan keburukan orang lain harus menunggu
bertemu dan bertatap muka dengan lawan bicaranya terlebih dahulu, bicaranya
terbatas dengan waktu dan itu pun pendengarnya hanya terbatas beberapa orang saja.
Kini, dengan hadirnya medsos, seseorang bisa menceritakan kekurangan orang lain
hanya dengan apa yang ada dalam genggaman tangan, melalui tulisan, gambar, atau
video yang bisa diproduksi dalam hitungan menit. Dalam waktu sebentar saja konten
itu lalu menyebar ke mana-mana. Jutaan orang bisa mengakses dan hebatnya lagi,
gunjingan di media sosial tidak akan pernah hilang sebelum dihapus.
Menceritakan keburukan orang lain, dalam agama Islam dikenal dengan istilah ghîbah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diceritakan, suatu ketika
Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bertanya kepada para sahabat:

“Apakah kalian tahu apa itu ghibah?”


Para sahabat menjawab:

Kemudian Nabi menjawab:


”Ghibah adalah ketika kamu mengisahkan teman kamu tentang suatu yang tidak ia
sukai.
Lalu ada yang tanya kepada Nabi:

Bagaimana kalau yang saya katakan itu memang sesuai faktanya, Ya Rasul?”

“Ya kalau memang yang kamu katakan itu fatka, berarti kamu menggujingnya. Namun
jika yang kamu bicarakan tidak sesuai fakta, maka kamu membuat kedustaan terhadap
dirinya” (HR Muslim).
Hadirin hafidhakumullah,
Dalam pergaulan kekeluargaan dan masyarakat, kemungkinan besar kita akan
menemukan kekurangan-kekurangan orang di sekitar kita. Dan itu wajar, karena di
sekeliling kita adalah manusia. Tak ada manusia tanpa kekurangan di dunia ini. Jika
harus menuntut adanya manusia suci tanpa salah, seharusnya tuntutan tersebut
terlebih dahulu untuk diri kita sendiri ketimbang orang lain. Apabila kita kerap
mengaku, “Wah, saya ini manusia biasa yang terkadang tergelincir pada salah dan
dosa”, seharusnya seperti ini pula kita bersikap kepada orang lain. Jangan kalau kita
melakukan kesalahan minta dianggap wajar, tapi giliran orang lain yang melakukan
kesalahan, tidak kita salahkan dan gunjing habis-habisan.
Seseorang yang tidak mudah menganggap wajar kesalahan orang lain, ia akan mudah
menceritakan kesalahan-kesalahan mereka. Sekarang, fasilitas yang paling praktis
untuk menceritakan orang lain cukup banyak, mulai dari WA, Facebook, Instagram,
Twitter, Youtube dan lain sebagainya. Peluang untuk mengungkapkan isi hati atau
menceritakan kekurangan orang lain menganga besar.
Pergunjingan kini tak hanya berupa pembicaraan secara lisan melainkan pula bisa
berupa tulisan atau konten lainnya. Selama sarana tersebut efektif untuk
menyampaikan keburukan, selama itu pula dosa mengalir. Artinya, dosa ghibah bukan
hanya bersumber dari lidah tapi juga bisa tangan. Syekh Muhammad bin Salim Ba-
Bashil dalam kitab Is’adur Rafiq juz 2, hal. 105 menyatakan:

Artinya: “Di antara maksiat tangan adalah menuliskan satu hal yang haram diucapkan”
(Syekh Muhammad bin Salim Ba-Bashil, Is’adur Rafiq, juz 2, hal. 105).
Lebih jauh beliau melanjutkan bahwa menggunjing dan jenis dosa menulis yang lain
justru dosanya lebih besar dan lebih langgeng. Sebab apa? Karena potensi jangkauan
maksiat tersebut lebih luas, dan tidak akan bisa hilang dalam sekejap. Berbeda dengan
ucapan, sekali disampaikan, langsung tidak ada bekasnya. Walaupun kebencian yang
ditebar juga tetap berbahaya.
Oleh karena itu, baik melalui chat, telepon, video, sepanjang ada unsur
menggunjingnya, hukumnya adalah haram. Keharaman ini berlaku baik menggunjing
sesama Muslim atau pun menggunjing non-Muslim yang mereka tidak menyakiti kita.
Dalam kitab Az-Zawajir, Ibnu Hajar al-Haitami menceritakan bahwa Imam al-Ghazali
pernah ditanya tentang hukum menggunjing non-Muslim. Kemudian Imam al-Ghazali
menjawab:

“Bagi seorang Muslim menggunjing orang kafir dilarang karena tiga alasan.”

Pertama yaitu menyakiti hatinya. Menyakiti hati orang lain, selama dia tidak menyakiti
kita, baik itu Muslim atau non-Muslim, tidak dibenarkan.

Kedua, menganggap kurang ciptaan Allah. Padahal Allah-lah yang menciptakan semua
gerak-gerik hamba-hamba-Nya. (Menjelek-jelekkan non-Muslim di luar urusan
keyakinannya, sama juga menganggap ada yang kurang sempurna pada ciptaan Allah).

Katiga, boros waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.


Lebih lanjut, Imam Ghazali juga menyatakan:

Kafir dzimmi (non-Muslim yang tidak memerangi orang Muslim) hukumnya berlaku
sebagaimana orang Islam dalam hal masing-masing tidak boleh disakiti. Sesungguhnya
syara’ melindungi kehormatan, darah dan hartanya. (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawâjir,
[Dârul Fikr, Beirut, 1987], juz 2, halaman 27).
Hadirin hafidhakumullah,
Dalam bermedsos, di antara kita banyak pula yang menjadi silent reader atau pembaca
pasif. Tidak pernah menuliskan status di Facebook, tidak pernah berkomentar di WA
Group, namun aktif membaca ke sana kemari. Menjadi silent reader pun tak lantas
terbebas dari jeratan ghibah.
Sebagai silent reader, kita juga harus berhati-hati dalam memilih berteman, mem-follow
atau men-subscribe siapa? Karena apabila kita salah memilih teman, berada pada grup
yang keliru, men-subscribe orang-orang yang gemar menggunjing pihak lain, maka kita
akan dengan mudah menjadi otomatis membaca berita gunjingan mereka.
Imam Nawawi dalam kitabnya Hilyatul Anwar wa Syi’arul Abrar mengatakan:

“Menyimak sebuah gunjingan dan membiarkannya itu sama haramnya dengan


menggunjing itu sendiri. Bagi penyimak jika mempunyai kemampuan harus mencegah,
memberikan nasihat kepada pembuat konten. Minimal, jika tidak mampu manangkal,
hatinya harus inkar dan meninggalkan majelis tersebut. Dalam konteks medsos, apabila
ada postingan yang arahnya membicarakan keburukan orang lain, segera pindah ke
konten lain yang lebih bermanfaat. Jangan justru gunjingan tersebut dibaca sampai
selesai.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka


(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).
Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda:

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya akan tetapi iman belum
masuk kedalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, dan janganlah
pula mencai-cari aib mereka, sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari aib
saudaranya sesama muslim maka Allah akan mencari-cari kesalahannya, dan
barangsiapa yang Allah mencari-cari kesalahannya maka Allah akan
mempermalukannya meskipun ia berada di dalam rumahnya". (HR Abu Dawud)

Khutbah II

Anda mungkin juga menyukai