Anda di halaman 1dari 9

Ikhlas Dalam Beribadah Kepada Allah

Tentang Ikhlas
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, yang berkuasa membolak-
balikkan hati anak Adam bagaimanapun Dia inginkan. Salawat dan salam semoga tercurah
kepada Nabi akhir zaman dan pembawa lentera bimbingan untuk membangkitkan kesadaran hati
manusia yang telah lalai dan lupa akan hakekat kehidupan. Amma ba’du.

Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita bimbingan dan


pertolongan… sesungguhnya pada masa-masa seperti sekarang ini; masa yang penuh dengan
ujian dan godaan serta kekacauan yang meluas di berbagai sudut kehidupan… kita sangat
memerlukan hadirnya hati yang diwarnai dengan keikhlasan. Hati yang selamat, sebagaimana
yang disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya),

“Pada hari itu -hari kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang
yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)

Hati yang ikhlas itulah yang selamat

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan,


“Ia adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi
perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita
yang dikabarkan-Nya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,


“Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta
terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku terus menerus berkubang
dalam kebid’ahan dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-apa yang disebutkan
tadi, maka konsekunsinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya
yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -tampak indah-
kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya akan senantiasa
mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa yang
datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan ucapannya,
“…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun
serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara…”.

Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai
maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah.
Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga
karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Ayat-Ayat Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas


Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya
agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),


“Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan
sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),


“Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),


“Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah
Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)

Hadits-Hadits Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan
demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu,
sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang
yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Gara-Gara Tidak Ikhlas

Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar meninggalkan
majelis Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, maka Natil -salah seorang penduduk Syam- (beliau
ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent) berkata kepadanya,

“Wahai Syaikh, tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah menjawab,
“Baiklah. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah:

[Yang pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu dia
dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya,
sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan
untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku
menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu
berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di
dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan
tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.

[Yang kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai
membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat
yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab,
“Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.”
Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-
sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan
sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke
dalam api neraka.

[Yang ketiga] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia
berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-
nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab,
“Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan
aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu
dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang
yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah
memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya
hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.”

(HR. Muslim [1903], lihat Syarh Muslim [6/529-530])

Hadits yang agung ini memberikan faedah bagi kita, di antaranya:

1. Dosa riya’ -yaitu beramal karena dilihat orang dan demi mendapatkan sanjungan- adalah dosa
yang sangat diharamkan dan sangat berat hukumannya (lihat Syarh Muslim [6/531]). Riya’
merupakan bahaya yang lebih dikhawatirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpa orang-
orang salih sekelas para sahabat. Beliau bersabda,
“Maukah kukabarkan kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan
menyerang kalian daripada al-Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya
Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu syirik yang samar. Tatkala seorang berdiri
menunaikan sholat lantas membagus-baguskan sholatnya karena merasa dirinya
diperhatikan oleh orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Bushiri berkata sanadnya
hasan) (lihat at-Tam-hid, hal. 397, al-Qaul al-Mufid [2/55]).

Kalau para sahabat saja demikian, maka bagaimana lagi dengan orang seperti kita? Allahul
musta’aan…

2. Dorongan agar menunaikan kewajiban ikhlas dalam beramal. Hal ini sebagaimana yang telah
Allah perintahkan dalam ayat (yang artinya),
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan
mengikhlaskan amal untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. al-
Bayyinah: 5) (lihat Syarh Muslim [6/531])

3. Hadits ini menunjukkan bahwa dalil-dalil lain yang bersifat umum yang menyebutkan
keutamaan jihad itu hanyalah berlaku bagi orang-orang yang berjihad secara ikhlas. Demikian
pula pujian-pujian yang ditujukan kepada ulama dan orang-orang yang gemar berinfak dalam
kebaikan hanyalah dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukannya ikhlas karena Allah (lihat
Syarh Muslim [6/531-532])

4. Sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus
terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan
sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana
bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-
Fawa’id, hal. 143)

5. Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan


dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata,
“Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di
dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’
al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).

Sebagian salaf berkata,


“Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat
daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])

6. Tercela dan diharamkannya orang yang menimba ilmu agama tidak ikhlas karena Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah
akan tetapi dia tidak menuntutnya melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka
dia pasti tidak akan mendapatkan bau -harum- surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu
Dawud dan disahihkan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 22)
7. Amalan yang tercampuri syirik -contohnya riya’- tidak diterima oleh Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan
selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim) (lihat Jami’
al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 23)

8. Sebesar apapun amalan, maka yang akan diterima Allah hanyalah amal yang ikhlas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan
demi mencari wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dan dihasankan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa
al-Hikam, hal. 21)

9. Amalan yang besar bisa berubah menjadi kecil gara-gara niat, sebagaimana amal yang kecil
bisa menjadi bernilai besar karena niat. Ibnu Mubarak berkata,
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan
yang besar menjadi kecil karena niat.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Buah Keikhlasan

Di antara buah paling agung yang diperoleh oleh orang-orang yang ikhlas adalah diharamkan
tersentuh api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang
mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)

Orang yang ikhlas/bertauhid maka akan selamat dari hukuman kekal di dalam neraka, yaitu
selama di dalam hatinya masih tersisa iman/tauhid meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila
keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan tidak
masuk ke dalamnya sama sekali (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)

Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan
kalimat syahadat. Maka terkecualikan dari keutamaan ini orang-orang munafik, dikarenakan
mereka tidak mencari wajah Allah ketika mengucapkannya (lihat at-Tam-hid, hal. 26).

Hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa ucapan la ilaha
illallah itu sudah cukup meskipun tidak disertai dengan harapan untuk mencari wajah Allah
(ikhlas). Demikian pula, hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Khawarij dan Mu’tazilah
yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, sementara hadits ini
menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan-perbuatan yang diharamkan tersebut -dan tidak
bertaubat sebelum matinya- tidak akan kekal di neraka, hanya saja pelakunya memang berhak
menerima hukuman/siksa (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/46])

Selain itu, orang yang ikhlas juga akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -yang
pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan
pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena
rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya (lihat al-Qaul as-Sadid,
hal. 17)

Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi
banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat
ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan,


“Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang
berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati
orang yang melakukannya… ” (Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 17). Semoga Allah menjadikan
kita orang yang ikhlas.

(Sebagian materi artikel ini kami ambil dari kitab Ta’thir al-Anfaas bi Ahaadits al-Ikhlas)
_____________________________________
Sumber: http://abumushlih.com/tentang-ikhlas.html/

Ikhlas Dalam Beramal


Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-
Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ه‬CC‫انت هجرت‬CC‫ فمن كانت هجرته الي هللا ورسوله فهجرته الي هللا ورسوله ومن ك‬. ‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي‬
‫لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه‬

“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan
mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.”

(HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no.
6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])

Faedah Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal.
Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek
(Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan,


“Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya
laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin
menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah
maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum,
hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan,
“Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan
pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada
Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk
memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-
Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan,


hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan
sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai
jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak
akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).

Macam-Macam Niat

Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan
memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].

Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang
menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan
perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk
mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan
ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan
jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam
hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-
kitab fikih.

Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki
tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong
oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud
kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak
ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat
semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari).

(Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana
tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’
al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)

Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian;
siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan
makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu
ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas,
maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di
atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95]
sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat
pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya.
Maka beliau pun berdoa kepada Allah,
“Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih
mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada
yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah
aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd
Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan,


“Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.”
(Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan,


“Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar
menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum
wa al-Hikam, hal. 19)

Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah
berkata,
“Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus
Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)

Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan
untuknya, maka beliau berkata,
“Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin
Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau,
maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid,
“Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka
ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii
Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan,


“Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi
ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.”
(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan,
“Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka
mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii
Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)

Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan,
“Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin
Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Seorang ulama mengatakan,


“Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta
tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail
Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,


“Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah
daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya
tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan
tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya
Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang
manis dengan buah yang pahit.

Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-
amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan
kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak
terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun
syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia
adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya
hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus.
Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.”

(Al Fawa’id, hal. 158).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan,


“Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap
amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi
Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal
merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-
Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
_________________
Penulis: Ari Wahyudi
http://muslim.or.id/hadits/ikhlas-dalam-beramal.html

Anda mungkin juga menyukai