Anda di halaman 1dari 8

Oleh: Dr. H. Shobahussurur, M.A.

( Ketua Masjid Agung Al-Azhar Jakarta &

Divisi Dakwah Khusus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah )

“Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan sholat
dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.”. Q.S. al-Bayyinah/98: 5.

“Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-


orang kafir tidak menyukai.”. Q.S. Ghafir: 14.

Ikhlas mudah diucapkan tapi tidak gampang untuk dilakukan. Betapa banyak orang bederma
tapi sia-sia, mengajar, menulis, berkarya dan berjuang tapi tak bermakna, karena ikhlas tidak
ada dalam hati mereka. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa beliau
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali
diadili pada hari kiamat adalah:

1. Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Dia dihadirkan dan
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun
bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk
mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui
mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar
disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.

2. Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai


membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-
nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia
menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-
Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba
ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut
sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah
memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya
hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.

3. Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa
segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat
yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab,
“Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya
melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan
sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (H.R. Muslim [1903], lihat
Syarh Muslim [6/529-530])

Betapa ikhlas menentukan seseorang apakah akan dicampakkan ke dalam api neraka atau
dimasukkan ke dalam surga. Bentuk amalnya sama, tampak dipermukaan dia berjuang,
bershadaqah, beramal shalih. Tetapi akibatnya bisa berbeda. Bila amal shalih dibarengi
ikhlas, maka akan mengantarkan seseorang mendapatkan nikmat surga. Sementara amal
shalih tanpa ikhlas, akan mencampakkannya ke dalam siksa yang pedih. Keikhlasan oleh
karenanya sangat menentukan baik buruknya kehidupan kita.

Ikhlas Itu Menyelamatkan.

Ikhlas, dari bahasa Arab bermakna membersihkan sesuatu dari kotoran sehingga menjadi
jernih, bening, dan bersih. Orang ikhlas adalah orang yang membersihkan hatinya dalam
setiap aktifitas murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan dengan yang lain serta tidak riya’ (pamer) dalam beramal. Orang yang ikhlas
selalu memurnikan niat hanya mengharap ridha Allah saja dalam setiap amal, tanpa
menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Hati yang ikhlas akan menyelamatkan seorang mukmin dari siksa neraka. Allah berfirman:
“Pada hari itu (kiamat), tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Q. S. al-Syu’arâ’/26: 88-89).

Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali
dilakukan dengan ikhlas demi mengharap wajah-Nya.” (H.R. al-Nasa’i dari Abu Umamah al-
Bahili). Beliau juga bersabda: “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada
hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati
atau dirinya.” (H.R. al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Para ulama memahami qalb salîm (hati yang bersih) dalam ayat di atas sebagai hati yang
bersih dari segala syahawât (keinginan-keinginan) yang melampaui batas yang dibenci Allah.
Itulah hati ikhlas yang menyelamatkan manusia dari siksa pedih dan menghantarkannya
menggapai nikmat surga. Al-Sa’di berpendapat: “Qalb salîm (hati yang bersih) itu adalah hati
yang bersih dari syirik, keragu-raguan, dan terbebas dari kecintaan kepada keburukan dan
dosa atau perilaku terus menerus berkubang dalam bid’ah dan dosa-dosa. Karena hati itu
bersih dari segala yang disebutkan tadi, maka konsekunsinya adalah ia menjadi hati yang
diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan
serta dihiasinya -tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa
cintanya akan senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh
mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim al-Rahman, 2: 812).

Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan: “Hati itu adalah hati yang bersih dari segala
syahwat/keinginan nafsu yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah serta
terbebas dari segala syubhat yang bertentangan dengan berita yang dikabarkan-Nya.” Lebih
lanjut Ibnul Qayyim menjelaskan tentang pemilik hati yang bersih yang akan menyelamatkan
dirinya itu: “…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi
apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara…”.
Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai
maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila
memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena Allah…”
(Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Ikhlas Itu Kekuatan.


Pada prinsipnya, ikhlas merupakan keharusan hakiki yang mesti ada dalam diri setiap orang.
Ketika ikhlas itu ada, akan kuat dan tangguhlah dirinya, sebaliknya ketika ikhlas telah hilang,
rapuh dan lemahlah dirinya. Hal itu karena manusia itu sendiri diciptakan dari fitrah (ruh
suci, Q.S. al-Rûm/30: 30). Fitrah itu dalam perkembangan hidup di dunia, tidak selalu suci
karena dikotori oleh berbagai faktor eksternal. Semakin kotor fitrah itu, manusia akan
semakin lemah dan rapuh sampai pada gilirannya merana dan sengsara. Sebaliknya, bila
fitrah itu terus terpelihara, disucikan, dimurnikan, dan dirawat, maka pemiliknya akan
semakin kuat, tegak berdiri, dan kokoh. Ikhlas berfungsi memelihara fitrah itu agar terus
bersih dan murni.

Oleh karena itu, Ibn Hazm menyebutkan bahwa ikhlas ibarat ruh dalam jasad. Jasad akan
mati tak bertenaga ketika kehilangan ruh. Itulah maka kenapa para generasi salaf dan para
mujahid dapat mengantarkan umat Islam menuju kejayaannya. Karena mereka hidup,
memiliki ruh, dan bangkit. Mereka bekerja dan berjuang semata ikhlas lillahi ta’ala. Amal
perbuatan mereka bergizi, penuh makna, dan kekuatan, karena ada ruhnya, yaitu ikhlas.
Amal yang demikian mengantarkan umat mencapai masa kejayaannya.

Berbeda dengan kondisi, dimana setiap orang berbuat penuh pamrih, ukuran perbuatan
dinilai dari banyaknya orang yang berdecak kagum. Hidup penuh kebohongan, kemunafikan
dan kepura-puraan. Tampak hebat padahal rapuh, terlihat kaya padahal miskin, kelihatan
khusyu’ padahal jahat. Maka kebobrokan akan melanda pelakunya, keluarga, bangsa dan
negaranya. Hidup serba semu, kekayaan nisbi, hasil korupsi, jabatan diraih karena penuh tipu
rekayasa, dan bermuamalah penuh basa basi menebar janji tanpa bukti. Ruh telah hilang
dari jasad. Ikhlas telah lenyap dari amal perbuatan.

Ikhlas menjadikan manusia suka berbagi (manusia sosial). Semakin besar ikhlas melekat
dalam hati, keinginan berbagi semakin besar. Hal itu karena manusia adalah makhluk sosial,
makhluk yang suka berbagi kesenangan dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak
ikhlas, tidak mau berbuat sesuatu kalau tidak membawa keuntungan pribadi. Dia hanya
mementingkan diri sendiri, menjadi manusia egois. Manusia egois hatinya selalu berkeluh
kesah. Bila ditimpa kesusahan, resah, dan ketika mendapat kekayaan, amat kikir (Q.S. al-
Ma’ârij/70: 19-21). Sedangkan manusia ikhlas adalah manusia sosial. Dia senang membagi
kesenangan kepada orang lain. Semakin dibagi kesenangan itu, Allah melipatgandakan
dengan berbagai kesenangan yang lain. Dia bahagia telah membagi, dan gelisah karena
belum dapat kesempatan untuk membagi.

Ikhlas menjadikan manusia kaya. Tanda orang kaya dilihat dari pemberiannya. Semakin
banyak pemberiannya, semakin kaya orang itu. Karena orang ikhlas itu suka berbagi, maka
sesungguhnya dia orang kaya, meskipun mungkin miskin harta. Kalaulah tidak kaya harta,
tapi kaya hati, syukur alhamdulillah bila kaya harta pula. Maka Rasulullah Swa. Bersabda:
”Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Allah berfirman: ”Kamu sekali-kali tidak
akan mendapatkan kebaikan sehingga mampu memberikan apa yang kamu cintai”. (Q.S. Ali
Imrân/3: 92). Hanya dengan keikhlasan yang tinggi seseorang dapat memberikan harta yang
paling dicintai. Itulah orang kaya.

Ikhlas meningkatkan kinerja. Betapa tidak, guru yang ikhlas tidak perlu diawasi oleh kepala
sekolah. Karyawan yang ikhlas, tidak penting direktur ada atau tidak. Pegawai yang ikhlas,
tidak memandang kehadiran majikan. Semua bekerja tanpa pamrih. Mereka senang
melakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati. Ikhlas beramal hasil maksimal, demikian
pepatah mengatakan. Maka hasil dari perbuatan al-mukhlishîn (orang-orang ikhlas) itu
adalah kemajuan, kejayaan, dan kemakmuran.

Ikhlas menciptakan hidup damai. Orang yang ikhlas tidak pernah membuat masalah,
sehingga menimbulkan kekacauan, keributan, dan kerusakan. (Q.S. al-Rûm/30: 41). Orang
yang ikhlas tidak pula suka menghindar dari masalah, lari dari kenyataan, lalu menyalahkan
orang lain. Orang yang ikhlas adalah manusia problem solver (pemecah masalah) yang tidak
pernah menghindar dari masalah. Dia menghadapinya dengan gagah berani, mencari solusi
dengan cara-cara yang cerdas dan bijak. Manusia problem solver (pemecah masalah) kokoh
berdiri bagaikan karang, menghadapi masalah dengan jiwa besar yang dibangun dari ruh
ikhlas. Manusia ikhlas adalah manusia wajar, santun, ramah tidak gampang marah.
Digambarkan dalam al-Quran sebagai orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan wajar
dan ketika diajak berbicara oleh orang-orang bodoh mereka menghadapinya dengan salâm
(kedamaian). (Q.S. al-Furqân/: 36). Masyarakat yang terdiri dari manusia ikhlas akan
menebarkan kedamaian, menjadi sebuah dâr al-salâm (negeri damai) yang akan
mendapatkan salâm qawlan min Rabb Rahîm (ucapan kedamaian dari Tuhan Yang Maha
Penyayang, Q.S. Yâsin/36: 58).
Kiat Menjadi Manusia Ikhlas.

Untuk menjadi manusia ikhlas diperlukan latihan yang terus menerus. Bila masih ada rasa
mengeluh dalam menghadapi hidup, berpikiran negatif ketika datang cobaan dari Allah,
berprasangka buruk ketika musibah datang, ingin diperhatikan orang ketika berkarya, itu
tanda keikhlasan berkurang.

Untuk menanamkan ikhlas dalam hati, mulailah setiap pekerjaan dengan ucapan
bismillâhirrahmânirrahîm (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Dihayati maknanya, bahwa pekerjaan yang sekarang dikerjakan hanya semata ibâdah
(pengabdian) kepada Allah. ”Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku hanya untuk Allah Pemelihara seluruh alam” (Q.S. al-An’âm/6: 162). Karena kita
sedang mengabdi kepada-Nya, maka harus berusaha melakukan yang terbaik (amal shalîh),
tidak asal-asalan, tidak sekedar berbuat. Allah berfirman: ”Dan katakanlah: bekerjalah
(sebaik-baiknya), maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat amal
perbuatanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang mengetahui akan yang
gaib dan yang nyata, dan akan mengabarkan kepadamu tentang apa yang kamu kerjakan”
(Q.S. al-Taubah/9: 105).

Hindarilah bekerja karena pamrih. Allah membenci riya” (beramal untuk dilihat orang supaya
mendapatkan sanjungan). Lihat Q.S. al-Nisâ’/4: 142, dan al-Mâ’ûn/: 6). Riya’ dikategorikan
sebagai syirik samar yang sulit dideteksi. Rasulullah Saw. menengarai riya’ sebagai perilaku
berbahaya yang dapat menimpa siapa saja, bahkan sekelas para sahabat. Beliau bersabda,
“Maukah kukabarkan kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan menyerang
kalian daripada al-Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Beliau
berkata, “Yaitu syirik yang samar.Tatkala seorang berdiri menunaikan shalat lantas
membagus-baguskan shalatnya karena merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain.” (H.R.
Ahmad dan Ibnu Majah). Ibn Qayyim berkata: “Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam
hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang
dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana bersatunya air dengan api atau biawak dengan
ikan makanannya-.” (al-Fawâ’id: 143).
Kerjakan setiap perbuatan dengan sebaik-baiknya, tanpa menunggu dilihat orang. Biasakan
sedikit bicara banyak kerja. Bukan banyak bicara sedikit kerja. Membiasakan memberi tanpa
orang lain tahu, sebagaimana yang dilukiskan Rasulullah Saw. tangan kanan memberi tangan
kiri tidak melihatnya. Jangan seperti gambaran orang berilmu yang mencari ilmu untuk
mengharap pujian. Rasulullah Saw. bersabda:“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang
semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah akan tetapi dia tidak menuntutnya
melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka dia pasti tidak akan mendapatkan bau
harum surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud).

Bebaskan diri dari prasangka buruk. Upayakan selalu berpikir positif dalam hidup. Natîjah
(hasil) dari sebuah perbuatan terletak pada apa yang dipikirkan. Bila negatif akan
menghasilkan produk negatif, tapi bila positif akan menghasilkan produk positif. Allah pun
akan membela hamba-Nya sesuai dengan persepsi berpikir hambanya itu. Disebutkan dalam
sebuah hadits Qudsi: ”Ana inda zanni ’abdî bî (Aku berada pada persangkaan hamba-Ku)”.
Bila sang hamba memiliki persangkaan buruk (sû’ al-zann), akan buruk pula hasilnya, dan
bila sang hamba memiliki persangkaan baik (husn al-zann), maka Allah akan berada di
sisinya, membela dan mewujudkan apa yang dipikirkannya itu.

Dalam hukum Fisika Kuantum disebutkan bahwa tingkah Iaku partikel yang berubah-ubah
dari benda padat menjadi getaran vibrasi dan sebaliknya, sangat tergantung dari niat
penelitinya. Sehingga dapat dimaknai bahwa semua benda yang kita Iihat merupakan
susunan energi quanta yang tercipta oleh kerja pikiran dan perasaan kita sendiri.

Hal itu sesuai dengan hukum semesta, Law of Attraction, yang menyebutkan, setiap energi
akan menarik energi yang sejenis. Dan karena pikiran dan perasaan itu bahan dasarnya
adalah juga quanta, maka keduanya akan menarik apa yang kita pikirkan atau rasakan. Ketika
kita sedang mengikhlaskan perasaan terhadap suatu masalah yang tengah kita hadapi. Maka
kita sesungguhnya sedang menyelaraskan pikiran dan perasaan kita dengan kehendak Allah
di level kuantum untuk menarik apa yang kita inginkan itu. Itulah maka ketika kita
menyerahkan masalah kepada Allah tanpa prasangka buruk, kita ikhlaskan hanya kepada-
Nya, saat itu Allah menghadirkan solusi tak terduga-duga untuk kebaikan kita. Allah
berfirman: ”Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan
keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak diduga-duga”. Q.S. al-Thalâq/65: 2-
3.
Kemampuan kita dalam menggapai zona ikhlas, akan mengantarkan kita kepada suatu
kehidupan merdeka, jiwa bebas, dan pribadi dinamis. Pikiran kita tidak dipenjara oleh
dominasi kekuasaan yang memaksa. Jiwa bebas bergerak dalam nafas ruhani suci. Kita
menjadi manusia dinamis yang terus berkarya dalam bakti dan pengabdian (ibadah) kepada
Allah. Pribadi ikhlas akan selalu merasakan relaks, nyaman, damai penuh cinta dan bahagia,
sehingga menghasilkan produk-produk positif. Semoga kita menjadi manusia ikhlas. Amin.

Anda mungkin juga menyukai