Anda di halaman 1dari 38

Tawajjud

By Idris Thaha
Senin, 17 November 2008 pukul 16:36:00
Tawajjud berarti menghadap, mengarahkan atau memperuntukkan segala sesuatu kita kepada Allah.
Dalam bertawajjud, kita harus membulatkan hati, menyerahkan diri, jiwa, raga, dan seluruh aktifitas
semata-mata hanya untuk Allah. Dalam setiap salat pun, kita pasti berjanji kepada Allah, ''Sesungguhnya
salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.'' Sikap ini sebagai
cermin dan konsekuensi logis dari pengakuan iman atau syahadat kita. Tawajjud menghendaki agar kita
bersikap ikhlas dalam setiap perbuatan.
Dalam Islam, ikhlas adalah ruh amal seorang mukmin. Karena itu, ikhlas merupakan salah satu syarat
diterimanya amal ibadah. Dalam Alquran, Allah menegaskan, ''Dan tiada diperintahkan mereka,
melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah seraya mengikhlaskan taatnya kepada Allah, lagi
condong kepada kebenaran.'' (Q.S. 98:5). Nabi Muhammad dalam hadis yang dirawikan Ibnu Majah
menyebutkan bahwa Allah tidak menerima amalan, kecuali amalan yang ikhlas dan yang hanya untuk
mencari keridhaan Allah SWT.

Menurut mantan rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Dr. Abdul Halim Mahmud, apabila kita
mengikhlaskan diri dalam pengabdian hidup ini hanya untuk Allah, maka insya Allah kita akan mampu
berjalan di lorong-lorong yang menunju pintu-pintu Allah. Kita akan mendapatkan ilmu makrifah dari
Allah. Dan bahkan, Allah juga tidak akan menjadikan jalan bagi setan sampai kepada-Nya.
Dalam Q.S. 38:82-3, Allah berfirman, ''Iblis menjawab, 'Demi kekuasan Engkau, aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.'' Untuk itu, Muhammad Al-
Ghazali dalam bukunya Khuluqul Muslim mengatakan, kalau kita berjiwa ikhlas, maka kita akan
terhindar dari hawa nafsu yang buruk, dan bebas dari kekeliruan dan kesalahan. Karena ikhlas mampu
menyinari jiwa lebih terang daripada kesulitan-kesulitan yang menyempitkan. Kita pun bisa tenang
berdiri di hadapan Allah.

Ikhlas membuat keadaan selalu segar dalam jiwa kita. Ikhlas menuntut agar kita mengetahui dan
memperhitungkan sesuatu yang kita kerja dengan baik. Ketika kita susah atau pun senang. Ikhlas
menuntun kita hidup damai, tenteram, dan aman. Namun, kata Al-Ghazali, ikhlas bisa hilang dari dalam
jiwa kita, apabila kita menaruh sikap egois, senang kepada sanjungan orang lain, senang mengejar-ngejar
pangkat dan pengaruh luas, dan senang kepada kebanggaan yang bisa menjerumuskan kita ke jalur jalan
yang sesat.
Jika keikhlasan dalam jiwa telah dikotori oleh sikap dan sifat jahat, maka amal kita rusak dan kita akan
jauh dari keridhaan Allah. ''Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Alquran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya.'' (Q.S.
39:2). Ikhlas bagaikan buah yang matang mulus. Untuk memelihara keselamatan buah itu, agar tetap
mulus, bersih, dan manis, maka kita harus merawat dan memeliharanya dengan baik agar bebas dari hama
dan kelayuan daunnya. Demikian juga, kita harus memelihara ikhlas dalam jiwa kita dari gangguan hama
riya', yang bisa merusak amal kita. Agar hidup kita pun di dunia ini jadi sia-sia.

Cobaan Hidup
By Didin Hafidhuddin
Rabu, 19 November 2008 pukul 14:37:00
Ujian atau cobaan hidup sudah merupakan Sunnatullah, hukum Allah yang bersifat pasti dan tetap,
berlaku kapan dan di mana pun (QS 29: 1-3). Cobaan hidup ini bisa dalam bentuk sesuatu yang dirasakan
berat dan menyakitkan, namun bisa pula dalam bentuk kebaikan dan kenikmatan yang menyenangkan.
Allah menjelaskan: Tiap-tiap yang bernyawa itu akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan, sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kami-lah kamu
semua akan dikembalikan.'' (QS 21: 23)

Sayid Hawwa dalam kitab Al-Asaasu fi at-Tafsier (VII: 3457) menjelaskan, berbagai cobaan hidup yang
ditimpakan kepada manusia itu tujuannya tidak lain adalah untuk mengetahui secara lahiriyah mana di
antara mereka yang pandai bersyukur dan mana pula yang kufur, mana yang bisa bersabar dan mana pula
yang cepat putus asa. Menurut Sayyid Qutub, sebagaimana dikutip Sayid Hawwa, cobaan hidup yang
berupa keburukan dan kesulitan akan mudah dipahami. Biasanya, orang yang mengalami cobaan hidup,
misalnya mengalami sakit, hilang harta benda, dan seterusnya, yang bersangkutan akan segera berdoa dan
mengharapkan pertolongan dan rahmat Allah swt.

Itu, berbeda dengan cobaan hidup yang berupa kebaikan dan kenikmatan. Ujian jenis ini memerlukan
penjelasan dan perhatian yang mendalam. Sebab banyak orang yang beranggapan bahwa jabatan,
kekuasaan, harta kekayaan dan ilmu pengetahuan itu bukanlah suatu ujian. Banyak orang yang bisa
bersabar ketika menghadapi kesulitan, akan tetapi tidak tahan mendapatkan kenikmatan, kesehatan,
kekayaan, dan kekuasaan.

Ketika ditimpa kesulitan, banyak orang yang langsung ingat kepada Allah dan selalu menyebut Asma-
Nya, bahkan berjanji akan menjadi orang yang baik. Namun, begitu mereka berhasil mengatasi kesulitan
dan mampu tegak berdiri tanpa bantuan orang lain, berubahlah sikap mereka. Banyak di antara mereka
yang kemudian menjadi congkak, sombong, berlaku zalim kepada sesamanya, dan bahkan berani
menentang perintah-Nya. Allah swt mengingatkan: Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, akan
Kami lalaikan mereka dengan kesenangan-kesenangan dari arah yang mereka tidak ketahuinya (QS 7:
182).

Imam Baedlawi di dalam tafsir Al-Baedlawi (hal. 205) menyatakan bahwa proses ini terjadi karena
mereka terhanyut oleh berbagai kemudahan, tertipu oleh berbagai perasaan, seolah-olah situasi dan
kondisi seluruhnya telah menguntungkan dirinya. Mereka tertipu oleh hawa nafsunya dan hawa nafsu
orang-orang yang mengelilinginya.

Menurut Alquran, orang mukmin yang benar-benar bertakwa adalah orang yang bisa bersabar ketika
menghadapi kesulitan dan penderitaan. Mereka mampu bersyukur ketika mendapatkan berbagai macam
kenikmatan, sehingga mampu mempergunakan untuk sesuatu yang diridhai-Nya dan dirasakan
manfaatnya oleh seluruh umat manusia. Sabar dan syukur inilah yang harus senantiasa kita jaga dalam
kehidupan ini. Wallahu A'lam bi ash-Shawab. - ah

Menyejukkan Hati
By Mohammad Fauzil Adhim
Selasa, 18 November 2008 pukul 14:04:00
Jika suatu ketika hatimu merasa gersang berkepanjangan, dengan apakah engkau hendak menyiraminya?
Jika suatu saat jiwamu terasa jenuh dan merasakan desakan untuk menemukan spiritualitas, apakah yang
akan engkau lakukan? Apakah engkau akan mengumpulkan brosur-brosur dan memilih biro perjalanan
umroh terbaik yang akan mengajakmu berwisata spiritual, sesudah haji dan umrohmu yang kesekian?
Atau, engkau akan menemui Dia di tempat yang Ia janjikan? Aku tak tahu, apa jawabmu. Yang aku tahu,
di penghujung zaman yang semakin sepi ini, manusia semakin tak punya kekasih. Tetangga-tetangga tak
ada lagi. Yang tersisa adalah rumah-rumah berpagar tinggi yang tak lagi ada sentuhan manusiawi kecuali
sekadar ucapan selamat pagi. Itu pun jika berpapasan.

Padahal, manusia memiliki kerinduan untuk saling bertatap muka dengan orang lain sebagai sesama
manusia. Bukan dalam suasana transaksi di atas kepentingan-kepentingan duniawi yang sepi dan
permukaan, sekalipun sekilas tampak riuh dan brisik. Manusia tertawan oleh keengganannya untuk
terlibat dalam percakapan dari hati ke hati. Kemudian kesepian menghinggapi. Atau, merasakan
kekeringan spiritual yang tak cukup dibasahi dengan konsumsi kognisi. Di saat seperti itu, umroh dan haji
akhirnya menjadi salah satu pilihan untuk rekreasi batin. Ia berharap bisa menangis di sana, di saat para
janda dan anak-anak yatim kehabisan airmata karena tak ada nasi yang tersisa. Ia ekstase dan masyuk,
berputar-putar tawaf, di saat saudara-saudaranya juga berlari-lari cemas demi mempertahankan emaknya
yang hampir mati.

Ia merasa ''bertemu'' Tuhan, tetapi ketika pulang ia ''tinggalkan'' Tuhan di tanah suci. Ia kembali merasa
terasing, karena panggilan fitrahnya untuk mencintai saudaranya sesama manusia tak pernah ia penuhi.
Padahal, Tuhan menantinya di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya. Memanggil manusia
untuk mendatangi mereka sambil menanggalkan jubah organisasi, instansi atau perusahaan. Mendatangi
mereka tanpa jubah-jubah itu, melainkan hadir dengan empati sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan.
Inilah agaknya yang mencemaskan Ibnu Mas'ud. Wallahu'alam bishawab. Hanya Ibnu Mas'ud dan Allah
yang tahu, apa yang menjadi kegelisahan Ibnu Mas'ud. Yang sampai kepada kita adalah kabar tentang
perkataan Ibnu Mas'ud bahwa, di akhir zaman nanti banyak orang menunaikan ibadah haji tanpa sebab,
perjalanan mereka mudah, rezeki mereka dilapangkan, namun mereka kembali dengan hampa dan dengan
hal-hal yang negatif. Unta salah seorang dari mereka melaju di tengah padang pasir dan gurun yang
tandus, sementara tetangganya dililit kelaparan!

Kelak, Bisyir bin al-Harits menjumpai apa yang dikatakan Ibnu Mas'ud. Bisyir rahimahullah hanya
tersenyum dan mendekati orang yang bersikeras untuk berhaji lagi, tatkala Bisyir menyarankan agar uang
untuk haji itu diberikan kepada orang yang membutuhkan. Bisyir berkata, ''Harta itu jika dikumpulkan
dari perdagangan yang kotor dan syubhat, maka akan terputus arah tujuannya. Dan Allah telah berjanji
pada diri-Nya untuk tidak menerima kecuali amal orang-orang yang bertakwa.'' Nah, kalau suatu ketika
engkau mengalami kegersangan hati, apakah engkau akan menyejukkannya dengan umroh dan haji
berulang kali, ataukah menutupi aurat saudaramu yang bajunya tinggal sehelai? - ah

Induk Kesuksesan
By Syarqawi Dhofir
Kamis, 27 November 2008 pukul 17:45:00
Dalam percakapan sehari-hari, kata ''induk'' kerap digunakan untuk menyebut segala yang pokok, yang
menjadi asal, dan paling utama dari segala sesuatu. Nabi Muhammad menyebut, ''Induk (ummahat) itu
ada empat: induk obat, induk ibadah, induk etika, dan induk cita-cita.''

Induk obat, artinya yang paling utama dari segala obat adalah sedikit makan. Beliau memberi petunjuk,
''Tidak ada pekerjaan anak Adam mengisi penuh suatu bejana yang lebih jelek daripada mengisi penuh
perutnya. Cukup kiranya beberapa suap untuk meluruskan punggungnya. Jika tidak boleh tidak harus
diisi, isilah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas.'' (HR
Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).

Sabda Rasulullah jauh sebelum kemajuan ilmu kedokteran itu ternyata mirip pernyataan Karl Alexis, ahli
bedah dan psikiater -- pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran. Ia mengemukakan, ''Sungguh, makan
banyak dan berlebihan itu dapat merusak fungsi (pencernaan) makanan. Padahal makan itu besar
fungsinya bagi kelangsungan hidup. Karena itu perlu ada pengaturan pengurangan makanan.''

Induk ibadah adalah sedikit dosa. Dosa bisa menghilangkan nilai ibadah. Apalagi dosa terhadap sesama
manusia. Banyak hadis dan ayat Alquran yang menyebutkan bahwa dosa karena tidak mengerjakan
kewajiban sosial dapat menghilangkan makna ibadah mahdhoh (ibadah murni kepada Allah seperti salat),
bahkan dapat meniadakan iman seseorang. Salah satu hadis itu berbunyi, ''Tidaklah beriman seseorang
yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.''

Hal itu mengisyaratkan bahwa dosa sosial berdampak lebih besar bagi stabilitas, keamanan, dan
kesejahteraan manusia dalam berbagai sektor kehidupan. Negeri kita pernah dilanda kenaikan beberapa
bahan pokok yang kemudian menimbulkan gejolak sosial, dan kekuatan politik pemerintah tidak bisa
menanggulanginya. Salah satu sebabnya adalah karena dosa konglomerasi perdagangan yang berjalan
jauh dari prinsip-prinsip demokrasi yang rasional.

Induk etika adalah sedikit bicara. Bahkan dalam hadis lain Rasulullah menyebut, ''Diam itu ibadah paling
tinggi'' (HR Ad-Dailami), ''Diam itu bijaksana'', serta ''Diam itu hiasan cendekiawan dan tirai bagi orang
bodoh'' (HR Abu as-Syaikh). Tentu saja, itu maksudnya dalam konteks menjaga kewibawaan kebenaran
ilmu agar tidak dibicarakan sembarangan. Bahkan Rasulullah menggelitik kita yang selalu doyan
berbicara panjang: ''Diam itu bijaksana tetapi sedikit sekali yang mau melakukan'' (HR. Qana'ie dari Anas
dan Ad-Dailami). Sudah tentu yang dimaksud adalah dalam soal yang tidak ada gunanya.

Dan terakhir, induk cita-cita adalah sabar. Kesabaran adalah tulang punggung dan basis utama bagi
tercapainya cita-cita. Penelitian komparatif di Amerika antara anak-anak yang memiliki daya tahan emosi
(baca: sabar) dengan anak yang memiliki kepandaian dan kecerdasan yang baik (baca: IQ) membuktikan
bahwa -- 15 tahun kemudian (setelah anak-anak itu dewasa) -- ternyata anak-anak yang memiliki daya
tahan emosi lebih berhasil menjalankan karier hidupnya daripada mereka yang memiliki IQ tinggi.
Karena itu Allah menganjurkan. ''Mintalah kamu pertolongan dari sabar dan salat!'' (Al-Baqoroh:45)
Kembali, ajaran agama kita terbukti kebenarannya secara ilmiah. Mari kita coba! - ah

Keyakinan
By Republika Contributor
Selasa, 02 Desember 2008 pukul 14:30:00
Salah satu aspek yang dapat menentukan jalannya hidup dan kehidupan kita ialah optimisme. Yang kami
maksudkan dengan optimisme dalam hubungan ini adalah bahwa apa yang akan kita kerjakan perlu
diyakini akan mencapai hasil. Kalau tidak memiliki keyakinan seperti ini, lebih-lebih kalau yang akan
kita kerjakan bukan pekerjaan ringan (akan dihadang berbagai macam hambatan), maka tentu keinginan,
kegairahan, dan semangat kita untuk mengerjakannya tidak akan sepenuh hati.
Apabila kita dihinggapi keadaan yang demikian, dapat dibayangkan akan gagalnya usaha kita itu. Sebab
meskipun kita yakin akan berhasil dan untuk mencapainya telah dilakukan dengan bersungguh-sungguh,
usaha kita tetap belum tentu berhasil karena masih bergantung pada inayah Allah. Apalagi kalau sejak
semula kita sudah dihinggapi keyakinan dan kemauan yang setengah-setengah.

Oleh firman Allah di dalam Alquran, surat Al-Baqarah ayat 197 telah diingatkan: Watazawwadu fainna
khairazzadi at-taqwa (Berbekallah, sesungguhnya bekal yang paling ampuh ialah takwa). Apa artinya ini?
Artinya ialah, janganlah kita mengerjakan atau berupaya mencapai sesuatu tanpa bekal takwa. Sedangkan
takwa sendiri antara lain bercirikan bahwa seseorang hendaklah senantiasa memiliki keyakinan
(optimisme) akan mencapai hasil dari semua jerih payahnya.

Mereka memiliki rasa optimisme karena mereka yakin usahanya akan berhasil mengingat apa yang
dikerjakan adalah yang hak (yang benar, bermanfaat baik terhadap dirinya maupun terhadap sesamanya).
Ciri lain ialah bahwa dalam mengerjakan sesuatu yang hak dan halal tersebut diperlukan kesabaran
(ketabahan). Sebagaimana diketahui, tiada satu pun pekerjaan -- betapapun kecilnya -- yang luput dari
hambatan.

Maka di sinilah seorang manusia harus sadar bahwa setiap hambatan yang akan dihadapi, harus dihadapi
dengan tabah. Arti tabah di sini bukanlah lalu menyerah karena menghadapi hambatan, tetapi harus ia
teruskan usahanya sampai berhasil. Ia harus memiliki tekad yang bulat bahwa hambatan apa pun yang
dihadapi, Insya Allah akan dapat diatasinya. Tetapi syaratnya ialah itu dikerjakan dengan tabah dan
terlebih dahulu diyakini akan dapat berhasil. Sebab tanpa berbekal dengan keyakinan (optimisme)
tersebut, tidak akan ada dorongan baginya untuk bekerja keras guna mengatasinya.

Oleh karena itu, sungguh ampuh peringatan Allah yang disebutkan tadi, karena hanya dengan berpegang
kepada peringatan Allah tersebut seseorang akan dapat berhasil dalam pekerjaannya (perjuangannya). Hal
ini sesuai pula dengan firman Allah di dalam Alquran, surat Ar Ra'd, ayat 11: Tuhan tidak mengubah
nasib sesuatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. - ah

Makna Kurban
By A.Ilyas Ismail, MA.
Jumat, 05 Desember 2008 pukul 19:46:00
MARAK : Mendekati hari raya kurban, penjualan kambing mulai meningkat.
Menurut para ahli hukum Islam, hukum ibadah kurban adalah sunnah muakkadah. Artinya amat
dianjurkan bagi orang Muslim yang mampu. Mampu di sini, tidak identik dengan kaya. Menurut
madzhab Syafi'i, bila seorang masih mempunyai sejumlah uang di luar kebutuhan dan biaya hidupnya
pada hari raya dan tiga hari berikutnya (Ayam al-Tsyriq), maka telah berlaku baginya anjuran berkurban.
(Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah, 1/716. Ibadah ini mulai diperintahkan oleh Allah swt
pada tahun kedua Hijrah, bersamaan dengan perintah salat hari raya, zakat mal, dan zakat fitrah.

Rasulullah saw sendiri, seperti disebut dalam banyak hadis, melaksanakan ibadah kurban dengan
menyembelih dua ekor kambing. (H.R. Bukhari). Beliau menyembelih sendiri kurbannya itu dengan
membaca Basmalah dan Takbir, sambil berkata, ''Hadza 'Anni wa 'Amman Lam Yudhahhi min Ummati
(Kurban ini dari-ku (Muhammad saw) dan dari orang yang tak mampu berkurban dari ummat-ku). (H.R.
Abu Daud).

Ibadah kurban, seperti halnya ibadah haji, bersifat simbolik. Di dalamnya, terkandung beberapa makna
spiritual yang amat dalam.

Pertama, ia merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah swt. Sebagai ungkapan syukur, maka bacaan
takbir ketika menyembelih hewan kurban itu, tulis pakar tafsir Abdullah Yusuf Ali, justru lebih penting
dari pada penyembelihan kurban itu sendiri. (The Holy Qur'an: Translation and Commentary, No.2810).

Kedua, kurban adalah ungkapan cinta kasih dan simpatik kepada kaum lemah. Dikatakan demikian,
karena ibadah kurban tak sama dengan upacara persembahan dalam agama-agama lain. Hewan kurban
tidak dibuang di altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di air sungai. Daging kurban itu justru untuk
dinikmati oleh pelaku ibadah kurban itu sendiri dan orang-orang miskin di sekitarnya. Allah berpesan,
''Lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian yang lainnya) orang fakir
yang sengsara.'' (al-Haj, 28).
Ketiga, kurban adalah simbol dari kesediaan kita untuk melawan dan mengenyahkan segala sesuatu yang
akan menjauhkan diri kita dari jalan Allah swt. Sesuatu itu, bisa berupa harta dan kekayaan kita,
kedudukan dan pekerjaan kita, atau apa saja yang membuat kita tak sanggup berkata benar.

Karena itu, kurban dapat pula disebut sebagai simbol dari kemenangan kita melawan hawa nafsu kita
sendiri. Dari sini kita dapat memahami bahwa ibadah kurban pada hakikatnya adalah komitmen kita
untuk senantiasa menuhankan Allah, bukan menuhankan hawa nafsu kita sendiri, serta kesediaan kita
untuk berbagai rasa dengan sesama manusia, terutama kaum lemah. Komitmen inilah yang akan
membawa kita meraih perkenan dari ridha Allah, bukan darah dan daging kurban itu sendiri. Allah
berfirman. ''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya. (Al-Haj, 37). - ah

Cobaan Hidup
By Didin Hafidhuddin
Senin, 15 Desember 2008 pukul 20:24:00
Ujian atau cobaan hidup sudah merupakan Sunnatullah, hukum Allah yang bersifat pasti dan tetap,
berlaku kapan dan di mana pun (QS 29: 1-3). Cobaan hidup ini bisa dalam bentuk sesuatu yang dirasakan
berat dan menyakitkan, namun bisa pula dalam bentuk kebaikan dan kenikmatan yang menyenangkan.
Allah menjelaskan: Tiap-tiap yang bernyawa itu akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan, sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kami-lah kamu
semua akan dikembalikan.'' (QS 21: 23)

Sayid Hawwa dalam kitab Al-Asaasu fi at-Tafsier (VII: 3457) menjelaskan, berbagai cobaan hidup yang
ditimpakan kepada manusia itu tujuannya tidak lain adalah untuk mengetahui secara lahiriyah mana di
antara mereka yang pandai bersyukur dan mana pula yang kufur, mana yang bisa bersabar dan mana pula
yang cepat putus asa. Menurut Sayyid Qutub, sebagaimana dikutip Sayid Hawwa, cobaan hidup yang
berupa keburukan dan kesulitan akan mudah dipahami. Biasanya, orang yang mengalami cobaan hidup,
misalnya mengalami sakit, hilang harta benda, dan seterusnya, yang bersangkutan akan segera berdoa dan
mengharapkan pertolongan dan rahmat Allah swt.

Itu, berbeda dengan cobaan hidup yang berupa kebaikan dan kenikmatan. Ujian jenis ini memerlukan
penjelasan dan perhatian yang mendalam. Sebab banyak orang yang beranggapan bahwa jabatan,
kekuasaan, harta kekayaan dan ilmu pengetahuan itu bukanlah suatu ujian. Banyak orang yang bisa
bersabar ketika menghadapi kesulitan, akan tetapi tidak tahan mendapatkan kenikmatan, kesehatan,
kekayaan, dan kekuasaan.

Ketika ditimpa kesulitan, banyak orang yang langsung ingat kepada Allah dan selalu menyebut Asma-
Nya, bahkan berjanji akan menjadi orang yang baik. Namun, begitu mereka berhasil mengatasi kesulitan
dan mampu tegak berdiri tanpa bantuan orang lain, berubahlah sikap mereka. Banyak di antara mereka
yang kemudian menjadi congkak, sombong, berlaku zalim kepada sesamanya, dan bahkan berani
menentang perintah-Nya. Allah swt mengingatkan: Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, akan
Kami lalaikan mereka dengan kesenangan-kesenangan dari arah yang mereka tidak ketahuinya (QS 7:
182).

Imam Baedlawi di dalam tafsir Al-Baedlawi (hal. 205) menyatakan bahwa proses ini terjadi karena
mereka terhanyut oleh berbagai kemudahan, tertipu oleh berbagai perasaan, seolah-olah situasi dan
kondisi seluruhnya telah menguntungkan dirinya. Mereka tertipu oleh hawa nafsunya dan hawa nafsu
orang-orang yang mengelilinginya.

Menurut Alquran, orang mukmin yang benar-benar bertakwa adalah orang yang bisa bersabar ketika
menghadapi kesulitan dan penderitaan. Mereka mampu bersyukur ketika mendapatkan berbagai macam
kenikmatan, sehingga mampu mempergunakan untuk sesuatu yang diridhai-Nya dan dirasakan
manfaatnya oleh seluruh umat manusia. Sabar dan syukur inilah yang harus senantiasa kita jaga dalam
kehidupan ini. Wallahu A'lam bi ash-Shawab. - ah

Benci karena Disinformasi


By Jalaluddin Rakhmat
Selasa, 16 Desember 2008 pukul 14:39:00
Kira-kira 40 tahun setelah Rasul Allah SAW wafat salah seorang penduduk Syam pergi ke Madinah al-
Munawwarah untuk menziarahi makamnya. Di situ ia berjumpa dengan seorang penunggang kuda yang
tampan dan berwibawa. Di sekitarnya berkumpul sahabat-sahabatnya, siap untuk melaksanakan segala
perintahnya.

Ketika orang Syam itu diberitahu bahwa orang itu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, bangkitlah amarahnya.
Di mimbar-mimbar Jumat di Syam ia sudah sering mendengar para khatib menerangkan kejelekan
keluarga Ali. ''Jadi inilah anak Abu Turab yang keluar dari Islam itu?'' kata orang Syam itu sambil
menyusulnya dengan memaki Hasan, ayahnya, dan keluarganya.

Mendengar itu sahabat-sahabat Hasan menghunus pedang untuk membunuhnya. Tapi Hasan melarang
mereka. Dengan ramah beliau menyapa orang Syam itu, ''Tampaknya Anda orang asing di sini, wahai
Saudaraku orang Arab?''

Orang Syam menjawab, ''Benar, aku dari Syam. Aku pengikut Amirul Mukminin dan Pemimpin kaum
Muslim, Muawiyyah bin Abi Sofyan.''

Hasan mendesaknya untuk menjadi tamu. Selama beberapa hari dijamunya dan dihormatinya orang Syam
itu. Pada hari yang keempat orang Syam itu tampak menyesali perbuatannya. Ia merunduk dan menciumi
jari-jemari Hasan. Ia memohon maaf atas apa yang dilakukannya sebelum itu.

Hasan melirik kepada sahabat-sahabatnya. ''Kemarin kalian bermaksud membunuhnya, padahal ia tak
bersalah. Ia korban disinformasi. Sekiranya ia mengetahui kebenaran, ia tidak akan memusuhinya.
Kebanyakan orang Islam di Syam seperti itu.''

Kemudian Hasan membaca firman Allah: ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan
itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.'' (Q. S. 41: 34)

Tidak jarang kita membenci sesama Muslim karena kita mendengar berita yang jelek mengenai dirinya.
Jangan-jangan, pertengkaran di antara kita selama ini terjadi karena proses disinformasi. Marilah kita
memaklumi orang yang membenci kita karena disinformasi. Balaslah makian mereka -- yang dilakukan
karena ketidaktahuan -- dengan lapang dada dan keramahan. Mudah-mudahan Allah mengubah mereka
menjadi sababat-sahabat kita yang setia.- ah
 
Menjaga Akhlak
By Republika Contributor
Rabu, 17 Desember 2008 pukul 13:42:00
Hidup di abad modern dewasa ini tidak mudah. Mengapa? Karena penduduk semakin bertambah
sementara alat pemenuhan kebutuhannya semakin terbatas. Ambil saja satu contoh: semakin banyak
lahan di pedesaan yang tadinya berfungsi sebagai lahan pertanian untuk menghasilkan beras dan bahan
makanan lainnya, kini sudah dijadikan lahan untuk perumahan atau untuk yang lain.

Corak hidup keras ini, terutama tampak menonjol di perkotaan. Saudara-saudara kita yang belum
memiliki pekerjaan, termasuk tamatan perguruan tinggi, semakin banyak berdatangan ke kota untuk
mencari pekerjaan. Akibatnya mudah terjadi berbagai benturan kepentingan sehingga menjadi salah satu
penyebab utama naiknya kriminalitas di kota.

Untuk dapat bertahan dengan selamat dalam menghadapi hidup keras ini, perlu diperhatikan beberapa hal.
Antara lain menjaga kepribadian atau akhlak, sebab manusia yang tengah menghadapi kesulitan hidup
mudah sekali tergoda untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji asalkan dapat bertahan hidup. Bahkan
sering kita mendengar ungkapan: Jangankan barang halal, barang haram pun sudah sulit diperoleh.

Oleh karena itu untuk dapat kita selamat, terhindar dari godaan-godaan yang dapat membuat kita
terperosok kedalam perbuatan-perbuatan tidak terpuji, maka hendaklah kita berhati-hati. Selayaknyalah
kita selalu waspada terhadap semua godaan hidup. Kita juga senantiasa berusaha/bekerja keras untuk
memperbaiki nasib kita sesuai firman Allah ''Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri yang mengubahnya.'' (al-Ra'ad: 11).

Namun demikian, senantiasa perlu diperhatikan ketika sewaktu-waktu ada pihak yang mengajak kita
untuk mencari tambahan nafkah, jangan terlalu cepat menerima ajakan tersebut. Sebab banyak di antara
mereka yang ingin menipu kita. Kalau kita memiliki kedudukan, mungkin kedudukan kita akan
dimanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu. Atau bila kita memiliki sedikit modal dan kita diajak
berkongsi, hendaklah berhati-hati pula karena banyak yang amblas (bangkrut), akibat terperangkap
tipuan.

Hal-hal seperti itu, seakan sudah lazim terjadi di kota. Tidak sedikit manusia di perkotaan yang
menampakkan diri sebagai pengusaha bonafide, memakai mobil baru (pinjaman atau sewaan), berpakaian
perlente (berdasi), namun sesungguhnya mereka bermaksud mengelabui untuk dapat memperoleh
keuntungan dari kita.

Untuk mengatasi hal semacam itu, sikap tabah dan sabar dalam menghadapi hidup dan kehidupan
terutama di kota sangat diperlukan. Janganlah mudah terpengaruh pada hal-hal yang indah di mata,
namun sesungguhnya adalah pancingan untuk memerosokkan kita ke dalam perbuatan maksiat.
Perkuatlah iman karena berbagai godaan yang menarik akan selalu datang.

Hanya orang yang kuat imannya sajalah yang dapat selamat. Perbanyaklah ibadah terutama salat karena
Allah berfirman: ''Sesungguhnya salat itu adalah mencegah kita berbuat keji dan mungkar.''(al-Ankabut:
45). - ah

Kepayahan Mencari Nafkah


By Republika Contributor
Kamis, 18 Desember 2008 pukul 17:15:00
Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus dengan pahala salat, sedekah, atau haji,
melainkan hanya dapat ditebus dengan kepayahan mencari nafkah -- Nabi Muhammad SAW

Jika ada sabda Rasulullah yang unik, hadis riwayat Ath Thabrani yang dikutip di atas dari Kalender Meja
Muslim, terbitan Gema Insani Press, itulah di antaranya. Hadis ini menyimak perilaku manusia dengan
mendetail dan sangat intens.

Cobalah tebak, apa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari yang sangat (amat) sibuk yang
kemudian ''direkam di dalam video kita'' yang harus kita pertanggungjawabkan kelak, di Hari
Perhitungan? Meski kita paling kuat di antara makhluk, namun kita paling lemah dan paling bebas.
Lemah (dalam iman) dan bebas (dalam menentukan hidup) itu mengalir menuju muara, yaitu ibadah.

Kita selalu merujuk kepada pahala-pahala konvensional yang menjadi andalan dalam ibadah. Tak tahunya
ada pahala yang sama sekali tak terduga datangnya. Pahala itu datang justru di dalam penderitaan kita
dalam menangguk rizki. Betapa unik, betapa misterius. Suatu rumusan yang begitu pasti. Betapa
menyulitkan dan betapa menakutkan. Disebut menakutkan karena kesukaran itu ditujukan kepada orang-
seorang, namun keluarga harus pula merasakan kesusahannya.

Ada seorang suami yang telah menetap 30 tahun di Jakarta mengadu kepada seorang kyai yang mumpuni,
kenapa taraf hidupnya tak juga beranjak dari lahan yang membuatnya terseok-seok. Kyai itu memberi
petuah bahwa ia harus melakukan mawas diri secara terus-menerus sepanjang tahun. Meski rajin bersalat,
bersedekah, dan sudah haji -- begitu sambung pak Kyai -- seseorang tidak dengan sendirinya tuntas sudah
dalam beribadah.

Penderitaan dalam mencari nafkah itu harus pula dianggap sebagai ibadah. Kita bisa cukup senang dan
ikhlas -- tidak frustrasi dan menyebabkan depresi -- walau seberapa pun hasil yang kita peroleh setiap
bulannya. Jika kita sudah mencapai tataran itu, insya Allah, kita bisa melihat jalan terang menuju
kebahagiaan. Keluarga kita cukup memahami kemampuan kita. Kita dan keluarga kita menjadi mengerti
kehendak-kehendak Allah. - ah

Bencana
By Republika Contributor
Jumat, 19 September 2008 pukul 20:22:00
Bencana atau musibah pada hakikatnya adalah cobaan dan ujian dari Allah kepada manusia. Hampir tak
ada manusia yang terbebas dari ujian itu. Rasulullah Muhammad SAW sebagai manusia yang maksum
juga mengalaminya. Khalifah Umar bin Khattab mengiaskan musibah sebagai gelombang di tengah
lautan yang tidak mungkin dihilangkan. Manusia wajib berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri
dan bahteranya dari gelombang yang mengintai setiap saat.
''Setiap musibah menimpaku,'' kata Khalifah Umar, ''terdapat tiga kenikmatan. Pertama, musibah itu tidak
menggoyahkan iman dan agamaku. Kedua, musibah itu tidak lebih besar daripada apa yang memang telah
ditentukan Allah. Ketiga, Allah menjanjikan pahala besar bagi yang sabar tatkala tertimpa musibah.''
Dalam setiap musibah (jiwa/harta) selalu terselip nikmat dan hikmah. Bila mau berpikir dan hati dekat
dengan petunjuk Allah, maka kita akan selalu berprasangka baik terhadap Sang Pencipta. Musibah yang
harus dihindari adalah bila menyangkut urusan agama. Terhadap yang satu ini tiada pelipur lara dan
ucapan belasungkawa. Hanya satu jalan keluarnya, yaitu bertobat dan kembali kepada Allah.

Ibnul Qayyim memberikan kiat agar kita merasa ringan ketika mengalami musibah, yaitu mempercayai
qadha dan qadar (keputusan dan ketentuan Allah), meyakini bahwa musibah yang menimpa tidak
sebanding dengan apa yang telah diberikan Allah kepada kita, dan terakhir menghibur diri dengan
mengkaji musibah orang lain yang mungkin lebih berat. Hanya sabar dan mengembalikan segalanya
kepada Allah-lah yang bakal menguatkan lahir-batin seseorang manakala tertimpa musibah. Tiada Tuhan
selain Allah, Esa, tidak bersekutu, bagi-Nya kerajaan dan segala puji, Dia-lah Zat yang menghidupkan
dan yang mematikan serta yang berkuasa atas segala sesuatu, demikian wirid yang dianjurkan untuk
diamalkan oleh setiap muslim yang tertimpa musibah.

Allah mendidik hati hamba-Nya dengan musibah, agar terpacu kadar ketakwaan kepada-Nya. Musibah itu
bisa saja menimpa diri kita, saudara kita, tetangga kita, dan seterusnya. Dan bila musibah itu menimpa
orang lain, maka apakah kita mau mengulurkan tangan untuk membantu saudara-saudara kita atau tidak,
itu juga merupakan ujian bagi kita, barometer buat mengukur ketakwaan dan keimanan kita. (ah)

Hakikat Ibadah
By Syafiq Basri
Senin, 22 September 2008 pukul 12:54:00
Dikisahkan, pada malam-malam yang sepi dan hening -- sering dalam dinginnya kota Madinah yang
menusuk tulang -- Nabi Muhammad SAW berdiri berjam-jam, menengadahkan tangan, rukuk, khusuk,
dan bersujud lama sekali di hadapan ''Kekasih''-nya, Allah SWT. Akibatnya, bukan cuma mata Beliau
yang memerah, tapi kakinya pun bengkak. Aisyah, istri Beliau, menyoal, buat apa semua itu. ''Bukankah
Anda seorang yang ma'shum, yang sudah diampuni dosanya?'' tanya Aisyah.

Nabi menjawab singkat: Afalam akuunu abdan syakura.... Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang
bersyukur? Apa yang dilakukan Nabi SAW tersebut jelas merupakan contoh ibadah yang ideal. Ibadah
yang didasarkan pada rasa cinta dan keikhlasan seorang hamba kepada penciptanya. Bukan amal karena
ingin balasan surga, karena ibadah jenis itu adalah ibadahnya pedagang yang selalu berhitung ''untung-
rugi''. Bukan pula karena takut kepada Allah, karena ibadah model ini, menurut Imam Ali bin Abi Thalib
adalah ibadahnya budak. Ibadah Nabi SAW adalah ibadah karena cinta. Ibadah yang benar-benar ikhlas.
Ibadah seorang yang bebas merdeka, bukan budak yang takut dipecat majikannya.

Beramal demi sebuah ganjaran, sebetulnya adalah ibadah untuk diri kita sendiri. Untuk ego kita. Oleh
sebab itu, jika kita mengharap pahala -- dari amal ibadah yang kita lakukan -- dengan sendirinya pahala
itu untuk kepentingan kita. Padahal ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata, bukan untuk ego kita.

Begitu pula sebaliknya: menghindari yang haram karena takut neraka, tidaklah seikhlas yang
menghindarinya karena mencari ridha Allah. Seorang anak yang ikhlas meladeni ayahnya, melakukan hal
itu bukan karena takut dipukul sang ayah atau supaya diberi uang, melainkan karena cinta pada orangtua.
Kita, barangkali akan merasa sulit mengikuti ibadah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Meminjam istilah
Al-Ghazali, kita masih tergolong manusia dalam tahap 'awam' sementara masih ada tahap khusus dan
tahap khususnya khusus, khuwash-al-khawash. Seperti piramid, makin tinggi tahapan itu, makin sedikit
jumlah manusianya.

Kendati begitu, kita barangkali masih tergolong ikhlas, kalau kita, misalnya, berderma untuk menghindari
musibah. Karena itu juga perintah Allah. Tapi ini tergolong ikhlasnya awam, sebab kita baru mau
bersedekah karena janji ganjaran yang berlipat ganda atau agar terhindar dari musibah dan marabahaya.
Tentu saja orang mesti berusaha setahap demi setahap mencari tingkatan yang lebih tinggi, hingga tiba di
tahap khawash-al-khawash. Kita harus selalu berusaha meningkatkan amal ibadah dari hari ke hari dan
dari waktu ke waktu, hingga menjadi sempurna seperti yang dilakukan oleh panutan kita Nabi SAW.
Bukankah berusaha meneladani Beliau sudah merupakan ibadah? (ah)

Berbahagialah untuk Hidup Hari ini


By Nurrahman Effendi
Selasa, 23 September 2008 pukul 16:19:00
Dalam bukunya, The Modern Man In Search of Spirit, Dr Carl Gustav Jung menulis, selama 30 tahun
orang-orang dari berbagai negara berperadaban datang menemui saya untuk konsultasi. Saya telah
mengobati ratusan pasien yang sebagian berusia setengah baya, 35 tahun ke atas. Dan, tak seorang pun di
antara mereka yang tidak mengembalikan persoalannya kepada agama sebagai pandangan hidup.

Maka, bisa saya katakan bahwa setiap dari mereka jatuh sakit karena kehilangan apa yang telah diberikan
agama kepada orang-orang yang beriman. Dan, jika belum mampu mengembalikan keimanannya yang
sejati, mereka tidak akan bisa disembuhkan.
Agama diyakini sebagai obat paling manjur bagi krisis mentalitas dan kepribadian. Orang-orang rela
melakukan perjalanan jauh yang melelahkan untuk mengunjungi tempat tersuruk di pegunungan dan
pelosok dunia, demi mencari kedamaian, ketenangan, dan pelipur kehausan spiritual.

Namun, kebanyakan dari mereka hanya mendapatkan kelelahan fisik, marabahaya, dan biaya yang tak
sedikit. Namun, tak jua menemukan obat penawar kedahagaan spiritual yang dicarinya.
Dan, beruntunglah orang yang mengakui tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Allah
memberikan kemudahan bagi setiap Muslim untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Karena, Allah memang tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya. ''Dan Kami akan memudahkan
bagimu ke jalan kemudahan (kebahagiaan dunia dan akhirat).'' (QS. Al-A'la [87]: 8).

Kebahagiaan itu tidak diukur hanya dengan materi. Orang yang susah, mengidentikkan bahagia kalau
punya rumah gedung, mobil mewah, makan yang enak-enak, dan gaji jutaan rupiah. Namun, tak sedikit
orang yang bergelimangan harta mengeluh kepenatan batin, fisik ambruk sering keluar masuk rumah
sakit, dan pikiran selalu didera masalah yang datang bertubi-tubi.
Padahal, Nabi SAW tidak berlebihan mengidentifikasi standar kebahagiaan. ''Jika seseorang dapat tidur
nyenyak, sehat badannya, dan ada makanan untuk satu hari, maka dia telah memiliki segalanya.''

Benar adanya apa yang Rasulullah katakan. Terkadang pikiran dan cara pandang kita yang salah telah
mengaburkan segalanya. Membuat kita terjebak dalam sikap pragmatis. Seperti tamsil yang mengatakan
bahwa langit tampak lebih sejahtera dan mapan, sedangkan bumi miskin dan rendah. Padahal, di bumilah
kaki kita berpijak. Di bumilah kehidupan kita berjalan. Syukurilah nikmat yang kita terima hari ini agar
kita bisa mencicipi kebahagiaan. (ah)

Hakikat Cinta
By Syaefuddin Simon
Jumat, 26 September 2008 pukul 08:29:00
''Pernahkah Anda melihat orang yang berbuat jahat terhadap orang yang amat dicintainya?'' seseorang
bertanya pada Abu Dzar al-Ghiffari, sahabat Rasulullah SAW. ''Pernah, bahkan sering,'' jawab Abu Dzar.
''Dirimu sendiri itu adalah orang yang paling kamu cintai. Dan kamu berbuat jahat terhadap dirimu bila
durhaka kepada Allah,'' jelasnya. Dengan mengacu pada pendapat Abu Dzar tadi, sebenarnya banyak di
antara kita yang tega berbuat jahat terhadap 'orang' yang amat dicintainya. Tapi anehnya, kita -- yang
gemar berbuat dosa -- lupa bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya merupakan perwujudan kebencian
terhadap diri sendiri. Cinta adalah fitrah yang diberikan Allah untuk semua makhluk guna
mempertahankan eksistensinya. Manusia berkembang biak karena cinta.

Kelestarian lingkungan menjadi kepedulian manusia karena cinta. Dan yang lebih penting, cinta -- ini
yang perlu kita sadari -- merupakan refleksi keberadaan alam malakuti yang abadi. Itulah sebabnya, bila
dua sejoli sedang dimabuk cinta, maka apa yang terbayangkan dan diangankannya, cinta mereka akan
abadi. Tapi sayang, keabadian cinta yang diangankannya hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
duniawi, yang justru menghambat cinta malakuti.

Salah satu unsur penting yang menghambat perjalanan cinta malakuti adalah cinta dunia (hubb al-dunya).
Cinta dunia, dilukiskan oleh Sayyidina Ali, sebagai biang dari segala bencana. Bila hati manusia sudah
terperosok dalam cinta dunia, maka logika-logika aneh pun muncul dari pikirannya.

Salah satu logika anehnya, kata Abu Dzar, ia amat berharap rahmat dan ampunan dari Allah, padahal
dalam hidup sehari-harinya, ia amat jauh denganNya. ''Rahmat dan ampunan Allah,'' tegas Abu Dzar, ''tak
dihambur-hamburkan begitu saja hingga setiap orang akan mendapatkannya.'' Kata Abu Dzar, setan
punya senjata pamungkas, berupa godaan pada manusia untuk mengharap rahmat Allah, sementara ia
terus berusaha menjauhkannya dari ibadah dan amal saleh. Korban senjata pamungkas ini paling suka
memaafkan dirinya sendiri. ''Rahmat Allah Mahaluas. Dosaku pasti dimaafkanNya,'' kata korban. Padahal
ia tetap saja tak mau bertobat.

Orang yang berbuat dosa, tulis Imam Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, bukan hanya mencelakakan
dirinya, tapi juga menghina Allah, karena ia menyelewengkan amanah yang telah diberikan kepadanya.
Lidah dan tangan yang Allah berikan kepada manusia untuk dipakai berzikir serta beramal saleh,
misalnya, ia diselewengkan untuk mengumpat dan mengambil hak orang lain. Meski demikian, bila kita
segera bertobat dengan sungguh-sungguh, Allah masih membuka pintu maafNya. Tapi perlu diingat pula,
menunda-nunda tobat termasuk sikap yang menghina Allah juga. Naudzubillah mindzalik! (ah)

Musibah dan Ampunan


By Danarto
Sabtu, 27 September 2008 pukul 03:52:00
Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim, melainkan dosanya dihapus Allah
Ta'ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri. Nabi Muhammad saw

Musibah dan ampunan bagi Allah merupakan satu-kesatuan permasalahan. Tidak mungkin dipisahkan.
Maka Allah perpesan kepada manusia yang beriman, jika mendapat kesenangan, janganlah
menyambutnya dengan kegembiraan yang berlebihan. Sebaliknya, jika tertimpa kesusahan, janganlah
menerimanya dengan kesedihan yang berlebihan pula. Di balik seluruh persoalan, berkah Allah berada di
belakangnya. Kemana pun kita bersembunyi untuk menghindar dari persoalan ketentuan Allah menunggu
kita. Sering para kyai menganjurkan, berdamailah hadapilah seikhlasnya dengan persoalan yang
menghadang, sekalipun persoalan itu besar.

Hadis riwayat Muslim di atas mengingatkan akan sebuah kisah tentang kemurnian jiwa seorang sahabat
Rasulullah. Dalam buku Mereka yang Kembali karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, diceritakan tentang
Tsa'labah bin Abdul Rahman yang lari dan bersembunyi di pegunungan antara Mekah dan Medinah. Apa
pasal? Pada suatu hari Nabi mengutusnya untuk suatu keperluan. Ketika pergi itu, Tsa'labah melewati
sebuah rumah dan ia melihat tak sengaja seorang perempuan yang sedang mandi.

Dirundung perasaan berdosa yang bisa mendorong turunnya wahyu tentang peristiwa yang menyangkut
dirinya, ia memutuskan untuk menghindari Rasulullah. Empat puluh hari sudah Rasul tak melihatnya dan
merasa kehilangan, ketika itulah Malaikat Jibril turun dari langit menemui Nabi sambil berkata: ''Wahai,
Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu memberikan salam kepadamu dan berfirman bahwa seorang lelaki
umatmu berada di antara pegunungan ini dan telah memohon perlindungan kepada Allah.''

Serta-merta Nabi meminta Umar dan Salman membawa kembali Tsa'labah. Maka Tsa'labah
dipertemukan kembali dengan Nabi namun begitu mendengar ayat suci yang sedang dilantunkan Nabi,
pingsanlah Tsa'labah. ''Dosaku terlalu besar, wahai Rasulullah,'' keluhnya setelah siuman. ''Akan tetapi,
kalam Allah itu lebih besar lagi,'' jawab Nabi. Di rumahnya kembali, Tsa'labah jatuh sakit selama delapan
hari. Rasulullah meletakkan kepala Tsa'labah di pangkuannya tapi ia berusaha menolaknya. ''Kenapa
kamu geser kepalamu dari pangkuanku?''

''Karena kepala ini penuh dosa.''''Apa yang kamu keluhkan?'' ''Seperti ada gerumutan semut-semut di
antara tulangku, dagingku, dan kulitku.''''Apa yang kamu inginkan?''''Ampunan Tuhanku.'' Maka Malaikat
Jibril turun lagi menemui Nabi: ''Wahai, Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu memberi salam untukmu
dan berfirman: ''Andai hamba-Ku ini menghadap-Ku dengan kesalahan sebesar bumi, Aku
menyambutnya dengan ampunan-Ku sebesar bumi pula.''

Lalu Nabi memberi tahu Tsa'labah tentang wahyu itu yang membuatnya terpekik lalu meninggal. Ketika
Rasul selesai menyalati jenazahnya, beliau berjalan berjingkat-jingkat seolah tak ada tempat di tanah
untuk menjejakkan kaki. Seorang sahabat bertanya apa sebab Nabi berjalan begitu, yang dijawab beliau:
''Malaikat yang turut melayat Tsa'labah banyak sekali.'' (ah)

Menyingkirkan Duri
By Republika Contributor
Kamis, 09 Oktober 2008 pukul 14:43:00
''Hai Abu Hurairah! Singkirkanlah duri dari jalan yang akan dilalui orang yang lebih mulia darimu,
lebih kecil darimu, lebih baik darimu, dan bahkan orang yang lebih buruk darimu. Jika engkau berbuat
demikian, niscaya Allah membanggakan engkau kepada para malaikat-Nya. Dan barangsiapa
dibanggakan Allah kepada para malaikat-Nya, niscaya ia muncul pada hari kiamat dalam keadaan aman
dari segala yang buruk.'' (Hadits Nabi Muhammad SAW).

Sungguh sederhana pesan yang disampaikan: menyingkirkan duri dari jalan. Akankah kita umatnya
memahaminya secara harfiah? Islam bukan agama yang hanya dipahami secara harfiah. Sebab, apalah
makna duri? Hanya sebuah benda kecil, yang ada kalanya tak terlihat oleh yang berlalu-lalang. Apalagi
bila yang berlalu-lalang beralas kaki, tentu tak membahayakannya.

Di sinilah keagungan agama Islam dalam menetapkan peraturan dan hukum. Ayat-ayat al-Quran dan
Hadits, tak semuanya harus ditafsirkan secara harfiah. Sebagai misal, tentang kasus mengambil hak orang
lain, cukup ada satu ayat pencurian. Kalau diartikan secara harfiah, berbagai kejahatan krah putih, seperti
kejahatan penggelapan, penipuan, dan sebagainya, tentu tak termasuk pencurian.

Karena itu, menyingkirkan duri tadi harus diartikan sebagai aba-aba untuk dilaksanakan hamba-Nya
menurut situasi dan kondisi. Dengan begitu, yang dimaksud duri di sini, adalah segala sesuatu yang
mungkin menyusahkan 'orang lain', baik fisik atau nonfisik.

Orang lain di sini, Rasulullah SAW menyebut, bisa orang yang lebih mulia dan lebik baik dari kita, tapi
juga bisa orang yang lebih rendah dan bahkan lebih buruk dari kita. Ini, karena orang yang baik, mulia,
dan bahkan orang yang mempunyai posisi yang kuat, bukan mustahil pada saat tertentu terancam
musibah. Dan pada saat itulah, kita dituntut untuk ikhlas membantu menyelamatkannya.

Sementara, untuk membantu orang kecil, di antaranya bisa saja berbentuk ikatan kerja antara karyawan
dan majikan. Dalam hal ini, majikan bisa membantu untuk lebih mensejahterakan karyawannya,
sementara para karyawan harus pula lebih meningkatkan produksi kerjanya.

Masihkah ada ajakan yang lebih luhur dan mulia dari itu? Mungkin di antara kita pernah terjadi sengketa
yang kemudian berbuntut dendam. Dalam hal ini, Rasulullah melarang kita memasang duri di jalan yang
akan dilalui sebagai pelampiasan dendam kita. Kita dilarang pasang 'kuda-kuda' untuk mencelakakan
sesama, walaupun kita membenci terhadapnya. (ah)

 Berserah Diri
By M Baharun
Jumat, 10 Oktober 2008 pukul 16:23:00
Suatu musibah telah menimpa seorang teman. Kendaraan yang ditumpanginya dalam suatu perjalanan
piknik mengalami kecelakaan. Mobilnya ringsek berat. Istri dan kedua anaknya meninggal. Ia sendiri luka
berat. Hari-hari setelah kecelakaan merupakan kesedihan berat baginya. Dan lelaki itu pun mempunyai
kebiasaan baru: suka murung dan bergumam. ''Seandainya saya tak mengajak mereka bertamasya,
barangkali mereka masih hidup,'' katanya seraya menarik nafas panjang seakan mau melepaskan beban
derita itu. Dalam keadaan seperti itu, kesedihan yang berkepanjangan tentu tak ada gunanya dan tak akan
menyelesaikan masalah. Sikap yang terbaik adalah berserah diri, tawakkal. Islam sendiri arti harfiahnya
adalah pasrah. Dan tawakal adalah sikap pasrah pada setiap persoalan, dengan mengembalikan segala
sesuatunya kepada Allah.

Namun yang harus diingat dalam berserah diri ini, tawakal adalah batas akhir upaya. Bukan tawakal
namanya bila seseorang belum mencoba dan berusaha. Dan sikap seperti inilah yang selalu dinasihatkan
Nabi SAW kepada sahabatnya. Suatu kali, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hibban, ada seorang laki-laki
menghadap Rasulullah SAW. ''Ya Rasulullah, saya melepaskan onta milik saya, kemudian setelah itu
bolehkah saya bertawakal?'' tanyanya. ''Ikat dan tambatkan (ontamu) dulu,'' jawab beliau, ''lalu
bertawakallah.'' Dengan kata lain, Nabi SAW melarang orang tadi bertawakal sebelum mengikatkan onta
yang mau ditinggalkan. Kalau dibiarkan lepas, ada kemungkinan onta itu akan lari dan kemudian hilang.

Diriwayatkan oleh Said bin Musyayyab, sebagaimana dikutip Shekh Muhammad bin Abu Bakr dalam
kitabnya al-Mawaidh al-'Usfuriyah, bahwa suatu hari Rasulullah bertandang ke rumah Ali bin Abi Thalib
dan menanyakan kesehatan sahabat dan sekaligus menantunya itu. Ali pun menjawab, ''Aku berada dalam
empat kesedihan: Di rumahku tak ada makanan selain air. Aku memikirkan anak-anakku. Aku
memikirkan Allah dan hari kemudian. Dan aku memikirkan malaikat maut.'' Baginda Nabi Muhammad
SAW pun menjelaskan, ''Ketahuilah wahai putra Abi Thalib, rezeki manusia itu di tanganNya. Sedangkan
kesedihan itu tak bisa membawa mudlarat ataupun manfaat. Karena itu bertawakallah, niscaya engkau
menjadi teman Allah.'' (ah)
pengujian
By Danarto
Minggu, 12 Oktober 2008 pukul 05:02:00
Allah menguji hamba-Nya dengan musibah, sebagaimana seseorang menguji kemurnian emas dengan
api. Jika yang terlihat emas murni, itulah orang yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Jika mutunya
kurang dari itu, pertanda ia orang yang bimbang dan ragu. Dan jika yang terlihat seperti emas hitam,
itulah orang yang benar- benar ditimpa fitnah dan musibah.
 
Tidak dengan sendirinya jika seorang hamba menyatakan dirinya beriman, ia bebas dari pengujian. Tidak
dengan sendirinya jika seorang hamba menyatakan dirinya siap diuji, lalu ia bebas dari rasa takut dari
pengujian itu. Memahami pengujian iman adalah memahami kekuasaan Allah. Kesadaran yang paling
puncak ketika kita memahami Alquran adalah kepasrahan kepada Tuhan.

Iman dan rasa takut itu bersanding sehingga keduanya saling memandang. Barangkali ada tenggang rasa.
Memang, rasa takut yang dikaruniakan kepada setiap makhluk itu merupakan kendala terbesar dalam
menempuh lautan iman. Bagaimana iman yang besar yang didampingi keberanian yang besar pula, dapat
kita miliki dalam beribadah, itulah soalnya.

Sebenarnya, apa pun nasib kita, kita layak bersyukur karena nasib itu Allah sendiri yang memberikannya.
Tidak hanya berwujud musibah, pengujian itu juga berwajah keuntungan. Alhamdulillah. Hadis riwayat
At-Thabrani yang dikutip di atas selalu mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui atas seluruh
aktivitas makhluknya. Bahkan ketika kita dikaruniai kekuasaan -- sebagai presdir maupun ketua RT --
kita justru sedang masuk ke laboratorium pengujian Allah itu. Kita menjadi pemimpin yang baik atau
sebaliknya. Iman dan ketakutan, pengujian dan keputusasaan, seperti jalin-menjalin.

Begitu besar sesungguhnya tanggung jawab dan pengujian yang dibebankan seorang pemimpin, sampai-
sampai kita ingat Abu Bakar Al-Shiddiq yang pernah berpidato: ''Mereka yang paling sengsara di dunia
dan di akhirat adalah para raja! Apabila seorang raja memiliki sesuatu, maka Allah akan menjadikannya
selalu tak puas. Muak akan apa yang dimilikinya, tapi rakus terhadap apa yang digenggam orang lain.''

''Ia memperpendek masa hidupnya dan mengisi hatinya dengan kecemasan. Karena raja tidak puas bila
mendapat sedikit, namun sakit hati kalau mendapat banyak. Ia bosan akan hidup enak dan keindahan tak
lagi menarik baginya. Tak ubahnya seperti uang palsu atau fatamorgana, ia tampak ceria tapi gundah-
gulana batinnya. Dan bila ia meninggal dunia, akan ditimpa hisab yang keras, dengan sedikit
pengampunan. Sesungguhnya raja adalah orang yang patut dikasihani!''  (ah)

Tertawa
By Republika Contributor
Senin, 13 Oktober 2008 pukul 16:27:00
Di samping sebutan makhluk yang berbicara, manusia juga dikenal sebagai makhluk yang tertawa. Tawa
dan senyum bersifat asasi, muncul sejalan dengan kemanusiaan kita. Ia menjadi ''bahasa'' komunikasi
dalam keseharian hidup kita. Begitu dekatnya tawa dengan kita, hingga orang yang hilang akal sekalipun
masih tetap bisa tertawa. Alquran menyatakan: ''Dan bahwasannya Dialah yang menjadikan orang tertawa
dan menangis'' (QS, 53;43). Banyak peristiwa sosial dalam panggung sandiwara kehidupan yang
membuat kita tertawa. Kejelekan, kemalangan, penyimpangan perilaku, kelucuan, sindiran, hal yang tak
masuk akal, hingga kekonyolan diri kita sendiri, mudah berubah menjadi bahan tertawaan. Dalam konteks
Islam, tawa harus diletakkan secara ''pas''. Tawa yang islami bukanlah menertawakan kemalangan orang
lain, karena memang tidak dibenarkan, melainkan tawa yang tetap berada dalam batas-batas kesopanan
dan kebenaran.

Dalam konsep Islam tawa dipandang bukan sekadar pintu ''pelepasan'' dari ketegangan. Tapi ia juga
dianggap sebagai ungkapan sosial dari rasa cinta, kegembiraan, dan kebersamaan. Malah Allah
memperingatkan bahwa mereka yang tidak mau ''bersama-sama'' berjihad di jalan Allah bersama Nabi,
hendaklah tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai balasan dari apa yang mereka kerjakan (QS,
9:82). Dalam hadis riwayat Thabrani diceritakan bahwa Nabi Muhammad senang tertawa dan bersenda
gurau. Tapi Nabi tidak akan melakukan sesuatu hal melainkan yang hak. Nabi Sulaeman juga begitu
sering tertawa. Salah satu tawa sang nabi yang diabadikan dalam Alquran adalah ketika beliau mendengar
teriakan seekor semut yang mengomandoi kawan-kawannya untuk masuk sarang agar tidak terinjak Nabi
Sulaeman dan bala tentaranya. (QS, 27:19).

Berbagai penelitian ilmiah menyimpulkan bahwa tertawa memperkokoh kesehatan. Ketika kita tertawa,
otak kita mengalami relaksasi. Pikiran kita menjadi segar kembali. Dan kita siap menghadapi tugas-tugas
hidup berikutnya. Hidup memang mesti dijalani dan dimaknai dengan sebaik-baiknya. Namun tanpa
mengurangi hal tersebut, hidup juga berarti panggung komedi (laibun wa lahuwun). Alquran mengatakan
hidup hanyalah permainan dan senda gurau. Lalu mengapa kita mesti tegang, putus asa, dan hendak
bunuh diri ketika kita gagal meraih sesuatu? Tidakkah lebih baik kita tertawa dan tetap tawakal?

Walhasil, dalam perjuangan hidup, kita percaya bahwa hidup menjadi lebih meriah kalau kita tetap bisa
tertawa. Tawa menjadi makanan jiwa kita. Menyentuh sisi emosionalitas setiap diri. Tanpa tawa hidup
menjadi gersang, kemanusiaan menjadi tandus dan rasa menjadi tumpul. Karena itu bermurah hatilah
untuk tertawa. Tawa yang wajar membuat hati menjadi senang. Lebih dari itu, tawa yang disertai
pengingatan kepada Allah membuat hati menjadi tenang. (ah)

Takut Mati
By idris thaha
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 15:56:00
Ada seorang laki-laki yang disebut-sebut selalu berada di sisi Nabi Muhammad saw. Orang itu sering
dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah bertanya, ''Bagaimana teman kalian itu menyebut mati?'' ''Kami
hampir tidak pernah mendengar ia mengingat mati,'' jawab mereka. ''(Jika begitu), maka sesungguhnya
teman kalian itu bukanlah di situ (di sisi Nabi),'' jawab Rasulullah. Seorang sahabat dari kaum Anshar
bertanya. ''Wahai Nabi, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?''

''Mereka yang sering mengingat mati dan (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka
pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,'' sabda Nabi. Memasuki Tahun Baru ini, kiranya kita
perlu mengingat hadis di atas, yang dikutip Imam Ghazali dalam Teosofia Al-Qur'an. Dalam setiap
pergantian tahun, sebenarnya umur kita semakin mengurang. Hari-hari kehidupan kita semakin dekat
kepada liang kubur alias kita akan mati.

Menurut Ghazali, dalam syariat Islam, kita akan mendapatkan pahala besar kalau sering mengingat
kematian. Sabda Nabi, ''Aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan
dapat berbicara. Yang diam adalah maut (mati), sedangkan yang berbicara adalah Alquran.'' Dalam
Alquran, Allah tegas mengatakan, ''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada
(Allah), yang mengetahui yang gaib dan nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan (QS 62:8).

Namun demikian, tak jarang sebagian kita merasa takut menghadapi kematian. Takut mati, kata Murtadha
Muthahhari dalam Jejak-jejak Ruhani, merupakan insting dan alami pada setiap makhluk hidup.
Bayangan kematian adalah bayangan yang sangat menakutkan. Jika kita takut terhadap sesuatu, karena
sesuatu itu akan membawa kematiannya. ''Sekiranya kematian itu tidak ada di tengah manusia, niscaya
tidak ada sesuatu pun yang ditakutinya,'' tulis Muthahhari.

Menurut Ibn Miskawaih dalam Menuju Kesempurnaan Akhlak ada beberapa kemungkinan kenapa takut
mati sering menghantui kita. Di antaranya, mungkin kita tidak tahu apa mati itu; tidak tahu di mana
sebetulnya jiwa akan pergi nanti; salah menduga bahwa tubuh dan jiwa akan hancur tanpa bekas dan ada
penderitaan yang sangat menyakitkan; takut siksa dan bingung apa yang akan kita hadapi setelah mati;
atau kita terlalu sayang harta sehingga sedih meninggalkannya. ''Seluruh prasangka ini adalah salah, dan
tak terbukti sama sekali,'' tulisnya.

Kalau kita takut mati, berarti kita takut terhadap apa yang mestinya didambakan. Kematian, kata Ibn
Miskawaih, sebenarnya merupakan perwujudan dari apa yang tersirat dalam definisi tentang manusia
sebagai makhluk hidup, berpikir, dan akan mati. Artinya, kematian justru menyempurnakan manusia.
Lewat kematian, manusia mencapai bidang kehidupannya yang paling tinggi. (ah)

Cantik
By Republika Contributor
Kamis, 16 Oktober 2008 pukul 16:03:00
Dunia ini adalah perhiasan, dan seindah-indah perhiasan adalah wanita shalehah (Muhammad saw)

Cantik. Predikat itulah yang didambakan oleh banyak wanita dari zaman ke zaman pada berbagai
peradaban. Kebutuhan tampil cantik memang merupakan naluri setiap wanita normal, sehingga pada
derajat tertentu, kecantikan menjadi sesuatu yang universal dan menjadi bagian dari kultur sebuah
masyarakat. Karenanya, persepsi mengenai kecantikan menjadi sesuatu yang nisbi dan sangat dipengaruhi
oleh pandangan hidup (ideologi) yang mendasari gaya hidup suatu masyarakat.

Bagi masyarakat kapitalis-sekuler yang memisahkan antara nilai-nilai spiritual dengan kebutuhan-
kebutuhan material, kecantikan bersifat sebatas fisik-materil semata. Dalam kultur seperti ini seorang
wanita dianggap cantik hanya apabila memiliki jasmani yang memenuhi standar-standar kecantikan
tertentu yang diakui khalayak. Itulah kecantikan artifisial.

Wanita menjadi rela memanipulasi fisiknya melalui berbagai teknik, dengan biaya berapa pun besarnya,
misalnya operasi plastik, untuk memperoleh bentuk fisik sebagaimana yang disyaratkan oleh standar
kecantikan versi khalayak.

Berbagai teknologi dan perangkat kecantikan telah menjadi lahan industri yang bernilai komersiil tinggi.
Untuk kepentingan industri kosmetika dan segenap perangkat pendukungnya itu, wanita terus-menerus
dirangsang, melalui berbagai media, untuk memuja kecantikan artifisial semata.

Female dan fashion menjadi dua kata sakti demi sejumlah besar devisa. Wanita yang menjadi korban
tanpa sadar telah tergiring pada hedonisme yang meruntuhkan nilai asing yang melekat dalam dirinya.
Sejarah telah mencatat deretan panjang nama wanita yang mengalami kehidupan tragis akibat terbius oleh
obsesi keabadian kecantikan artifisial tersebut.

Hal di atas adalah apa yang diistilahkan sebagai tabaruj jahiliyyah (cara berhias ala jahiliyah). Jauh-jauh
hari Islam telah mengingatkan wanita muslim untuk menghindarinya. Dalam Islam, perhiasan wanita
yang terindah adalah takwa dan kesalehannya (QS 7:26). Nilai-nilai ketakwaan dan kesalehan ini akan
melahirkan pribadi luhur yang memancarkan keagungan jiwa yang terwujud dalam akhlakul karimah.
Itulah kecantikan sejati atau dalam terminologi modern dikenal sebagai the inner beauty.

Berdandan agar tampil cantik tentu boleh-boleh saja, terlebih bila untuk menyenangkan hati suami, asal
saja tetap dalam batas-batas rambu yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik -- agar kecantikan dapat
menjadi rahmat dan bukannya penyebab laknat. Tapi, penampilan fisik yang prima hanya akan berharga
bila disertai oleh keimanan yang teguh, akal yang cerdas, tutur bahasa yang santun dan perilaku yang
lurus. (ah)

Berebut Kedudukan
By K.H. Abdurrahman Arroisi
Senin, 20 Oktober 2008 pukul 10:46:00
Saling berlomba untuk memperebutkan kedudukan atau jabatan kini makin marak di mana-mana.
''Penyakit'' tersebut menimpa semua golongan dan lapisan. Tokoh agama melawan tokoh agama, politisi
melawan politisi, pedagang melawan pedagang, dan sebagainya. Padahal karunia Tuhan begitu
banyaknya, sehingga takkan habis kalau ''diperebutkan'' secara adil. Allah berfirman: Andaikata kamu
hitung kenikmatan Allah, sungguh kamu takkan mampu melakukannya ( Q.S. 14: 34).

Perihal kedudukan ini, barangkali ada baiknya bila kita menyimak kembali dialog antara Khalifah Harun
al-Rasyid dengan seorang penasihatnya. Suatu ketika, Khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal dekat
dengan para ulama, mengunjungi salah seorang penasihatnya.

''Tuan guru,'' kata Khalifah, ''sudah banyak ulama lain memberi peringatan, dan tak sedikit pula yang
menyampaikan kabar gembira. Tapi sepatah pun belum pernah saya dengar dari Tuan. Hati saya belum
puas rasanya.'' Ulama yang arif itu terdiam, sesudah berpikir sejenak lalu menjawab, ''Bolehkah saya
minta air putih dulu? Secawan untuk saya dan secawan untuk Tuan Khalifah.''

Permintaan itu membuat Harun Al Rasyid keheranan. Namun segera ia perintahkan pelayan menyediakan
dua cawan air putih. Sesudah tersedia di meja, sang ulama yang bersahaja itu menyuruh Al Rasjid
menghirupnya. Tapi, tiba-tiba, sebelum cawan tadi menyentuh bibir Khalifah, penasihatnya mencegah
dan bertanya, ''Maaf Amirul Mukminin. Tahan sebentar, jawab dulu pertanyaan saya. Andaikata di suatu
padang pasir yang gersang, matahari seolah bertengger di ubun kepala, sedangkan Tuan tidak mempunyai
persediaan air, sehingga tak berapa lama lagi bakal mati sengsara, apa yang Tuan lakukan apabila tahu-
tahu ada seorang musafir menawarkan air dengan syarat harus Tuan bayar berupa singgasana dan
kekayaan Tuan?''

Tanpa berpikir panjang Harun Al Rasyid menjawab, ''Dalam keadaan seperti itu, separuh kerajaan pun
akan saya serahkan.''

Guru itu tersenyum. ''Nah, minumlah air yang di cawan itu sampai habis.'' Al Rasyid menurut. Kemudian
sang Guru melanjutkan, ''Air di cawan tersebut sudah masuk ke dalam perut Tuan. Sesudah itu Tuan
mendapat kesulitan besar, karena tidak bisa buang air kecil sampai berhari-hari. Seandainya dalam
kesakitan itu ada yang mampu mengobati dengan syarat Tuan harus menyerahkan separuh kerajaan yang
tersisa, apakah Tuan bersedia?''

Kembali tanpa ragu-ragu Al Rasyid menjawab, ''Biarlah saya menjadi rakyat biasa tanpa kekuasaan
asalkan sehat walafiat.'' Sang ulama pun tersenyum. ''Karena itu saya heran, mengapa orang-orang alim
saling menjegal dan memfitnah hanya untuk menduduki kursi pemimpin. Apakah jabatan lebih penting
dari kehidupan?'' - ah

Kekhawatiran
By Republika Contributor
Selasa, 21 Oktober 2008 pukul 16:41:00
Bermacam kekhawatiran menyelimuti diri manusia, termasuk dalam membelanjakan harta seperti telah
diperintahkan Allah. Kekhawatiran ini berpangkal pada sejumlah keinginan untuk pemuasan material
yang tampak, misalnya ingin membuat rumah mewah, beli mobil bagus, atau sekadar makan cukup.

Ada tips dari Alquran untuk menghilangkan segala kekhawatiran itu, yaitu beristiqamah (Q. S. 41: 30).
Allah SWT pun berfirman: ''Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati'' (Q. S. 2: 274).

Dalam kitab Riyaadhush Shalihiin tersebut sebuah kisah dari Imam Bukhari, bahwa Abu Hurairah sering
tidak makan. Untuk menahan laparnya, dia menekan perutnya ke tanah karena lapar atau mengganjal
perutnya dengan batu. Suatu hari, Abu Hurairah duduk di jalanan. Mendadak Nabi SAW lewat dan
tersenyum melihatnya. Lalu Rasulullah mengajaknya ikut. Sesampai di rumah, Rasul menemukan segelas
susu. Beliau lalu bertanya kepada istrinya, ''Dari manakah susu ini?''

''Si Anu telah mengirimkan hadiah untukmu,'' jawab istrinya. Rasulullah menyuruh Abu Hurairah
memanggil ahl shuffah (orang-orang yang tak berumah atau keluarga). Setiap mendapat sedekah, Nabi
memang mengirimkannya langsung kepada mereka, tanpa mengambil sedikit pun. Tapi jika mendapat
hadiah, sebagian dimakan dan sebagian lainnya diberikan kepada mereka.

Dalam hati kecilnya Abu Hurairah merasa berhak mendapat seteguk lebih dahulu, untuk mengembalikan
kekuatan tubuhnya. Namun ia tak boleh membantah perintah Rasul. Dia pun pergi memanggil ahl shuffah
itu. Dan Abu Hurairah disuruhnya membagikan susu itu kepada mereka.

Abu Hurairah memenuhi perintah Nabi, dan memberikan susu dalam gelas itu kepada orang pertama dari
mereka, untuk diminum sampai puas. Demikian dilakukan kepada orang kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya sampai semuanya minum puas, baru gelasnya dikembalikan kepada Nabi.

''Tinggal saya dan kau. Duduklah, minumlah,'' kata Nabi kepada Abu Hurairah yang menaati perintahnya.
Dan Nabi selalu mengulangi, ''Minumlah!'' ''Demi Allah yang mengutus kau dengan haq, tidak ada lagi
tempat dalam perutku,'' jawab Abu Hurairah. Kemudian Rasulullah meminta gelas itu. Sambil memuji
syukur kepada Allah dan membaca Bismillah, ia meminum sisa susu itu.

Kisah di atas memberi pelajaran berharga bahwa kita tak boleh khawatir dengan yang diperintahkan Allah
dan rasul-Nya. Kita diajari untuk tidak hanya mengandalkan hitungan matematik, tapi juga ketakwaan. -
ah

Penyayang
By Danarto
Kamis, 23 Oktober 2008 pukul 11:28:00
Orang penyayang adalah orang yang disayangi Allah Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah makhluk
di bumi, niscaya kalian disayangi Dzat yang di langit - Nabi Muhammad SAW

Khalifah Umar jatuh iba ketika melihat seekor burung pipit yang dibuat mainan seorang anak kecil.
Beliau membelinya, lalu melepaskannya ke angkasa. Kemudian, sekian waktu berlalu, seorang ulama
bermimpi bertemu khalifah yang telah meninggal dan meyakini bahwa Sayidina Umar telah dikaruniai
kebahagiaan sorga.

''Tinggalkan hambaKu ini. Jangan kalian takut-takuti. Aku menyayanginya. Dan segala dosanya telah
Kuampuni karena ia telah menyayangi seekor burung pipit di dunia. Pahalanya, Kusayangi ia di
akhiratnya,'' terdengar suatu suara yang menghardik dua malaikat yang mau menanyai sang Khalifah di
alam kubur.

Subhanallah. Khalifah Umar telah dikaruniai sorga karena sifat dan tindakan sayangnya, telah melebihi
kedermawanannya, keadilannya, dan kezuhudannya. Rasa sayang kepada sesama makhluk mampu
menjalin persaudaraan antarmanusia dan melanggengkan hubungan manusia dengan alam. Rasa sayang
sang Khalifah telah menjangkau secara luas tentang kelestarian alam.

Sifat dan perilaku kasih sayang manusia adalah gambaran pada cermin dari sifat-sifat Allah Yang Maha
Pemurah - Yang Maha Penyayang. Sifat itu telah mengantarkan siapa pun untuk berbelaskasih kepada
sesama, tanpa memandang agama, golongan, dan kepentingan. Bahkan terhadap hewan, tumbuhan, dan
alam benda (tanah, air, api, udara, zat), tak terkecuali sehingga hal itu merupakan pengejawantahan
tanggungjawab atas kelestarian alam.

Allahu Akbar. Seperti yang selalu disinggung Alquran, makhluk-makhluk di luar manusia itu
sesungguhnya hidup persis seperti kita. Mereka juga bisa memberikan kasih sayangnya kepada kita
sebagai balasan kasih sayang yang kita berikan kepada mereka, sehingga kita bersama mereka dapat
hidup tenteram dan menyenangkan.

Tindakan kecil dari kita, ternyata berdampak besar bagi alam. Kasih sayang menimbulkan kasih sayang
pula. Dan itu persoalan besar bagi Tuhan juga. - ah

Bersyukur
By Idris Thaha
Sabtu, 25 Oktober 2008 pukul 08:08:00
Tiap detik, Allah melimpahkan nikmat-Nya kepada setiap makhluk. Misalnya, nikmat umur, iman, dan
Islam. ''Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan
jumlahnya.'' (QS. 16: 18) Kita wajib bersyukur kepada Allah atas berbagai nikmat-Nya. Menurut Imam
al-Ghazali, bersyukur adalah salah satu maqam yang lebih tinggi dari sabr, khauf kepada Allah dan
maqam lainnya. Bila kita bersyukur berarti kita telah menempatkan nikmat Allah pada tempat yang
sesungguhnya. Wujud syukur yang sebenarnya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-
Nya.

Abul Laits as-Samarqandi dalam Tanbih al-Ghafilin membagi syukur menjadi tiga macam. Pertama, jika
seseorang menerima nikmat, maka ingatlah ia kepada yang memberi untuk memuji padanya. Kedua, ia
ridha dan puas terhadap nikmat yang diterima. Ketiga, selama ia merasakan manfaat nikmat itu, maka ia
tidak menggunakannya untuk perbuatan maksiat.

Seorang hakim berkata, ''Saya sibuk mensyukuri empat macam. Pertama, Allah telah menjadikan seribu
macam makhluk, sedang yang termulia dari semua itu anak Adam, lalu Allah menjadikan aku dari anak
Adam. Kedua, Allah telah melebihkan orang lelaki daripada wanita, lalu menjadikan aku lelaki.
 Idris Thaha
Ketiga, saya mengetahui bahwa Islam itu sebaik-baik agama, dan yang diterima oleh Allah, lalu saya
dijadikan seorang muslim. Keempat, saya mengetahui bahwa umat Muhammad itu paling utamanya
umat, lalu Allah menjadikan aku dari umat Muhammad SAW.''

Sedangkan Ibnu Abbas mengutip Nabi Muhammad bersabda, ''Dua macam nikmat yang kebanyakan
manusia rugi (kecewa) dalam menerima keduanya. Yaitu nikmat sehat afiat dan libur (tidak ada kerja).
Jarang orang yang dapat menggunakan dengan sungguh-sungguh masa sehat dan libur itu.''

Dan Imam al-Ghazali mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah. Pertama, bersyukur dengan hati,
yaitu mengakui dan menyadari segala nikmat Allah. Kedua, bersyukur dengan lidah, yaitu mengucapkan
ungkapan rasa syukur. Seorang ulama berkata, ''Barangsiapa merasa menerima nikmat, hendaknya ia
membaca banyak hamdalah (alhamdulillah). Dan barangsiapa yang sering risau, hendaklah ia sering
membaca istighfar (astaghfirullah), dan barangsiapa merasa tertekan oleh kemiskinan, hendaknya ia
membaca laa hawla wa laa quwwata illaa billahi al-aliyyi al-adziimi.

Ketiga, bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu mengamalkan dan memanfaatkan anggota tubuh sesuai
dengan agama. Bagi al-Ghazali, anggota tubuh yang terpenting meliputi mata, telinga, lidah, tangan,
perut, kemaluan (seksual), dan kaki.

Jika kita bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita, dan jika mengingkarinya, azab-Nya
sangat pedih (Q.S. 14:7). Bila kita bersyukur, sesungguhnya kita bersyukur untuk kebaikan sendiri (Q.S.
27:40; 31:12). Lagi pula, ada empat orang yang diberi keuntungan dunia dan akhirat. Orang yang
menggunakan lidahnya untuk berdzikir, hatinya untuk bersyukur, badannya untuk bersabar, dan memiliki
istri mukminah shalihah. Wallahu a'lam. - ah

Pemuda
By Nasiruddin Zuhdi
Senin, 27 Oktober 2008 pukul 19:01:00
Nabi yang agung, Muhammad saw, pernah bersabda: ''Ada tujuh golongan yang mendapat perlindungan
Allah pada hari yang tiada perlindungan selain perlindungan-Nya: (1) pemimpin yang adil; (2) pemuda
yang terbina dalam ibadah kepada Allah; (3) orang yang hatinya terpaut dengan masjid; (4) dua orang
bersahabat di jalan Allah, berkumpul dan berpisah karena-Nya; (5) laki-laki yang diajak kencan seorang
perempuan berkedudukan dan cantik namun menjawab: 'Aku takut kepada Allah'; (6) seorang yang
bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tak tahu apa yang disedekahkan
tangan kanannya; dan (7) seorang yang berdzikir kepada Allah sendirian hingga berlinang air matanya.
(riwayat Bukhari).

Hadits ini menegaskan Islam menunjukkan perhatian khusus pada pemuda, agar mereka tidak terlena
dengan kehidupan dunia yang glamour. Dalam Islam, pemuda memperoleh tempat terhormat,
sebagaimana terangkum dalam Alquran melalui kisah mulia Ashaabul Kahfi (Q.S. 18:10, 13, 22, 74, 80,
82).

Pemuda Indonesia merupakan unsur vital dalam tatanan sistem sosial. Sudah optimalkah mereka
memantapkan jati diri sebagai penanggung jawab masa depan umat, masa depan dunia, dan
kemanusiaan? Seberapa besar semangat serba ingin tahu, ingin menunjukkan kebolehan dalam meraih
cita-cita mulia, dan meraih kemuliaan dunia dan akhirat? Adakah mereka akan selalu meningkatkan
semangat belajar sekaligus menyerap nilai-nilai luhur Iptek yang tepat guna bagi bangsa dan negara?
Ataukah mereka masih sering silau dan terkesima melihat fatamorgana kehidupan yang menyimpang dari
alur dan jalur Kalamullah dan Sunnah Rasul?

Semua itu tidak terlepas dari tali ikatan dan peran para generasi pendahulunya. Hitam putihnya pemuda
lebih dipengaruhi oleh interaksi para orangtua, keluarga, dan lingkungan mereka. Memperingati Hari
Sumpah Pemuda kali ini, patut kita renungkan kembali penegasan GBHN tentang pemuda -- ''Pemuda
Indonesia sebagai generasi pewaris nilai-nilai luhur budaya dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan
insan pembangunan sangat diharapkan menjadi kader pimpinan bangsa yang berjiwa Pancasila, disiplin,
peka, mandiri, beretos kerja, tangguh, memiliki idealisme dan wawasan kebangsaan yang luas, mampu
mengatasi tantangan, baik masa kini maupun mendatang dengan tetap memperhatikan nilai sejarah yang
dilandasi semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan.''

Bagi yang gemar menengok sejarah Islam dan sejarah kemanusiaan, niscaya dia meyakini bahwa
kemuliaan dan keluhuran suatu umat sangat dipengaruhi oleh potensi dan eksistensi pemudanya,
sebagaimana diungkapkan Alquran berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf (Q.S. 12:22) dan Nabi Musa
(Q.S. 28:14). Ini karena tiada lain karena potensi dan eksistensi pemuda memiliki dimensi yang tidak
dibatasi ruang dan waktu.

Mengantisipasi erosi rohani yang sering menghampiri tanpa kita sadari, mari kita simak peringatan
Rasulullah yang ditujukan terutama bagi para pemuda: ''Gunakanlah yang lima sebelum datangnya lima
perkara: usia mudamu sebelum datang usia tuamu, sehatmu sebelum datang sakitmu, kayamu sebelum
miskin, hidupmu sebelum matimu, dan kelapanganmu sebelum sibukmu.'' Bismillaahi Tawakkaltu
Alallah. - ah

Milik Negara
By Republika Contributor
Selasa, 28 Oktober 2008 pukul 17:50:00
Suatu hari di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Husein, putra Ali, memerintahkan Qanbar,
pembantunya, agar mengambil setakar madu milik negara yang belum dibagi-bagikan kepada umat Islam
untuk disuguhkan kepada tamunya. Ketika mengetahui perubahan tempat madu Khalifah Ali menanyakan
kepada Qanbar dan mendapatkan keterangan bahwa Husein telah mengambil setakar untuk tamunya.

Khalifah Ali marah besar dan kemudian menginterogasi putranya. Mengapa ia berani mengambil madu
sebelum tiba saat pembagian? ''Kami kan juga punya hak dan bagian. Kalau aku nanti telah menerima
bagianku, madu itu pasti akan kuganti,'' jawab Husein.

''Walau engkau punya hak dan bagian dari madu itu, engkau tidak boleh mengambil lebih dahulu sebelum
orang-orang Islam lainnya,'' jelas Khalifah Ali. ''Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu
(karena amat mencintai), engkau pasti kucambuk karena perbuatanmu.''

Pada waktu yang lain Aqil, saudara Khalifah Ali, datang untuk meminta bantuan. Maksudnya, agar ia
diberi referensi oleh Khalifah untuk mengambil sedikit bahan makanan dari perbendaharaan negara. Aqil
berbuat demikian karena ia tahu bahwa Khalifah Ali hidupnya sederhana. Khalifah Ali lalu
memerintahkan saudaranya itu untuk datang pada malam harinya.

Ketika Aqil datang ke rumah Khalifah Ali, dengan dipandu oleh anak-anaknya karena sudah tua dan buta,
ia langsung disambut oleh saudaranya yang juga penguasa tertinggi umat Islam itu. ''Hanya inilah
untukmu!'' kata Khalifah Ali. Dan ketika Aqil mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian yang
dikiranya makanan, ternyata yang diberikan Khalifah Ali adalah sebatang besi panas. Sambil menjerit
kepanasan, Aqil melemparkan besi itu.

Khalifah Ali dengan tenang berkata, ''Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kelak bila
kau dan aku dibelenggu dengan rantai yang dibakar di neraka?'' Khalifah Ali melanjutkan, ''Dariku
engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu.''

Cuplikan peristiwa sejarah di atas menegaskan kepada kita bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanat
rakyat yang harus dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam menjalankan kekuasaan Khalifah Ali tak
pernah membedakan antara keluarga, kerabat, dan rakyat kebanyakan. Kiranya, untuk memberi rasa aman
kepada masyarakan sekarang ini, kita perlu bercermin kepada Khalifah Ali. - ah

Pembantu
By Hasan Basri Alcaff
Rabu, 29 Oktober 2008 pukul 15:04:00
''Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang
yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka
miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?''
(Quran, surah 16: 71).
Tak sedikit di antara kita yang masih menganggap pembantu sebagai budak. Dalam arti majikan bisa
berbuat apa saja kepada pembantunya. Dan sebaliknya, pembantu harus turut dan selalu siap mengerjakan
apa yang diperintahkan majikan. Mereka ibarat robot yang dapat digerakkan ke mana saja oleh sang
majikan.

Dalam hal pembantu, Islam menuntut agar kita menganggap mereka sebagai rekanan, sebagai anggota
keluarga kita. Singkat kata, kita harus lemah lembut terhadap mereka, tidak semena-mena. Nabi SAW
menjelaskan, ''Janganlah seseorang kamu memanggil budak-budaknya dengan panggilan budakku,
hendaklah memanggilnya dengan sebutan pemudaku atau pemudiku.'' Suatu hari Sahabat Nabi, Abu
Hurairah r.a sangat marah ketika melihat seorang laki-laki menunggang unta, sementara pembantunya
berjalan di belakangnya. ''Wahai saudaraku,'' tegurnya, ''yang berjalan di belakangmu adalah saudaramu
sendiri. Jiwanya sebagai jiwamu juga. Dudukkanlah dia di belakangmu.''
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Ketika mengadakan perjalanan ke
Baitul Maqdis, Jerusalem, dari Madinah, beliau bergantian menunggang unta dengan pembantunya. Bila
giliran pembantunya yang naik unta, Umar berjalan di belakangnya. Bahkan Islam bukan hanya
memerintahkan berbuat baik kepada pembantu. Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, beliau juga
menyuruh untuk memberi ketrampilan dan pendidikan kepada pembantu. Maksudnya jelas, agar para
pembantu di kemudian hari bisa mandiri. ''Barangsiapa mempunyai jariah (pembantu),'' kata beliau,
''maka hendaknya ia mengajarinya dan berbuat baik kepadanya. Mereka yang bernbuat demikian, akan
mendapat dua pahala. Pertama, pahala telah memberi pelajaran. Dan kedua, pahala karena
memandirikannya.''

Contoh hubungan baik antara majikan dengan pembantunya, tentu yang telah dipraktekkan sendiri oleh
Muhammad SAW ketika menjadi pembantu saudagar kaya Siti Khadijah. Sebagai pembantu, beliau
sangat jujur memegang amanat yang diberikan majikannya dan selalu bekerja keras. Sementara Siti
Khadijah sebagai majikan, tidak sekalipun pernah menghardik pembantunya. - ah

Tingkatan Sabar Bagi Kaum Sufi


By Republika Contributor
Kamis, 30 Oktober 2008 pukul 16:02:00
Al-Syibli, seorang sufi, ditanya oleh seorang pemuda mengenai sabar. ''Sabar macam apa yang paling
sulit?'' tanya pemuda itu. ''Sabar demi Allah,'' jawab Al-Syibli. ''Bukan,'' tolak si pemuda. ''Sabar dalam
Allah,'' jawab Al-Syibli. ''Bukan,'' katanya. ''Sabar dengan Allah,'' ucapnya. ''Bukan,'' bantahnya.
''Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?'' kata Al-Syibli jengkel. ''Sabar dari Allah,'' jawab pemuda itu.
Al-Syibli menangis, lalu pingsan.

Dialog ini menjelaskan kepada kita mengenai tingkatan sabar bagi kaum sufi. Sabar dari Allah (ash-shabr
'an Allah) paling sulit ditempuh dari tingkatan sabar lainnya. Untuk mencapai maqam ini, Ali bin Abi
Thalib selalu berdoa, ''Ya, Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku! Sekiranya aku bersabar menanggung
siksa-Mu, bagaimana aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?!''

Dalam literatur tasawuf, sabar (sabr) salah satu maqam, selain zuhd, ma'rifah, mahabbah, tawbah, wara,'
faqr, tawakkal, dan ridha. Menurut Nashiruddin Al-Thusi dalam Manazil Al-Sa'irin, ''Sabar membuat
batin tidak sedih, lidah tidak mengeluh, dan anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan.''

Sedang bagi orang awam seperti kita, ada tiga tingkatan sabar seperti dijelaskan Nabi Muhammad SAW
dalam Al-Kafi. Ali bin Abi Thalib berkata, ''Rasulullah bersabda, 'Ada tiga macam sabar: sabar ketika
menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak membuat maksiat.

Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus
derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan
orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat (yang tinggi),
ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti derajat antara dalamnya bumi dan 'Arsya. Dan orang
yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat (yang
tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas
terjauh 'Arsy.''

Sabar ketika menderita berarti kita tabah menghadapi musibah dan bencana yang ditimpakan oleh Allah
(Q.S. 2:155-57), sebagai ujian untuk menyadarkan kita. Sabar dalam ketaatan berarti kita menahan
kesusahan dalam menjalankan ibadah. Contoh konkret, para calhaj harus bersabar ketika
pemberangkatannya tertunda. Sabar dalam musibah adalah sumber ridha atau puas menerima takdir
Allah. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Dan, sabar tidak berbuat dosa
adalah sumber ketakwaan diri kepada Allah.- ah

Membina Kemuliaan Diri


By Republika Contributor
Jumat, 31 Oktober 2008 pukul 17:40:00
Islam menekankan tentang pentingnya membina kemuliaan diri. Untuk meraih kemuliaan diri itu, di
antaranya Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar rajin bekerja. Sebab bekerja merupakan ikhtiar
untuk meraih penghidupan yang lebih layak. Dan kehidupan yang layak itu merupakan salah satu modal
untuk meraih hidup mulia di tengah-tengah masyarakat dan sekaligus modal untuk meraih kebahagiaan
hidup di akhirat. Firman Allah: Carilah kebahagiaan hidup di akhirat, tapi jangan lupakan kebahagiaan
hidupmu di dunia (Q. S. 28: 77).

Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan sangat bangga terhadap lelaki yang telapak tangannya kasar
karena mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar demi menghidupi keluarganya. Salah satu ajaran Islam
yang sangat mengesankan tentang bekerja barangkali bisa kita simak dari hadis Nabi SAW ini: Kalau hari
kiamat sudah hampir tiba, sedangkan di tanganmu ada bibit tanaman korma, tanamlah. Mudah-mudahan
engkau akan mendapatkan pahala.

Makna tersurat dari hadis tadi sangat jelas: rajin dan tekun bekerja. Tanamlah bibit tanaman itu, jangan
pedulikan apapun yang terjadi esok hari. Kalaupun kita sempat tidak memetik hasilnya, kita pasti
mendapatkan pahala, asalkan ikhlas. Seperti seorang kakek tua yang menanam bibit kelapa tanpa
mempedulikan usianya. Sebab dia yakin, meskipun dia tidak keburu memetiknya, hasil tanaman itu akan
dinikmati oleh anak cucunya. Tapi makna tersirat hadis di atas jauh lebih luas lagi: Tanamlah kebaikan di
mana, kapan, dan dalam keadaan bagaimanapun. Tebarlah kebaikan kepada keluarga, kerabat, tetangga,
teman sekantor, orang yang kesulitan, bahkan kepada orang nonmuslim sekalipun. Bukankah Islam
merupakan rahmat bagi seluruh manusia? Dengan kata lain, kemuliaan diri itu sesungguhnya bila diri kita
banyak memberi manfaat kepada orang lain.

Alangkah banyak pintu kebaikan, dan setiap kita mempunyai kesempatan amat luas untuk melakukannya.
Tak usah berharap kebaikan itu akan berbalas dari orang-orang yang menerimanya. Allah lebih tahu
membalas kebaikan hamba-hamba-Nya. Kalaupun kita tidak menikmati buah kebaikan itu di dunia, Allah
sudah menyediakan balasannya di akhirat. Sesungging senyum dan sapaan ramah adalah sebuah
kebaikan. Nabi mengatakan, menyingkirkan duri dan halangan dari jalan merupakan sedekah. Bahkan
sekadar memberi petunjuk kepada orang yang bertanya mengenai suatu alamat pun merupakan sebuah
kebaikan.

Dalam satu riwayat ada disebutkan seorang wanita pelacur yang diangkat derajatnya lantaran semasa
hidupnya pernah menolong seekor anjing yang hampir mati kehausan di tengah gurun kerontang. Nabi
pernah menegur salah seorang sahabat yang menyia-nyiakan seekor unta tua, padahal saat masih muda
dan gagah, unta itu merupakan andalannya dalam mencari nafkah. - ah

Mengingat Allah SWT


By Republika Contributor
Senin, 03 November 2008 pukul 17:32:00
Dzunnun al-Mishri, tokoh sufi yang populer karena paham ma'rifahnya, pernah ditanya, ''Dengan apa
seorang dapat menggapai sorga?'' Jawabnya, ''Dengan senantiasa mengingat Allah SWT baik di waktu
sunyi-sepi maupun di waktu ramai.'' Dalam terminologi sufistik, apa yang dikemukakan Dzunnun di atas
dikenal dengan istilah kontemplasi (muraqabah), yaitu kegiatan memusatkan pikiran dan segala perhatian
hanya tertuju kepada Allah SWT semata. Kontemplasi bagi kaum sufi merupakan suatu keharusan agar
dapat memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan secara terus-menerus.

Keharusan berkontemplasi ini didasarkan pada kenyataan dan kesadaran bahwa Allah SWT senantiasa
mengawasi segala perbuatan kita, yang besar maupun kecil, yang nyata maupun tersembunyi. Firman
Allah, ''Sesungguhnya Allah SWT selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. 4:1). Karena ketatnya
pengawasan Tuhan ini, Abdul Wahid ibn Zaid, pendiri perkumpulan sufi di Abadan, pernah berkata,
''Sekiranya Allah SWT memang selalu mengawasi diriku, maka aku tidak pernah akan hirau dan peduli
kepada yang selain-Nya.''

Kontemplasi, seperti dikemukakan di atas, dapat dibedakan berdasarkan kualitas dan intensitasnya.
Menurut imam al-Ghazali di kitab Ihya' 'Ulum al-Din, kontemplasi dapat dibagi ke dua tingkatan.
Pertama, muraqabat al-muqarrabin, yaitu kontemplasi yang dilakukan oleh orang-orang yang senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pada tingkat ini, kontemplasi membuat seorang hanya terpaku
kepada Tuhan. Dalam hatinya tidak ada ruang lagi untuk tertarik kepada yang lain. Inilah kontemplasi
dalam bentuknya yang paling sempurna.

Kontemplasi jenis ini, kata al-Ghazali, dapat melahirkan prilaku kebaikan, lahir maupun batin, tanpa daya
upaya. Logikanya begini. Jika hati seorang tertuju sepenuhnya kepada Tuhan, maka ia tak dapat berpaling
pada hal-hal yang mubah apalagi yang terlarang (mahdzurat). Seluruh aktivitasnya pastilah merupakan
kepatuhan kepada Tuhan. Hati merupakan pemimpin bagi anggota badan lainnya. Seluruh aktivitas
anggota badan mengikuti instruksinya.

Kedua, muraqabat al-wara'in, yaitu kontemplasi orang-orang yang wira'i. Kontemplasi pada tingkat ini
belum maksimal seperti pada tingkat pertama. Masih terbuka peluang bagi pelakunya untuk berpaling
kepada yang selain Allah SWT meski ia terus berupaya untuk senantiasa ingat kepada-Nya.

Karena itu, orang yang mencapai tingkat ini, menurut al-Ghazali, perlu menyempurnakan diri dengan
memperhatikan tiga hal ini. Pertama, ia harus menjaga dan memelihara kebaikan itu dari berbagai
penyakit yang dapat menggrogotinya. Pada level dan tingkat apa pun, komtemplasi agaknya dapat
membuat manusia lebih kenal dan lebih dekat dengan Tuhannya. 

Istikharah
By Republika Contributor
Selasa, 04 November 2008 pukul 18:19:00
Tidaklah akan merugi orang yang suka beristikharah (memohon petunjuk dengan bersalat) dan tidaklah
akan bersedih hati orang yang suka bermusyawarah, serta tidak akan kelaparan orang yang rajin
menabung. (Nabi Muhammad SAW)

Memohon petunjuk Allah dengan bersalat merupakan kegiatan ibadah yang selalu kita lakukan. Ibadah
yang satu ini unik dan misterius. Disebut unik karena dalam ibadah ini seolah-olah kita menelepon
langsung kepada Tuhan SWT. Disebut misterius karena selalu ada jawaban atas petunjuk yang kita minta.
Jawaban yang datang sering seketika. Bisa lewat mimpi, sering pula lewat gejala yang nampak dalam
kegiatan kita sehari-hari. Misalnya, kita memohon jodoh. Gambaran orang yang akan menjadi jodoh kita
-- kadang berwujud wajah -- muncul di hadapan kita.

Ibadah istikharah ini mengasah sensitivitas kita. Makin sering dilakukan, makin baik. Juga mengajarkan
supaya kita selalu ingat kepada hal-hal yang baik saja. Apalagi jika kita hidup dalam suatu komunitas
yang selalu menghendaki kita untuk bermusyawarah. Memohon petunjuk tidak hanya untuk diri sendiri
tetapi juga untuk keselamatan masyarakat tempat kita hidup. Hadis riwayat Thabrani di atas mengajarkan
bahwa hidup ini dapat dibangun dengan selalu memohon petunjuk Allah. Apalagi zaman sudah semakin
rumit oleh perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Hidup sehari-hari semakin membutuhkan
keterampilan kita dalam mengatasinya. Kerumitan di kota-kota besar tidak kalah rumitnya dengan hidup
di desa. Di kota, semuanya bisa menjadi kenyataan tetapi sangat mahal biayanya. Di kampung, impian
susah menjelma, tapi kelestarian mudah didapat. Agaknya di kota maupun di desa kita perlu berhemat
dalam segala hal.

Bagi para calon jemaah haji, di Tanah Suci adalah kesempatan yang seluas-luasnya untuk memohon
petunjuk Allah SWT. Apalagi di masjid yang tersuci itu, Masjidil Haram. Bahkan sering kejadian, di
depan Ka'bah kita dikaruniai petunjuk sebelum kita memohonnya. Petunjuk itu bahkan di luar batas
kesadaran permohonan kita. Tidak perlu malu memohon petunjuk kepada Tuhan karena barangkali kita
terlalu cerewet. Insya Allah Tuhan senang-senang saja atas ulah kita itu dan kita senang karena yang
memberi petunjuk Tuhan sendiri. Malu bertanya, sesat di jalan, adalah petuah yang sudah kita resapi
sejak kita kecil. Ayolah kita berangkat untuk beristikharah sekarang juga, mumpung kesalahan-kesalahan
yang kita buat belum semakin banyak. - ah

Jalan Keluar
By Danarto
Kamis, 06 November 2008 pukul 13:49:00
Apabila hambaKu berniat melakukan dosa, jangan dicatat sampai ia melakukannya. Jika akhirnya ia
melakukan dosa itu, catatlah satu. Bila meninggalkannya karena Aku, catatlah sebagai satu pahala
baginya. Lalu bila ia berniat berbuat baik tapi gagal melakukannya, catatlah baginya satu pahala. Dan
bila ia melakukan kebaikan itu, catatlah baginya sepuluh sampai tujuh ratus pahala. (Nabi Muhammad
saw)

Ya, Allah Yang Maha Mengampuni. Mengapa hamba begitu mudahnya melakukan korupsi, sementara itu
hamba sangat sulit untuk salat walaupun hanya membutuhkan waktu lima menit. Dalam keadaan
terbaring di rumah sakit ini karena sedang sakit, hamba masih terus melakukan korupsi tanpa ada
malaikatMu yang mencegah hamba. Tinggal angkat telepon kepada staf hamba, ratusan juta rupiah
mengalir ke rekening hamba. Persis membuka kran di wastafel. Mengapa Engkau karuniai hamba
kemudahan dalam melakukan kejahatan, sedang semua niat baik hamba tak kesampaian. Apakah Engkau
sedang menguji hamba atau Engkau dalam keadaan marah besar kepada hamba? Ya, Allah Yang Maha
Kepujian, sekarang hamba mohon dengan sangat, cegahlah hamba dari setiap kejahatan sekecil apa pun
yang coba hamba lakukan.

Begitulah rintihan hati seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di Jakarta. Ketika ia mengirim
santunan untuk rumah yatim piatu, uang itu dirampok. Ketika ia menyumbang sebuah masjid, bangunan
itu ambrol. Ketika hendak berangkat ke Tanah Suci untuk umrah, pesawatnya tak bisa terbang.
Menghadapai kesulitan begini, ia dan keluarganya putus harapan. Pada suatu hari, putrinya yang baru
berumur dua setengah tahun waktu diajak membezuknya berkata sekenanya, ''Ayah, carilah Tuhan.''
Mendengar ocehan putrinya ini, seketika sang Ayah tersentak dari tempat tidurnya dan berlari cepat
meninggalkan rumah sakit itu. Setahun lamanya keluarganya pontang-panting mencarinya ke seluruh
propinsi tapi tak ditemukannya juga. Hanya putri kecilnya yang menenteramkan keluarga itu dengan
berkata, ''Nanti Ayah akan muncul sendiri.''

Benar saja. Sang Ayah kembali dengan wajah cerah penuh senyuman dan badan yang sehat-segar yang
disambut ledakan ratap-tangis keluarganya. Ia seolah lahir kembali. Kemudian ia ajak keluarganya dan
teman-teman sekantornya untuk melakukan ''Safari Wali Songo'' dengan menyusuri pantai utara Jawa.
Mereka berzikir sepanjang perjalanan dan salat di setiap masjid para wali Allah itu. Ayat-ayat suci, udara
segar, dan pemandangan indah, o, alangkah nikmatnya perpaduan itu. Rombongan itu merasa seolah
mampu menurunkan sorga ke bumi. Mereka bergembira dan berbahagia.

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim ini menyatakan bahwa selalu ada jalan keluar bagi setiap persoalan.
Allah menjanjikan kepada mereka yang tidak berputus asa, pahala yang berlimpahan. Seberat apa pun
suatu masalah, jika Allah masih diingat walau hanya sekilas, Allah membuka mata hati kita yang sedih
yang memohon sebuah jalan pengharapan. Jalan yang diridai Allah. -ah

Menuju Akhirat
By Fauzan Al-Anshari
Jumat, 07 November 2008 pukul 16:46:00
Perjalanan manusia telah dimulai sejak Nabi Adam as. pada tahun yang belum diketahui hitungan
pastinya. Kita pun melihat anak-anak Adam dari generasi ke generasi telah menyelesaikan perjalanannya
ke akhirat melalui dunia ini. Ada yang membutuhkan waktu 100 tahun, 500 tahun, 1.000 tahun, dan kini
rata-rata hanya 60-an tahun. Betapa singkatnya waktu tempuh yang dibutuhkan manusia di dunia ini
untuk sampai ke akhirat. Bahkan jika diukur dengan hari-hari di akhirat, dimana sehari di sana sama
dengan seribu hari di sini, berarti tidak ada satu pun umur manusia di bumi ini yang melebihi sehari di
akhirat. Nabi bersabda, bahwa perjalanan di dunia ini ibarat orang menyeberang jalan saja. Sungguh
sangat sebentar. Tapi, justru yang sebentar ini banyak membuat orang lupa. Ia mengira dunia ini tempat
tujuannya. Padahal dunia adalah mazra'atul akhirah (tempat menanam untuk akhirat). Di sinilah kita
menanam, tapi di sanalah kita memanen.

Tak satu pun manusia akan lepas dari kematian, karena kematian adalah salah satu 'terminal' di tengah
perjalanan yang harus kita lewati, bahkan menjadi tempat berhenti sejenak. Bagaikan orang bernaung di
bawah rindangnya pohon di tengah perjalanan untuk melepas lelah barang sebentar, lalu melanjutkan
perjalanannya kembali sampai ke tujuannya, yakni ''ibu kandungnya''. Sebagaimana dituturkan dalam
Alquran, ''....adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka 'ibunya' adalah Hawiyah.
Tahukah kami, apakah Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas''. (QS.101:8-11).

Setiap perjalan pasti membutuhkan perbekalan. Apalagi perjalanan yang sangat jauh, tentunya bekalnya
pun harus cukup supaya selamat sampai tujuan. Bedanya, perjalanan ke akhirat bekalnya tidak berbentuk
materi, melainkan amal perbuatan. Setiap orang mempunyai catatan amalnya masing-masing yang
dibukukan dalam sebuah kitab,'' ....di sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan
mereka tidak dizalimi''.

(QS.23:62). Yakni kitab tempat para malaikat menuliskan perbuatan-perbuatan seseorang dengan sejujur-
jujurnya tanpa pilih kasih, biarpun buruk atau baik, yang akan dibacakan pada hari kiamat. Ketika setiap
manusia menghadap Allah satu per satu, maka dikatakan padanya: ''Inilah kitab (catatan) Kami yang
menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh (para malaikat) mencatat apa
saja yang telah kamu kerjakan''. (QS.45:29).

Bagi orang-orang yang timbangan kebaikannya ringan, artinya perbuatan dosanya lebih besar, maka ''ibu
kandungnya'' (baca: tempat kembalinya) adalah Hawiyah. Sedangkan orang-orang yang timbangan
kebaikannya berat, ''...maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan''. (QS.101.7) Siapakah mereka
itu? Bagi seorang muslim, dunia bukanlah tujuan. Dunia adalah ibu tiri. Dunia bukanlah ibu yang
melahirkan kita. Kita adalah anak-anak akhirat. Akhirat adalah ''ibu kandung'' kita. Akhirat adalah ''ibu''
kita yang sebenarnya. Yang selalu menjadi tempat kita mencurahkan cinta dan penuh harap. Di sanalah
kita menuju dan tempat berakhir. Di sanalah peluk cium yang kita dambakan selama ini. Dunia adalah
tempat kita ditempa, dididik, dan diuji. Siapa yang lulus semua ujian itu, merekalah yang berhak diterima
di pangkuan ''ibu'' di surga. Tapi, siapa pun mereka yang gagal, tempatnya adalah di Hawiyah, yakni api
neraka yang bergejolak. Semoga kita semua diterima sebagai anak-anak akhirat yang berbakti pada ''ibu''
dan mendapat tempat yang memuaskan. - ah

Istiqamah
By A. Ilyas Ismail, MA
Senin, 10 November 2008 pukul 12:14:00
Suatu hari sahabat Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Nabi saw agar dengan nasihat itu, ia tidak
perlu bertanya-tanya lagi soal agama kepada orang lain. Lalu, Rasulullah saw bersabda, ''Qul Amantu
Billah Tsumma Istaqim'' (Katakanlah, aku beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!). (H.R.
Muslim).

Sabda Nabi di atas tergolong singkat, tetapi sangat padat. Menurut Qadhi 'Iyadh, hadits ini ekuivalen
dengan firman Allah, ayat 30 surah Fusshilat, yang mengajarkan agar kita bersikap konsisten dan
istiqamah dalam beragama, yakni senantiasa beriman kepada Allah swt dan senantiasa menjalani semua
perintah-Nya. (Syarkah Shahih Mislim, juz 2/9).

Istiqamah, seperti terlihat di atas, merupakan usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh manusia untuk
senantiasa berada di jalan Allah swt. Karena itu, tidak setiap orang dapat memiliki sifat istiqamah. Sifat
istiqamah, menurut sufi Abu al-Qasim al-Qusyairi, hanya dimililki oleh orang-orang yang benar-benar
beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Mengenai keutamannya, Qusyairi berkata, ''Barang siapa
memiliki sifat istiqamah, maka ia akan meraih segala kesempurnaan dan segala kebajikan. Sebaliknya,
orang yang tidak memiliki sifat istiqamah, maka semua usahanya akan sia-sia dan semua perjuangannya
akan kandas.''

Tak heran bila sikap istiqamah itu menjadi harapan dan dambaan para sufi. Sufi sejati, menurut Ibn
'Athaillah al Sakandari, tak pernah mengharap keramat (al-Karamah), tetapi mengharap istiqamah, yakni
sikap konsisten dalam beragama. Bahkan keramat yang sesungguhnya bagi mereka adalah sikap
istiqamah itu. Sedang keramat dalam arti memperoleh sesuatu yang luar biasa (al-Khariq al-'Adat) sama
sekali tak berharga dan tak ada artinya buat mereka.

Mengapa? Jawabnya, karena keramat semacam ini dapat diperoleh oleh siapa saja dan seringkali
membuat tuannya sesat dan tergelincir. Sedang sifat istiqamah, selain hanya dimiliki oleh orang-orang
yang takwa, juga dapat melapangkan jalan baginya menuju Allah swt, Sang Kebenaran Mutlak (Syarh
Kitab Hikmah, juz 2/14).

Seorang disebut istiqamah, menurut riwayat yang bersumber dari Kulafa' al-Rasyidin, bila ia konsisten
dalam empat hal. Pertama, konsisten dalam memegang teguh aqidah tauhid. Kedua, konsisten dalam
menjalankan syari'at agama baik berupa perintah (al-awamir) maupun larangan (al-nawahi). Ketiga,
konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus dan ikhlas karena Allah. Keempat, konsisten dalam
memperjuangkan kebenaran dan keadilan baik dalam waktu lapang maupun dalam waktu susah.

Dalam sifat istiqamah, seperti terlihat di atas, terkandung sifat-sifat yang luhur dan terpuji, seperti sifat
setia, taat asas, tepat janji, dan teguh hati. Untuk itu, Allah swt menjanjikan kepada orang-orang yang
istiqamah balasan yang besar. ''Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah'
kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita. Mereka itulah para penghuni sorga; mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa
yang mereka kerjakan'' (Al-Ahqaf, 13-14). Semoga kita bisa istiqamah dalam segal hal. Amin. - ah

Takdir Allah
By Republika Contributor
Jumat, 14 November 2008 pukul 15:05:00
Suatu ketika orang bertanya kepada saya tentang takdir Allah. Ia mempertanyakan tentang nasibnya, yang
selalu dirundung malang. Di antara pertanyaannya, apakah takdir Allah bagi seseorang dipengaruhi oleh
cara orang tersebut berpikir, berperilaku, dan berusaha?

Ia juga mengatakan, ada orang yang saling menyayangi sampai bertahun-tahun, tapi mereka tidak sampai
menikah, hubungan mereka terputus tanpa sebab yang kuat. Dan sebaliknya, ada orang yang bertemu
dengan seseorang, dalam waktu singkat mereka menikah.

Lalu, lanjutnya, ada orang yang berusaha mencari rezeki dengan susah payah dan mengikuti ketentuan
agama secara ketat, menjaga yang halal dan haram, tapi pendapatannya hanya cukup untuk hidup
sederhana saja. Di lain pihak, ada orang yang berusaha tanpa modal, dan pekerjaannya tidak berat, namun
hasilnya sangat menakjubkan, dalam waktu singkat ia memperoleh laba puluhan juta. Apakah ini Takdir
Allah atau tidak?

Memang untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Yang penting dan harus kita
yakini adalah, bahwa Allah menentukan sesuatu atas kehendak-Nya, tidak ada yang dapat mempengaruhi-
Nya. Yang dapat dilakukan oleh manusia, hanya memohon dan berdoa kepada-Nya. Jika Dia mau
mengabulkan permohonan hamba-Nya itu akan diberi-Nya apa yang dimohonkan hamba-Nya itu.
Sesungguhnya Allah berjanji akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya.

Allah berfirman: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka jawablah
bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi segala perintah-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q. S. 2 : 186)
Jadi, takdir Allah tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia. Namun demikian, Allah membuka
kesempatan bagi manusia untuk berdoa dan memohon kepada-Nya. Hanya Allah menuntut agar manusia
itu mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.

Dari tinjauan psikologi, sesungguhnya manusia membutuhkan iman kepada Allah, terutama bila manusia
itu dihadapkan kepada kekecewaan yang amat sangat, apabila yang diharapkannya tidak tercapai, atau
yang tidak diinginkannya terjadi.

Manusia hanya tahu apa yang telah terjadi dan dialaminya, akan tetapi ia tidak tahu apa yang akan terjadi
di masa datang. Karena itu manusia perlu mendasarkan semua yang diinginkan dan diusahakannya
menurut ketentuan Allah dan dalam batas-batas yang diridlai-Nya. Segala sesuatu yang terjadi, tidak ada
yang di luar kehendak Allah. Orang yang teguh imannya kepada Allah, ia yakin bahwa tidak ada sesuatu
yang terjadi secara kebetulan, faktor X dan sebagainya.

Oleh karena itu orang beriman tidak mengenal putus asa. Jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan
atas dirinya, ia segera ingat kepada Allah. Boleh jadi ada hikmahnya, yang saat ini ia belum
mengetahuinya, ia dapat menghindari rasa kecewa. Firman Allah: Mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. 4 : 19) Jadi iman kepada Takdir
Allah, dapat menjadi obat bagi gangguan kejiwaan dan dapat pula mencegah terjadinya gangguan
kejiwaan.- ah

Hidup Terhormat
By Alwi Shahab
Rabu, 02 Juli 2008 pukul 16:53:00

Kehormatan negara tercoreng ketika terungkap beberapa pejabat hukum diduga telah menerima suap.
Bukan hanya negara dan instansi tempat pejabat itu ditempatkan yang tercoreng, tapi juga pribadi yang
bersangkutan.

Adalah pasti bahwa dalam hati nurani manusia, hidup berarti hidup secara terhormat. Islam menilai
bahwa suatu kehidupan yang tak disertai kehormatan sama sekali bukanlah kehidupan. Sebaliknya, ia
adalah kematian yang lebih pahit dari kematian alamiah. Dan, seseorang yang menghargai
kehormatannya sendiri hendaknya meninggalkan kehidupan yang rendah dan tercela.

Dalam Islam, kita akan banyak mendapati ayat Alquran dan hadis Nabi SAW tentang keharusan berbuat
jujur. Menurut Islam, seseorang yang adil jika punya kemampuan ilmiah, dia bisa menjadi hakim,
gubernur, atau pemegang jabatan lain yang mengemban tanggung jawab di masyarakat.
Islam yang menghormati hak-hak kepemilikan, memberikan penilaian yang tinggi terhadap mereka yang
memperoleh harta secara terhormat, dan dari hasil kerja keras serta memanfaatkannya untuk kemaslahan
umat. Banyak hadis Nabi memuji sahabat beliau yang kaya raya, seperti Utsman bin Affan, Abdurahman
bin Auf, dan Saad bin Abi Waqas. Nabi memuji mereka karena dengan meningkatnya kekayaan,
kepedulian sosial mereka juga makin tinggi.

Allah berfirman, ''.... Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan
Allah. Dan, apa saja harta yang baik yang kami nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan
cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dianiaya.'' (QS Albaqarah [2]: 272).

Menurut Islam, bukan harta yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan, tapi keserakahan dan
pendewaan akan harta. Ada orang yang mendapatkan harta dengan cara yang halal, ada juga yang
mendapatkannya dengan jalan pintas dan menabrak semua rambu-rambu agama dan kepatutan.

Sesungguhnya, kita dapat menyaksikan perbedaan yang nyata antara dua orang; orang yang amin(dapat
dipercaya) dan orang yang khain(pengkhianat). Orang yang aminadalah tempat kepercayaan dan
penghormatan manusia, orang yang khainadalah pusat kemarahan dan penghinaan mereka.

Pemikir Islam, Sayid Jamaluddin Al-Afghani berkata, ''Adalah jelas diketahui bahwa kelangsungan jenis
manusia didasarkan pada muamalat dan pertukaran manfaat kerja. Ruh keduanya adalah amanah.'' Mari
kita berkaca!

Persatuan adalah Rahmat


By Republika Contributor
Sabtu, 12 Juli 2008 pukul 09:58:00

Umat Islam digambarkan dalam Alquran dan hadis sebagai satu umat (ummatan wahidah), karena
memiliki kesatuan akidah, syariah, dan prinsip muamalah.  Allah SWT berfirman,''Sesungguhnya orang
mukmin itu bersaudara.'' (Al-Hujurat: 10).

Bersatu dalam ikatan rasa persaudaraan yang aktif di antara orang-orang beriman dilukiskan oleh
Rasulullah SAW dalam hadisnya, ''Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mengasihi, saling
menyayangi, saling menyantuni adalah bagai satu tubuh.

Bila salah satu bagian tubuh menderita sakit, maka terasa sakitnya di seluruh tubuh.'' (HR Bukhari dan
Muslim). Selanjutnya, tentang larangan merusak ukhuwah dan persatuan di antara sesama Muslim
dinyatakan oleh Rasulullah, ''Mencela seorang Muslim adalah perbuatan fasik, dan membunuhnya adalah
perbuatan kufur.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kehidupan umat yang ber-ukhuwah dan persatuan umat bukan kondisi yang datang dengan sendirinya
tapi harus dengan pembinaan yang memerlukan tiga syarat.

Pertama, adanya leadership (kepemimpinan) di tengah umat Islam yang memiliki sifat-sifat
kepemimpinan sejati, yaitu dengan kriteria beriman dan berilmu.

Kedua, ada satu jamaah yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah.
Ketiga, yang amat mendasar dalam pembinaan umat ialah adanya khittah dalam perjuangan membina
umat berdasarkan Alquran dan sunah.

Sudah merupakan sunatullah bahwa kejayaan dan kemenangan tidak akan diberikan Allah kepada umat
yang suka berselisih dan berpecah belah serta tidak memiliki skenario besar dalam membangun umat.

Seorang pujangga Islam mengatakan, ''Persatuan adalah rahmat, perpecahan merupakan azab.''

Pengaruh Makanan pada Perilaku


By Republika Contributor
Sabtu, 12 Juli 2008 pukul 10:03:00
Setiap orang beriman diperintahkan Allah SWT untuk senantiasa mengonsumsimakanan yang halal dan
baik (mengandung gizi dan vitamin yang cukup). Dua hal tadi--makanan halal danbaik-- di samping akan
menyebabkan terjaganya kesehatan jasmani, juga akan semakin mendorong meningkatkan kualitas takwa
dan syukur kepada Allah SWT.

Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 172,''Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.''

Sebaliknya, makanan yang haram, baik substansi maupun cara mendapatkannya,meskipun secara
lahiriyah mengandung gizi dan vitamin yang cukup, akan menumbuhkan perilaku yang buruk dan
merusak, baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya di dunia ini maupun di akhirat nanti.

Sabda Rasulullah SAW, ''Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka neraka lebih utama
baginya.''

Oleh karena itu yang memerlukan perhatian, pikiran, hati, dan keimanan adalah menentukan
cara mendapatkan makanan atau rezeki yang bersih dan halal itu. Misalnya tidak melalui penipuan,
korupsi, membungakan uang, menerima suap, dan cara-cara batil lainnya. Apalagi mengambil harta
negara yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat
banyak. Wallahu a'lam.

Menggapai Petunjuk Tuhan


By Republika Contributor
Sabtu, 12 Juli 2008 pukul 10:09:00

Secara rohani, petunjuk Tuhan (hidayah) dapat dipandang sebagai pangkal dari semua kebaikan. Manusia
tidak mungkin menggapai kebaikan-kebaikan dalam hidupnya tanpa petunjuk dari Allah. Firman-Nya,
''Tuhan kami adalah Allah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kepadanya, kemudian
memberinya petunjuk.'' (Thaha: 50).

Menurut ulama besar Syekh Muhammad Abduh, petunjuk Allah itu mencakup empat macam, yaitu
petunjuk instink atau naluri (hidayat al-wujdan), petunjuk pancaindera (hidayat al-hawas), petunjuk akal
pikiran (hidayat al-'aql), dan petunjuk agama (hidayat al-din).

Tanpa keempat macam petunjuk di atas, manusia tentu tidak mungkin bisa hidup dan membangun
kehidupannya dengan baik di muka bumi. Rasyid Ridha, murid Abduh, menambahkan satu bentuk
hidayah yang lain lagi yang dinamakan 'inayah atau ma'unatullah, yaitu pertolongan dari Allah SWT.

Dilihat dari segi tingkatannya, hidayah itu menurut Imam Ghazali ada tiga macam. Pertama,
berupa kemampuan mengenal dan membedakan kebaikan dan keburukan. Kedua, berupa peningkatan
kualitas hidup manusia yang terus membaik dari waktu ke waktu.

Kualitas hidup itu meliputi kualitas iman, kualitas ilmu, dan kualitas kerja. Ketiga, berupa pencerahan
jiwa atau semacam spiritual enlightenment. Orang yang memperoleh hidayah dalam bentuk ini mencapai
tingkat kesempurnaan dan kematangan jiwa (kamalat nafsiyah).

Bagi al-Ghazali, inilah tingkatan hidayah dalam bentuknya yang paling tinggi. ''Apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama
dengan orang yang hatinya membatu)?'' (Al-Zumar: 22).

Menjadi Umat yang Berdzikir


By Republika Contributor
Sabtu, 12 Juli 2008 pukul 10:11:00

''Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (dzikrullah).
Ketahuilah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.'' (Al-Ra'd: 28)

Dalam salah sebuah hadis diceritakan bahwa suatu saat Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai para sahabat-
sahabatku, maukah aku beri tahukan kepada kalian suatu bentuk amal yang paling baik, paling diridlai
Tuhan kalian, paling tinggi nilainya, paling baik dibanding ketika kalian memberikan emas atau perak
kepada orang lain, dan paling baik ketimbang ketika kalian bertemu dengan musuh-musuh kalian dalam
perang yang konsekuensinya membunuh atau terbunuh musuh?''

Dengan serentak, para sahabat menjawab, ''Baik ya Rasulullah.'' Setelah diam sebentar, Nabi SAW
berkata, ''Dzikrullah (mengingat Allah)''. (HR Ibnu Majah dari Abu al-Darda).

Menurut bahasa, dzikir berarti ''mengingat''. Dzikrullah berarti mengingat Allah SWT.

Sebagai sarana mengingat Allah SWT, Rasulullah SAW dalam banyak hadisnya mengajarkan bentuk-
bentuk dzikir. ''Sesungguhnya, bentuk dzikir yang paling utama di sisi Allah adalah mengucapkan kalimat
tauhid, la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah).'' (HR Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah).

Berdzikir adalah salah satu ciri khas orang-orang beriman, yang mesti dilakukan setiap saat dan di
manapun berada. Dengan berdzikir, segala tindak-tanduk perilaku hidupnya akan selalu terkontrol.

Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang berdzikir mengingat-Nya.Persoalan hidup dan kehidupan
yang pelik dan rumit, jika tidak karena kasih sayang Allah SWT, mustahil itu semua terpecahkan.
Menjadi umat yang berdzikir, adalah salah satu upaya meraih cinta Ilahi.

Mahabbah
By Republika Contributor
Senin, 14 Juli 2008 pukul 18:13:00

Mahabbah berarti cinta, yaitu perasaan rindu dan senang yang istimewa terhadap sesuatu. Perasaan
demikian menyebabkan perhatian seseorang terpusat kepadanya bahkan mendorong orang itu untuk
memberikan yang terbaik. Perasaan cinta itu diikuti dengan ketulusan untuk mengorbankan apa saja
termasuk nyawa sekalipun kepada yang dicintai.

Dalam agama Islam, cinta tertinggi haruslah ditujukan semata-mata hanya kepada Allah. Prestasi tertinggi
seorang mukmin adalah meraih kecintaan Allah. Tentu untuk meraihnya bukan hal yang mudah karena
harus menjaga komitmen dan selalu konsisten dengan aturan Allah.

Allah mengingatkan dalam firman-Nya. ''Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-
istri, kaum keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
untung ruginya dan rumah-rumah yang kamu senangi, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan daripada berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan putusan-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.'' (SQ At Taubah [9]: 24).

Allah adalah tujuan tertinggi dan paling hakiki dalam kehidupan setiap mukmin. Apa pun yang dilakukan
haruslah berujung kepada tujuan tersebut, yaitu mahabbah kepada Allah. Di samping itu, manifestasi
mencintai Allah dan Rasul-Nya, antara lain, adalah menaati ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan lewat
Rasul-Nya. Cinta yang menampakkan diri dalam ketaatan itu niscaya dibalas pula dengan cinta oleh
Allah, sebagaimana difirmankan-Nya. ''Katakanlah jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, Rasul-
Nya, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.'' (QS Ali Imran [3]: 31).

Kematian
By Republika Contributor
Senin, 14 Juli 2008 pukul 20:25:00

Ibnu Umar RA berkata, ''Aku datang menemui Nabi Muhammad SAW bersama 10 orang, lalu salah
seorang Anshar bertanya, siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia wahai Rasulullah? Nabi
menjawab, orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah
orang-orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan.'' (HR Ibnu
Majah)

Manusia yang senantiasa mengingat kematian akan memendekkan angan-angannya, lebih menyegerakan
berkarya, dan gemar berbuat kebajikan. Dia menginsyafi diri bahwa setiap manusia, baik kaya atau
miskin, memiliki jabatan tinggi atau rendah, pintar atau bodoh, dan fisik sempurna atau cacat, semuanya
akan kembali menyatu dengan tanah. Sendiri dalam kegelapan menghadapi malaikat maut.

Allah berfirman dalam surat Al Jumu'ah (62) ayat 8, ''Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu lari
daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan
kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.''

Perbedaan terbesar orang yang mengingat kematian dengan tidak ialah terletak pada kehati-hatian
bersikap, kerendahan hati, keikhlasan, amal kebaikan, dan kezuhudannya. Harta, tahta, kata, dan cinta
dunia yang ia miliki tak memengaruhi pandangannya terhadap semua manusia. Ia memahami manusia
sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah yang akan kembali pada-Nya dan mempertanggungjawabkan
segala amal perbuatannya. Hanya tingkatan takwa yang membedakan kedudukan masing-masing
manusia.

Kesombongan
By Republika Contributor
Senin, 14 Juli 2008 pukul 20:39:00

Sombong adalah penyakit hati yang sering menghinggapi kita semua. Benih kesombongan terlalu kerap
muncul tanpa kita sadari. Di tingkat pertama, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih
kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain. Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh
faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibanding orang lain.
Dan di tingkat ketiga, sombong disebabkan faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih
bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong
karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena
kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada
saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan
waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, nafsu lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam
hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu
kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik semata,
tetapi makhluk spiritual. Kita lahir dengan tangan kosong, dan kita pun akan meninggal dengan tangan
kosong. ''Sesungguhnya kami adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kami kembali.'' (QS Al-Baqarah
[2]: 156)

Doa yang Terkabul


By Ahmad Fauzan
Kamis, 17 Juli 2008 pukul 13:32:00

Doa adalah ibadah ruhiyah yang dapat berfungsi sebagai sarana interaksi antara seorang hamba dan
Penciptanya. Sabda Rasulullah, ''Doa itu adalah ibadah.''Namun, agar doa dikabulkan oleh Allah SWT,
ada syarat yang harus dipenuhi.

Pertama, ikhlas dalam berdoa. Kedua, tidak boleh tergesa-gesa (isti'jal) dalam berdoa. Ini sebagaimana
sabda Rasulullah, ''Doa seorang hamba masih akan tetap dikabulkan selama tidak berdoa dengan tujuan
dosa atau memutus silaturahim dan selama tidak isti'jal.'' Seorang sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah,
apa itu isti'jal?'' Beliau menjawab, ''(Yaitu seseorang) mengatakan, 'Saya sudah berdoa tetapi belum juga
dikabulkan', lalu ia merasa rugi di saat itu dan ia tinggalkan doanya.'' (HR Muslim, Tirmidzi, dan Abu
Daud).

Ketiga, berdoa harus untuk kebaikan. Rasulullah SAW bersabda, ''Doa seorang hamba akan tetap
dikabulkan selama tidak berdoa untuk sesuatu dosa atau untuk memutus silaturahim.'' (HR Muslim).
Keempat, berdoa harus dengan kehadiran hati. Kata Rasulullah SAW, ''Jika kalian berdoa, memintalah
kepada Allah ta'ala. Mintalah dengan disertai keyakinan bahwa permintaan kalian akan dipenuhi
(dikabulkan), karena sesungguhnya Allah ta'ala tiada akan mengabulkan doa hamba yang lalai.'' (HR
Ahmad).

Kelima, menjaga makanan, minuman, dan pakaian yang halal dan thayyib (baik). Hal ini termasuk syarat
terkabulnya doa. Keenam, membaca shalawat Nabi SAW. Hal ini berdasarkan sabda beliau sendiri,
''Setiap doa tertahan hingga diucapkannya shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.'' (Hadis shahih dari
Al-Jami'us Shaghir: 4399).

Ketujuh, seorang hamba harus selalu berusaha untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh agama
dan menjauhi semua larangannya. Allah SWT berfirman, ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.''
(Al-Baqarah: 186). Itulah, antara lain, syarat-syarat agar doa kita dikabulkan oleh Allah SWT. Kita harus
yakin bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan doa para hambanya. fif

Persatuan adalah Rahmat


By Republika Contributor
Jumat, 18 Juli 2008 pukul 18:50:00

Umat Islam digambarkan dalam Alquran dan hadis sebagai satu umat (ummatan wahidah), karena
memiliki kesatuan akidah, syariah, dan prinsip muamalah.  Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya orang
mukmin itu bersaudara.'' (Al-Hujurat: 10).

Bersatu dalam ikatan rasa persaudaraan yang aktif di antara orang-orang beriman dilukiskan oleh
Rasulullah SAW dalam hadisnya, ''Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mengasihi, saling
menyayangi, saling menyantuni adalah bagai satu tubuh. Bila salah satu bagian tubuh menderita sakit,
maka terasa sakitnya di seluruh tubuh.'' (HR Bukhari dan Muslim). Selanjutnya, tentang larangan
merusak ukhuwah dan persatuan di antara sesama Muslim dinyatakan oleh Rasulullah, ''Mencela seorang
Muslim adalah perbuatan fasik, dan membunuhnya adalah perbuatan kufur.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kehidupan umat yang ber-ukhuwah dan persatuan umat bukan kondisi yang datang dengan sendirinya
tapi harus dengan pembinaan yang memerlukan tiga syarat. Pertama, adanya leadership (kepemimpinan)
di tengah umat Islam yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan sejati, yaitu dengan kriteria beriman dan
berilmu.

Kedua, ada satu jamaah yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah. Ketiga, yang amat mendasar
dalam pembinaan umat ialah adanya khittah dalam perjuangan membina umat berdasarkan Alquran dan
sunah.

Sudah merupakan sunatullah bahwa kejayaan dan kemenangan tidak akan diberikan Allah kepada umat
yang suka berselisih dan berpecah belah serta tidak memiliki skenario besar dalam membangun umat.
Seorang pujangga Islam mengatakan, ''Persatuan adalah rahmat, perpecahan merupakan azab.''

Menghargai Pemulung
By Republika Contributor
Senin, 21 Juli 2008 pukul 18:43:00

Siapa yang mau menjadi pemulung? Tak banyak yang mengidamkan cita-cita itu. Sebab, sebagian besar
beranggapan bekerja sebagai pemulung barang bekas dan sampah bukanlah pilihan, melainkan suatu
'keterpaksaan' hidup. Nasib kurang beruntunglah yang mengantarkan seseorang menjadi pemulung.
Bagaimanapun, memulung adalah suatu pekerjaan, dan bekerja adalah ibadah.

Dengan bekerja, seseorang bisa melangsungkan eksistensi kehidupannya dan mencukupi keperluannya.
Lebih dari itu, seseorang bisa tenang beribadah kepada Tuhannya manakala kebutuhannya terpenuhi.
Suatu hari, saat Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabat, lewat seorang lelaki
pemulung berpakaian kumal. Mereka bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah yang semacam ini juga
termasuk fi sabilillah (di jalan Allah)?''

Nabi pun bersabda, ''Sekiranya dia melakukan hal ini demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil,
maka dia di jalan Allah. Kalaupun dia melakukan hal ini demi menghidupi kedua orang tuanya yang
sudah renta, maka dia pun di jalan Allah. Dan, jika dia melakukannya untuk dirinya sendiri demi menjaga
kehormatannya agar tidak meminta-minta, maka dia juga di jalan Allah.'' (HR Ath-Thabarani).

Subhanallah! Begitu mengenanya sabda Nabi ini. Betapa banyak di antara kita yang sinis terhadap
pemulung. Sampai-sampai di sejumlah kompleks perumahan elite tertulis papan pengumuman gagah:
''Pemulung Dilarang Masuk!'' Padahal, seperti sabda Rasulullah SAW, yang dilakukan pemulung adalah
fi sabilillah, baik itu demi menghidupi anak-anaknya, orang tuanya, ataupun untuk dirinya sendiri agar
tidak meminta-minta kepada orang lain.

Di sisi lain, sampah bukanlah harta yang bisa dibanggakan. Sampah adalah barang buangan. Bagi
tuannya, sampah adalah barang tak berguna. Tiada yang mau menimbun sampah di dalam rumah kecuali
orang malas lagi bodoh. Tidakkah kita berterima kasih, jika ada orang yang mau 'menelateni' sampah
yang kita buang daripada membusuk di bak sampah? Pemulung sama sekali tidak merugikan masyarakat,
bahkan ia justru membantu. Memulung adalah pekerjaan halal. Islam sangat memuliakan orang yang
makan dari hasil keringatnya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada
makanan yang didapat dari hasil kerjanya sendiri.'' (HR Al-Bukhari). Para pemulung, sejatinya, mengajak
kita untuk merenung. Wallahu a'lam bish-shawab.

Jabatan
By Republika Contributor
Senin, 21 Juli 2008 pukul 20:35:00

Janganlah kamu menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu, maka kamu akan
menanggung seluruh bebannya. Tetapi, jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong
mengatasinya.

Nabi Muhammad SAW

Sangat sulit dewasa ini bekerja tanpa pamrih dan tanpa ambisi. Apalagi jika ada suatu jabatan yang
mungkin dapat diraih. Tidak ada suatu peluang yang begitu menarik seperti jabatan. Jabatan merupakan
fenomena tata-cara kehidupan birokrasi modern, supaya struktur kerja lebih profesional, mencangkup
sangkil dan mangkus efisien dan efektif. Jabatan adalah maqam, suatu tataran pencapaian martabat
kejiwaan yang mengejawantah dalam tataran kedudukan di masyarakat.

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang dikutip di atas, memberi jarak antara jabatan dan ambisi. Jabatan
harus tak ada hubungannya dengan ambisi. Walau dalam bentuk pikiran, ambisi akan jabatan tidak
dibenarkan. Nah, pikiran yang bersih, inilah soalnya. Pernah diceritakan tentang Imam Al-Ghazali yang
sedang jadi imam salat berjamaah, di antaranya bermakmum adiknya, Ahmad. Ketika dua rakaat sedang
berlangsung, adiknya memisahkan diri untuk bersalat sendirian. Apa sebabnya? Sang adik melihat darah
di tubuh kakaknya, sehingga kakaknya dianggapnya tidak bersih dalam berwudu. Sang kakak memberi
keterangan bahwa ia memang teringat buku fikih yang sedang ditulisnya, di antaranya bab tentang haid
dan nifas. Dari keterangan sang imam ini kita bisa memetik pelajaran betapa besar peran kebersihan jiwa
pada seseorang. Lebih-lebih bila ia telah mencapai tataran seorang imam bagi umatnya.

''Peristiwa darah'' sang imam tidak hanya mencakup karomah yang telah dikaruniakan kepadanya,
melainkan juga betapa bersih jiwanya dari ambisi, sehingga apa-apa yang dengan serius dipikirkannya,
menjadi kasat mata dalam arti yang harfiah. Itulah makanya, seorang ''suci'' begitu berhati-hati dalam
berpikir, berbicara, dan bertindak, sehingga tingkah-lakunya menunjukkan kebersihan jiwanya. Jika tidak
demikian, akan goncang rumahtangganya, masyarakatnya, maupun hubungannya dengan Tuhan. Bisa-
bisa menimbulkan kerusakan.

Dermawan
By Republika Contributor
Rabu, 23 Juli 2008 pukul 06:32:00

Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa bersedakah dengan seharga kurma dari hasil yang baik (dan
Allah tidak menerima sesuatu kecuali yang baik), sesungguhnya Allah akan menerimanya dengan tangan
kanan-Nya, kemudian Allah akan mengembangkannya sampai sebesar gunung sebagaimana salah
seorang di antara kalian memelihara seekor anak kuda.'' (HR. Muslim).

Bersedekah itu tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu. Seberapa pun harta yang kita miliki mestinya
ada sebagian yang kita sedekahkan kepada orang lain.

Ketika Rasululluh SAW melihat Bilal mempunyai simpanan makanan, seketika itu juga beliau bersabda
kepada Bilal, ''Hai Bilal, sedekahlah. Jangan sekali-kalai kamu takut bahwa Dzat yang bersemayam di
Arsy akan melakukan pengurangan.'' (HR Thabrani).

Dengan meyakini bahwa harta yang kita miliki pada hakikatnya bukan milik kita, maka akan membuat
kita ringan saat mengeluarkan dan mambelanjakannya di jalan yang diridhai Allah. Orang yang rajin
mendermakan hartanya di jalan Allah ia tidak akan manjadi miskin, sekalipun secara lahir hartanya
berkurang, akan tatapi di balik itu semua Allah akan membukakan banyak pintu rezeki baginya dari arah
yang tidak disangka-sangka, bahkan di akhirat kelak Allah akan melipat gandakan pahalanya hingga tidak
terkira.

Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, ''Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan.'' Imam
An-Nawawi menjelaskan, bahwa hadis ini mengandung dua pengertian. Pertama, sedekah itu diberkahi
(di dunia) dan karenanya ia terhindar dari kemudharatan. Dan kedua, pahalanya tidak akan berkurang di
akhirat, bahkan dilipatgandakan hingga kelipatan yang banyak.

Adalah sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Affan, seorang sahabat mulia, yang terkenal sangat
pemurah. Ia pernah memberikan seluruh barang yang dibawa kafilah dagangnya yang baru datang dari
Syam untuk fakir miskin Madinah. Padahal, saat itu banyak sekali pedagang yang menawarkan
keuntungan berlipat dari biasanya. Tapi, Utsman memilih tawaran yang paling menggiurkan, ridha Allah.

Semua orang pasti ingin hidup berkecukupan atau bahkan kaya. Namun, banyak yang keliru duga, ia
mengira bahwa perbuatan kikir akan mangantarkannya menjadi seorang yang kaya raya. Padahal, itu
logika setan saja. ''Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh berbuat
keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepada kalian. Dan Allah mahaluas
(karunia-Nya) lagi maha mengetahui.'' (QS Al-Baqarah [2]: 268).

Kasih Sayang
By D. Sirojuddin AR
Sabtu, 06 September 2008 pukul 14:22:00

Pengemis di Masjid Istiqlal, Jakarta, saat Ramadan.

Kasihilah penghuni bumi, niscaya engkau dikasihi penghuni langi. Dalam hadis di atas, yang dimaksud
''penghuni langit'' adalah Allah dan para malaikatNya. Adapun ''penghuni bumi'' yang patut dikasihi dan
sekaligus dikasihani, merujuk riwayat Abu Hurairah, yaitu segala yang bernyawa. Dengan demikian,
menolong mereka -- termasuk memberi air kepada anjing yang kehausan, seperti disabdakan Rasulullah --
berpahala. Tak mengherankan bila kemudian para sahabat Nabi SAW saling berlomba untuk mengasihi
para penghuni bumi. Abu Darda, misalnya, begitu sayang kepada burung. Ia berkeliling mendekati anak-
anak untuk membeli burung mereka. Ia lalu melepas burung-burung itu seraya berkata, ''Terbanglah, dan
kamu bebas mencari penghidupan sendiri.''

Rahmat Allah yang oleh Alquran disebut mencakup segala sesuatu (wasi'at kulla syai'in), seluruh nikmat
yang kita rasakan, barulah satu dari seratus rahmat-Nya. Sedang 99 rahmat yang lain sementara masih
ditahan, dan seperti dikatakan Rasulullah, akan diberikan khusus kepada hamba-hambanya yang beriman
yang di dalam dirinya terdapat getaran cinta. Sabda Rasulullah: ''Yang bisa masuk surga hanyalah orang
yang mempunyai rasa belas kasihan.''

Menebar rasa cinta haruslah menyeluruh, tidak pandang bulu, bahkan kepada para preman atau bangsat
sekalipun. Kepada mereka, kita tidak boleh mengutuk dan mengumbar dendam. Rasulullah SAW,
bahkan, menyuruh kita prihatin dan mendoakan mereka: Alhamumma irhamhu. Allahumma tub 'alaihi
(Ya Allah, kasihanilah dia. Ya Allah, ampunilah dia). Kasih sayang (rahmah) juga berarti harapan agar
seseorang kembali ke pangkuan Ilahi. Seorang sufi Syaqiq al-Zahid mengatakan: ''Pada saat kamu
teringat atau bertemu orang jahat, kemudian kamu tidak merasa belas kasihan kepadanya, berarti kamu
lebih jahat dari dia.'' Cinta kepada sesama adalah tolok ukur iman seseorang. Rasulullah SAW
menegaskan, ''Bila seseorang tidak punya rasa belas kasihan terhadap sesamanya, maka Allah pun tidak
menaruh kasihan kepadanya.'' (riwayat Bukhari-Muslim).

Bahkan, dalam hadis yang lain disebutkan bahwa salat dan puasa belum cukup membawa seseorang ke
surga sampai dadanya bersih dari dendam, hatinya penyayang, dan berbelas kasih terhadap sesama.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjelaskan, amal yang paling disenangi Allah SWT ada tiga: ''Memberi
maaf sewaktu sempat membalas dendam, berlaku adil saat emosi, dan menaruh belas kasihan terhadap
sesama hamba Allah.'' Dalam kehidupan kita ini, begitu banyak manusia yang patut dikasihani: yang
miskin, yang tak beribu bapak, yang jahat karena terpaksa, yang terkena musibah, dan seterusnya. Mereka
adalah makhluk seperti kita, bernyawa. Bedanya, nasib baik belum berpihak kepada mereka. (ah)

Tak Peduli Halal-Haram


By Danarto
Minggu, 07 September 2008 pukul 12:03:00

Bakal datang kepada manusia suatu masa, di mana orang tiada peduli akan apa yang diambilnya; apakah
dari yang halal ataukah dari yang haram. Nabi Muhammad SAW

Maraknya perilaku yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan dewasa
ini apakah merupakan pertanda bahwa zaman yang diisyaratkan Nabi SAW itu sudah datang? Para ustad,
guru, dan cendekiawan sudah mensinyalir hadirnya zaman itu dalam khotbah-khotbahnya. Di masjid, di
pengajian, di kantor, di sekolah, di ruang diskusi, semua orang membicarakan tentang penghalalan segala
cara dalam mencapai cita-cita. Jika memang benar, alangkah berbahayanya zaman ini. Suatu zaman yang
tak menentu, yang selalu goyah seperti sedang ditimpa gempa. Kita yang hidup di zaman seperti ini
menjadi penuh tanda tanya. Apakah sepak-terjang kita dalam mencari nafkah sehari-harinya sudah
terimbas oleh zaman itu pula?

Hadis riwayat Bukhari di atas memperingatkan kita betapa tata nilai telah bergeser sangat cepat yang
mengakibatkan kita merespon zaman dengan persepsi yang sangat berbeda. Ketika tangan kita
melindungi harta kita sendiri, bisa jadi tangan kita itu tiba-tiba ditepiskan tangan orang lain yang ingin
merebut kekayaan kita itu. Rupanya batas-batas kekayaan kita dengan kekayaan orang lain sudah
dianggap kabur. Jika kita tak mampu membedakan lagi barang halal dengan barang haram, sesungguhnya
dunia kita sudah ''kiamat''. Lalu kepada siapa masyarakat mengadu untuk menuntut keadilan,
kemakmuran, kebenaran? Mampukah masyarakat menolong dirinya sendiri untuk melindungi
kekayaannya?

Agaknya perjuangan para ustad, guru, dan cendekiawan dewasa ini sudah bergeser ke arah penegakan
akhlak. Tegaknya akhlak yang baik mampu menerbitkan keadilan, kemakmuran, dan kebenaran. Ketiga
martabat kearifan yang diperjuangkan manusia berabad-abad lamanya atas sesamanya itu sungguh selaras
dengan kehendak Tuhan.

Sebuah kisah diceritakan dalam buku Kasyful Mahjub karya Ali ibn Utsman Al-Hujwiri tentang Abu
Halim Habib bin Salim Al-Ra'i, seorang sufi sahabat Salman Al-Farisi. Ia bisa menjinakkan
segerombolan serigala yang sebenarnya meneteskan air liur ketika melihat biri-birinya yang ia
gembalakan di tepi Sungai Eufrat. Ia juga mampu memancurkan air susu dan air madu dari sebongkah
batu yang ia suguhkan bagi tamunya. Menurut sang sufi, hal itu mampu dikerjakannya karena hasratnya
selaras dengan kehendak Allah dan taat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ketika seorang sheikh
memintanya memberi wejangan, Al-Ra'i berkata: ''Jangan jadikan hatimu keranjang keinginan hawa nafsu
dan perutmu periuk barang-barang haram.'' (ah)

Kematian
By Republika Contributor
Senin, 08 September 2008 pukul 08:45:00

Tidak lama setelah kematian Presiden Nasser secara tiba-tiba, delegasi Mesir berkunjung ke RRC. Dalam
suatu audiensi dengan PM Zhou Enlai, petinggi Cina itu menanyakan sebab kematian Nasser. Ketika
dijawab bahwa penyebabnya tidak dapat dipisahkan dari kehendak Tuhan, Zhou buru-buru menyergah
dengan menyatakan, ''Jangan membawa-bawa Tuhan. Saya jauh lebih tua dan sampai sekarang ini saya
sehat-sehat. Apalagi sebagai Presiden dia kan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.''
Hasanil Haikal, Menteri Penerangan Mesir pada masa Nasser menulis kisah ini dalam suatu biografi
pemimpin besar Mesir itu. Zhou sendiri, yang telah dipersiapkan oleh Ketua Mao Zedong sebagai
penggantinya, meninggal hanya beberapa tahun setelah Nasser, yang kemudian memaksa Mao
merehabilitir Deng Zioping.

Berbeda dengan paham komunisme, Islam memandang bahwa kematian tidaklah berarti akhir dari
perjalanan manusia, tapi awal dari suatu kehidupan yang kekal di akhirat. Alquran mengingatkan kita
tentang hari kebangkitan itu dalam ratusan ayat dan sekaligus menepis keraguan tentangnya.

Islam berpendapat manusia adalah mahluk yang terdiri dari jiwa dan raga, atau badan dan ruh. Badan
manusia sendiri senyawa materi dan tunduk pada materi. Keberadaannya terbatas pada waktu dan tempat,
terpengaruh oleh cuaca - dan sebagaimana ditetapkan Allah suatu hari tubuh atau badan inipun hancur
dan binasa. Tetapi tidak demikian dengan jiwa atau ruh.

Karena itulah Islam menegaskan kematian tidaklah berarti kita berhenti maujud. Kematian berarti jiwa
manusia - yang tidak dapat musnah - memutuskan ikatannya dengaan tubuh jasmani, dan sekalipun badan
itu hancur dengan kematian tapi jiwa melanjutkan kehidupananya sendiri.

''Dan mereka berkata: Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan
berada dalam ciptaan yang baru. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya''.
Katakanlah : ''Malaikat maut yang untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu: kemudian hanya
kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan'' (As-Sajdah 10-11). Rasulullah SAW sendiri menyatakan,
''Kamu tidaklah mati, namun kamu hanya dipindahkan dari satu tempat tinggal ketempat tinggal yang
lain''.

Berdasarkan ayat itu, Islam memberi jaminan bahwa setelah kita mati dan hidup kekal dalam alam barzah
- kita akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan apabila dalam hidup di dunia ini kita melakukan
amal saleh. Tapi sebaliknya seseorang yang dalam hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan jahat akan
memperoleh siksa dari Allah.

Jadi, meminjam kata Muhammad Husain Haekal, pengarang sejarah Nabi Muhammad SAW, barangsiapa
yang menyerahkan diri kepada Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, dengan imannya
semacam itu, dia tidak pernah merasa takut, termasuk dalam menghadapi kematian. Dan iman semacam
inilah yang membuat Nabi dan para sahabatnya tidak pernah gentar dalam situasi apa pun. (ah)

Mengadu Domba
By Drs. Fauzul Iman, M.A.
Selasa, 09 September 2008 pukul 17:10:00

Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan, suatu hari ketika Rasulullah SAW melewati dua
kuburan, beliau mendengar penghuni kuburan itu sedang disiksa malaikat. Lalu beliau bertanya kepada
beberapa sahabat yang menyertainya, ''Tahukah kalian tentang orang yang ada dalam kuburan ini?''
Namun sebelum mereka menjawab, Nabi SAW melanjutkan, ''Mereka sedang disiksa karena melakukan
dosa besar: yang pertama suka berbuat namimah (mengadu domba), dan kedua tidak pernah bersuci
setelah kencing.''

Hadis di atas dengan tegas menggolongkan namimah sebagai perbuatan dosa besar yang mendapat
siksaan langsung di dalam kuburan. Mendapat siksaan langsung, karena namimah merupakan perbuatan
yang sangat berbahaya dan berpotensi besar untuk menghancurkan persatuan dari dalam.

Namimah biasanya dilakukan oleh orang-orang yang lemah iman, berhati busuk, dan buruk mental.
Mereka melakukan itu, di antaranya karena tidak tahan melihat kesuksesan orang lain atau tidak mampu
mengejar prestasinya. Dan tidak jarang, persatuan dan persaudaraan umat terancam pecah hanya gara-
gara perbuatan namimah sekelompok orang.

Di zaman revolusi dulu, seperti pernah dituturkan almarhum Hamka, telah terjadi permusuhan dan
pertumpahan darah karena adanya provokasi adu domba yang dipicu oleh orang yang bermental lemah
dan dengki.
Alquran dan hadis dengan tegas mengutuk pelaku namimah. ''Celakalah bagi setiap orang yang suka
mengadu domba dan mencela.'' (Q. S. 104: 1). ''Tidak akan masuk surga,'' kata Nabi SAW, ''orang yang
suka mengadu domba.'' (H.R. Bukhari Muslim).

Mengadu domba merupakan perbuatan yang sangat cepat mengundang api permusuhan, ibarat membakar
kayu yang apinya cepat menjalar. Itu sebabnya, istri Abu Lahab yang suka mengadu domba suku Quraisy,
oleh Alquran dijuluki sebagai Hammalatul Hatab (si pembawa kayu bakar).

Ini, menurut ahli tafsir, kobaran api permusuhan akibat namimah sama membaranya dengan kobaran api
kayu bakar seperti yang dibawa oleh istri Abu Lahab tadi.

Alquran juga mengkatagorikan pengadu domba sebagai orang fasik yang perlu diverifikasi (diteliti)
kebenaran beritanya (Q. S. 49: 6). Karena itu, meski Agustus ini kita bangsa Indonesia genap 50 tahun
menikmati kemerdekaan di alam kesatuan Indonesia, namun kita harus tetap waspada dan hati-hati
terhadap munculnya kelompok-kelompok tertentu yang sengaja ingin menghancurkan persatuan kita.

Sehingga bangsa kita yang sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku dan agama, tidak gampang
dicerai-berai oleh perbuatan adu domba yang direkayasa oleh orang-orang yang picik dan tak
bertanggung jawab.  (ah)

Salat Berjamaah
By Drs. A.Taufiq Imron M.Si
Rabu, 10 September 2008 pukul 16:43:00

Salat berjamaah, di samping memberikan pahala yang berlipat kepada pelakunya, ternyata juga bisa
dijadikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita hidup bermasyarakat, terutama dalam kaitannya
dengan hubungan antara pemimpin (imam) dan yang dipimpin (makmum).

Minimal ada empat pelajaran mengenai kehidupan bermasyarakat yang bisa kita petik dari salat
berjamaah. Pertama, kriteria utama menjadi imam dalam salat adalah keahlian, yakni yang lebih berhak
menjadi imam adalah yang paling ahli mengenai kandungan Alquran dan hadis.

Di sini tampak bahwa demokrasi ala salat berjamaah dalam memilih pemimpin bukan berorientasi kepada
kepopuleran sang calon, tetapi lebih berorientasi kepada keahlian. Ini berbeda dengan banyak sistem
politik demokratis, di mana akibat prinsip bahwa suara mayoritas yang menentukan, seorang pemimpin
bisa terpilih sekadar karena kepopulerannya.

Kedua, kriteria bagi imam salat berjamaah adalah wawasan yang luas dan integritasnya pada Islam. Bila
terjadi bahwa di antara para calon imam, ternyata sama-sama ahli tentang kandungan Alquran dan hadis,
maka harus dilihat siapa di antara mereka yang mempunyai wawasan dan integritas yang lebih pada
Islam.

Ini sangat tampak pada pemilihan pemimpin umat Islam, sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Empat
Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), semuanya
berasal dari suku Quraisy. Mereka dipilih umat Islam menjadi Khalifah (pemimpin), karena dinilai telah
teruji wawasannya, loyalitasnya, serta integritasnya kepada Islam. Di antaranya, mereka merupakan
kelompok pertama yang memeluk Islam, dan kemudian ikut berjuang bersama Nabi SAW dengan jiwa
dan raganya.

Ketiga, kreteria seorang imam salat harus bersedia dikoreksi. Hal itu terlihat tatkala sang imam
melakukan kesalahan dalam bacaan salatnya, maka makmum (rakyat) harus membenarkan bacaannya.
Kemudian, apabila imam salah langkah (kurang atau lebih gerakannya) dalam memimpin salat
berjamaah, maka makmum harus mengingatkan dengan membaca ''Subhanallah''. Mendengar bacaan
tersebut, sang imam harus mawas diri dan menyadari bahwa ia telah salah langkah dan segera
memperbaikinya.

Keempat, imam yang batal harus bersedia mundur dan mempersilakan salah seorang makmum di
belakangnya untuk menggantikannya menjadi imam, meskipun masa jabatannya (sebagai imam salat)
belum berakhir. (ah)
Bersahaja
By Dr. Ir. Maryanto, M.Eng.
Kamis, 11 September 2008 pukul 15:37:00

Bersahaja dalam segala tindakan adalah sikap yang sangat dianjurkan oleh Islam. Dengan sikap ini akan
dapat dihindari tindakan over acting, dibuat-buat, atau rekayasa. Dengan sikap ini pula seseorang berbuat
apa adanya sesuai dengan kapasitas masing-masing, tidak dengan memaksakan diri.

Dalam hal makan dan minum, misalnya, Allah telah berfirman: Makan dan minumlah kamu dan jangan
berlebih-lebihan (Q. S. 7: 31). Perut kita sudah punya takaran untuk memuat makanan yang cukup untuk
menjaga tegaknya tubuh kita, agar dapat beribadah kepada-Nya. Kelebihan jumlah makanan yang dimuat
tubuh, bukan berakibat lebih baik bagi tubuh kita, namun malah bisa menimbulkan penyakit.

Juga kita diperintahkan untuk sederhana, tidak angkuh dalam berkata dan bertingkah. Firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan
di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan bersederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu (Q. S. 31: 18-
19).

Dalam membelanjakan harta pun, kita diperintahkan jangan boros (Q. S. 17: 26 dan 6: 141), namun
jangan pula pelit (Q. S. 4: 36-37 dan 47: 37). Bahkan dalam beribadah mahdlah (ritual) pun kita dilarang
oleh Rasulullah untuk berlebih-lebihan. Dikisahkan, ada tiga orang sahabat yang pergi ke rumah
Rasulullah SAW untuk mengetahui bagaimana ibadah Beliau. Ketiga orang tersebut mendapat penjelasan
dari istri Beliau bagaimana baiknya ibadah Rasulullah, baik salatnya, puasanya, zakatnya, dan
sebagainya.

Setelah mendengar cerita tentang baiknya ibadah Rasulullah SAW, ketiga orang tersebut merasa bahwa
yang dilakukan belum apa-apa dibandingkan Rasulullah. Sebab Rasulullah yang sudah ma'shum
(terpelihara) saja demikian ibadahnya. Mereka lalu berketetapan: yang satu akan salat sepanjang malam,
satunya lagi akan berpuasa terus-menerus, sedangkan orang yang ketiga tidak akan kawin agar tidak
disibukkan dalam urusan keluarga, sehingga dapat mencurahkan seluruh tenaga, pikiran, dan waktunya
untuk beribadah.

Tatkala mendengar ketetapan ketiga sahabat tersebut, Rasulullah SAW memanggil mereka dan memberi
penjelasan bahwa Beliau salat tetapi juga tidur. Beliau puasa, namun juga berbuka (tidak terus-menerus).
Beliau juga menikah, bahkan yang tidak menikah dikatakan bukan umatnya. Dari kisah tersebut dapatlah
ditarik pelajaran bahwa hendaknya kita jangan berlebih-lebihan dalam berbuat, termasuk dalam beribadah
kepada Allah. Berlebihan berarti melampaui batas, sedangkan Allah tidak menyukai orang yang
melampaui batas (Q. S. 6: 141).

Senyum
By Ida Fitrirayami
Sabtu, 13 September 2008 pukul 04:04:00

Anggapan bahwa sebagian umat Islam mudah menjadi pemberang dan sering bermuka masam,
semestinya tidak perlu ada. Bukankah Rasulullah SAW, sebagai suri tauladan bagi umatnya, dikenal
sebagai manusia yang sangat ramah dan sangat murah senyum? Lalu, bila kemiskinan harta menjadi
alasan seseorang sulit tersenyum, agaknya itu juga tidak sepatutnya. Nabi kita Muhammad SAW juga tak
bisa dibilang kaya harta ketika hidupnya. Sebagai pemimpin yang miskin harta itu, beliau ternyata justru
senantiasa mampu tampil berseri-seri, memancarkan sinar yang mampu memberi daya hidup bagi
sahabat-sahabatnya.

Seorang sahabat Rasulullah mengisahkan bahwa wajah beliau penuh senyum dan cinta kasih terhadap
sesamanya. Lantas bagaimana agar seorang muslim dapat tampil menjadi pribadi yang ramah dan murah
senyum? Kuncinya ada pada hati (qalb). Wajah yang cerah berseri hanya akan muncul dari hati yang
tenang dan tenteram. Alquran telah menunjukkan resep bagaimana agar kita dapat meraih ketenangan dan
ketenteram hati: hendaklah kita senantiasa mengingat Allah SWT (Q. S. 13: 28).

Dengan senantiasa mengingat Allah SWT, kita akan selalu yakin atas keberadaan-Nya sebagai Rabbul
'Alamin (Maha Pemelihara Alam Semesta). Keyakinan ini menjadikan kita yakin bahwa kita tidak hidup
seorang diri. Kita juga menjadi yakin bahwa kalau kita bekerja keras dengan didasari niat yang baik serta
memenuhi kehendakNya (perintah dan laranganNya), Sang Maha Pencipta pun akan menolong kita. Bila
keyakinan seperti itu terus kita pelihara dalam diri kita, insya Allah, kita tidak akan lagi dihinggapi
perasaan gelisah atau cemas akan kelangsungan hidup kita, sekalipun berbagai kesulitan hidup tengah
mendera kita. Justru dengan kesulitan-kesulitan hidup itu, barangkali Sang Maha Pencipta sedang
menguji cinta kita kepadaNya. 

Dengan hati yang tanpa beban, tersenyum akan terasa sangat ringan. Demikian pula sebaliknya, dengan
senyum yang tanpa beban, maka hati akan terasa ringan. Seorang ulama pernah memberikan nasihat, jika
kita merasakan dada sesak disertai keinginan menangis, cobalah paksakan untuk tersenyum.

Senyum dapat menjadi terapi kejiwaan untuk mengurangi kesesakan dada dan dorongan untuk bersedih.
Di samping menimbulkan dampak positif kepada si empunya, senyum juga sekaligus memberi dampak
positif kepada orang yang disenyumi. Senyum adalah cara yang paling mudah dan paling murah untuk
berbagi sukacita, harapan, dan kebahagiaan kepada sesama. ''Senyummu yang kau tunjukkan kepada
saudaramu,'' sabda Nabi SAW, ''adalah sedekah.''  (ah)

Wajib Salat
By Rachmad`Saleh
Minggu, 14 September 2008 pukul 06:05:00

Ada seorang anak bertanya: Mengapa salat yang lima kali dalam sehari itu tidak disatukan saja,
dilaksanakan sekali dalam seminggu seperti agama-agama lainnya. Apa hikmah yang terkandung di
dalamnya? Anak itu merasakan pelaksanaan salat yang lima kali dalam sehari itu terlalu berat. Mungkin
lantaran ia belum terbiasa melakukannya, dan kedua ia membandingkannya dengan agama-agama lainnya
yang pelaksanaannya seminggu sekali. Jadi wajar bagi seorang anak yang baru mulai belajar salat
mempertanyakan hal itu.

Allah berfirman dalam Alquran, (Lukman berkata): ''Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.'' (QS 31,
16).

Kemudian pada ayat berikutnya dijelaskan: ''Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).''
(QS 31, 17)

M Yunan Nasution dalam bukunya Pegangan Hidup menyebutkan, ibadah salat yang dilaksanakan lima
kali tiap-tiap hari itu mengandung hikmah yang luas dan mendalam. Hal itu menunjukkan bahwa salat
tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia (umat Islam) sehari-hari. Dan, rutinitas
pelaksanaan salat yang lima kali dalam sehari itu merupakan satu bagian yang tidak terlepas dari
kehidupan itu sendiri.

Salat adalah ibadah yang mula pertama diwajibkan Allah. Kemudian setelah itu datanglah perintah
melaksanakan ibadah puasa, zakat, dan haji. Semua ibadah diperintahkan kepada Rasulullah saw dengan
perantaraan wahyu. Tapi, ibadah salat itu langsung disampaikan kepada Nabi Muhammad ketika beliau
menjalani mikraj ke Sidratul Muntaha. Dia beraudiensi langsung kepada Allah Ta'ala.

Salat itu adalah ibadah yang diwajibkan kepada setiap pemeluk agama Islam. Dan, tiap-tiap waktu salat
itu mempunyai jangka waktu masing-masing. Dimulai dari Subuh, Dhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya.
Apabila lewat dari jangka waktu yang ditetapkan, maka tidak sah lagi salat yang dikerjakan itu. Ini
merupakan satu latihan dan pendidikan kepada manusia supaya selalu waspada menjaga waktu.

Peristiwa ini mengandung falsafah dan kesan yang dalam bahwa manusia haruslah selalu memperbarui
hubungan dan ingatannya dengan Khalik yang menciptakannya. Selain itu, ibadah salat mengandung
tujuan pula untuk membentuk umat yang satu, ummatan wahidah, antara manusia yang berbeda-beda
bangsa, bahasa, dan adat-istiadat. Karena itulah ibadah salat diwajibkan bagi setiap umat Islam untuk
melaksanakannya lima kali sehari sesuai dengan apa yang telah dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw.
(ah)
Kematian
By a ilyas ismail,ma
Selasa, 16 September 2008 pukul 20:11:00

Peristiwa kematian hampir setiap saat terjadi di sekeliling kita. Seakan tak mengenal belas kasihan, maut
terus merenggut nyawa kehidupan manusia tanpa pandang bulu. Sungguhpun demikian, kematian tetap
merupakan misteri. Hakekat kematian tidak sepenuhnya dapat diterangkan. Lalu timbul pertanyaan,
mengapa kita hidup? Dan mengapa kemudian kita mati? Tak dapat diterangkan dan dibuktikan secara
empirik.

Pertanyaan seperti ini hanya dapat ditemukan jawabannya dalam agama. Dalam Alquran kita menemukan
banyak informasi mengenai kematian. Tak kurang dari 175 ayat berbicara masalah ini. Bahkan terdapat
175 ayat yang lain lagi berbicara mengenai hal-hal yang terkait dengan kematian itu. Kitab suci Alquran
menyebut kematian sebagai keharusan dan kemustian bagi setiap pribadi (Ali Imran 185), sebagai sarana
ujian bagi manusia (Al-Mulk 1-2), dan sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih baik (An-
Nisa 77).

Ini mengandung makna bahwa kehidupan dan kematian sesungguhnya memiliki tujuan. Tujuan ini
menjadi jelas dan nyata justru setelah manusia mengalami kematian. Untuk itu, setiap orang musti
menjalani hidup ini dengan penuh kesungguhan dan penuh rasa tanggung jawab. Menurut Murtadha
Muttahari, pemikir dan filosof Iran kontemporer, dalam kitabnya al-Adl al-Ilahi, kematian bukanlah
ketiadaan hidup.

Kematian hanyalah sebuah evolusi manusia (tathawwur) untuk menemukan eksistensi diri yang
sesungguhnya. Jadi, kematian bukan ketiadaan hidup secara mutlak, melainkan ketiadaan hidup secara
relatif atau nisbi. Kehidupan itu, kata Muttahari, tetap ada, hanya wujud dan bentuknya berbeda.

Kehidupan dunia, menurut Muttahari, berperan penting dalam menentukan evolusi manusia itu. Dalam
pandangan Muttahari, kehidupan dunia tak ubahnya lembaga pendidikan (madrasah), tempat para pelajar
dididik dan dibina. Ketika manusia dalam ''lembaga pendidikan'' itu sudah mencapai proses
kematangannya, maka tibalah waktunya bagi manusia untuk keluar dari kehidupan ini menuju kehidupan
yang lebih sempurna dalam keabadian dan kedamaian di sisi Tuhan.

Inilah, menurut Muttahari, makna firman Allah SWT: ''Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di
dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.'' (A-
Qamar 54-55). Bagi sebagian orang, kematian memang merupakan ''momok'' yang cukup menakutkan.
Hal ini boleh jadi karena yang bersangkutan tidak siap menghadapi kematian dan kehidupan setelah
kematian itu. Atau karena ia terlalu berat hati untuk berpisah dengan orang-orang yang selama ini sangat
dicintai.

Namun, bagi orang-orang tertentu, kematian justru merupakan sesuatu yang sangat dirindukan. Bahkan
mereka memandang kematian itu sebagai kemenangan dan keberuntungan. Mengapa? Hanya dengan
kematian, mereka dapat menemukan kehidupan yang sungguh sangat sejati dan abadi. Wa Allah A'lam!

Teman Abadi
By AM Fatwa
Rabu, 17 September 2008 pukul 06:10:00

Tak terasa peristiwa demi peristiwa cepat terlalu. Pagi, petang, siang, malam, silih berganti. Jarang di
antara kita yang memperhatikannya, terlebih yang disibukkan oleh hidup yang mempesona dan
mengasyikkan. Tahu-tahu jasmani berangsur surut. Waktu dan musim terus beralih dari masa ke masa,
mengubah segalanya.

Dalam Alquran banyak disinggung perubahan masa dan waktu, supaya manusia selalu ingat bahwa dia
berada dalam kekuasaan Tuhan. Dia tidak mungkin mampu menentang perubahan, baik dalam alam
maupun dalam dirinya sendiri. ''Perhatikanlah bulan dan malam, ketika telah pergi. Dan pagi, ketika telah
benderang. Sesungguhnya, inilah peristiwa yang sangat besar. Satu peringatan untuk manusia'' (Al-
Mudatstsir 32-35).

Dalam hal ini, kematian merupakan peristiwa besar yang mengubah segalanya dan menghentikan seluruh
nilai dunia yang pernah begitu dicintainya. Oleh sebab itu, setiap muslim sangat ingin -- di sela-sela
timbul tenggelamnya hidup ini -- banyak amal saleh dapat dilakukan, banyak kemelut hidup dapat
dipertanggungjawabkan, lalu mengakhiri usianya dengan husnul khatimah, sebagai akhir yang indah.
Tentang umur, Rasulullah SAW mengatakan: ''Umur umatku di antara 60 dan 70 tahun, dan sedikit di
antara mereka yang melampaui itu.'' (H.R. Ibnu Majah).

Dalam praktek, tak banyak orang mencapai usia maksimal yang disebutkan Rasulullah di atas. Banyak di
antara kita yang mati muda sebelum mencapai usia 60 tahun. Misalnya baru-baru ini kematian
budayawan Betawi, Benyamin S sangat mengejutkan kita semua. Maka tentulah mereka yang melampaui
usia maksimal adalah anugerah keistimewaan dari Tuhan dan berkesempatan merenungkannya lebih
sungguh-sungguh bahwa sewaktu-waktu penilaiannya akan beralih dari hidup di dunia kepada kehidupan
di akhirat. Ketika itu terjadi, Nabi SAW menggambarkan: ''Si mayat diberangkatkan ke kubur beserta
keluarga, harta, dan amal perbuatannya. Keluarga dan hartanya kembali pulang. Yang tinggal padanya
hanyalah amal perbuatan yang baik.'' (H.R. Bukhari-Muslim).

Satu hal yang paling berat menempatkannya dalam hati kita adalah satu hukum yang dijelaskan Alquran
bahwa hidup sesudah mati (akhirat) itu lebih baik dan lebih kekal. Lebih lagi adalah menempatkan kata-
kata hukum (Sunnatullah) itu dalam perspektif kehidupan sosial-ekonomi kita.

Syukurlah akhir-akhir ini dalam kehidupan sosial kita semakin disadari, masih banyak yang menantikan
uluran tangan kaum punya untuk terjembataninya jurang kemiskinan dan situasi kesenjangan. Tetapi hal
itu hanya akan dapat dijembatani dengan kesadaran yang dikesankan oleh iman ke dalam hati nurani
kaum punya, di mana kelebihan nikmat Allah di tangannya diinvestasikan untuk membentuk teman abadi
di akhirat nanti. Alquran mengingatkan: ''Ingatlah pada suatu hari, di mana harta dan putera-puteri
tercinta, tiada nilai dan tiada guna, kecuali siapa yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.'' (As-
Syu'ara 88-89). - (ah)

Hidup dan mati


By M. Baharun
Kamis, 18 September 2008 pukul 07:44:00

Hidup dan mati pada hakikatnya adalah menjalani ujian Allah SWT. Allah berfirman, ''(Allah) yang
menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.'' (Q. S. 67:2). Orang yang tak mempunyai orientasi dalam hidup
menilai kehidupan ini hanya untuk hidup, oleh karena itu harus dinikmati sepuas-puasnya selama hayat
masih di kandung badan. Mereka menganggap kematian itu tak lebih ibarat sebuah mesin yang rusak.

Bagi Islam hidup bukan hanya bernafas. Ada sekelompok manusia yang kendati jasadnya sudah mati,
namun seperti dikatakan Quran sebagai ''orang-orang hidup dan memperoleh rezeki'' (Q. S. 3: 169).
Sebaliknya ada yang nyatanya hidup tapi dianggap sebagai ''orang yang mati'' (Q. S. 35: 22). Makna
hidup dalam perspektif Islam adalah menyeimbangkan antara kesenangan duniawi dan penyiapan bekal
ukhrawi. Bukankah doa yang selalu kita mohon adalah, ''Rabbana aatina fi al-dunya hasanah wa fi al-
akhirati hasanah (Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat).''

Di antara kita mungkin ada yang mengira bahwa kematian tak akan segera menghampirinya. Mereka
berpikir demikian, karena badannya memang sehat, kekayaan melimpah, dan punya kekuasaan (jabatan).
Padahal kematian acap kali lewat di sekitarnya, entah itu teman, kenalan, kerabat, tetangga atau orang
lain yang kematiannya dimuat lewat berita duka media massa. Namun semua itu dianggapnya sepi.
Mereka pun segera kembali mengasyiki dunianya. Yang demikian ini karena mereka tak menyadari
bahwa hidup ini seperti menumpang kapal. Berapa pun lamanya ia mengarungi samudara dan lautan,
suatu ketika kapal pasti akan bersandar di dermaga dan ia pun harus turun. Karena itu betapa pun
sehatnya kita, semelimpah apapun kekayaan kita, dan setinggi apapun jabatan kita, suatu ketika kita pasti
turun.

Seorang ulama mengatakan bahwa kematian itu ibarat bayi kembar dua. Ketika kakaknya lahir lebih dulu,
si adik berasumsi bahwa kakaknya sudah meninggal. Sebab, ia mengira bahwa dunia adalah perut ibunda.
Dengan kata lain, kematian itu pada hakikatnya adalah kehidupan baru di alam yang lebih kekal. Dan
jenis kehidupan di alam kekal nanti, tergantung pada amal perbuatan manusia ketika hidup di dunia.
Persis seperti bayi. Bila selama dalam kandungan ibunya, ia diberi vitamin dan gizi yang baik, maka ia
akan lahir dan hidup sehat. (ah)

Anda mungkin juga menyukai