Anda di halaman 1dari 2

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

Kelebihan:
Secara umum, "Habibie & Ainun" besutan sutradara Faozan Rizal serta dibintangi Reza
Rahadian dan Bunga Citra Lestari berhasil mengaduk emosi penonton, khususnya menjelang
bagian akhir film.  Aransemen musiknya juga memperkuat atmosfer film.  Penggunaan footage
rekaman asli di beberapa bagian film seolah mengingatkan kembali sejarah kita sebagai bangsa
Indonesia dan betapa Habibie menjadi bagian dari sejarah Indonesia.

HABIBIE & AINUN mengisahkan perjalanan pak Habibie ketika dirinya masih kecil
hingga bertemu dengan cinta sejatinya, mendiang ibu Hasri Ainun. Selain perjalanan cinta
mereka, kita juga akan dihadapkan pada intrik politik dan cikal bakal mimpi dari pemilik nama
lengkap Bacharuddin Jusuf Habibie ini.

Sangat riskan sebenarnya mengadaptasi sebuah kisah nyata. Terlebih jika setting-nya
berada di masa lampau. Namun Faozan Rizal sebagai sutradara dan tim kreatif berhasil
menggambarkan nuansa jaman dulu dengan begitu apik dan detail dari segi kostum hingga
properti.

Tak lupa setting Jerman meski penempatannya digunakan seperlunya. Serta munculnya
footage penerbangan perdana N-250 Gatot Kaca yang dihadiri pak Soaharto dan ibu Tien, hingga
tragedi Mei 1998 yang membuat film ini semakin believable.

Dalam urusan akting, dua jempol diberikan untuk Reza Rahadian yang benar-benar total.
Lewat film ini, Reza berhasil buktikan kapasitasnya. Dia mampu bertindak sebagaimana sosok
Habibie asli, dari gestur hingga cara berbicara.

Kekurangan:

Bunga Citra Lestari yang diplot sebagai Ainun terlihat kurang kuat untuk mengimbangi
Reza. Meski begitu, akting wanita yang debut layar lebar lewat CINTA PERTAMA ini tak bisa
dibilang buruk. Karena di beberapa bagian Bunga mampu tampil menawan.

Untuk urusan naskah sebenarnya cukup bernas, pun dengan dialog yang dipakai. Ginatri
S Noer dan partner, Ifan Adriansyah Ismail, cukup ulet memaparkan guratan kisah pak Habibie
walau di beberapa bagian terasa dragging dan tak fokus.

Saya sedikit kecewa dengan penampilan Habibie dan Ainun yang tetap awet muda meski
pernikahan mereka sudah berjalan hampir setengah abad lamanya (yang menurut hitungan
sederhana saya berarti usia mereka sudah ada di kisaran 68 tahun).  Sulit rasanya membayangkan
manusia berusia 70 tahun dengan fisik layaknya 40 tahun.  Entahlah, ini mungkin hanya karena
Habibie adalah tokoh yang sudah dikenal luas oleh masyarakat sehingga penonton
mengharapkan adanya kemiripan fisik antara Habibie versi film dengan Habibie yang
sebenarnya.  Tio Pakusadewo yang hadir sekilas memerankan sosok pak Harto juga kurang pas
gesture-nya, menurut saya hanya rambut belakangnya saja yang mirip.

PENILAIAN
Secara garis besar, "Habibie & Ainun" yang diangkat dari buku berjudul sama karangan
BJ Habibie ini memang berfokus pada kisah cinta BJ Habibie (yang ternyata dipanggil "Rudy" di
masa mudanya) dengan Hasrie Ainun Besari.  Semenjak awal film memang keduanya seolah
sudah ditakdirkan berjodoh.  Idiom "gula jawa, gula pasir" dalam film ini cukup membuat kita
tertawa kecil dan menggambarkan karakter Rudy Habibie yang blak-blakan.

Terlepas dari beberapa kelemahan di atas, HABIBIE & AINUN tetaplah film yang layak
ditonton. Apresiasi patut disematkan pada usaha Faozan Rizal yang sebelumnya berjibaku
sebagai director of photography.

Tidak hanya berasa terlalu over dramatis dalam penyutradraan dan scoring yang
menganggu, Rudy Habibie juga terlihat terlalu serakah, tamak, rakus atau apalah istilahnya. Naskah
garapan Ginatri S. Noer seperti ingin menjejelkan segalanya ke dalam satu film. Jika Habibie & Ainun
hanya menitik beratkan pada kisah hidup dan asmara Habibie dengan takaran yang pas, Rudy Habibie
mencoba membawa lebih banyak konflik yang sayang tidak didukung dengan kualitas yang mumpuni.
Ada cerita tentang nasionalisme melalui impian Habibie membangun Indonesia yang lebih baik melalui
segala tantangan, ada elemen religius yang selalu ditampilkan ketika ia berhadapan dengan konflik,
sementara cerita sejarahnya yang sebenarnya membosankan dipoles sedemikian rupa dengan
banyak cast komika untuk sedikit mencairkan kesan seriusnya, sementara pesan moral serta cerita
cintanya juga tidak bisa terlalu kuat kecuali memang banyak ditolong oleh penampilan Reza dan Chlesea
Islan yang harus diakui, gemilang.
Berbicara soal karakter, tentu saja sekali lagi sosok B.J Habibie menjadi pusat
segalanya. Reza Rahardian sekali lagi membuktikan kekuatan akting kelas atasnya meski tidak ada lagi
efek kejut seperti pertama kali ia tampil di Habibie & Ainun. Masalahnya bukan pada performa Reza, ia
tampil sama bagusnya ketika pertama kali kita melihatnya menjadi Presiden ke-tiga Indonesia itu dengan
segala gestur dan mimik wajah sempurna, tetapi adalah bagaimana Hanung bersama naskah Ginatri S.
Noer yang menjual tokoh Habibie terlalu berlebihan sama seperti filmnya itu sendiri. Rudy digambarkan
sebagai sosok yang kelewat sempurna. Ia jenius, pemberani, alim dan banyak dikejar-kejar wanita,
seperti entah apa benar atau tidaknya dalam kehidupan aslinya, tetapi pendekatan yang dilakukan
Hanung terasa terlalu mendewakan sosok Habibie. Memang ada konflik dan rintangan yang datang
namun dengan cepat digambarkan Habibie selalu bangkit kembali tanpa efek samping berarti dari
konflik-konfliknya.
Di Rudy Habibie, tidak ada dinamika dan resonansi antar karakter. Yang ada
hanyalah hubungan satu arah, dari karakter pendukung ke Habibie milik Reza. Hubungan dari para
pemuja terhadap yang dipuja.”

Anda mungkin juga menyukai