D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
PENDAHULUAN
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan
kamu selalu berpaling.
[QS. Al-Baqarah : 83]
As-Sa’di menafsirkan : Yakni berbaktilah kepada kedua orang tua. Perintah ini
bersifat kebaikan secara umum, baik itu dengan ucapan maupun perbuatan.
Termasuk juga larangan berbuat buruk kepada kedua orang tua, atau tidak
berbuat baik mesikupun tidak berbuat buruk. Karena, jika berbuat baik adalah
suatu kewajiban, maka melakukan kebalikannya adalah sebuah larangan.
Kebalikan dari berbuat baik pada kedua orang tua itu ada dua (yaitu) :
1. Berbuat buruk, yang mana ini merupakan kejahatan yang paling besar
2. Tidak berbuat baik, tidak juga berbuat buruk, dan ini diharamkan, akan
tetapi tidak sama dengan yang pertama
Demikian pula berbuat baik kepada kerabat dengan bersilaturahmi, berbuat baik
pada anak-anak yatim, dan juga orang miskin sama wajib hukumnya. Adapun
rincian dalam berbuat baik ini tidak terbatas pada bilangan, akan tetapi sesuai
dengan ketetapan.
Apabila seseorang tidak mampu berbuat baik pada orang dengan hartanya maka
Allah perintahkan dengan perbuatan baik kepada setiap makhluk yang mampu ia
kerjakan, yaitu dengan ucapan yang baik. Maka dari itu ayat ini juga mengandung
larangan berkata buruk, bahkan kepada orang kafir sekalipun.
3. Bersikap Baik Ketika Membayar Diat
فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن ۚ ْالحُرُّ بِ ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد َواأْل ُنثَ ٰى بِاأْل ُنثَ ٰى ۖ صاصُ فِي ْالقَ ْتلَى َ ِب َعلَ ْي ُك ُم ْالق
َ ِيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت
ٰ
ٌ فَ َم ِن ا ْعتَد َٰى بَ ْع َد َذلِكَ فَلَهُ َع َذاب ۗ ٌيف ِّمن َّربِّ ُك ْم َو َرحْ َمة ٌ ِك ت َْخف ٰ َ َوأَدَا ٌء إِلَ ْي ِه بِإِ ْح ُوف
َ ِ َذل ۗ سا ٍن ِ ع بِ ْال َم ْعرٌ أَ ِخي ِه َش ْي ٌء فَاتِّبَا
أَلِي ٌم
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
[QS. Al-Qashash : 77]
Asy-Syaukani menafsirkan : maksud dari “dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu” adalah berbuat baiklah
kepada hamba-hamba Allah sebagaimana Allah berbuat baik padamu yakni Allah
telah memberikan nikmat dunia kepadamu.
BAB II
PEMBAHASAN
1.2 TIGA ASPEK POKOK DALAM IHSAN
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah
ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan
dalam ihsan.
a) Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis
ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu
menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan
mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan
ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa
memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-
Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya,
karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik
dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan
seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang
berbunyi,
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah
luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah
pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap
mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yangmubah
untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah
saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu
senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
b) Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36,
yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah
dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya,
maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa
saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:
a. ihsan kepada kedua orang tua b. ihsan kepada karib kerabat c. ihsan kepada
anak yatim dan fakir miskin d. ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta
teman sejawat e. ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya f. ihsan dengan
perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia g. ihsan dalam hal muamalah h.
ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
c) Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah.
Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah
melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang
telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan
melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka
sesungguhnya itulah puncak
ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku,
sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat
jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil
maksimal ibadahnya– maka kita akan menemukannya dalam muamalah
kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia,
lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits,
“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
ر َوأَ ۡبقَ ٰىٞ خَي ُ َواَل تَ ُم َّد َّن ع َۡين َۡيكَ إِلَ ٰى َما َمتَّ ۡعنَا بِ ِٓۦه أَ ۡز ٰ َو ٗجا ِّم ۡنهُمۡ ز َۡه َرةَ ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا لِن َۡفتِنَهُمۡ فِي ۚ ِه َو ِر ۡز
ۡ َق َربِّك
Artinya : Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah
Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan
dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah
lebih baik dan lebih kekal. (QS. Thaha [20]: 131).
a. Orang yang ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia
berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya.
b. Orang yang ihsannya kuat akan merasa malu berbuat kejahatan karena
dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
-SELESAI-