َ َّ ت ِلغَ ٍد َواتَّقُوا
َ َّ َّللا ِإ َّن
َّللا ْ س َما قَدَّ َمٌ ظ ْر نَ ْفُ َّللا َو ْلتَ ْن
َ َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا اتَّقُوا
س ُه ْم أُولَئِ َك هُ ُم
َ ُساهُ ْم أَ ْنف
َ َّللا فَأ َ ْن
َ َّ سوا ُ َير ِب َما ت َ ْع َملُونَ () َو ََل ت َ ُكونُوا َكالَّذِينَ ن ٌ َخ ِب
َْالفَا ِسقُون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hasyr : 18-19).
Tentang pentingnya muhasabah atau evaluasi diri ini, Khalifah Umar bin Khattab
pernah berkata:
َ س ُك ْم قَ ْب َل أ َ ْن ت ُ َحا
سبُ ْوا َ َحا ِسبُ ْوا أ َ ْنفُ ْو
Artinya: “Hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung (oleh Allah)”.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulûmuddîn menyamakan Muhasabah diri
dengan pedagang yang menghitung kerugian dan laba yang dihasilkan dalam satu
rentang waktu tertentu. Ketika keuntungan yang didapat, ia mensyukuri dan
berusaha meningkatkannya. Demikian pun ketika merugi, ia akan mencari
penyebabnya dan berusaha untuk tidak mengulanginya pada masa yang akan
datang. Begitulah, mukmin yang berakal seharusnya melakukan hal yang sama
terhadap amal perbuatannya di dunia selama ini. Hal ini diingatkan oleh baginda
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya yang Artinya:
“Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia
beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah akalnya adalah
orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan ia mengharapkan
berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR At-Tirmidzi).
Jamaah yang berbahagia, Setidaknya ada dua garis besar yang perlu kita jadikan
bahan muhasabah yang sangat menentukan kehidupan kita. Pertama muhasabah
hubungan kita dengan Allah (hablum minallaah). Kedua muhasabah hubungan
kita dengan sesama manusia (hablum minannaas). Allah menyebutkan di dalam
ayat-Nya:
اس َوبَآؤُوا ِ َّ علَ ْي ِه ُم ال ِذِّلَّةُ أَيْنَ َما ث ُ ِقفُواْ ِإَلَّ ِب َح ْب ٍل ِ ِّم ْن
ِ ََّّللا َو َح ْب ٍل ِ ِّمنَ الن َ تْ َض ِرب
ُ
ِ َّ ت
َّللا ِ علَ ْي ِه ُم ْال َم ْس َكنَةُ ذَ ِل َك ِبأَنَّ ُه ْم َكانُواْ َي ْكفُ ُرونَ ِبآ َيا
َ ت ْ ض ِر َب ِ َّ َب ِ ِّمن
ُ َّللا َو ٍ ض َ َِبغ
َصوا َّو َكانُواْ َي ْعتَدُون َ ع َ ق ذَ ِل َك ِب َما ٍ ِّ َو َي ْقتُلُونَ األَن ِب َياء ِبغَي ِْر َح
Artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka
diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS Ali Imran : 112).
Inilah ajaran Islam yang membentangkan dua bentuk hubungan harmonis yang
akan membawa kemuliaan dan keselamatan manusia di sisi Allah, yaitu tata
hubungan yang mengatur antara manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah
(ubudiyah) dan tata hubungan yang mengatur antara manusia dengan makhluk
yang lainnya dalam wujud amaliyah sosial. Hablum minallah dalam pengertian
syariah sebagaimana dijelaskan di dalam tafsir At-Thabari, Al-Baghawi, dan
tafsir Ibnu Katsir adalah “Perjanjian dari Allah, maksudnya adalah masuk Islam
atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia
dan di akhirat”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa untuk membangun hubungan kita
kepada Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak Allah. Hak-
hak Allah ialah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Hak Allah adalah menjalankan syariat Allah, beribadah kepada-Nya dengan
tulus ikhlas.
Kita tulus, ikhlas, ridha dan senang, bergembira menyambut seruan azan untu
shalat fardhu. Kita pun merasa ringan untuk menambah ama-amal sunnah, mulai
dari shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat Dhuha hingga shalat Tahajud. Kita pun
gemar bertadarus Al-Quran, khusyu dalam dzikir dan doa, serta selalu membahasi
lisan kita dengan kalimah istighfar dan shalawat. Itu semua hak Allah yang
pahala, manfaat dan hasilnya adalah untuk kita sendiri. Sebagaimana Allah
menegaskan tentang diciptakannya kita manusia untuk beribadah, di dalam ayat-
Nya: