Anda di halaman 1dari 4

MUHASABAH AKHIR TAHUN

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah


Waktu berjalan begitu sangat cepat berlalu. Baru tahun kemarin berjalan,
sekarang sudah akan berganti tahun lagi. Seolah baru saja kita kecil, masa
sekolah, sekarang sudah bekerja, berkeluarga dan punya anak kecil. Kita pun
sebenarnya diberikan kesempatan waktu yang sama dari Allah, 24 jam dalam
sehari semalam, 7 hari dalam sepekan, dan 12 bulan dalam setahun. Hanya
pertanyaannya adalah apakah hari-hari yang kita lalui itu membawa perubahan
yang lebih baik pada diri kita? Ataukah justru semakin hari malah semakin buruk,
terutama dalam amal ibadah. Sementara umur terus bertambah, batas jatah usia
justru semakin berkurang.
Maka, akhir yang baik, atau Husnul Khotimah adalah menjadi harapan terbesar
kita. Kita ingin mengakhiri hidup sementara di dunia ini dalam keadaan bartauhid
kepada Allah, dengan kalimat Laa ilaaha illallaah, walaa tamuutunna illa wa
antum muslimuun. Untuk itu marilah kita melakukan muhasabah menghadapi
masa-masa di hadapan.
Hadirin rahimakumullah, Allah mengingatkan kita di dalam ayat-Nya:

َ َّ ‫ت ِلغَ ٍد َواتَّقُوا‬
َ َّ ‫َّللا ِإ َّن‬
‫َّللا‬ ْ ‫س َما قَدَّ َم‬ٌ ‫ظ ْر نَ ْف‬ُ ‫َّللا َو ْلتَ ْن‬
َ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا اتَّقُوا‬
‫س ُه ْم أُولَئِ َك هُ ُم‬
َ ُ‫ساهُ ْم أَ ْنف‬
َ ‫َّللا فَأ َ ْن‬
َ َّ ‫سوا‬ ُ َ‫ير ِب َما ت َ ْع َملُونَ () َو ََل ت َ ُكونُوا َكالَّذِينَ ن‬ ٌ ‫َخ ِب‬
َ‫ْالفَا ِسقُون‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hasyr : 18-19).
Tentang pentingnya muhasabah atau evaluasi diri ini, Khalifah Umar bin Khattab
pernah berkata:

َ ‫س ُك ْم قَ ْب َل أ َ ْن ت ُ َحا‬
‫سبُ ْوا‬ َ ‫َحا ِسبُ ْوا أ َ ْنفُ ْو‬
Artinya: “Hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung (oleh Allah)”.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulûmuddîn menyamakan Muhasabah diri
dengan pedagang yang menghitung kerugian dan laba yang dihasilkan dalam satu
rentang waktu tertentu. Ketika keuntungan yang didapat, ia mensyukuri dan
berusaha meningkatkannya. Demikian pun ketika merugi, ia akan mencari
penyebabnya dan berusaha untuk tidak mengulanginya pada masa yang akan
datang. Begitulah, mukmin yang berakal seharusnya melakukan hal yang sama
terhadap amal perbuatannya di dunia selama ini. Hal ini diingatkan oleh baginda
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya yang Artinya:
“Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia
beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah akalnya adalah
orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan ia mengharapkan
berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR At-Tirmidzi).
Jamaah yang berbahagia, Setidaknya ada dua garis besar yang perlu kita jadikan
bahan muhasabah yang sangat menentukan kehidupan kita. Pertama muhasabah
hubungan kita dengan Allah (hablum minallaah). Kedua muhasabah hubungan
kita dengan sesama manusia (hablum minannaas). Allah menyebutkan di dalam
ayat-Nya:

‫اس َوبَآؤُوا‬ ِ َّ ‫علَ ْي ِه ُم ال ِذِّلَّةُ أَيْنَ َما ث ُ ِقفُواْ ِإَلَّ ِب َح ْب ٍل ِ ِّم ْن‬
ِ َّ‫َّللا َو َح ْب ٍل ِ ِّمنَ الن‬ َ ‫ت‬ْ َ‫ض ِرب‬
ُ
ِ َّ ‫ت‬
‫َّللا‬ ِ ‫علَ ْي ِه ُم ْال َم ْس َكنَةُ ذَ ِل َك ِبأَنَّ ُه ْم َكانُواْ َي ْكفُ ُرونَ ِبآ َيا‬
َ ‫ت‬ ْ ‫ض ِر َب‬ ِ َّ َ‫ب ِ ِّمن‬
ُ ‫َّللا َو‬ ٍ ‫ض‬ َ َ‫ِبغ‬
َ‫صوا َّو َكانُواْ َي ْعتَدُون‬ َ ‫ع‬ َ ‫ق ذَ ِل َك ِب َما‬ ٍ ِّ ‫َو َي ْقتُلُونَ األَن ِب َياء ِبغَي ِْر َح‬
Artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka
diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS Ali Imran : 112).
Inilah ajaran Islam yang membentangkan dua bentuk hubungan harmonis yang
akan membawa kemuliaan dan keselamatan manusia di sisi Allah, yaitu tata
hubungan yang mengatur antara manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah
(ubudiyah) dan tata hubungan yang mengatur antara manusia dengan makhluk
yang lainnya dalam wujud amaliyah sosial. Hablum minallah dalam pengertian
syariah sebagaimana dijelaskan di dalam tafsir At-Thabari, Al-Baghawi, dan
tafsir Ibnu Katsir adalah “Perjanjian dari Allah, maksudnya adalah masuk Islam
atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia
dan di akhirat”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa untuk membangun hubungan kita
kepada Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak Allah. Hak-
hak Allah ialah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Hak Allah adalah menjalankan syariat Allah, beribadah kepada-Nya dengan
tulus ikhlas.

Kita tulus, ikhlas, ridha dan senang, bergembira menyambut seruan azan untu
shalat fardhu. Kita pun merasa ringan untuk menambah ama-amal sunnah, mulai
dari shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat Dhuha hingga shalat Tahajud. Kita pun
gemar bertadarus Al-Quran, khusyu dalam dzikir dan doa, serta selalu membahasi
lisan kita dengan kalimah istighfar dan shalawat. Itu semua hak Allah yang
pahala, manfaat dan hasilnya adalah untuk kita sendiri. Sebagaimana Allah
menegaskan tentang diciptakannya kita manusia untuk beribadah, di dalam ayat-
Nya:

‫ق َو َما أ ُ ِريدُ أ َ ْن‬


ٍ ‫ُون * َما أ ُ ِريدُ ِم ْن ُه ْم ِم ْن ِر ْز‬
ِ ‫س إِ ََّل ِليَ ْعبُد‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
‫ون‬
ِ ‫ُط ِع ُم‬ْ ‫ي‬
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS Adz-Dzariyat:
56-57).
Adapun hablum minannaas dilakukan mengingat kita adalah makhluk sosial yang
tidak bisa hidup tanpa peran, bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Maka, di
dalam Al-Quran acapkali terdapat ayat-ayat yang menyebutkan tentang perintah
mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan hablum minallaah, sekaligus diiringi
juga dengan hablum minannaas. Di antaranya:

‫سانًا َو ِبذِي ْالقُ ْر َبى َو ْال َيتَا َمى‬


َ ‫ش ْيئًا َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإ ْح‬
َ ‫َّللا َوَلَ ت ُ ْش ِر ُكواْ ِب ِه‬ َ َّ ْ‫َوا ْعبُدُوا‬
‫ب َواب ِْن‬ ِ ‫ب ِبال َجن‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫ص‬َّ ‫ب َوال‬ ِ ُ‫ار ْال ُجن‬ ِ ‫ار ذِي ْالقُ ْر َبى َو ْال َج‬ ِ ‫ين َو ْال َج‬ َ ‫َو ْال َم‬
ِ ‫سا ِك‬
ً ‫َّللا َلَ يُ ِحبُّ َمن َكانَ ُم ْختَاَلً فَ ُخ‬
‫ورا‬ َ َّ ‫ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم إِ َّن‬ ْ ‫سبِي ِل َو َما َملَ َك‬ َّ ‫ال‬
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
(QS An-Nisa: 36).
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa hablum minallah dan hablum
minannas adalah bagai dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Itulah
kepribadian seorang mukmin sejati. Untuk itu, marilah kita adakan musahabah
dri sejauh mana hubungan baik kita dengan Allah, dan hubungan baik kita dengan
sesama manusia
Pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak cinta”. Koreksinya adalah jika
hubungan kita dengan Allah masih renggang, shalat berjamaah masih belum
rutin, bertadarus Al-Quran belum terbiasa, shalat Dhuha dan Tahajud belum
terbiasa. Itu tandanya kita belum kenal Allah, belum paham pahalanya, dan belum
menghayati hakikatnya. Dan itu bermakna pula kita belum cinta kepada Allah.
Koreksi hubungan kita dengan sesama manusia juga adalah bermakna, mari
perbaiki hubungan bakti kita kepadaorang tua, kita sambungikatan silaturrahim
yang terputus, kita bantu yang memerlukan, dan kita doakan kebaikan semuanya.
Saling memaafkan, saling menguatkan dan hidup berjamaah di antara kaum
Muslimin, bagai satu anggota badan yang saling melengkapi, bagai bangunan
yang kokoh tak tergoyahkan.

ِ ‫ار َكاهللُ ِل ْي َولَ ُك ْم فِ ْي القُ ْر‬


‫ َونَفَ َعنِ ْي َو ِإ َيا ُك ْم ِب َما فِ ْي ِه ِمنَ اآل َيات‬,‫آن ال َع ِظي ِْم‬ َ ‫َب‬
َ ‫َوال ِذ ْك ِر ال َح ِكي ِْم َوتَقَبَّ َل ِمنِِّ ْي َو ِم ْن ُك ْم تِ ََل َوتَهُ إنَّهُ هُ َو ال َغفُ ْو ُر‬
‫الر ِح ْي ُم‬

Anda mungkin juga menyukai