Anda di halaman 1dari 23

IHSAN

Disusun Oleh : Ahmad Zakka


Muhid
Ricky Mierzat
Rudi Salam
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK KIMIA
Tahun Ajaran 2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas terselesainya
makalah ini, walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Makalah yang kami buat berisi materi
tentang Ihsan.
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Demikianlah sebagai pengantar kata dengan harapan semoga makalah ini dapat diterima dan
bermanfaat bagi pembaca. Amin

Serang, 2 Desember 2015

i
DAFTAR ISI

KATA PENGENTAR……………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………………….. 1

BAB II IHSAN
A. PENGERTIAN IHSAN………………………………………………….. 2
B. WUJUD ATAU ASPEK DALAM ISLAM……………………………… 3
C. KELEBIHAN DAN PENGHAYATAN IHSAN DALAM
KEHIDUPAN……………………………………………………………. 5

BAB III AKHLAKULKHARIMAH


A. PENGERTIAN AKHLAKULKHARIMAH……………………………… 6
B. MACAM-MACAM AKHLAKULKHARIMAH…………………………. 6

BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………………………………. 9

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-
Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan
kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam pun sangat menaruh perhatian akan hal ini,
sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang
sempurna dan akhlak yang mulia.

Latar belakang terbuatnya makalah ini karena banyaknya seorang muslim yang memandang
ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, yang seharusnya dipandang sebagai bagian dari
akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan
utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah Salallahu
‘Alaihi Wassallam.

1
BAB II
1. IHSAN
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh
hambah Allah SWT. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan
dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan
kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata
Allah SWT. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh
ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan
akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya
sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah
dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan
utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw
dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab
pertanyaan Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam,
iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya :

‫ُُرواهُمسلم‬.)‫(فَ ِإنَّهُُ ِج ْب ِر ْيلُُأ َُت َاك ُْمُيعَ ِلمك ُْمُ ِد ْينَك ُْم‬
“Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau
menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah SWT memerintahkan untuk
berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

‫َّللاِ َو ََل ت ُ ْلقُوا ِبأ َ ْيدِي ُك ْم ِإلَى الت ه ْهلُ َك ِة ۛ َوأ َ ْح ِسنُوا ۛ ِإ هن ه‬
ُّ‫َّللاَ يُ ِحب‬ َ ‫َوأ َ ْن ِفقُوا ِفي‬
‫س ِبي ِل ه‬
َ‫ْال ُم ْح ِسنِين‬

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)

ُ ‫َاء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْال َب ْغي ِ ۚ َي ِع‬


‫ظ ُك ْم لَ َعله ُك ْم‬ ِ ‫ع ِن ْالفَحْ ش‬
َ ‫ان َوإِيت َِاء ذِي ْالقُ ْربَ ٰى َويَ ْن َه ٰى‬
ِ ‫س‬ ِ ْ ‫َّللاَ َيأ ْ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َو‬
َ ْ‫اْلح‬ ‫ِإ هن ه‬
َ‫تَذَ هك ُرون‬

6
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….”(an-Nahl:
90)

1.1. Pengertian Ihsan

Ihsan berasal dari kata ‫س َن‬


ُ ‫ َح‬yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan
bentuk masdarnya adalah ْ ‫س‬
‫ان‬ َ ‫اِ ْح‬, yang artinya kebaikan. Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (al-Isra’:
7)
“…Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik
terhadapmu….” (al-Qashash:77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah SWT.

1.2. Landasan Syar’i Ihsan.


Pertama, Al-Qur`an
Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang
ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia
dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa
dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.

“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang


yang berbuat baik.” (al-Baqarah:195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-


Nahl: 90)
“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (al-Baqarah: 83)

6
“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)
Kedua; As-Sunnah.
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia
merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-
hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam
memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan—ketika ia
menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut
dibenarkan oleh Jibril,

َ ‫أ َ ْنُت َ ْعبدَُهللاَُ َكأَنَّ َكُت َ َراهُفَ ِإ ْنُلَ ْمُتَك ْنُت َ َراهُفَ ِإنَّهُيَ َر‬.
• ُ‫اك‬
• "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau
tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. " (HR. Muslim)

Tingkatan Ihsan

Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah menmberikan penjelasan bahwa inti


yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal
seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada
Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu
semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh
setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Adapun kadar
ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki
dua tingkatan, yaitu :

Pertama, tingkatan muroqobah.

Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh
Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam َ‫( فَ ِإ ْن لَ ْم تَك ُْن ت َ َراهُ فَ ِإنَّهُ يَ َراك‬jika kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu).Tingkatanmuroqobah yaitu apabila seseorang
tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah
melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila
seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia
lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah
firmankan dalam surat Yunus,

6
ُ ‫ش ُهودًا إِ ْذ ت ُ ِفي‬
‫ضونَ فِي ِه‬ ٍ ‫َو َمات َ ُكونُ فِي شَأ ْ ٍن َو َماتَتْلُوا ِم ْنهُ ِم ْن قُ ْر َء‬
َ ‫ان َوالَت َ ْع َملُونَ ِم ْن‬
ُ ‫ع َم ٍل إِالَّ ُكنَّا َعلَ ْي ُك ْم‬
…{61}

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari
Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami
menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)

Kedua, tingkatan musyahadah

Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan
sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ‫َّللاَ َكأَنَّكَ ت ََراه‬
َّ َ‫‘( أ َ ْن ت َ ْعبُد‬Kamu
menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini
seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu
ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah,
namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi.
Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah.
Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat
Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk.
Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap
sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat
ihsan.[5]

1.3. Tiga Aspek Pokok Dalam Ihsan


Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah,
muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.
1.3.1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan
semua jenis ibadah, seperti shalat,puasa, haji, dan sebagainya dengan cara
yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya.
Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika
saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang
sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah
senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah
senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-

6
ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut
akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw
yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri
sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak
kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat
terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap
yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena
itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan
seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan ketika dia
hendak menjalankan semua aspek yang ada di dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.


Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai
tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing
seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba
untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam
surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul
firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga
tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat
tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit
yang menandakan betapa jauhnya jarak yang terbentang di antara
mereka .
Adapun ketiga tingkatan - tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang
berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang
berbeda-beda.
3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang
berbeda-beda pula.

6
1. Tingkat Takwa.

Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh


mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat
ketaqwaan masing-masing . Takwa akan menjadi sempurna dengan
menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh
larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah
dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah satu larangannya
adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan
seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu
bahwa Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya
yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu
seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu
cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan.
Melalui hal tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang
berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa.
Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak
takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada
pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang
dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini
adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.

2. Tingkatal-Bir.

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar.
Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan
dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan
segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu
peringkat takwa.

6
Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat
ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu
sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang
diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada
hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus
terdapat janji pahala yang akan diberikan oleh Allah didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan
masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat
yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama
merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah
melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah
iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia
tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah
SWT berfirman dalam kitab-Nya.
“…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah
agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang
menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,
maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-
dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan
wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.”
(Ali ‘Imran: 193)

3. Tingkatan Ihsan

Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori
Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat
pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti
yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan

6
suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan
adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan
jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara
(metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-
amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal
itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk
melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa
dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang
dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.
1.3.2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’
ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu…”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada
Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat
melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari
muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah
mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik
aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)

6
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah
sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah
saw. Bersabda :

ُ‫لواِل َد ْي ِن‬ ُِ ‫هللاُِفِىُس ْخ‬


َ ْ ‫طُ ا‬ ُ ُُ‫نُ َُوُس ْخط‬ َ ْ‫ضىُا‬
ُِ ‫لوا ِل َد ْي‬ َ ‫ضىُهللاُُ ِفىُ ِر‬
َ ‫ِر‬
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah
berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima,
jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita
tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang
ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia
yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah
dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun setelah wafatnya,

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.


Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan
mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan
silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :
”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan
sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah
karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah
berfirman:
ُ‫نُقَ َطعَهَاُبَتَتُّه‬
ُْ ‫ص ْلتهُُ َو َم‬
َ ‫صلَهَاُ َو‬ ُْ ‫س ِميُفَ َم‬
َ ‫نُ َو‬ ُْ ‫شقَ ْقتُُلَهَاُ ِم‬
ْ ‫نُا‬ َّ ُ‫ّللاُ َوأَنَا‬
َّ ُُ‫الرحْ َمنُُ َخلَ ُْقت‬
َ ‫الر ِح َُمُ َو‬ َُّ ُ‫أَنَا‬
“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang
Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan
Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku
putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang
memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

6
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti
ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda :

ُُ‫ام ُِه ُ َوش ََرا ِب ُِه ُأَ ْد َخلَه‬


ِ ‫س ِل ِمينَُ ُ ِإ َلى ُ َط َع‬
ْ ‫ْن ُا ْلم‬ ُْ ‫ن ُقَبَضَُ ُيَتِي ًما ُ ِم‬
ُِ ‫ن ُبَي‬ ُْ ‫سلَّ َُم ُقَا َُل ُ َم‬
َ ‫علَ ْي ُِه ُ َو‬ َُّ ُ ‫ص َّلى‬
َ ُ ‫ّللا‬ َ ُ‫ي‬ َُّ ‫ع َّباسُ ُأَنَُّ ُالنَُّ ِب‬ َ ُ ‫ْن‬ُِ ‫َن ُاب‬ ُْ ‫ع‬
ُ‫نُ َي ْع َم َُلُذَ ْن ًباُ َُّلُي ْغفَرُُلَه‬ُْ َ ‫ّللاُا ْل َجنَّ َةُُ ِإ َُّّلُأ‬
َُّ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa—dari Kaum
Muslimin—yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya,
maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak
melakukan dosa yang tidak terampuni.”

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang
berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang
berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan
sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir
mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak,
yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat
mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat.
Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya :
‫عبْد‬َ ‫س ِل ُم‬ ْ ُ‫س َّل َم َوا َّلذِي نَ ْفسِي ِب َي ِد ِه َل ي‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫سعُود قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ ْ ‫ّللاِ ب ِْن َم‬ َ ‫ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
ُ ‫سانُهُ َو َل يُؤْ ِمنُ َحتَّى َيأ ْ َمنَ ج‬
ُ‫َارهُ بَ َوائِقَه‬ َ ‫سلَ َم قَ ْلبُهُ َو ِل‬
ْ َ‫َحتَّى ي‬
Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : Demi Yang
jiwaku berada di tangan-NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan
lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya)
seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya. (HR.Ahmad)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda :

ُ‫ش ْبعَانًاُ َُوُ َجارهُُجَاُئِعُُ َوه َُوُيَ ْع ِرفه‬


َ َُُ‫نُباَت‬
ُْ ‫ُّلَُيؤُْ ِمنُُبِيُ َم‬

6
“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan
tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.


Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini :

َ ‫اّللِ َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر فَ ْليُك ِْر ْم‬


ََ ُ‫ض ْيفَه‬ َّ ‫َم ْن كَانَ يُؤْ ِمنُ ِب‬
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan
tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya,
menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta,
dan memberinya pelayanan.

ُ‫ع ْنه‬
َ َ‫ص َمت‬َ َ‫ّللاِ َك ْم أَ ْعفُو ع َْن ا ْل َخاد ِِم ف‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَا َل يَا َر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ ‫جَا َء َر ُجل إِلَى النَّبِي‬
َ ‫ّللا َك ْم أ َ ْعفُو ع َْن ا ْل َخاد ِِم فَقَا َل ُك َّل يَ ْوم‬
َ‫س ْب ِعين‬ ُ ‫سلَّ َم ث ُ َّم قَا َل يَا َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫ّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
‫َم َّرة‬

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba
sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali
ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam
sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
‫صنَ َع ِِلَ َح ِد ُك ْم َخا ِد ُمهُ َطعَا َمهُ ث ُ َّم جَا َءهُ ِب ِه َو َق ْد َو ِل َي ح ََّرهُ َو ُد َخا َنهُ فَ ْليُ ْق ِع ْد ُه َمعَهُ فَ ْل َيأ ْ ُك ْل فَ ِإ ْن‬
َ ‫ِإذَا‬
‫شفُوها َق ِليل َف ْل َيض َْع ِفي َي ِد ِه‬ ْ ‫ِم ْنهُ أ ُ ْكلَة أَ ْو أ ُ ْكلَتَي ِْن كَانَ ال َّط َعا ُم َم‬

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya
membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang
membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah
kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan
sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari,
Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar
gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia

6
tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya.
Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita
makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya
firman-Nya yang berbunyi :
”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi
mengingkari nikmat.” (al-Hajj: 38)
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku
ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan
kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
ْ ‫اّللِ َوا ْل َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر فَ ْل َيقُ ْل َخيْرا ا َ ْو ِل َي‬
ْ‫ص ُمت‬ َّ ‫َم ْن كَانَ يُؤْ ِمنُ ِب‬
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat,
hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda :

‫صدَقَة‬ ِ ‫قَ ْو ُل اْل َم ْع ُر ْو‬


َ ‫ف‬

“Ucapan yang baik adalah sedekah.”


 Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling
menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya
dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang
bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak
melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.Ketujuh, Ihsan dengan
berlaku baik kepada binatang.
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak
menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada
saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik,
tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
· Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

6
Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu
Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan
giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka
diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata :

َُ‫يُفَ ِا َّنه ُْمُ َُّلُيَ ْعلَم ْون‬


ُْ ‫اَلَّله َُّمُا ْه ُِدُقَ ُْوُ ِم‬
“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Contoh kedua, suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya
perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun
mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur.
Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya.
Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya
melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa
seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun
melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.

C. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah.
Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan
ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan
di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita
tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal
ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam
ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam
perilakunya yang baik dan juga akan terlihat dari karakternya yang disiplin dan selalu
menjaga mulutnya dari kata – kata yang kotor.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil
maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya.
Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya,
keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka
Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits :
ِ ‫اِنَّ َماُب ِعثْتُُ ِِلت َ ِم َُمُ َمك َِار َُمُاْ ُِل َُ ْخ ََل‬
ُ‫ق‬
“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

6
1.1 AKHLAKUL KHARIMAH

PENGERTIAN AKHLAKULKHARIMAH
Akhlak terpuji adalah suatu aturan atau norma yang mengatur hubungan antar sesama
manusia dengan tuhan dan alam semesta. Akhlakul Karimah atau Akhlaq al Karimah atau
disebut juga akhlak islamiyah adalah suatu sistem akhlak yang berpedoman kepada Al Qur'an
dan Hadits. Dengan demikian kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan tidak lepas dari
garis Al Qur'an dan Hadits (Mulyadi, 1997:9).

Akhlak juga sering disebut dengan tingkah laku, perangai, budi pekerti. Menurut Yatimin
Abdullah akhlakul karimah merupakan tanda kesempurnaan iman seorang kepada Allah.
Akhlakul karimah dilahirkan berdasarkan sifat-sifat terpuji. (Yatimin Abdullah, 2007:40).

A. MACAM-MACAM AKHLAKULKHARIMAH
1. Khusnudzhan kepada Allah
Khusnudzhan kepada Allah adalah kita memiliki keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang senantiasa berbuat dan menentukan yang terbaik
untuk kehidupan manusia.
Hikmah yang dapat kita ambil dari husnudzhan kepada Allah, yaitu :
a) Banyak bersyukur kepada Allah
Tulisan arab
b) Selalu beribadah kepada Allah
c) Tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun
d) Mencintai Allah SWT dengan cara mencintai perintah-perintah-Nya dan membenci
perbuatan
yang dilarang-Nya.
e) Ridho dan ikhlas terhadap qadha dan qadar Allah.
f) Mentaati, takut dan bertaqwa kepada Allah SWT.
g) Bertaubat kepada Allah
h) Selalu mencari keridhaan Allah SWT
i) Selalu memohon dan berdoa kepada Allah

6
j) Meniru sifat-sifat Allah, meneladani asmaul husna yang diterapkan dalam kehidupan
Husnudzhan terhadap sesama manusia yaitu memiliki sifat berprasangka baik terhadap sesama
manusia dan jangan memiliki prasangka buruk terhadpa manusia.

2. Qana’ah
Qana’ah dalam kacamata ilmu akhlak memiliki arti menerima segala naugerah yang diberikan
Allah SWT serta bersabar atas ketentuannya besar dan tidak meninggalkan usaha dan ikhtiar
lahiriyah.
Orang mempunyai sifat qana’ah akan memiliki pendirian apa yang diperoleh atau apa yang ada
pada dirinya adalah sesuai dengan Qadar ketentuan Allah SWT sebagai firman-Nya.
Orang-orang yang bersifat qana’ah ialah mereka yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Ia menerima anugerah yang diberikan Allah SWT dan sabar atas ketentuan (ujian, cobaan)
yang menimpanya.
b. Ia meminta tambahan yang layak, berusaha dan tawakal.
c. Hatinya tidak tertarik (terpedaya) dengan kekayaan duniawi.

3. Ikhlas
Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu perbuatan yang baik tanpa pamrih kecuali hanya karena Allah
dan mengharapkan ridha-Nya. Allah SWT berfirman :
Beramal dengan ikhlas akan menjadikan seseorang bekerja dengan jujur, disiplin dan tanggung
jawab, serta sanggup berkorban dalam melaksanakan tugas pekerjaan tersebut.

4. Sabar
Sabar artinya tahan uji, tahan menderita, menerima apa yang diberikan Allah baik yang berupa
nikmat maupun berupa penderitaan.
Orang yang sabar adlaah orang yang memiliki keteguhan dan ketabahan hati dalam usaha
mencapai cita-cita. Pantang menyerah terhadap segala rintangan yang menghadangnya dan selalu
sabar bahwa setiap cita-cita luhur memerlukan kesabaran (ketabahan). Sabar bukan berarti
menyerah ketika mengalami kegagalan tanpa usaha yang maksimal. Akan tetapi ulet dan tahan
banting di dalam menghadapi segala rintangan.

7
5. Istiqomah
Dalam bahasa Indonesia padanan kata istiqomah adalah kata “taat asas”, yakni selalu taat dan
setia kepada asas suatu keyakinan oleh sebab itulah orang yang istiqomah dikatakan juga sebagai
orang yang taat asas.
Orang yang berlaku istiqomah disebut juga orang yang mempunyai resiko yang tidak kecil
seperti mendapat celaan. Dalam hal ini orang yang istiqomah tidak pernah ragu, walalupun ia
menghadapi kesulitan dalam perjuangannya.

6. Tasammuh
Dalam bahasa Indonesia, kata tasammuh dapat diartikan dengan tenggang rasa, lapang dada atau
toleransi. Oleh karena itu orang yang bersifat tasammuh berarti memiliki kelapangan dada,
menghormati orang yang berpendapat atau berpendirian lain, tidak mau mengganggu kebebasan
berfikir dan orang berkeyakinan lain.

7. Ikhtiar (Kerja Keras)


Untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, manusia dituntut untuk berjuang baik secara
perorangan (individu) maupun secara kelompok (kolektif). Tuntutan tersebut berdasarkan fitrah
(naluri) kemanusiaan yang tumbuh karena adanya hidayah dari Allah sesuai asas penciptaan-
Nya.

8. Berdoa
Yaitu memohon kepada Allah, agar segala yang telah kita lakukan ada dalam ridha Allah SWT
dan diqobulkan oleh Allah SWT

Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang
yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya
agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada
yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh
sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT
mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab.

5
.

KELEBIHAN DAN PENGHAYATAN IHSAN DALAM KEHIDUPAN


Adapun ciri-ciri Kelebihan Ihsan :
*Mentaati perintah dan larangan Allah SWT dengan ikhlas
*Senantiasa amanah ,jujur dan menepati janji
*Merasakan nikmat dan haus akan ibadah
*Mewujudkan keharmonisan masyarakat
*Mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT.

Cara Penghayatan Ihsan Dalam kehidupan :


*Menyembah dan beribadah kepada Allah
*Memelihara kesucian aqidah tidak terbatal
*Mengerjakan ibadah fardhu ain dan sunat
*Hubungan baik dengan keluarga, tetangga dan masyarakat
*Bersyukur atas nikmat Allah SWT.

5
8
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-
Nya. Dan juga sebagai puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu,
semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang
dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah
tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam
seluruh sisi dan nilai hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ihsan
http://itla4islam.blogspot.com/2012/09/pengertian-ihsan_14.html
http://www.dakwatuna.com/2008/02/385/ihsan/
http://ichapedeh.wordpress.com/2012/01/25/pengertian-ihsan/
http://www.lebaran.com/khazanah/item/465-pengertian-ihsan.html
http://mimanukarangnangkabms.blogspot.com/2013/07/pengertian-akhlakul-karimah.html

Anda mungkin juga menyukai