Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“AL-ALIM “

Kelas VII A
Nama Anggota

1.Uswatun Hasanah

2.Nur Laila Ramadhani

3.Aprilia Liberty

4.Laela Wahyuningsih

5.Ahmad Isannudin

6.Apriliansyah Setya Perdana

7.Dino

8.Muhammad khoirul ihsani


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah Nya.Sehingga kita semua
masih diberikan kekuatan iman dan kesempatan untuk selalu beribadah dan menuntut ilmu di
jalan Nya. Sholawat an dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi
Muhamad SAW dan para Sahabat Nya yang senantiasa kita nantikan dan rindukan syafaat Nya
di akhir kelak.

Dalam kesempatan ini penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan kemudahan dalam menyelesaikan makalah “Al-Alim” dan penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tugas makalah Al-
Alim.Semoga dengan adanya makalah ini dapat meringankan para siswa dari kesulitan
mempelajari Sifat Allah (Al-Alim)
Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan bisa menjadi bahan referensi kita dalam belajar.Akhirnya kepada Allah jualah kita
berlindung dan mengharapkan magfira taufiq, dan hidayahNya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Purworejo, Agustus 20018

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….1
Daftar Isi…......................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangMasalah............................................................................................................3
1.2 Tujuan ………………………………………………………………………………………..3
1.3 Manfaat……………………………………………………………………………………….3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Alim.................................................................................................................4-8
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………...10

2
BAB I

PENDAHULUAN

.1 Latar Belakang Masalah

Allah memberi lebih dari yang kita bayangkan, tapi kita hanya mampu menerima tak lebih
dari setitik debu. Kita hanya mampu menerima ilmu yang bisa terlihat oleh panca indera kita.
Yang tampak di depan mata, yang kita pelajari dan bersifat materi. Karena itu, ilmu yang sangat
sedikit ini jangan sampai membuat kita sombong dan takabbur.

Karenanya, meski sedikit kita bisa membuka jalan untuk mendapatkan Al-‘Alim dari Allah
semakin lapang. Mengamalkan ilmu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya dan sebesar-
besarnya bagi lingkungan dapat makin melapangkan jalan itu. Jika kita mampu membaca Al-
Qur’an, bisa diamalkan dengan membuka taman Alqur’an. Jika menguasai ilmu ekonomi, bisa
menularkan ke orang lain cara-cara berniaga dengan benar. Jika ahli teknologi, berikan kepada
orang yang belum paham teknologi. Jika ada kelebihan di buku, bisa diamalkan melalui wakaf
buku atau Alqur’an, dan beragam cara untuk menarik Al-‘Alim menganugerahkan ilmunya pada
kita. Keterbatasan ini hendaknya makin memacu untuk berbuat semaksimal mungkin dalam
berbuat kebajikan. Sudah saatnya kita berbuat semakin ba-nyak untuk kebaikan orang lain.
Menebar pesona kebaikan akan membuka rahmat bagi alam semesta lewat dzikir-dzikir Al-
‘Alim.

Pengetahuan manusia mungkin bisa membuat perangkat sains yang luar biasa, tapi mampukah
menyamai mahkluk kecil semacam semut. Menirukan segala lekuk dan ruas-ruasnya. Secanggih
apapun peralatan atau ilmu kita tetap tak akan mampu menirukan ilmunya. Mengamalkan dzikir
suci dalam kehidupan sehari-hari kita, semakin menambah hati ingin selalu merasakan
kenikmatan sesungguhnya dari Allah. Kesucian Allah terpancar dari lisan-lisan yang basah
dengan asma ini. Kita hanya ingin merasakan bagaimana nikmat kesempurnaanNya. Mencoba
mencari keridhaan-Nya dalam setiap ilmu yang kita amalkan. Saat kita menikmati ciptaanya,
disinilah terasa kesempurnaan penciptaanya, tak akan mampu kita raih dengan pengetahuan kita
yang amat terbatas.

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu “Dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 29) Dengan sering membacanya, pemahaman kita tentang ilmu yang
selama ini kita amalkan akan bertambah, mendapat berkah. Allah membuka pintu pengetahuan
dari arah yang tidak kita duga sebelumnya. Sesungguhnya Allah memberi kita segala macam
rahmat kesempurnaan yang sesuai bagi kita. Dia mengajarkan kita nama-nama-Nya. Tetapi
hidup dan kekuatan kita terbatas. Ilmu dan diri kita pun terbatas. Kita mencoba merasakan
kesempurnaan yang tak terbatas, ilmu Allah yang tidak terbatas, yang mengetahui segala dan
mencari keri-dhaan-Nya.

2. Tujuan

1. Untuk memenuhi nilai tugas kelompok.


2. Untuk memberikan gambaran tentang Al-‘Alim.

3. Manfaat
1. Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat allah, salah satunya sifat Al-‘Alim.
2. Termotivasi untum meneladani sifat Al-‘Alim.
3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Al-ALIM

Kata ‘Alim terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti
“menjangkau sesuatu seusai dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan
semua kata yang tersusun dari huruf-huruf “äin”, “lam”, “mim” dalam berbagai bentuknya untuk
menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama
jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ilmu” demikian juga halnya, ia
diartikan sebagai suatu pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai
“Alim” atau “’Alim” Karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-
hal yang sekecil apapun.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang hamba itu mendapatkan bagian dari sifat ilmu ini,
tetapi berbeda dengan ilmu Allah dalam tiga perkara, yaitu :

1. Dari banyaknya pengetahuan. Betapapun luasnya pengetahuan seorang hamba, hal itu masih
terbatas. Bagaimana akan dibandingkan dengan ilmu Allah yang tidak ada ujung dan batasnya?
2. Bahwa kasyaf (melihat dengan mata batin) seorang hamba itu, bagaimanapun jelasnya, ia
tidak bisa mencapai tujuan yang tidak ada ujungnya lagi; penyaksiannya terhadap sesuatu itu
ibarat ia melihatnya dari balik tirai yang tipis. Tidak dapat diingkari adanya perbedaan dalam
derajat kasyaf itu, sebab pandangan mata batin ibarat mata lahir dalam memastikan segala
sesuaatu yang dipandangnya, seperti perbedaan antara melihat di kala remang-remang dan
melihat di waktu terang-benderang.
3. Bahwa ilmu Allah itu tidak diperoleh dari sesuatu, namun sesuatu itulah yang
mendapatkannya dari-Nya. Sedangkan ilmu seorang hamba itu mengikuti sesuatu dan dihasilkan
darinya. Jika Anda masih kurang memahami penjelasan ini, maka ambil contoh ilmu seorang
yang baru belajar catur dan orang yang membuatnya, misalnya. Si pembuat catur menjadi sebab
adanya catur, dan adanya catur itu menjadi sebab ilmunya si pelajar catur. Namun ilmu si
pembuat catur lebih dahulu dengan mengadakan catur itu, sedangkan ilmu orang yang belajar
catur itu terakhir. Demikian pula halnya deengan ilmu Allah SWT; ia mendahului segala sesuatu
dan menjadi sebab baginya.

Tiada keraguan, Dialah Maha Mengetahui. Segala yang akan terjadi dan telah terjadi tidak luput
dari pantauan-Nya, masa kini atau yang akan dating. Dialah yang mengetahui segala sesuatu. Dia
mengetahui apa yang terjadi, dan segala yang akan terjadi sejak awal, sedang terjadi dan yang
akan terjadi sejak awal hingga akhir. Semua eksistensi di segala zaman berada di dalam
pengetahuan Al-‘Alim. Tak ada yang luput, tak seorang pun dapat yang dapat bersembunyi.
Segala eksistensi bereksistensi diciptakan oleh-Nya di dalam batas-batas tertentu yang telah
diciptakan-Nya. Ia mengetahui sebanyak yang diizinkan Allah. Tetapi pengetahuan Allah tiada
batasnya. Pengetahuan yang melingkupi seluruh alam membuat jangkauan otak manusia
sedikitpun tak mampu mengikutinya. Keberadaan Al-‘Alim terkadang menjadi misteri bagi kita,
sebagai hambaNya. Saat kita berpikir untuk berjalan menuju Allah, Allah sudah berlari
menyambut kita.

4
Dengan pengetahuan yang tiada batas, Allah bebas memberikan ilmu kepada hamba-Nya
yang mematuhi segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Kita sebagai hamba-Nya
hanya bisa memohon agar Allah memberikan kemurahan pengetahuan. Se-bagaimana doa-doa
kita. “Rabbana zidna ‘ilmaan naafi’a, warzuqna fahma”. Untuk membuktikan jika ilmu kita
terbatas, cobalah tebak apa yang dilakukan orang ketika masuk dalam ruangan.

Ilmu-Nya mencakup seluruh wujud. “Ïlmu Tuhanku meliputi segala sesuatu” (Q.s Al-An’am
6:80). “Pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)” (Q.s. Al-An’am 6:59).

Segala aktivitas lahir dan bathin manusia diketahui-Nya. “Dia mengetahui (pandangan) mata
yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”(Q.s. Ghafir 40:19), bahkan jangankan
rahasia, yang “lebih tersembunyi dari rahasia”, yakni hal-hal yang telah dilupakan oleh manusia
dan yang berada di bawah sadarnyapun diketahui oleh Allah SWT. “Jika kamu mengeraskan
ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang lebih
tersembunyi (dari rahasia)” (Q.s Thaha 20:19). Apapun yang terjadi, telah diketahui-Nya
sebelum terjadi, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.s. Al-Hadid 57:22).

Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya, “Allah mengetahui apa-apa yang
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (Q.s. Al-Baqarah 2:255). Allah “mengajar dengan
qalam”, yakni mengajar manusia melalui upaya mereka dan “mengajar apa yang mereka tidak
diketahui”, tanpa usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya. Begitu informasi-
Nya dalam Q.s. Al-Alaq.

Hamba yang memiliki sifat Al Alim adalah orang yang dianugerahi pengetahuan tanpa belajar
apapun dari siapa pun, tanpa belajar atau berfikir melalui kesucian dan cahaya yang dari nya kita
diciptakan. Pengetahuan mengenal Allah Yang Maha Mengetahui yang diterima oleh seorang
hamba dikenal dengan nama “Irfan” Namun manusia yang menerima pengetahuan tersebut
hanya mengetahui perbuatan dan sifat sifat Allah, dan hamba Al Alim mengetahui hakikat dan
kebenaran tertinggi.

Manusia memperoleh kehormatan karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya. “Dia
(Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
benda itu jika kamu memang yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.s. Al-Baqarah 2:30-31).

Pengetahuan manusia mungkin bisa membuat perangkat sains yang luar biasa, tapi mampukah
menyamai mahkluk kecil semacam semut. Menirukan segala lekuk dan ruas-ruasnya. Secanggih
apapun peralatan atau ilmu kita tetap tak akan mampu menirukan ilmunya.

Manusia tentu saja dapat meraih ilmu berkat bantuan Allah, bahkan istilah “’Alim” pun
dibenarkan Al-Qur’an untuk disandang manusia (Q.s. Az-Zariyat 51:28) tetapi betapa pun dalam
dan luasnya ilmu manusia, terdapat sekian perbedaan antara ilmunya dan ilmu Allah.

5
1. Dalam hal objek pengetahuan; Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tidak mungkin dapat
mendekati pengetahuan Allah. Pengetahuan mereka hanya bagian kecil dari setets samudera
ilmu-Nya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan seidkit” (Q.s. Al-Isra 17:85).
“Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Q.s. Al-Kahfi 18:109).
2. Kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat mencapai kejelasan ilmu Allah.
Pensaksian manusia yang paling jelas terhadap sesuatu, hanya bagaikan melihatnya di balik tabir
yang halus, tidak dapat menembus objek yang disaksikan sampai ke batas terakhir.
3. Ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya.
Sedangkan ilmu manusia dihasilkan dari adanya sesuatu. Untuk hal yang ketiga ini, Al-Ghazali
memberi contoh dengan pengetahuan pemain catur dan pengetahuan pencipta permainan catur.
Sang pencipta adalah penyebab adanya catur, sedang keberadaan catur adalah sebab pengetahuan
pemain. Pengetahuan Pencipta mendahului pengetahuan pemain, sedang pengetahuan pemain
diperoleh jauh sesudah pengetahuan pencipta catur. Demikianlah ilmu Allah dan ilmu manusia.
4. Ilmu tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui-Nya. Itu berarti tidak ada
kebetulan di sisi Allah, karena pengetaaahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi dan saat
kejadiannya sama saja di sisi-Nya.
5. Allah mengetahui tanpa alat, sedang ilmu manusia diraihnya dengan panca indra, akal dan
hatinya, dimana semuanya didahului oleh ketidaktahuan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur dengan menggunakannya untuk meraih ilmu)”. (Q.s.
An-Nahl 16:78).
6. Ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya. Tuhanmu sekali-kali tidak lupa.
Q.s. Maryam 19:64.

Dalam meneladani sifat Al’Alim, manusia hendaknya terus menerus berupaya menambah
ilmunya. Rasul Saw setelah diperintahkan pada wahyu pertama untuk membaca, diperintahkan
juga untuk berdoa. “(Bermohonlah wahai Muhammad) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku
ilmu pengetahuan”. (Q.s. Thaha 20:114).

Dalam upaya tersebut manusia dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh
potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya mata, telinga, akal dan kalbu untuk meraih
sebanyak mungkin ilmu yang bermanfaat, bukan hanya menyangkut “seluruh benda-benda”
yakni “seluruh alam raya” yang telah dianugerahkan Allah potensi untuk mengetahuinya sejak
kelahiran manusia pertama, tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris yang hanya dapat diraih
dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang hakiki tentang sesuatu adalah pengetahuan
yang menimbulkan dampak dalam kehidupan. Karena itu Ja’far Ash-Shadiq misalnya
menggarisbawahi bahwa, “pengetahuan, bukanlah apa yang diperoleh melalui proses belajar-
mengajar, tetapi ia adalah cahaya yang dinampakkan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang
dikehendaki-Nya”. Pengetahuan atau mengetahui sesuatu nenurut Rasul Saw bukan hanya
terbatas sampai pada kemampuan mengekpresikannya dalam bentuk kata tetapi ada pula yang
menyentuh hati sehingga melahirkan amal-amal yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi.
Pengetahuan dalam arti yang kedua inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesadaran akan jati
diri manusia sebagai makhluk yang dhaif di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.

6
Ilmu seseorang harus membawanya kepada iman, selanjutnya ini mengantarnya kepada
keikhlasan dan ketundukan kepada Allah. “Supaya orang-orang yang yang mempunyai ilmu
mengetahui bahwa dia (Al-Qur’an) adalah benar-benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman,
kemudian hati mereka tunduk kepada-Nya” (Q.s. Al-Haj 22:54). Demikian terlihat, ilmu
mengantar kepada iman dan iman menghasilkan ketundukan kepada Allah SWT. “Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan
kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti terlaksana’, dan mereka menyungkur atas muka
mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu”. (Q.s. Al-Isra 17:107-108-109).

Ilmu juga harus mengantar ilmuwan kepada amal dan karya-karya nyata bermanfaat. Rasul Saw
berdoa memohon perlindungan Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak
khusyu’, dari diri (perut) yang tidak kenyang dan dari doa yang tidak diterima” (H.R. Muslim).

Setiap ilmuwan dituntut untuk memberi nilai-nilai spiritual bagi ilmu yang diraihnya, sejak
motivasi hingga tujuan dan pemanfaatannya. Memang boleh jadi tidak berbeda cara dan alat-alat
meraih ilmu antara seorang dengan yang lain, hakekat ilmiahpun yang mereka raih tidak berbeda
karena cara, alat dan hakekat ilmiah bersifat universal dan bebas nilai; tetapi motivasi, tujuan dan
pemanfaatan ilmu, bagi ilmuwan yang meneladani Allah dalam sifat-Nya, tidaklah bebas nilai, ia
harus “Bismi Rabbika”.

“Siapa yang mencari ilmu untuk memamerkan diri/menunjukkan kebolehan di hadapan


cendekiawan, atau untuk berbantah-bantahan dengan yang jahil, maka dia di neraka” (Q.s. At-
Thabarany dari Ummi Salamah).

Tidak etis melupakan peranan Allah atau menutup-nutupinya dalam setiap peristiwa alam,
apalagi mengingkarinya. Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya
atau karena unsur ini dan kondisi itu, kalau pun harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak
mengingatkan peranan Allah, karena yang demikian dapat merupakan salah satu bentuk
kedurhakaan terhadap Allah. Hukum sebab dan akibat, jangan pisahkan ia dari penyebab
pertamanya yakni Allah SWT, karena jika dipisahkan, ia merupakan pengingkaran dan
kekufuran paling sedikit dalam arti mengkufuri nikmat-Nya.

Suatu ketika Rasulullah SAW mengimani sahabat-sahabat beliau shalat subuh di Hudaibiyah,
setelah pada malamnya hujan turun. Seusai shalat beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda,
“Tahukah kamu apa yang dikatakan Tuhan (Pemelihara) kamu?”. Mereka berkata, “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui”, “Allah berfirman – sabda Rasul menjelaskan pagi (ini) ada
hamba-Ku yang percaya pada-Ku dan kafir dan ada juga yang kafir pada-Ku dan percaya (pada
selain-Ku). Adapun yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan atas anugerah Allah dan
rahmat-Nya, maka itulah yang percaya pada-Ku serta kafir terhadap bintang, sedangkan yang
berkata, “kami memperoleh curahan hujan oleh bintang ini dan itu, maka itulah yang kafir pada-
ku dan percaya pada bintang”. (H.R. Al-Bukhari melalui Zaid bin Khalid Al-Juhani).

Dahulu ketika para arsitektur muslim membangun rumah-rumah tempat tinggal, mereka
membangunnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama. Memang bahan-bahan yang mereka
gunakan, pengetahuan yang mereka terapkan dapat diketahui oleh muslim dan non muslim,
tetapi yang meneladani Allah dalam ilmu-Nya, membangun rumah dengan memperhatikan nilai-
nilai yang diamanatkan oleh Allah Penganugerah Ilmu. Sehingga sambil memperhatikan
ventilasi udara, pencahayaan, keamanan dan kenyamanan penghuni dan tetangga, mereka juga
sangat mengindahkan privasi dan terhalangnya pandangan yang bukan mahram melihat apa yang
dilarang Allah untuk dilihat.

7
Keterbatasan itu sesungguhnya bukan dari Allah, tapi dari kita sendiri. Allah memberi
lebih dari yang kita bayangkan, tapi kita hanya mampu menerima tak lebih dari setitik debu. Kita
hanya mampu menerima ilmu yang bisa terlihat oleh panca indera kita. Yang tampak di depan
mata, yang kita pelajari dan bersifat materi. Karena itu, ilmu yang sangat sedikit ini jangan
sampai membuat kita sombong dan takabbur. Karena meski sedikit kita bisa membuka jalan
untuk mendapatkan Al-‘Alim dari Allah semakin lapang. Mengamalkan ilmu yang kita miliki
dengan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya bagi lingkungan dapat makin melapangkan jalan
itu.

Jika kita mampu membaca Al-Qur’an, bisa diamalkan dengan membuka taman Alqur’an. Jika
menguasai ilmu ekonomi, bisa menularkan ke orang lain cara-cara berniaga dengan benar. Jika
ahli teknologi, berikan kepada orang yang belum paham teknologi. Jika ada kelebihan di buku,
bisa diamalkan melalui wakaf buku atau Alqur’an, dan beragam cara untuk menarik Al-‘Alim
menganugerahkan ilmunya pada kita. Keterbatasan ini hendaknya makin memacu untuk berbuat
semaksimal mungkin dalam berbuat kebajikan. Sudah saatnya kita berbuat semakin ba-nyak
untuk kebaikan orang lain. Menebar pesona kebaikan akan membuka rahmat bagi alam semesta
lewat dzikir-dzikir Al-‘Alim.

Mengamalkan dzikir suci dalam kehidupan sehari-hari kita, semakin menambah hati ingin selalu
merasakan kenikmatan sesungguhnya dari Allah. Kesucian Allah terpancar dari lisan-lisan yang
basah dengan asma ini. Kita hanya ingin merasakan bagaimana nikmat kesempurnaanNya.
Mencoba mencari keridhaan-Nya dalam setiap ilmu yang kita amalkan. Saat kita menikmati
ciptaanya, disinilah terasa kesempurnaan penciptaanya, tak akan mampu kita raih dengan
pengetahuan kita yang amat terbatas. Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu “Dijadikan-Nya tujuh langit. Dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 29). Dengan sering membacanya,
pemahaman kita tentang ilmu yang selama ini kita amalkan akan bertambah, mendapat berkah.
Allah membuka pintu pengetahuan dari arah yang tidak kita duga sebelumnya. Sesungguhnya
Allah memberi kita segala macam rahmat kesempurnaan yang sesuai bagi kita. Dia mengajarkan
kita nama-nama-Nya. Tetapi hidup dan kekuatan kita terbatas. Ilmu dan diri kita pun terbatas.
Kita mencoba merasakan kesempurnaan yang tak terbatas, ilmu Allah yang tidak terbatas, yang
mengetahui segala dan mencari keridhaanNya.

8
PENUTUP

KESIMPULAN

* Al-‘alim menunjukkan dzat yang mengetahui segala sesuatu, ilmunya meliputi yg nampak dan
tidak nampak, samar dan jelas dan meliputi segala hal yang diperbuat seluruh makhluknya.
* Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya.
* Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya atau karena unsur ini dan
kondisi itu, kalau pun harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak mengingatkan peranan
Allah, karena yang demikian dapat merupakan salah satu bentuk kedurhakaan terhadap Allah.
* Ilmu seseorang harus membawanya kepada iman, selanjutnya ini mengantarnya kepada
keikhlasan dan ketundukan kepada Allah.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://www.wikipedia.com
ryper.blogspot.com
http://www.dakwatuna.com
cetak.bangkapos.com
nandalusi.multiply.com
dyahprajnyandari.multiply.com
muzakki.site40.net
Shihab, M. Quraish.1998. Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asma’ al-Husna dalam Perspektif al-
Qur’an. Jakarta; Lentera Hati.

10

Anda mungkin juga menyukai