AKHLAK TASAWUF
“ Robi’ah Al Adawiyah dan Imam Al Ghazali ”
Dosen : Siti Muslifah,S.H.I.M.S.I.
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayahnya
sehingga kita dapat menuntaskan pembuatan makalah ini dengan keadaan sehat walafiat
Pada kesempatan kali ini kami juga ucapkan terima kasih banyak kepada dosen pengasuh
akhlak tasawuf ibu Siti Muslifah S.H.I,M.S.I. yang telah membimbing dan memberikan ilmu
pengetahuan kepada kami semua, serta kepada rekan-rekan kelompok lainnya yang telah
berusaha membuat makalah ini semaksimal mungkin dengan harapan semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi mahasiswa lain pada umumnya.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk
menyempurnakan makalah ini kedepannya.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan makalah ini kami berharap semoga makalah ini berguna
bagi pembaca dan menjadikan amal sholeh bagi kami, Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
2.1 Rabi’ah Al- Adawiyah.......................................................................................................................5
2.2 Imam Al- Ghazali..............................................................................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................17
PENUTUP.................................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang
dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas
tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang
berdasarkan Islam. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang
mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana,
dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman. Al-Quran
sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah suri teladan yang terbaik bagi orang yang
hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang
paling luhur. Perkembangan pemikiran filsafat ikut memberi andil cukup besar untuk hidupnya
pemikiran tasawuf dalam dunia muslim. Para ulama tasawuf akhirnya dapat menyuguhkan
konsep religio-moral yang disebut maqamat (stasiun-stasiun) yang bersifat psikognostik yang
harus dilewati oleh para sufi (Nasution & Siregar, 2013, hal. 7-8).
Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang
digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli
untuk mendefinisikan tasawuf yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat
dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai
upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan
perhatian hanya kepada Allah swt (Nasution & Siregar,2013, hal. 13).
Pemikiran tokoh sufi dalam kajian tasawuf sangat beragam bentuknya dan masing-masing sufi
memiliki kekhasan yang berbeda-beda walapun muaranya sama yaitu menuju al-Haq (Allah
swt.). Semisal Ibnu Arabi dengan konsep wahdat al-wujud-nya, al-Halaj dengan konsep
hulul,Rabiah al-Adawiyah dengan konsep mahabbah dan masih banyak lagi. Selain yang telah
disebutkan, ada seorang tokoh sufi yang sangat cemerlang pemikirannya dan terkenal yaitu
Imam al-Ghazali yang memiliki julukan Hujjatul Islam.
Pada makalah ini kami akan membahas dua tokoh sufi yang telah disebutkan diatas yaitu
Robi’ah al- Adawiyah dan Imam al-Ghazali.
Pembahasan
2.1 Rabi’ah Al- Adawiyah
A. Sekilas tentang Rabi’ah Al- Adawiyah
Rabi’ah binti Ismail Al- Adawiyah yang nama lengkapnya adalah ummul khair rabi’ah
binti ismail al- adawiyah al qisiyyah adalah satu diantara para sufi bashrah yang paling
terkenal, beliau juga termasuk tokoh sufi pada abad pertama dan kedua.
Sufi ini terkenal dengan maqam mahabbah ( cinta ilahi ). Pemberian nama rabi’ah
dilatarbelakangi oleh sensibilitas keluarganya. Sebagai anak keempat dari empat
bersaudara, di samping tiga orang putri lainnya, dari keluarga miskin di
basharah.Sedemikian miskinnya hingga minyak lampu untuk menerangi saat
kelahirannya pun orangtuanya tidak punya uang.
Menjelang dewasa ujian selalu menerpanya dan semakin hari semakin buruk setelah
ditinggalkan ayah ibunya, kemudian dijual sebagai budak.Tetapi karena kesalehannya dia
dibebaskan. Dari kecil rabi’ah mempunyai hati yang halus, keyakinan yang tinggi serta
keimanan yang mendalam sehingga tidak ada satupun ruangan yang tertingga di hati
maupun pikirannya untuk kepentingan yang lain.
Keadaan keluarganya yang miskin menyebabkan rabi’ah menjadi hamba sahaya dengan
pengalaman penderitaan yang silih berganti.Kemampuannya menggunakan alat music
dan menyanyi selalu dimanfaatkan oleh majikannya untuk mencari harta dunia. Rabi’ah
sadar betul dengan keadaannya yang dieksploitasi oleh majikannya tersebut, sehingga
selain terus menerus mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang pembantu rumah
tangga ( budak) selalu memohon petunjuk dari allah swt.1
Rabi’ah al adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah manikah, dipandang
mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta ( al-hubb ) khas sufi
ke dalam mistisisme dalam islam. Sebegai seorang wanita zahibah.Dia selalu menampik
setiap lamaran beberapa pria shaleh.
Dalam satu riwayat dikatakan, dia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan.
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan
duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan yang diberikan orang
lain kepadanya. Bahkan di dalam doanya ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
dari tuhan. Ia betul-betul hidup hidup dalam kehidupan zuhd dan hanya ingin berada
dekat pada tahun.
Sebagaimana halnya para zahid sebelum dan semasanya, diapun selelu diliputi tangis
dan rasa pedih.Al- sya’rani, misalnya dalam Al- tabaqat al-kubro menyatakan bahwa “
dia sering menangis dan bersedih hati, jika ia diingatkan tentang neraka, maka beberapa
dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya selalu basah oleh air matanya” dan
diriwayatkan bahwa rabi’ah terus – menerus shalat sepanjang malam setiap hari.
1
Hasan Bakti Nasution dan Sahrini Harap. Ensiklopedia aqidah islam. Jakarta : kencana.2003
Menurut riwayat dari imam al- sya’rani, pada suatu masa adalah seorang yang
menyebut azab siksa neraka, maka beberapa kali dia jatuh pingsan di dalam menyebut
istighfar memohon ampun kepada tuhan. Tiba- tiba setelah beliau bangun dari
pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata” saya mesti meminta ampun lagi
dari pada cara meminta ampun yang pertama.2
Kalau fajar tiba, dia tidur beberapa saat sampai fajar lewat. Diriwayatkan pula bahwa
setiap bangun tidur dia berkata: duh jiwa !berapa lama kamu tertidur dan samapai di
mana kamu tertidur, sehingga hamper saja kau tertidur tanpa bangkit lagi kecuali oleh
terompet hari kebangkitan !” demikian hal ini dilakukan setiap hari hingga ia meninggal
dunia.3
Beliau sezaman dengan sufyan sauri, murid yang terkenal dari hasan basri. Pada suatu
hari didengarnya sufyan mengeluh” wahai sedihnya hatiku “ yaitu kesedihan sufi yang
telah diwariskan oleh gurunya. Mendengar itu berkatalah rabi’ah “ kesedihan kita masih
sedikit sekali “ karena kalau benar-benar kita bersedih, kita tidak ada di dunia ini.
Memasuki umur lebih dari 90 tahun rabi’ah wanita sufi bashrah yang terkenal dengan
ibadahnya, kedekatan, dan kecintaannya kepada tuhan, menurut riwayat beliau wafat
tahun 185 H. orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan didekat kota jerussalem
namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Mayoritas ahli sejarah meyakini
bahwa kota kelahiran adalah tempat beliau dikubur.
2
Hamka.Tasawuf perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: PT pustaka panjimas. 1994
3
Asmaran.pengantar tasawuf edisi revisi.jakarta: PT Raja Grafindo persada 2002
lamaran hasan Al- basry dengan ucapan yang sangat memberi jawaban dengan ucapan
yang sangat bijaksana dan didalamnya termuat maksud-maksud ketidaksiapan dengan
siapapun orangnya.
C. Kezuhudan rabi’ah al-adawiyah
Seorang penulis biografi beliau mengesahkan, ketika rabi’ah menjelang akhir hayatnya,
beliau dikelilingi oleh bebrapa orang lain. Lalu rabi’ah berkata kepada mereka,”
keluarlah kalian dari ruangan ini !berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh allah untuk
melaksanakan tugasnya.” Mendengar ucapan tersebut para alim yang duduk di
sekelilingnya pada keluar di ruangan. Ketika rabi’ah sudah ditinggal sendiri tiba-tiba saja
beliau terdengar dari dalam membaca syahadat kemudian disusul dengan lantunan ayat al
qur’an QS al-fajr (89) 27-30 yang artinya sebagai berikut :
“Hai jiwa-jiwa yang tenang.Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhainya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba- hambaku, dan masuklah ke dalam
surgaku”
Selain itu, tidak terdengar suatu apapun.Suasana kamar terasa hening, sejuk dan
suasana terasa berubah dari yang sebelumnya.Kemudian para alim tersebut masuk
lagi.Ternyata mereka mendapat jasad rabi’ah al adawiyah tak bernyawa lagi.
F. Karya-karya Rabi’ah al-adawiyah
Setelah mengetahui biografi dan karya-karya rabi’ah al-adawiyah maka dapat diketahui
bahwasannya konsep ajaran beliau atau isi pokok ajaran tasawwuf beliau adalah tentang
cinta ( al-habb ) atau mahabbah.
1. Pengertian mahabbah
4
Nasution Harun,filsafat dan mistisisme dalam islam, bulan bintang, Jakarta,1973
5
Ibid
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba –yuhibbu- mahabbatan yang secara harfiah
berarti mencintai secara dalam.Atau kecintaan atau cinta yang mendalam.Dalam mu’jam
al-falsafi.Jamil shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan al – baghd, yakni cinta lawan
dari benci. Al – mahabbah . selain itu al mahabbah dapat bula berarti kecenderungan
kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang
bersifat material naupun spiritual, seperti cinta seseorang yang sedang kasmaran pada
sesuatu yang dicintainya, orang tua kepada anaknya, seseorang pada sahabatnya, atau
seseorang pekerja kepada pekerjaannya.
Kata al-qusyairi , al- mahabbah adalah merupakan hal ( keadaan ) jiwa yang mulia yang
bentuknya, adalah di saksikannya (kemutlakannya) allah swt. Oleh hamba selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihaninya dan seorang
hamba mencintai allah swt. Selanjutnya harun nasution mengatakan bahwa mahabbah
adalah cinta dan cinta dan cinta yang dimaksud adalah kepada tuhan. Lebih lanjut harun
nasution mengatakan pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai
berikut:
A. Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci melawan kepadanya
B. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
C. Mengosongkan hati dan segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu tuhan
Dilihat dari segi tingkatan, mahabbah sebagai dikemukakan al- sarraj, sebagaimana
yang dikutip harun nasution ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah
orang shidiq, mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu
mengingat allah dengan berdzikir, suka menyebut nama allah dan memperoleh
kesenangan dengan tuhan, senantiasa memuji tuhan.
Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal kepada allah swt pada
kebesarannya, pada kekuasaannya, pada ilmu-ilmunya dan lainnya.
Dan mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada tuhan, yang
dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk kedalam diri yang dicintai.Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh
pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh
hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai tuhan sepenuh hati masuk kedalam diri yang
dicintainya.Tujuannya adalah memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
9
Nasution & Siregar,Akhlak Tasawuf. 2013
10
Rosihin Anwar. Akhlak Tasawuf. 2010
batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian, di dunia ini tidak ada lagi cahaya
yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang
makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan
menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas.
Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah swt.
Makrifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan
menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal).
Oleh karena itu Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam,
yang sebelumnya mengalami ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk
berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu menciptakan
sa’adah.
Pandangan Al-Ghazali tentang makrifat
Menurut Al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui
rahasia Allah swt. Dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat
memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan
pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala
yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir,
qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun saat itulah ketiganya akan
menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itulah Allah menurunkan cahaya-Nya kepada
sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah swt di sini sampailah ia ke tingkat
makrifat.
Ringkasannya makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam
ataupun makrifat ulama atau mutakalimin, tetapi makrifat sufi yang di bangun atas dasar dzauq
rohani dan kasyf Ilahi . makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para Khasawh auliya’ tanpa
melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperolah langsung
dari Allah walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi Muhammad
saw mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat sedangkan wali mendapat ilmu melalui
ilham sekalipun demikian keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah swt.
·
Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah, didalam
kitab Kimiya’ As-Sa’adah ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuia dengan watak,
sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang
bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh
anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan sendiri.
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat-makrifat terletak ketika melihat Allah swt.
Hal ini merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya karena makrifat itu agung dan mulia.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati,
sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang
walaupun manusia sudah mati, sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah karena
dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.
Dalam karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali menjelaskan berbagai ajaran tasawuf yang dicoba
dikombinasikan dengan syariah dengan baik berikut adalah metode Tasawuf Akhlaki menurut Imam
Al-Ghazali seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, dan rida.11
1. Tobat
Menurut Al-Ghazali, tobat intinya adalah penyesalan, sesusai dengan sabdah Nabi, “Tobat
adalah penyesalan”. Tetapi menurut Al-Ghazali, hadis tersebut berkaitan dengan pengetahuan
tentang dosa serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk meninggalkan segala dosa
yang telah ia lakukan dimasa lalu dan dimasa yang akan datang. Jadi inti tobat adalah menyesali
perbuatan dosa yang dilakuakn di masa lalu dan akibatnya yaitu terhalangnya ia dari Yang
Dicintai (Tuhan) karena dosa tersebut. Lalu bertekad untuk menghentikan seluruh dosa tersebut
agar terjalin kembali hubungan mesra dengan-Nya. Dengan begitu timbul lagi kesenangan dan
kebahagiaan dengan-Nya. Al-Ghazali menurunkan empat kriteri tobat, yaitu :
a. Meninggalkan dosa dengan sekuat hati dan niat.
b. Meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
c. Perbuatan dosa yang pernah dilakukannya harus setimpal atau seimbang dengan dosa
yang ditinggalkan sekarang.
d. Meninggalkan perbuatan dosa semata-mata untuk mengagungkan Allah bukan karna
yang lain.
2. Sabar
Menurut Al-Ghazali sabar ada dua, sabar yang pertama berkaitan dengan fisik, seperti
ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan
dengan perbuatan, seperti sabar menahan pukulan yang berat, penyakit yang parah atau luka-luka
yang menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji bila sesuai dengan syariah.Sabar yang kedua disebut
dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam
menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau tuntutan hawa nafsu.
3. Kafakiran
Diartikan sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka
dalam arti ini seluruh wujud selain Allah adalah fakir karenamereka membutuhkan bantuan
Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Tetapi yang disebut fakir disini adalah kebutuhan manusia
akan harta. Yang penting di antaranya adalah zuhud. Tapi ada juga yang lebih tinggi dari zuhud,
yaitu keadaan dimana keberadaan dan ketiadaan harta tidak mengubah kebahagiaan seseorang.
Kalau mendapatkan harta, ia tidak menampakkan kebahagian yang berlebihan, demikian juga
kalau ia tidak memilikinya, tidaklah ia sedih dibuatnya.
4. Zuhud
Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena kerabatnya dengan Tuhan. Al-Ghazali
menyebutkan tiga tanda zuhud. (1) tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena
ada yang hilang, ini adalah tanda zuhud dalam harta (2) sama saja baginya orang yang mencela
11
Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. 2010
dan orang yang memujinya, ini adalah tanda zuhud dalam kedudukan (3) hendaknya ia bersama
Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah.
5. Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang yang kemudian disebut wakil dan
mempercayakan kepadanya dalam urusan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan
urusan kepada orang lain (wakil) kecuali ia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya
baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Tentu saja dalam hal ini yang dimaksud
adalah tawakal kepada Allah. Keadaan tawakal ada tigatingkatan : (1) keadaan menyangkut hak
Allah dan keyakinannya kepada jaminan dan perhatian-Nya adalah seperti keyakinannya kepada
wakil (2) yang lebih kuat, yaitu keadaanya bersama Allah adalah seperti keadaan anak kecil
bersama ibunya. Dimana ia tidak mengenal yang lainnya, dan tidak bersandar kecuali kepadanya.
(3) keadaan tawakal yang paling tinggi, yaitu hendaknya ia berada di hadapan Allah dalam
semua gerak dan diamnya, seperti mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya. Ia
punya keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah penggerak semua gerak, kekuatan, kemauan,
pengetahuan dan semua sifat lainnya.
7. Rida
Rida terkait erat dengan cinta. Kalau cinta kepada Allah telah tertanam di hati seseorang, maka
cinta tersebut akan menimbulkan rasa rida atau senang atas semua perbuatan Tuhan, karena dua
alasan : (1) cinta bias menghilangkan sakit atau luka yang menimpa diri seseorang (2) ia
mungkian merasakan kesakitan atas apa yang menimpanya, tetapi ia merasa rida atasnya.
Misalnya, musibah yang diterimanya dari Allah, karena yakin bahwa pahala yang akan
dijanjikan Allah lebih besar, maka ia akan rela bahkan menginginkannya dan mensyukurinya. Ini
kalau ia peduli dengan pahala. Tetapi ketika cinta yang telah mendominasikannya, maka
kehendak sang kekasih dan rida-Nyalah yang lebih ia cari dan ia cintai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh
amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan
dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Al-mahabbah, artinya
cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah
menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-
kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam. Rabi'ah al-Adawiyah terkenal
zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan
pada orang lain.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari
fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta
yang maksimal kepada-Nya. Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-
Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah
sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga
ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-
Qaysi, dan Malik bin Dinar.
Selanjutnya dari pembahasan diatas dapat disimpulkan inti dari pemikiran al-Ghazali yaitu:
Pertama, tentang jenjang (maqamat) menurut al-Ghazalai yang harus dilalui oleh seorang calon
sufi, diantaranya: tobat, sabar, kefakiran, zuhud,tawakal, dan makrifat. Makrifat inilah yang
kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan). Ma’rifah adalah esensi taqarrub
(pendekatan pada Tahun). Kedua, sarana ma’rifat seorang sufi menurut beliau adalah kalbu,
bukannya perasaan dan bukan pula akal budi. Ketiga, tentang manusia al-Ghazali membagi
manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:pertama, kaum awam, yang cara
berfikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan
berfikir secara mendalam.Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). Adapun tentang kebahagiaan, al-
Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah
pengenalan terhadap Allah. Dan keempat, melalui pendekatan sufistik, al-Ghazali berupaya
mengembalikan Islam kepada sumber fundamental dan historis
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Bakti Nasution dan Sahrini Harap. Ensiklopedia aqidah islam. Jakarta : kencana.2003
Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman,
dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.