Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

AKHLAK TASAWUF
“ Robi’ah Al Adawiyah dan Imam Al Ghazali ”
Dosen : Siti Muslifah,S.H.I.M.S.I.

ARDELIA RAMADHANI FITRIYANTI (S20191086)


MUHAMMAD HAQIQI (S20191077)
MOH MAKHZUMI IRVAN EFENDI (S20191081)
RIZAL AZWAN (S20191069)

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2019

KATA PENGANTAR

‫س ِمالل ِهال َّر ْح َمنِال َّر ِح ْی ِم‬


ْ ِ‫ب‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayahnya
sehingga kita dapat menuntaskan pembuatan makalah ini dengan keadaan sehat walafiat
Pada kesempatan kali ini kami juga ucapkan terima kasih banyak kepada dosen pengasuh
akhlak tasawuf ibu Siti Muslifah S.H.I,M.S.I. yang telah membimbing dan memberikan ilmu
pengetahuan kepada kami semua, serta kepada rekan-rekan kelompok lainnya yang telah
berusaha membuat makalah ini semaksimal mungkin dengan harapan semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi mahasiswa lain pada umumnya.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk
menyempurnakan makalah ini kedepannya.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan makalah ini kami berharap semoga makalah ini berguna
bagi pembaca dan menjadikan amal sholeh bagi kami, Amin.

Jember, 1 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
2.1 Rabi’ah Al- Adawiyah.......................................................................................................................5
2.2 Imam Al- Ghazali..............................................................................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................17
PENUTUP.................................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang
dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas
tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang
berdasarkan Islam. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang
mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana,
dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman. Al-Quran
sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah suri teladan yang terbaik bagi orang yang
hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang
paling luhur. Perkembangan pemikiran filsafat ikut memberi andil cukup besar untuk hidupnya
pemikiran tasawuf dalam dunia muslim. Para ulama tasawuf akhirnya dapat menyuguhkan
konsep religio-moral yang disebut maqamat (stasiun-stasiun) yang bersifat psikognostik yang
harus dilewati oleh para sufi (Nasution & Siregar, 2013, hal. 7-8).
Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang
digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli
untuk mendefinisikan tasawuf yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat
dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai
upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan
perhatian hanya kepada Allah swt (Nasution & Siregar,2013, hal. 13).
Pemikiran tokoh sufi dalam kajian tasawuf sangat beragam bentuknya dan masing-masing sufi
memiliki kekhasan yang berbeda-beda walapun muaranya sama yaitu menuju al-Haq (Allah
swt.). Semisal Ibnu Arabi dengan konsep wahdat al-wujud-nya, al-Halaj dengan konsep
hulul,Rabiah al-Adawiyah dengan konsep mahabbah dan masih banyak lagi. Selain yang telah
disebutkan, ada seorang tokoh sufi yang sangat cemerlang pemikirannya dan terkenal yaitu
Imam al-Ghazali yang memiliki julukan Hujjatul Islam.
Pada makalah ini kami akan membahas dua tokoh sufi yang telah disebutkan diatas yaitu
Robi’ah al- Adawiyah dan Imam al-Ghazali.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengenal Robiah al-Adawiyah
2. Robiah al-Adawiyah dan tasawufnya
3. Mengenal Imam al-Ghazali
4. Imam al-Ghazali dan tasawufnya
1.3 Tujuan
1. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
2. Makalah ini dibuat untuk mengenal tokoh tasawuf yaitu Robiah al Adawiyah dan Imam
al Ghazali
BAB II

Pembahasan
2.1 Rabi’ah Al- Adawiyah
A. Sekilas tentang Rabi’ah Al- Adawiyah
Rabi’ah binti Ismail Al- Adawiyah yang nama lengkapnya adalah ummul khair rabi’ah
binti ismail al- adawiyah al qisiyyah adalah satu diantara para sufi bashrah yang paling
terkenal, beliau juga termasuk tokoh sufi pada abad pertama dan kedua.
Sufi ini terkenal dengan maqam mahabbah ( cinta ilahi ). Pemberian nama rabi’ah
dilatarbelakangi oleh sensibilitas keluarganya. Sebagai anak keempat dari empat
bersaudara, di samping tiga orang putri lainnya, dari keluarga miskin di
basharah.Sedemikian miskinnya hingga minyak lampu untuk menerangi saat
kelahirannya pun orangtuanya tidak punya uang.
Menjelang dewasa ujian selalu menerpanya dan semakin hari semakin buruk setelah
ditinggalkan ayah ibunya, kemudian dijual sebagai budak.Tetapi karena kesalehannya dia
dibebaskan. Dari kecil rabi’ah mempunyai hati yang halus, keyakinan yang tinggi serta
keimanan yang mendalam sehingga tidak ada satupun ruangan yang tertingga di hati
maupun pikirannya untuk kepentingan yang lain.
Keadaan keluarganya yang miskin menyebabkan rabi’ah menjadi hamba sahaya dengan
pengalaman penderitaan yang silih berganti.Kemampuannya menggunakan alat music
dan menyanyi selalu dimanfaatkan oleh majikannya untuk mencari harta dunia. Rabi’ah
sadar betul dengan keadaannya yang dieksploitasi oleh majikannya tersebut, sehingga
selain terus menerus mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang pembantu rumah
tangga ( budak) selalu memohon petunjuk dari allah swt.1
Rabi’ah al adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah manikah, dipandang
mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta ( al-hubb ) khas sufi
ke dalam mistisisme dalam islam. Sebegai seorang wanita zahibah.Dia selalu menampik
setiap lamaran beberapa pria shaleh.
Dalam satu riwayat dikatakan, dia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan.
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan
duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan yang diberikan orang
lain kepadanya. Bahkan di dalam doanya ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
dari tuhan. Ia betul-betul hidup hidup dalam kehidupan zuhd dan hanya ingin berada
dekat pada tahun.
Sebagaimana halnya para zahid sebelum dan semasanya, diapun selelu diliputi tangis
dan rasa pedih.Al- sya’rani, misalnya dalam Al- tabaqat al-kubro menyatakan bahwa “
dia sering menangis dan bersedih hati, jika ia diingatkan tentang neraka, maka beberapa
dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya selalu basah oleh air matanya” dan
diriwayatkan bahwa rabi’ah terus – menerus shalat sepanjang malam setiap hari.
1
Hasan Bakti Nasution dan Sahrini Harap. Ensiklopedia aqidah islam. Jakarta : kencana.2003
Menurut riwayat dari imam al- sya’rani, pada suatu masa adalah seorang yang
menyebut azab siksa neraka, maka beberapa kali dia jatuh pingsan di dalam menyebut
istighfar memohon ampun kepada tuhan. Tiba- tiba setelah beliau bangun dari
pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata” saya mesti meminta ampun lagi
dari pada cara meminta ampun yang pertama.2
Kalau fajar tiba, dia tidur beberapa saat sampai fajar lewat. Diriwayatkan pula bahwa
setiap bangun tidur dia berkata: duh jiwa !berapa lama kamu tertidur dan samapai di
mana kamu tertidur, sehingga hamper saja kau tertidur tanpa bangkit lagi kecuali oleh
terompet hari kebangkitan !” demikian hal ini dilakukan setiap hari hingga ia meninggal
dunia.3
Beliau sezaman dengan sufyan sauri, murid yang terkenal dari hasan basri. Pada suatu
hari didengarnya sufyan mengeluh” wahai sedihnya hatiku “ yaitu kesedihan sufi yang
telah diwariskan oleh gurunya. Mendengar itu berkatalah rabi’ah “ kesedihan kita masih
sedikit sekali “ karena kalau benar-benar kita bersedih, kita tidak ada di dunia ini.
Memasuki umur lebih dari 90 tahun rabi’ah wanita sufi bashrah yang terkenal dengan
ibadahnya, kedekatan, dan kecintaannya kepada tuhan, menurut riwayat beliau wafat
tahun 185 H. orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan didekat kota jerussalem
namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Mayoritas ahli sejarah meyakini
bahwa kota kelahiran adalah tempat beliau dikubur.

B. Rabi’ah dan perkawinan

Sejumlah literature bahwasannya rabi’ah al-adawiyah tidak pernah menikah sepanjang


usianya yang lebih kurang 90 tahun. Namun beliau tidak dapat dipungkiri kalau ada di
literature lain yang menyebutkan bahwa beliau pernah dinikahi Abd ibn zayd. Akan
tetapi, menurut hemat penulis rabia’ah yang dimaksud bukanlah rabi’ah al-adawiyah
melainkan rabi’ah al-damsdy karena perempuan tersebut memang termasuk wanita sufi
yang disebutkan oleh sejarawan sederetan dengan rabi’ah Al-Adawiyah, pendapat ini
mendapat justifikasi dari javad nurbaksh.
Ketika beliau ditanya “ kenapa tidak menikah ?” beliau menjawab berkali-kali bahwa “
ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud ( jasad), adakah wujud dalam diriku ?
aku adalah bukan milikku sendiri, melainkan aku adalah miliknya.
Dalam riwayat yang lain beliau menjawab, sesungguhnya dalam hatiku tidak ada lagi
ruang yang ditempati untuk menyimpan rasa cinta kepada selain allah.
Jawaban lain yang ditemukan, ketika beliau dilamar oleh Abd Wahid, rabi’ah tidak
menyambut baik lamaran itu. Bahkan beliau minder membalasnya “ wahai lelaki seksual,
carilah perempuan seksual lain yang sama dengan engkau. Apakah engkau melihat
adanya tanda-tanda seksual pada diriku?Begitupun beliau memberi jawaban terhadap

2
Hamka.Tasawuf perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: PT pustaka panjimas. 1994
3
Asmaran.pengantar tasawuf edisi revisi.jakarta: PT Raja Grafindo persada 2002
lamaran hasan Al- basry dengan ucapan yang sangat memberi jawaban dengan ucapan
yang sangat bijaksana dan didalamnya termuat maksud-maksud ketidaksiapan dengan
siapapun orangnya.
C. Kezuhudan rabi’ah al-adawiyah

Terkait dengan kezuhudan rabi’ah al-adawiyah dikenal sebagai seseorang asketis


( zahidan ) yang menjalani hidupnya dalam keadaan miskin. Beliau sebenarnya berulang
kali ditawari bantuan dan bahkan kemewahan dari berbagai sahabatnya dan orang yang
berhak melamarnya.Namun, mereka semua diabaikan oleh rabi’ah beliau tidak sedikitpun
merasa tergiur dengan kemewahan atau sesuatu yang mengalamatkan kemewahan
duniawi.Ini pertanda sifat dan sikap seorang asketis ada pada kepribadian beliau. Bahkan
prestasi beliau dalam kezahidan (asketisme) cenderung mengungguli para sufi lainnya
Ada beberapa ulama yang mengatakan dan satu diantaranya al- jahiz seorang generasi
tua mengatakan bahwa beliau pernah beberapa kali ditawari untuk diberikan kepadanya
seorang budak yang dapat melayani kebutuhan hidupnya. Namun, beliau menjawab “
sungguh aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi pada pemilik dunia ini “
bagaimana aku harus memintanya kepada selain pemiliknya. Jawaban yang diberikan
mencerminkan karakteristik seorang zahid menanggapi perkara dunia.
D. Masa tua rabi’ah Al-adawiyah
Diantara literature ada yang menyebutkan bahwa rabi’ah al-adawiyah ketika memasuki
usianya yang sudah lanjut usia ( sekitar 80 tahun keatas ), beliau selalu menggigil dan
bergetar tubuhnya pada saat mendengar berita tentang kematian. Kemudian pada
literature lain disebutkan bahwa beliau tidak sadrkan diri pada saat mendengar
gemertaknya api
Namun satu hal yang harus dipahami bahwa perasaan tersebut bukanlah merupakan
suatu bentuk siksaan batin terhadap rabi’ah untuk selalu dekat dengan kehadirat tuhannya
sehingga pada ujung-ujungnya membuahkan kebahagiaan dan ketenangan batin. Hal
yang serupa juga terkadang dialami oleh para sufi selain rabi’ah.

E. Wafatnya rabi’ah al-adawiyah

Seorang penulis biografi beliau mengesahkan, ketika rabi’ah menjelang akhir hayatnya,
beliau dikelilingi oleh bebrapa orang lain. Lalu rabi’ah berkata kepada mereka,”
keluarlah kalian dari ruangan ini !berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh allah untuk
melaksanakan tugasnya.” Mendengar ucapan tersebut para alim yang duduk di
sekelilingnya pada keluar di ruangan. Ketika rabi’ah sudah ditinggal sendiri tiba-tiba saja
beliau terdengar dari dalam membaca syahadat kemudian disusul dengan lantunan ayat al
qur’an QS al-fajr (89) 27-30 yang artinya sebagai berikut :
“Hai jiwa-jiwa yang tenang.Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhainya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba- hambaku, dan masuklah ke dalam
surgaku”
Selain itu, tidak terdengar suatu apapun.Suasana kamar terasa hening, sejuk dan
suasana terasa berubah dari yang sebelumnya.Kemudian para alim tersebut masuk
lagi.Ternyata mereka mendapat jasad rabi’ah al adawiyah tak bernyawa lagi.
F. Karya-karya Rabi’ah al-adawiyah

Karya-karya rabi’ah al-adawiyah merupakan aliran mahabbah atau al-hubb yang


berhubungan dengan cinta. Karena itu dia ingin mengabdi melakukan amal shaleh bukan
karena takut masuk neraka atau mengharap surga, tetapi karena cintanya kepada allah
swt. Karena cintalah yang mendorong ingin selalu dekat dengan allah, dan allah baginya
merupakan dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang ditakuti seperti ungkapan di bawah ini
Beliau berkata” aku mengabdi kepada tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan
pula ingin masuk surga tetapi aku mengabdi karena cinta kepadanya. Tuhanku jika
kupuja engkau karena takut pada nerakamu, bakarlah aku didalamnya, dan jika kupuja
engkau karena mengharap surge, jauhkanlah aku darinya, tetapi jika engkau kupuja
semata-mata karena engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikanmu yang kekal itu
dariku”.4
Beberapa karya yang diciptakanoleh rabi’ah al-adawiyah baik berupa larik sya’ir
ataupun ucapannya yang berhubungan dengan rasa cintanya kepada allah sangat
menunjukkan dan membuktikan bahwa cintanya hanya untuk allah swt. Selain itu, ia juga
betul-betul hidup dalam zuhd, diantara ucapannya yang terkenal tentang zuhd adalah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-hujwuri dalam kitabnya kasyf- al-mahjub:
“ suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada rabi’ah “
mintalah kepada aku segala kebutuhanmu ! “ rabi’ah menjawab “ rabi’ah menjawab aku
ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku
meminta hal itu kepada orang yang bukan miliknya.5 Selain ucapannya di atas, dia juga
pernah berucap cinta kepada allah, baginya allah merupakan zat yang dicintai, bukan
sesuatu yang harus dicintai.
G. Konsep ajaran tasawwuf Rabi’ah Al-Adawiyah

Setelah mengetahui biografi dan karya-karya rabi’ah al-adawiyah maka dapat diketahui
bahwasannya konsep ajaran beliau atau isi pokok ajaran tasawwuf beliau adalah tentang
cinta ( al-habb ) atau mahabbah.
1. Pengertian mahabbah

4
Nasution Harun,filsafat dan mistisisme dalam islam, bulan bintang, Jakarta,1973
5
Ibid
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba –yuhibbu- mahabbatan yang secara harfiah
berarti mencintai secara dalam.Atau kecintaan atau cinta yang mendalam.Dalam mu’jam
al-falsafi.Jamil shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan al – baghd, yakni cinta lawan
dari benci. Al – mahabbah . selain itu al mahabbah dapat bula berarti kecenderungan
kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang
bersifat material naupun spiritual, seperti cinta seseorang yang sedang kasmaran pada
sesuatu yang dicintainya, orang tua kepada anaknya, seseorang pada sahabatnya, atau
seseorang pekerja kepada pekerjaannya.
Kata al-qusyairi , al- mahabbah adalah merupakan hal ( keadaan ) jiwa yang mulia yang
bentuknya, adalah di saksikannya (kemutlakannya) allah swt. Oleh hamba selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihaninya dan seorang
hamba mencintai allah swt. Selanjutnya harun nasution mengatakan bahwa mahabbah
adalah cinta dan cinta dan cinta yang dimaksud adalah kepada tuhan. Lebih lanjut harun
nasution mengatakan pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai
berikut:
A. Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci melawan kepadanya
B. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
C. Mengosongkan hati dan segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu tuhan

Dilihat dari segi tingkatan, mahabbah sebagai dikemukakan al- sarraj, sebagaimana
yang dikutip harun nasution ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah
orang shidiq, mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu
mengingat allah dengan berdzikir, suka menyebut nama allah dan memperoleh
kesenangan dengan tuhan, senantiasa memuji tuhan.
Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal kepada allah swt pada
kebesarannya, pada kekuasaannya, pada ilmu-ilmunya dan lainnya.
Dan mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada tuhan, yang
dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk kedalam diri yang dicintai.Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh
pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh
hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai tuhan sepenuh hati masuk kedalam diri yang
dicintainya.Tujuannya adalah memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.

2.2 Imam Al- Ghazali


A. Biografi Imam al-Ghazali
Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima Hijriyah
(450 H/1058 M). Ia adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar Hujjatul
Islam (bukti kebenaran agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-Ghazali meninggal
di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Al-
Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan
akhirnya di Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H/1085
M.6
Di masa kanak-kanak Imam al-Ghazali belajar kepada Ahwad bin Muhammad ar-Radzikani di
Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus
lagi. Pengetahuan-pengetahuan yang ada di Thus, agaknya tidak cukup memadai untuk
membekali al-Ghazali. Untuk itu, ia kemudian pergi ke Naisabur, salah satu dari sekian kota
ilmu pengetahuan yang terkenal pada zamannya. Di sini, ia belajar ilmu-ilmu yang populer pada
saat itu, seperti belajar tentang mazhab-mazhab fikih, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika, dan
ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang ahli
teologi Asy’ariah yang paling terkenal pada masa itu dan profesor terpandang di Perguruan
Nizamiyah di Naisabur (Supriyadi, 2009, hal. 145). Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua
ilmu tersebut dapat dikuasai dalam waktu yang singkat. Bahkan, al-Ghazali sempat menampilkan
karya perdananya dalam bidang ilmu fikih, yaitu Mankhul fi ‘Ilmi al-Ushul. Dengan demikian,
semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur. Boleh dikatakan, saat itu al-
Ghazali telah tampak sebagai figur intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Di sekolah Nizamiyah ini pula ia diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun.
Kemudian setelah gurunya, al-Juwaini, wafat 478 H al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan
berhubungan baik dengan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian
mengangkatnya menjadi guru besar di Perguruan Nizamiyah Bagdad. Pengangkatannya ini juga
didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.7
Di Kota Bagdad ini, nama al-Ghazali semakin populer, halaqah (kelompok) pengajiannya
semakin luas. Di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah
Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat
sikap kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang Barat dikenal dengan skepticism, yaitu krisis
yang menyangsikan terhadap semua ma’rifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional.
Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya
mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan
guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi
diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu
pada tahun 490 H/1098M, ia menuju Palestina berdoa di samping Kubur Nabi Ibrahim a.s.
kemudian, ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke
makam Rasulullah Muhammad saw. akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan
tasawuf.8
Selesai ibadah haji, tahun 489 H, dia pergi ke Syam serta tinggal di Damaskus, mengajar di
ruangan sebelah barat masjid kota itu. Dari situ lalu dia pergi ke Baitul Maqdis untuk beribadah.
Diriwayatkan bahwa dari sana dia terus pergi ke Mesir dan untuk beberapa lama tinggal di
Iskandariah dan kemudian dia kembali ke Thus untuk menulis karya-karyanya. Menurut Ibnu
Khallikan, “Dia diminta untuk kembali ke Naisabur dan mengajar kembali di Perguruan
Nizamiyah. Setelah berkali-kali diminta, dia lalu meluluskan permintaan itu. Namun dia kembali
meninggalkan perguruan tersebut dan kembali ke rumahnya di Thus, mendirikan khanaqah bagi
6
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam. 2009, hal.143-144
7
Zar,Filsafat Islam. 2014, hal. 160-161
8
Zar,Filsafat Islam. 2014, hal. 160-161
para sufi serta madrasah bagi para penuntut ilmunya, serta menghabiskan waktunya untuk
berbuat kebajikan, seperti mengkhatamkan al-Quran, bertemu dengan para sufi dan mengajar,
sampai dia menghadap Tuhannya.”
Imam al-Ghazali memiliki daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelari Hujjatul Islam
karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan
Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup
meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan
kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan,
beliau telah mempelajari karya sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Ia
terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil
karyanya yang sangat bermutu tinggi.9
B. Karya-karya Imam al-Ghazali
a. Ihya Ulum ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama).
b. Tahafut Al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
c. Al-Iqtishad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam).
d. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
e. Jawahir al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Quran).
f. Mizan al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan).
g. Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan)
h. Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq).
i. Al-Qisthas al-Mustaqim(jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).
C. Pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali
Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya memilih jalan
tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi,
menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah
moralitas.
Al- Ghazali memilih tasawuf sunni (tasawuf akhlaki) yang berdasarkan Al-Quran dan As-
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia menjauhkan semua kecendrungan gnostis yang memengaruhi
para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, ikhwan Ash-Shafa. Ia menjauhkan tasawufnya
dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan
bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral
yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’
Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin,
Ayuhal Walad.10
Menurut Al- Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-
hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari
segala sesuatu yang selain Allah SWT. Dan berhias dengan selalu mengingat jalan kepada Allah
SWT, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar,
dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun

9
Nasution & Siregar,Akhlak Tasawuf. 2013
10
Rosihin Anwar. Akhlak Tasawuf. 2010
batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian, di dunia ini tidak ada lagi cahaya
yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang
makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan
menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas.
Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah swt.
Makrifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan
menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal).
Oleh karena itu Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam,
yang sebelumnya mengalami ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk
berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu menciptakan 
sa’adah.
Pandangan Al-Ghazali tentang makrifat
Menurut Al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui
rahasia Allah swt. Dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat
memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan
pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala
yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir,
qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun saat itulah ketiganya akan
menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itulah Allah menurunkan cahaya-Nya kepada
sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah swt di sini sampailah ia ke tingkat
makrifat.
Ringkasannya makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam
ataupun makrifat ulama atau mutakalimin, tetapi makrifat sufi yang di bangun atas dasar dzauq
rohani dan kasyf Ilahi . makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para Khasawh auliya’ tanpa
melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperolah langsung
dari Allah walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi Muhammad
saw mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat sedangkan wali mendapat ilmu melalui
ilham sekalipun demikian keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah swt.
·         
Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah, didalam
kitab Kimiya’ As-Sa’adah ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuia dengan watak,
sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang
bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh
anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan sendiri.
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat-makrifat terletak ketika melihat Allah swt.
Hal ini merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya karena makrifat itu agung dan mulia.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati,
sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang
walaupun manusia sudah mati, sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah karena
dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.
Dalam karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali menjelaskan berbagai ajaran tasawuf yang dicoba
dikombinasikan dengan syariah dengan baik berikut adalah metode Tasawuf Akhlaki menurut Imam
Al-Ghazali seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, dan rida.11
1.      Tobat
Menurut Al-Ghazali, tobat intinya adalah penyesalan, sesusai dengan sabdah Nabi, “Tobat
adalah penyesalan”. Tetapi menurut Al-Ghazali, hadis tersebut berkaitan dengan pengetahuan
tentang dosa serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk meninggalkan segala dosa
yang telah ia lakukan dimasa lalu dan dimasa yang akan datang. Jadi inti tobat adalah menyesali
perbuatan dosa yang dilakuakn di masa lalu dan akibatnya yaitu terhalangnya ia dari Yang
Dicintai (Tuhan) karena dosa tersebut. Lalu bertekad untuk menghentikan seluruh dosa tersebut
agar terjalin kembali hubungan mesra dengan-Nya. Dengan begitu timbul lagi kesenangan dan
kebahagiaan dengan-Nya. Al-Ghazali menurunkan empat kriteri tobat, yaitu :
a. Meninggalkan dosa dengan sekuat hati dan niat.
b. Meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
c. Perbuatan dosa yang pernah dilakukannya harus setimpal atau seimbang dengan dosa
yang ditinggalkan sekarang.
d. Meninggalkan perbuatan dosa semata-mata untuk mengagungkan Allah bukan karna
yang lain.

2.      Sabar
Menurut Al-Ghazali sabar ada dua, sabar yang pertama berkaitan dengan fisik, seperti
ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan
dengan perbuatan, seperti sabar menahan pukulan yang berat, penyakit yang parah atau luka-luka
yang menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji bila sesuai dengan syariah.Sabar yang kedua disebut
dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam
menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau tuntutan hawa nafsu.

3.      Kafakiran
Diartikan sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka
dalam arti ini seluruh wujud selain Allah adalah fakir karenamereka membutuhkan bantuan
Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Tetapi yang disebut fakir disini adalah kebutuhan manusia
akan harta. Yang penting di antaranya adalah zuhud. Tapi ada juga yang lebih tinggi dari zuhud,
yaitu keadaan dimana keberadaan dan ketiadaan harta tidak mengubah kebahagiaan seseorang.
Kalau mendapatkan harta, ia tidak menampakkan kebahagian yang berlebihan, demikian juga
kalau ia tidak memilikinya, tidaklah ia sedih dibuatnya.

4.      Zuhud
Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena kerabatnya dengan Tuhan. Al-Ghazali
menyebutkan tiga tanda zuhud. (1) tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena
ada yang hilang, ini adalah tanda zuhud dalam harta (2) sama saja baginya orang yang mencela

11
Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. 2010
dan orang yang memujinya, ini adalah tanda zuhud dalam kedudukan (3) hendaknya ia bersama
Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah.

5.      Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang yang kemudian disebut wakil dan
mempercayakan kepadanya dalam urusan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan
urusan kepada orang lain (wakil) kecuali ia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya
baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Tentu saja dalam hal ini yang dimaksud
adalah tawakal kepada Allah. Keadaan tawakal ada tigatingkatan : (1) keadaan menyangkut hak
Allah dan keyakinannya kepada jaminan dan perhatian-Nya adalah seperti keyakinannya kepada
wakil (2) yang lebih kuat, yaitu keadaanya bersama Allah adalah seperti keadaan anak kecil
bersama ibunya. Dimana ia tidak mengenal yang lainnya, dan tidak bersandar kecuali kepadanya.
(3) keadaan tawakal yang paling tinggi, yaitu hendaknya ia berada di hadapan Allah dalam
semua gerak dan diamnya, seperti mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya. Ia
punya keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah penggerak semua gerak, kekuatan, kemauan,
pengetahuan dan semua sifat lainnya.

6.      Cinta ilahi (al-mahabbah)


Menurut Al-Ghazali orang yang mencintai sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah,
maka orang itu melakukannya karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah. Adapun
cinta kepada selain Allah tapi masih terkait dengan Allah, maka hal tersebut masih dipandang
baik. Misalnya cinta kepada Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah kecintaan
kepada Allah. Pokoknya cinta kepada siapa pun yang Allah cintai adalah baik, karena pencinta
kekasih Allah adalah pencinta Allah.
Alasan bahwa Allah adalah yang paling berhak mendapat cinta kita ada lima. (1) cinta manusia
kepada dirinya menuntut adanya cinta kepada Allah, karena wujud dan kesempurnaanya berasal
dari Allah (2) cinta kita kepada manusia yang berbuat baik, tidak bias dipisahkan dari kecintaan
kita kepada siapapun yang telah berbuat baik. Tetapi Allah adalah pemberi terbaik, dan karena
itu paling patut mendapat cinta kita (3) apabila kita mencintai orang-orang besar dimasa lalu,
maka ketahuilah bahwa sumber kebaikan mereka tidak lain daripada Allah (4) manusia
mencintai keindahan, tapi ketahuilah bahwa segala keindahan yang ada berasa dari-Nya
(5)manusia mencintai karena kedektannya, kedekatan manusia dengan Allah adalah karena
upaya ia meneladani sifat-sifat tertentu Allah. Maka yang diteladani itu paling berhak kita cintai.

7.      Rida
Rida terkait erat dengan cinta. Kalau cinta kepada Allah telah tertanam di hati seseorang, maka
cinta tersebut akan menimbulkan rasa rida atau senang atas semua perbuatan Tuhan, karena dua
alasan : (1) cinta bias menghilangkan sakit atau luka yang menimpa diri seseorang (2) ia
mungkian merasakan kesakitan atas apa yang menimpanya, tetapi ia merasa rida atasnya.
Misalnya, musibah yang diterimanya dari Allah, karena yakin bahwa pahala yang akan
dijanjikan Allah lebih besar, maka ia akan rela bahkan menginginkannya dan mensyukurinya. Ini
kalau ia peduli dengan pahala. Tetapi ketika cinta yang telah mendominasikannya, maka
kehendak sang kekasih dan rida-Nyalah yang lebih ia cari dan ia cintai.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh
amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan
dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Al-mahabbah, artinya
cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah
menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-
kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam. Rabi'ah al-Adawiyah terkenal
zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan
pada orang lain.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari
fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta
yang maksimal kepada-Nya. Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-
Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah
sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga
ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-
Qaysi, dan Malik bin Dinar.
Selanjutnya dari pembahasan diatas dapat disimpulkan inti dari pemikiran al-Ghazali yaitu:
Pertama, tentang jenjang (maqamat) menurut al-Ghazalai yang harus dilalui oleh seorang calon
sufi, diantaranya: tobat, sabar, kefakiran, zuhud,tawakal, dan makrifat. Makrifat inilah yang
kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan). Ma’rifah adalah esensi taqarrub
(pendekatan pada Tahun). Kedua, sarana ma’rifat seorang sufi menurut beliau adalah kalbu,
bukannya perasaan dan bukan pula akal budi. Ketiga, tentang manusia al-Ghazali membagi
manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:pertama, kaum awam, yang cara
berfikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan
berfikir secara mendalam.Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). Adapun tentang kebahagiaan, al-
Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah
pengenalan terhadap Allah. Dan keempat, melalui pendekatan sufistik, al-Ghazali berupaya
mengembalikan Islam kepada sumber fundamental dan historis
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Bakti Nasution dan Sahrini Harap. Ensiklopedia aqidah islam. Jakarta : kencana.2003

Hamka.Tasawuf perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: PT pustaka panjimas. 1994

Asmaran.pengantar tasawuf edisi revisi.jakarta: PT Raja Grafindo persada 2002

Nasution Harun,filsafat dan mistisisme dalam islam, bulan bintang, Jakarta,1973

Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman,
dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,  (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006)

Anda mungkin juga menyukai