Anda di halaman 1dari 10

IBADAH : DEFINISI, DASAR HUKUM, SYARAT RUKUN, TUJUAN,

KEDUDUKAN, PRAKTEK, FUNGSI DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU,


BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA

Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Rohmatul Faizah, Spd.I, M.Pd.I.

OLEH :

1. Ferina Octaviana Sari Oding (22013010299)


2. Isti Choiril Mala (22013010300)
3. Ftri Anggraini Mir’atus Sholikah (22013010301)
4. Wika Kwana Suci (22013010302)

KELAS G725
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JATIM
TAHUN 2022
PEMBAHASAN
A. Definisi
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu ‘abada – ya’budu –
‘ibadatan yang artinya melayani, patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis
adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT,
baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.1
Sedangkan dalam arti terminologinya adalah usaha mengikuti hukum-
hukum dan aturan-aturan Allah dalam menjalankan kehidupan yang sesuai dengan
perintah-perintah-Nya, mulai akil baligh sampai meninggal dunia. Indikasi ibadah
adalah kesetiaan, kepatuhan dan penghormatan serta penghargaan kepada Allah
SWT dan dilakukan tanpa adanya batasan waktu.2

B. Dasar Hukum
Dasar hukum atau dalil perintah pelaksanaan ibadah adalah nash Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang
menyatakan perintah kepada hamba Allah untuk melaksanakan ibadah. Adapun
ayat untuk melaksanakan ibadah :

َ ‫الَم اَع َهد اِلَيكُم ٰيبَ ِنى ٰا َد َم اَن َّل تَعبُدُوا الشَي ٰط َنۚ اِنَه لَـكُم‬
‫عدُو ُّم ِبين‬
Artinya : “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam
agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi
kamu” (Yaasiin:60).3

C. Rukun & Syarat

1
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti, 2003),
Hlm.80
2
Muhaimin, Tadjad, ABD. Mudjid. Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya,
Karya Abditama, 1994), hal.256

3
Al-Qur’an Nul Kharim Yasiin Ayat 60

1
Rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada tiga,
yaitu :
• Al-Hubb (cinta)
Ibadah dari asal maknanya bisa berarti menghinakan diri. Dan ia selain
mengandung makna penghinaan diri dihadapan Allah SWT juga mengandung al-
Hubb (cinta) yang tinggi kepada-Nya. Dengan kecintaan yang tinggi disertai
penghinaan yang sempurna kepada Allah SWT, seorang hamba akan sampai pada
penghambaan diri kepada-Nya, sebab puncak dari al-Hubb adalah at-Tatayyum
(penghambaan). Sehingga tidak akan terbangun penghambaan diri kepada Allah
SWT kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta dan
penghinaan diri.4
• Al-Khouf (takut)
Ia merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang agung yang mana
keikhlasan seseorang dalam beragama bagi Allah SWT sebagaimana yang Allah
azza wajalla perintahkan kepada hamba-Nya, tidak akan lurus kecuali dengannya.
Khouf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa
hukuman dan adzab Allah SWT yang menimbulkan sikap penghambaaan dan
ketundukan seorang hamba kepada-Nya.5
• Ar-Roja’ (berharap)
Ia juga termasuk peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung.
Ialah harapan yang kuat atas rohmat dan balasan berupa pahala dari Allah SWT
yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya.

Syaikh Dr. Sholih al-Fauzan alaihimus salam mengatakan :


“Sesungguhnya ibadah itu tegak di atas tiga rukun; yaitu cinta, takut serta
harapan. Kecintaan harus ada bersama penghinaan diri dan ketundukan,

4
Ibnu Taimiyyah, Al-Ubudiyah: Hakikat Penghambaan Diri, Jakarta: Griya Ilmu,
2002.

5
Sumber: https://www.binbaz.org.sa/noor/11704

2
sedangkan takut harus ada bersama harapan. Dan dalam sebuah ibadah harus
terdapat tiga perkara tersebut (sekaligus).6

Syarat diterimanya ibadah ada dua :

• Ikhlas untuk Allah SWT


Ikhlas maknanya ialah seseorang dalam beribadah hanya bermaksud
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ini mengharuskan bersihnya peribadahan
dari kesyirikan, yaitu tidak sedikitpun diperuntukkan kepada selain Allah SWT
atau mengharap selain wajah-Nya misalnya berupa riya’ (ingin dilihat), sum’ah
(ingin di dengar-dengarkan) atau mengharapkan pujian dari manusia.7
• Ittiba’ kepada Rasulullah SAW
Artinya ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan apa yang diteladankan
oleh Rasulullah SAW.

Tentang dua syarat diterimanya ibadah ini Allah SWT berfirman :

َ ‫قُل ِإنَ َما أَنَا بَشَر ِمثلُكُم يُو َح ٰى ِإلَ َى أَنَ َما ِإ ٰلَ ُه ُكم ِإ ٰلَه ٰ َو ِحد ۖ فَ َمن كَانَ يَر ُجوا ِلقَا َء َر ِب ِۦه فَليَع َمل‬
َ ٰ ‫ع َم ًل‬
‫ص ِل ًحا‬
‫َو َّل يُش ِرك ِب ِع َبا َد ِة َر ِب ِهۦ أَ َح ًۢ ًدا‬

“ Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia


mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukaan seorang pun
dalam beribadah kepada Robbnya.” (Q.S. Al-Kahfi : 110). 8

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan : “Inilah


dua rukun amalan yang diterima, ia harus ikhlas hanya untuk Allah SWT dan
tepat diatas syariat Rasulullah SAW. Dan telah diriwayatkan seperti perkataan ini
dari al-Qodhi Iyadh rahimahullahuta’ala dan yang lainnya.

Sehingga amalan ibadah apapun yang tidak dibangun diatas kedua syarat
tersebut sekaligus, tidak akan diterima oleh Allah SWT meski siapa pun dan

6
Yusuf Al-Qardawy, penganter kajian Islam, (Jakarta, pustaka Al-Kautsar,1997)
hal 100

7
Ibid, hal 101
8
Al-Qur’an Nul Kharim Al-Kahfi : 110

3
bagaimana pun serta sebanyak apa pun seseorang telah susah payah
melakukannya.

Fudhoil bin Iyadh meengatakan : “Sesungguhnya sebuah amalan itu bila


dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak tepat maka tidak akan diterima. Begitu pula
bila ia dilakukan dengan tepat tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak
akan diterima juga, sehingga amalan (yang akan diterima) itu harus ikhlas dan
tepat, ikhlas ialah hanya bagi Allah sedangkan tepat ialah sesuai dengan sunnah
(Rasulullah SAW).” 9

D. Tujuan
Tujuan utama dari ibadah ialah “takwa”
Firman Allah SWT :
‫ِى خلقك ۡم والَّذ ِۡين ِم ۡن ق ۡب ِلك ۡم لعلَّك ۡم تتَّق ۡون‬
ۡ ‫اعبد ۡوا ربَّكم الَّذ‬
ۡ ‫يايُّها النَّاس‬
“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Q.S. Al Baqarah : 21)
Manusia diberi sarana oleh Allah SWT, diberi bumi untuk tinggal dan beribadah
kepada-Nya. Allah memberikan kewajiban-kewajiban kepada manusia agar
manusia beribadah kepada-Nya, dengan tujuan agar manusia dapat terhindar dari
sesuatu yang buruk yang dapat merugikannya di dunia dan di akhirat.10
Ibadah atau menghambakan diri kepada Allah SWT, secara logis memang sudah
tugas manusia sebagai ciptaannya, karena dia adalah sebagai kholiq (yang
menciptakan).

Tujuan ibadah dalam islam juga semata-mata untuk mendekatkan diri dan
mencari ridho Allah SWT. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an :

َ‫ب ال ٰعلَ ِمين‬


ِ ‫لِل َر‬
ِ ٰ ِ ‫اى َو َم َماتِى‬ ُ ُ‫قُل اِنَ ص ََلتِى َون‬
َ َ‫س ِكى َو َمحي‬
“ Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (Q.S. Al-An’am:162)
َ‫َّل ش َِريكَ لَه َو ِب ٰذ ِلكَ ا ُ ِمرتُ َواَنَا ا َ َو ُل ال ُمس ِل ِمين‬

9
Kitabut Tauhid, hal.56
10
M. Mutawalli Asy Sya’rawi. Anda bertanya Islam menjawab. (Jakarta, Gema
Insani Press,1999) hal.23.

4
“ Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim).” (Q.S. Al-An’am:163)
Ibadah adalah ghayah (tujuan) dijadikannya jin dan manusia, oleh karena
itu kita harus sabar dan harus tahu betul fungsi dan tujuan kita hidup di dunia,
agar ketika kita melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan oleh sang pencipta
kepada kita, timbul rasa ikhlas dan ridho dalam mengerjakannya. Seperti yang di
jelaskan dalam firman Allah SWT :
‫س ا َِّل ِليَعبُدُو ِن‬ ِ ‫و َما َخلَقتُ ال ِجنَ َو‬
َ ‫اّلن‬
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku “ (Q.S. Al-Zhariyat:56)
Pada ayat ini telah ditegaskan bahwa seluruh hidup kita hanya untuk
menghambakan diri kepada Allah SWT. Bahkan seluruh alam yang ada di jagat
raya ini mulai dari langit yang bertingkat tujuh dan bumi seisinya, semuanya
sujud kepada Allah SWT, tunduk dan patuh pada kehendak-Nya. 11

E. Kedudukan
Secara umum pengertian ibadah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
ibadah dalam pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah
dalam pengertian umum ialah segala aktivitas jiwa dan raga manusia (makhluk,
yang diciptakan) yang ditujukan kepada Allah (al-khaliq, sang maha pencipta),
sebagai tanda ketundukan dan kepatuhan hamba tersebut kepada-Nya. Sedangkan
ibadah dalam arti khusus ialah semua kegiatan ibadah yang ketentuannya telah
digariskan oleh nash- nash Al-Qur’an dan hadits yang ketentuan -ketentuan itu
tidak boleh ditambah atau dikurangi atau diubah.
Kedudukan ibadah dalam islam menempati posisi yang paling tinggi dan
penting serta menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas muslim. Namun tujuan
islam mendirikan ibadah bukanlah untuk ibadah saja. Ibadah dalam islam adalah
semua perbuatan manusia yang diarahkan kepada Allah baik berupa ibadah ritual
maupun ibadah sosial.12

11
Hamka, Studi Islam, pustaka panjimas, hal. 167.
12
Khairunnas Rajab, Op Cit, Hal 77

5
F. Praktek
Secara umum praktik ibadah dapat dilakukan dalam dua bentuk praktik
yang pertama yaitu bentuk praktik ibadah yang dilakukan oleh diri sendiri yang
langsung berhubungan dengan Allah SWT, misalnya seperti sholat, puasa, haji,
umroh. Sedangkan bentuk praktik ibadah yang kedua adalah praktik yang
dilakukan dari diri sendiri untuk masyarakat dan Allah SWT. Contohnya adalah
zakat, sedekah, tolong menolong, menjaga kebersihan lingkungan, saling
menghargai dan menghormati sesama anggota masyarakat. 13

G. Fungsi Dalam Kehidupan Individu, Bermasyarakat dan Bernegara


1. Dalam kehidupan individu
Ibadah juga mengajarkan manusia untuk mengihsankan amal
(pekerjaan) duniawinya, meningkatkan kualitas dan menekuninya, selama
ia mempersembahkan amal ibadah itu hanya kepada Allah, demi
mengharapkan ridho dan kebaikan Allah SWT. 14
2. Bermasyarat
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang
terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Ibadah dalam bermasyarakat
mempunyai fungsi yang cukup besar baik itu ibadah mahdloh atau ibadah
ghairu mahdloh. Islam dalam aktivitas ibadahnya juga sering mengadakan
pertemuan-pertemuan yang besar dengan mengadakan usaha-usaha sosial,
disyariatkannya hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha.
Oleh sebab itu, dituntut bagi seluruh warga masyarakat agar keluar
dan pergi untuk melaksanakan sholat ied berjamaah. Dengan

13
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Op Cit, hal 158

14
Agus, Bustanul. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

6
berkumpulnya mereka dalam satu tempat dan satu tujuan maka terjadilah
15
persamaan daan kedamaian dalam lingkungan masyarakat.

3. Bernegara
Negara terbentuk dari berbagai kelompok masyarakat yang
mendeklarasikan kemerdekaan yang kemudian diakui secara dejure dan
defacto. Etika bernegara dalam Islam jelas menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan mengutamakan prinsip musyawarah, sebagaimana
firman Allah Swt: “Bermusyawarahlah untuk berbagai urusan.” (QS. Ali
Imran: 159). Konsensus dari sebuah musyawarah, dilindungi dan
ditegakkan oleh Islam. Untuk mencapai sebuah konsensus, Islam tidak
kaku dalam mengatur pola dan sistem. Oleh karena itu, maka Islam tidak
mengharuskan bentuk tertentu untuk sebuah negara, seperti: monarki,
presidentil, parlementer, dan lain-lain. Inti bernegara dalam Islam adalah
kemampuan dalam mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. 16

15
Muhammad, Husein. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan.
Bandung: Al-Mizan, 2011.
16
Vaezi, Ahmed. 2001. Agama Politik: Nalar Politik Islam. Jakarta: Citra.
Winarno dkk. 1982.

7
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanul. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi


Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti, 2003), Hlm.80
Muhaimin, Tadjad, ABD. Mudjid. Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya,
Karya
Abditama, 1994), hal.256
Al-Qur’an Nul Kharim Yasiin Ayat 60
Al-Qur’an Nul Kharim Al-Kahfi : 110
https://alghoyami.wordpress.com/2011/04/16/memahami-ibadah-rukun-rukun-
dan-syarat-syaratnya/
https://www.binbaz.org.sa/noor/11704
Hamka, Studi Islam, pustaka panjimas, hal. 167.
Ibid, hal 101
Ibnu Taimiyyah, Al-Ubudiyah: Hakikat Penghambaan Diri, Jakarta: Griya Ilmu,
2002.
Khairunnas Rajab, Op Cit, Hal 77
Kitabut Tauhid, hal.56
M. Mutawalli Asy Sya’rawi. Anda bertanya Islam menjawab. (Jakarta, Gema
Insani Press,1999) hal.23.
Muhammad, Husein. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan.
Bandung: Al-Mizan, 2011.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Op Cit, hal 158
Vaezi, Ahmed. 2001. Agama Politik: Nalar Politik Islam. Jakarta: Citra. Winarno
dkk. 1982.
Yusuf Al-Qardawy, penganter kajian Islam, (Jakarta, pustaka Al-Kautsar,1997)
hal 100

8
9

Anda mungkin juga menyukai