PENDAHULUAN
1. Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘ibadah, yang artinya menyembah atau
menghamba. Kata ibadah adalah bentuk dasar (isim masdar) dari kata ‘abada – ya’budu [َ َعبَد
– ُ]يَ ْعبُد, yang secara bahasa artinya merendahkan diri dan ketundukan (al-khudhu’ wa
tadzallul).
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)
Kecintaan disertai ketundukan, itulah ibadah, yang menjadi tujuan Allah menciptakan
makhluk. Karena hakekat ibadah adalah puncak kecintaan disertai mendahkan diri. Dan itu
semua tidak layak diberikan kecuali untuk Allah Subhanahu wa ta’ala.” (Ibnul Qayyim : al-
Fawaid, Hlm. 183)
Karena itu, hakekat dari ibadah kepada Allah adalah merendahkan diri kepada Allah
disertai rasa cinta kepadanya. Dan kita disebut merendahkan diri kepada Allah, ketika kita
mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah.
Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan
diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan, atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin.
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Risalah al-Ubudiyah, hlm. 2).
Berdasarkan pengertian ini, bentuk ibadah hanya ada 2 :
[1] Melaksanakan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
[2] Meninggalkan larangan, baik yang sifatnya haram atau makruh.
Jika seseorang melakukan ini dalam rangka untuk mendapatkan ridha dari Allah,
maka dia sedang beribadah.
Dan manusia hanya bisa mengetahui apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang
dibenci Allah, ketika ada penjelasan dari Allah. Karena itulah, setiap bentuk ibadah harus
berdasarkan panduan wahyu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).”
(QS. Al-A’raf : 3).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang ditujukan kepada orang yang
berilmu,”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Artinya, ikutilah jejak nabi
yang ummi yang telah membawakan kepada kalian sebuah kitab yang diturunkan kepada
kalian dari Rabb pemelihara dan pemilik segala sesuatu. “dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” Maksudnya, janganlah kalian keluar menyimpang dari apa
yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian. Sehingga
dengan demikian kalian telah menyeleweng dari hukum Allah menuju hukum selain hukum-
Nya. (Ibnu Katsir : Tafsir Ibnu Katsir Juz 8, hlm. 347)
Sehingga ibadah tidak bisa dilakukan dengan cara berinovasi atau ngarang sendiri,
dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya. Padahal Allah
subhanahu wa ta’ala tidak pernah menurunkan dalil tentangnya.
2. Tujuan Ibadah
Allah subhanahu wa ta’ala pemilik hikmah yang tinggi. Apapun yang dipertintahkan
oleh-Nya kepada manusia, tidak kosong dari nilai-nilai yang agung, tujuan-tujuan yang baik,
serta manfaat dan maslahat yang besar.
Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan para hamba dengan hal-hal yang
akan memberi manfaat kepada mereka dan melarang mereka dari hal-hal yang akan
membahayakan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Qatadah rahimahullah, “Sesungguhnya
Allah tidak memerintahkan para hamba untuk melakukan sesuatu karena butuh kepada hal
yang diperintahkannya itu. Begitu pun Allah tidak melarang mereka melakukan sesuatu
karena pelit kepada mereka. Namun Allah memerintah mereka kepada hal-hal yang memberi
maslahat kepada mereka, serta melarang mereka kepada hal-hal yang akan mendatangkan
kerusakan kepada mereka. Oleh karena itu, Al Qur’an dalam banyak kesempatan
memerintahkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan melarang untuk berbuat kerusakan.
Maslahat dan taat adalah dua hal yang beriringan, begitu pun maksiat dan kerusakan
juga dua hal yang beriringan, seperti beriringannya yang baik dengan yang halal. Setiap yang
baik itu halal dan setiap yang halal itu baik. Setiap yang buruk itu haram dan setiap yang
haram itu buruk. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Jami al Masa’il hlm. 45-46).
Sebagaimana manusia diciptakan dengan hikmah (tujuan), yaitu untuk beribadah,
manusia pun diperintah untuk beribadah dengan hikmah (tujuan). Secara umum, diantara
butrian hkmah itu adalah :
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fiqih menyebutkan beberapa sifat yang
menjadi ciri-ciri ibadah yang benar, yaitu:
a. Bebas dari perantara; dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim tidak
memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah swt
b. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus; secara umum ajaran islam tidak
mengharuskan penganutnya untuk melakukan ibadah pada tempat- tempat khusus,
kecuali ibadah Haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat
ibadah.
c. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah swt senantiasa menghendaki
kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.
G. Mewaspadai Bid'ah
Ibadah yang tidak sesuai dengan contoh dan ajaran Allah dan Rasul-Nya disebut
sebagai bid'ah. Dalam beribadah, bid'ah adalah perkara yang harus benar-benar kita
waspadai. Karena dengannya ibadah kita menjadi sia-sia, tidak diterima oleh Allah dan bisa
berakibat siksa.
Perbuatan bid'ah mengandung banyak kerusakan. Syaikh Muhammad bin Shalih al
Utsaimin rahimahullah mengatakan ada sejumlah kerusakan yang terdapat dalam perbuatan
bid'ah diantaranya :
1) Bid’ah adalah kesesatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (H.R. Muslim)
Seorang mukmin tentu tidak akan memilih jalan orang-orang yang tersesat, yaitu jalan
orang-orang yang senantiasa kita berlindung kepada allah dari jalan mereka dalam setiap
shalat kita,
“Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat, bukan pula jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-
orang yang tersesat.” (Q.S. Al Fatihah : 6-7)
2) Bid’ah berarti keluar dari sikap ittiba’ (mengikuti ) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Ktakanlah : ”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Ali Imran : 31)
Orang yang beribadah kepada Allah dengan suatu bid’ah berarti ia keluar dari sikap
ittiba’ kepada Nabi, karena Nabi tidak pernah mensyariatkan perbuatan yang ia anggap
sebagai ibadah.
3) Bid’ah tidak sejalan dengan esensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Orang yang telah bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, seharusnya ia
hanya beribadah dengan cara dan ajaran yang dibawa oleh utusan Allah tersebut dan
memiliki komitmen yang jelas terhadap syari’atnya, tidak melampauinya dan tidak pula
menguranginya. Orang yang melakukan hal demikian, berarti ia tidak benar-benar
merealisasikan nilai yang terkandung dalam Syahadat tersebut.
4) Bid’ah mengandung celaan terhadap Islam
Orang yang melakukan bid’ah,secara tidak langsung telah menganggap bahwa Islam
adalah agama yang belum sempurna, sehingga ia seolah-olah menyempurnakan Islam dengan
perbuatan yang diada-adakannya itu. Padahal Allah berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Q.S. Al
Maidah :3)
Celaan ini tentu bukan dengan lisan, tapi dengan perbuatan. Rasulullah tidak pernah
beribadah dengan cara seperti itu, begitu pun juga dengan para sahabatnya. Apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahuinya?
5) Bid’ah mengandung celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bid’ah mengandung celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
bid’ah yang dianggap sebagai perbuatan ibadah itu, berarti tidak diketahui oleh Rasul atau
sengaja disembunyikan oleh Rasul? Dengan begitu orang yang mengerjakan perbuatan bid’ah
seakan-akan ia menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bodoh atau
mengkhianati risalah Allah.
6) Bid’ah memecah belah umat Islam
Jika umat Islam dibiarkan memperbuat bid’ah dan membuat kreasi masing-masing
dalam cara beribadahnya, maka masing-masing orang atau kelompok akan membuat cara
sendiri-sendiri dalam beribadah. Dan iniliah yang terjadi pada umat Islam saat ini. Setiap
kelompok merasa bangga dengan bid’ah-bid’ah yang diampunya dan setiap kelompok
menyesatkan kelompok yang lain. Seperti yang Allah gambarkan dalam firman-Nya,
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Q.S. Al
Rum : 32)
7) Bid’ah akan memadamkan Sunnah
Jika bid’ah merajarela, maka sunnah perlahan akan hilang. Oleh karena itu sebagian
salaf berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah, melainkan akan ada sunnah yang mereka
telantarkan.”
8) Bid’ah sama dengan tidak berhukum dengan Al Qur’an dan Sunnah
Orang yang berbuat bid’ah berarti tidak menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai
sumber hukumnya. Dan Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Q.S. An Nisaa’ : 59)
sebagian orang berbuat bid’ah dengan niat yang baik. Namun baik dalam niat tidak
berarti baik pula dalam perbuatan. Niat baik harus disertai dengan perbuatan baik pula.
(Syaikh Muhmmad bin Shalih al Utsaimin : Syarh Riyadh as Shalihin cet. Maktabah al Shafa
hlm. 472-474)
BAB III
RANGKUMAN
1. Ibadah secara bahasa berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut
istilah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang Dicintai dan Diridhai Allah
azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.
2. Hikmah (tujuan) ibadah yang paling utama adalah untuk meraih Keridhoan Allah
yang merupakan jalan amsuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
3. Macam-macam ibadah; Ibadah Mahdhah, Ibadah Ghair Mahdhah, dan Ibadah
Wajhain.
4. Syarat-syarat Ibadah; Bersih dari noda syirik, Ikhlas, dan Ittiba’.
Daftar Pustaka
Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc, Masih Perlukah Kita Beribadah?, (Subang: Sabilul Ilmi,
2015)
Tim Dosen PAI UPI, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Departemen Pendidikan Umum
FPIPS UPI, 2017)