Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa pengertian ibadah?


2) Apa tujuan ibadah?
3) Apa saja macam-macam ibadah?
4) Apa syarat-syarat diterimanya ibadah?

1.3 Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui pengertian ibadah.


2) Untuk mengetahui tujuan ibadah.
3) Untuk mengetahui macam-macam ibadah.
4) Untuk mengetahui syarat-syarat diterimanya ibadah.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ibadah

Kata ibadah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘ibadah, yang artinya menyembah atau
menghamba. Kata ibadah adalah bentuk dasar (isim masdar) dari kata ‘abada – ya’budu [َ ‫َعبَد‬
– ُ‫]يَ ْعبُد‬, yang secara bahasa artinya merendahkan diri dan ketundukan (al-khudhu’ wa
tadzallul).

ِ ۡ ‫َو َما َخلَ ۡقتُ ۡال ِج َّن َو‬


َ ‫اۡل ۡن‬
﴾۵۶﴿ ‫س ا َِّۡل ِليَعۡ بُد ُۡو ِن‬

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)

Kecintaan disertai ketundukan, itulah ibadah, yang menjadi tujuan Allah menciptakan
makhluk. Karena hakekat ibadah adalah puncak kecintaan disertai mendahkan diri. Dan itu
semua tidak layak diberikan kecuali untuk Allah Subhanahu wa ta’ala.” (Ibnul Qayyim : al-
Fawaid, Hlm. 183)
Karena itu, hakekat dari ibadah kepada Allah adalah merendahkan diri kepada Allah
disertai rasa cinta kepadanya. Dan kita disebut merendahkan diri kepada Allah, ketika kita
mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah.
Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan
diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan, atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin.
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Risalah al-Ubudiyah, hlm. 2).
Berdasarkan pengertian ini, bentuk ibadah hanya ada 2 :
[1] Melaksanakan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
[2] Meninggalkan larangan, baik yang sifatnya haram atau makruh.
Jika seseorang melakukan ini dalam rangka untuk mendapatkan ridha dari Allah,
maka dia sedang beribadah.
Dan manusia hanya bisa mengetahui apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang
dibenci Allah, ketika ada penjelasan dari Allah. Karena itulah, setiap bentuk ibadah harus
berdasarkan panduan wahyu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).”
(QS. Al-A’raf : 3).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang ditujukan kepada orang yang
berilmu,”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Artinya, ikutilah jejak nabi
yang ummi yang telah membawakan kepada kalian sebuah kitab yang diturunkan kepada
kalian dari Rabb pemelihara dan pemilik segala sesuatu. “dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” Maksudnya, janganlah kalian keluar menyimpang dari apa
yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian. Sehingga
dengan demikian kalian telah menyeleweng dari hukum Allah menuju hukum selain hukum-
Nya. (Ibnu Katsir : Tafsir Ibnu Katsir Juz 8, hlm. 347)
Sehingga ibadah tidak bisa dilakukan dengan cara berinovasi atau ngarang sendiri,
dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya. Padahal Allah
subhanahu wa ta’ala tidak pernah menurunkan dalil tentangnya.

2. Tujuan Ibadah

Allah subhanahu wa ta’ala pemilik hikmah yang tinggi. Apapun yang dipertintahkan
oleh-Nya kepada manusia, tidak kosong dari nilai-nilai yang agung, tujuan-tujuan yang baik,
serta manfaat dan maslahat yang besar.
Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan para hamba dengan hal-hal yang
akan memberi manfaat kepada mereka dan melarang mereka dari hal-hal yang akan
membahayakan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Qatadah rahimahullah, “Sesungguhnya
Allah tidak memerintahkan para hamba untuk melakukan sesuatu karena butuh kepada hal
yang diperintahkannya itu. Begitu pun Allah tidak melarang mereka melakukan sesuatu
karena pelit kepada mereka. Namun Allah memerintah mereka kepada hal-hal yang memberi
maslahat kepada mereka, serta melarang mereka kepada hal-hal yang akan mendatangkan
kerusakan kepada mereka. Oleh karena itu, Al Qur’an dalam banyak kesempatan
memerintahkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan melarang untuk berbuat kerusakan.
Maslahat dan taat adalah dua hal yang beriringan, begitu pun maksiat dan kerusakan
juga dua hal yang beriringan, seperti beriringannya yang baik dengan yang halal. Setiap yang
baik itu halal dan setiap yang halal itu baik. Setiap yang buruk itu haram dan setiap yang
haram itu buruk. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Jami al Masa’il hlm. 45-46).
Sebagaimana manusia diciptakan dengan hikmah (tujuan), yaitu untuk beribadah,
manusia pun diperintah untuk beribadah dengan hikmah (tujuan). Secara umum, diantara
butrian hkmah itu adalah :

1) Untuk Menguji Manusia


Ibadah Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan sebagai ujian, agar menjadi
jelas siapa orang-orang yang taat dan siapa orang-orang yang durhaka. Yang mau
beribadah akan beruntung dan yang enggan beribadah kelak rugi serugi-ruginya.
Andai Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia begitu saja, tanpa diperintah
untuk melakukan sesuatu dan juga dilarang dari perbuatan-perbuatan tertentu, maka
kehidupan manusia menjadi sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (Q.S. Al
Qiyamah : 36)
As Sidy berkata, “Maksudnya, tidak dibangkitkan.” Mujahid, Asy Syafi’i, dan
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Maksudnya, tidak diperintah dan
dilarang.” Dan nampaknya, ayat di atas mencakup keduanya. Yaitu, manusia tidak
dibiarkan begitu saja di dunia dengan tidak diperitah dan dilarang, begitu pula tidak
dibiarkan di kuburnya dengan tidak dibangkitkan. Intinya, manusia diperintah dan
dilarang di dunia, dan kelak akan dikumpulkan di akhirat. Maksudnya disini adalah
penetapan hari akhir dan bantahan kepada orang-orang yang mengingkarinya dari
kalangan ahli kesesatan, kebodohan dan sombong (Ibnu Katsir : Tafsir al Qur’an al
Adzim :440-441).
Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu
belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah meciptakan
manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan
perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat.” (Q.S.
Al Insan : 1-2).
2) Untuk Mengagungkan Allah
Ibadah memiliki dimensi pengangungan (ta’dziim) kepada Allah. Maka
dengan beribadah, berarti kita mengagungkan Allah azza wa jalla, Rabb yang telah
menciptakan kita dan semesta, serta memberi rizki yang melimpah kepada kita. Allah
subhanahu wa ta’ala sangat pantas diagungkan oleh makhluk-makhluk-Nya, karena
Dia satu-satunya Dzat yang Mahasempurna dalam segala hal. Keagungan Allah
subhanahu wa ta’ala tidak terbatas. Kuasa-Nya tidak terhingga. Nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan syariat-syariat-Nya sangat sempurna,
tidak ada kata kurang dan kecacatan. Milik-Nya semua yang ada di langit dan yang
ada di bumi. Dalam genggaman-Nya selruh urusan makhluk alam semesta ini.
Allah sering menjelaskan keagungan dan tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam
Al Qur’an. Ayat yang berbicara tentang keagungan-Nya, merupakan ayat yang terbaik
dalam Al Qur’an, yaitu ayat kursi.
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi
syafa’at di Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dari
ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” (Q.S. Al Baqarah : 225)
Ayat-ayat yang menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah bertujuan untuk
menumbuhkan rasa ta’dzim dalam hati manusia. Dan sebagai makhluk yang berada
dalam kuasa dan pengaturan-Nya, maka manusia wajib untuk mengagungkan-Nya
dengan cara beribadah kepada-Nya.
3) Untuk Menguatkan dan Mendekatkan Hubungan dengan Allah
Nama lain dari ibadah adalah qurbah, artinya adalah sesuatu yang akan
mendekatkan diri kepada Allah. Aktivitas ibadahnya disebut dengan taqarrub.
Dengan ibadah, manusia akan menjadi dekat dengan Allah. Semakin kuat ibadah
seseorang, maka kian dekat dengan Allah. Banyak sekali keistimewaan yang akan
didapatkan oleh orang yang dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Kedekatan
akan mendatangkan cinta. Allah menyatakan dalam hadits Qudsi,
“Dan hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah,
sehingga Aku pun mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia
melihat, tangannya yang dengannya dia berbuat, kakinya yang dengannya dia
berjalan. Jika ia meinta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan jika ia memohon
perlindungan, maka Aku akan melindunginya.” (H.R. Muslim)
Seluruh orientasi ibadah adalah taqarrub kepada Allah azza wa jalla. (Sulthan
Ulama, Al Izz Ibnu Abdissalam : Maqashidu al Ibadat hlm. 11)
Manusia selalu bergantung dan membutuhkan Penciptanya. Manusia yang
dekat dengan-Nya, akan merasakan ketenangan jiwa dan kenyamanan batin.
Sementara orang yang jauh dari-Nya, hatinya akan dipenuhi rasa gundah dan
ketidaknyamanan.
Hati, tidak akan baik, bahagia, tidak akan mendapat kenikmatan, kesenangan,
kelezatan, ketentraman dan ketenangan, melainkan dengan ibadah kepada Rabbnya,
mencintai dan kembali menuju kepada-Nya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Syarh
al Ubudiyyah hlm. 95)
4) Untuk Mensucikan Jiwa
Pensucian jiwa atau yang juga disebut dengan tazkiyatun nufuus sangat
penting bagi jiwa manusia. Manusia terdiri dari dua entitas; jasad dan jiwa. Dua-
duanya memiliki kehidupan. Jasad hidup dengan ruh, sementara jiwa hidup dengan
kesuciannya.
Ada kelezatan yang dirasakan oleh jasad dan ada kelezatan yang dirasakan
oleh jiwa. Semakin suci jiwa seseorang, semakin hidup dan bahagia jiwanya,
walaupun jasadnya menerima siksaan sekalipun. Sebaliknya, kian kotor jiwa
seseorang, maka jiwanya kian sengsara, sakit, bahkan bisa mati, walaupun jasadnya
dapat menikmati segala kelezatan materi sekalipun. Jiwa yang suci adalah jiwa yang
tunduk kepada Allah dengan beribadah. Sementara jiwa yang kotor adalah jiwa yang
penuh dosa dan kemaksiatan.
”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang ynag
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S.
Asy Syams : 7-10)
“Maknanya, sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, maksudnya,
dengan ketaatan kepada Allah –seperti yang dikatakan Qatadah, dan mensuvikannya
dari akhlak yang rendah dan buruk...” Mengotori hati dilakukan dengan cara
menjauhkannnya dari petunjuk, sehingga bermaksiat dan meninggalkan ketaatan.
(Ibnu Katsir : Tafsir al Qur’an al Adzim hlm. 579)
Ibadah akan membuat jiwa mwnjadi kaya. Karena dengan beribadah manusia
hanya hanya akan butuh kepada Allah yang Mahakaya. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan, “Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta
benda, kekayaan sebenarnya adalah kekayaan jiwa atau kekayaan hati.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
5) Untuk Merealisasikan Ketakwaan
Dengan beribadah, seorang hamba akan menjadi orang yang bertakwa. Dan
takwa, adalah pendorong utama menuju perilaku yang baik, serta benteng yang kokoh
untuk melindungi manusia dari pengaruh-pengaruh buruk yang akan membawanya
pada perbuatan tidak terpuji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-
orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah : 21)
6) Untuk Membebaskan Manusia
Jika seorang hamba telah menyatakan dirinya telah beribadah kepada Allah,
berarti, ia sesungguhnya telah memproklamirkan kemerdekaan dan kebebasan dirinya
dari segala bentuk tirani dan perbudakan sesama makhluk. Saat ia hanya pasrah
kepada pencipta dan pemiliknya, ketenangan dan kedamaian hidup pun dirasakannya.
Manusia yang tidak pasrah dengan beribadah kepada Allah, hidupnya akan
terbelenggu oleh perbudakan yang membawanya pada ruang kehidupan yang sempit,
menyengsarakan, dan tidak memberikan ketenangan seutuhnya.
Penyakit paling besar yang mendatangkan rasa gundah dan khawatir,
menjatuhkan martabat kemanusiaan seorang hamba dan kemerdekaannya adalah
ketergantungan kepada makhluk, selalu meminta kepada mereka, merendahkan diri
dan berharap kepada mereka, serta bermabisi pada apa yang mereka miliki. Orang
yang seperti itu, jiwanya terikat dan hatinya tertawan oleh selain Allah. (Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy : Al Riyadh al Nadhirah wa al Hadaa ‘iq al
Nayyirah al Zahirah hlm. 197)
7) Untuk Mennanamkan Karakter Positif
Dalam ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, nampak dengan jelas dimensi
perndidikan atau latihan, agar dalam diri manusia tertanam karakter positif, mental
yang kuat dan kepribadian yang baik. Ibadah itu mendidik individu-individu manusia
agar memiliki karakter disiplin dan fokus seperti dalam ibadah shalat, karakter
pemurah dan tidak kikir seperti dalam ibadah zakat, karakter penyabar dan tulus
seperti dalam ibadah puasa dan lain sebagainya.
3. Macam-Macam Ibadah
Macam-macam ibadah :
1) Ibadah Hati
Ibadah hati adalah ibadah yang dilakukan oleh hati. Hati dapat berkeyakinan
dan beramal. Ketika hati kita meyakini dan berbuat sesuatu yang Allah cintai dan
ridhai, berarti hati kita sedang beribadah kepada Allah, berarti perbuatan atau
keyakinan itu disebut ibadah. Diantara ibadah hati adalah beriman kepada rukun
iman, ikhlas, khauf (takut), raja (berharap), tawakkal, mahabbah (cinta), dan lain-
lain. Ibadah hati juga dilakukan dengan meninggalkan segala keyakinan dan
amalan hati yang tidak disukai oleh Allah. Seperti kufur, ragu, riya, hasad, tidak
sabar dan lain-lain.
Hati adalah pokok ibadah. Karena ketundukan, cinta, oengagungan, dan
perendahan diri yang menjadi unsur utama ibadah tempatnya ada dalam hati.
Sebagaimana pokok keimanan berupa tashdiiq (pembenaran) pun terpancang
dalam hati.
2) Ibadah Lisan
Ibadah lisan adalah ibadah yang dilakukan oleh lisan. Ketika lisan kita
berucap atau berkata-kata dengan kata-kata yang dicintai dan diridhai oleh Allah,
maka berarti lisan kita sedang beribadah kepada Allah. Diantara contoh ibadah
lisan adalah berdzikir dengan dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti, subhanallahi wa bi hamdihi, subhaanallahil
adhziim, laa ilaaha illallah, allahu akbar, dan lain-lain, atau beristighfar,
membaca Al Qur’an, berkata-kata baik dan jujur kepada sesamanya, memberi
nasehat, beramar makruf nahi munkar dan lain-lain.
Ibadah lisan juga dilakukan dengan meninggalkan perkataan dan ucapan-
ucapan yang dibenci oleh Allah seperti berdusta, berkata kasar, mencela, ghibah,
mengadu domba, memfitnah, dan lain-lain.
Ibadah lisan terangkum dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, maka
hendaklah ia berkata baik atau diam.” (H.R. Bukhari Muslim)
Kata-kata yang baik dalam hadits diatas mencakup dua hal :
Pertama, kata-kata yang asalnya merupakan kebaikan seperti dzikir, bacaan Al
Qur’an, ucapan salam, nasehat, dan lain-lain.
Kedua, kata-kata yang asalnya mubah (boleh), namun menjadi baik karena niat
yang baik. Seperti berbasa-basi dengan seseorang dalam rangka
membahagiakannya. Ini juga termasuk kata-kata yang baik, selama ucapan itu
bermanfaat, dapat menyenangkan orang yang diajak bicara srta diniatkan untuk
beribadah kepada Allah.
3) Ibadah Anggota Badan
Ibadah juga harus termanisfestasi secara praktis dalam anggota badan.
Contoh untuk ibadah ini sangat banyak. Diantaranya shalat yang kita tunaikan
setiap hari lima kali, zakat, shaum, di bulan Ramadhan dan berhaji serta umrah ke
Baitullah. Intinya, apapun perbuatan anggota badan yang dicintai dan diridhai oleh
Allah, maka ia termasuk perbuatan ibadah.
Seperti ibadah hati dan lisan, ibadah anggota badan pun dilakukan
dengan meninggalkan segala perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah seperti
mencuri, minum khamr, berzina, membunuh dan lain-lain.
Ibadah anggota badan yang paling utama dan paling penting dalam
menentukan kebaikan amal-amal yang lainnya dalah shalat. Sebagian para ulama
bahkan mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat maka ia murtad alias
keluar dari Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“(Batas) antara seseorang dan antara syirik serta kekufuran adalah
meninggalkan shalat.” (H.R. Muslim)”
Mujahid bin Jabr bertanya kepada sahabat yang mulia Jabir bin Abdillah,
“Amal apakah yang membedakan antara kekafiran dan keimanan disisi kalian
pada zaman Nabi?” isa berkata, “Shalat” (Ta’dziimu Qadri al Shalah, hlm. 893
dinukil dari Shifatu Shalatu al Nabi, hlm. 15)
Tidak ada tempat dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.
(Umar bin Khaththab : al Mushannaf hlm. 581)
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang
yang meninggalkan shalat kelak akan dikumpulkan dengan para tokoh-tokoh
kekufuran.
“Barangsiapa yang menjaga shalat-shalat ini ketika ia diseru untuk
menunaikannya, pada hari kiamat ia akan mendapatkan cahaya, keselamatan,
dan burhan. Barangsiapa yang tidak menjaganya, ia tidak akan mendapatkan
cahaya, keselamatan, dan burhan pada hari kiamat, serta akan dikumpulkan
bersama Fir’aun, Haman, Qarun, dan Ubay bin Khalaf.” (H.R. Ahmad, Ibnu
Hibban, Ath Tabarani dalam kitab Shifat Shalatu al Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abdulaziz al Tharify, hlm. 15-16)
Ada juga yang mengatakan bahwa ibadah itu dibagi menjadi tiga
macam, yaitu :
1) Ibadah Mahdhah
Arti mahdhah adalah murni. Perbuatan murni ibadah (mahdhah) seperti
shalat, zakat, puasa, dan lain-lain. Amal-amal tersebut dikatakan sebagai ibadah
mahdhah karena amal-amal itu tidak dapat dilakukan seseorang kecuali dengan
tujuan ibadah. Manakala seseorang mengerjakan amal-amal tersebut bukan
dengan tujuan ibadah, hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia semata, maka
selain amal tersebut tidak bernilai ibadah, ibadah itu dinyatakan tidak sah dan
orang yang melakukannya pun akan mendapat siksa..
2) Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah maknanya adalah ibadah yang berasal dari
perbuatan yang bukan murni ibadah. Berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan yang
tidak murni sebagai amal ibadah, pekerjaan tersebut menjadi bernilai ibadah jika
perkerjaan itu dikerjakan dengan mtujuan mencari kerdihoan Allah dan dalam
rangka beribadah. Namun jika dilakukan tanpa niat dan tujuan ibadah, orang yang
mengerjakannya tidak serta merta mendapat siksa. Ia hanya kehlangan pahala
ibadah yang sangat besar saja.
Contoh : bekerja untuk menafkahi keluarga. Walaupun menafkahi
keluarga hukumnya wajib, namun ia hanya dapat berniali ibadah di sisi Allah jika
dilakukan dengan niat ibadah. Jika tidak, pekerjaan tersebut tidak akan
mendatangkan pahala bagi yang mengerjakannya.
Ibadah ghairu mahdhah ini juga berlaku dalam pekerjaan-pekerjaan
bermanfaat yang asalnya adalah mubah. Seperti makan, minum, tidur,
mempelajari ilmu-ilmu duniawi, berinteraksi sosial dan lain-lain. Semuanya dapat
menjadi aktivitas ibadah, jika dilakukan dengan niat ibadah, bukan semata-mata
tujuan duniawi.
Disini lah posisi niat dalam kehidupan beribadah menjadi sangat penting.
Hendaknya setiap muslim selalu menyadari bahwa kehidupannya akan lebih
bermakna jika ia memiliki hati yang selalu menghadirkan niat ibadah dalam setiap
aktivitasnya. (Dr. Sa’ad Asy Syatsry : Syarh Umdah al Ahkam)
3) Ibadah Wajhain
Ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yiatu mahdhah dan ghairu
mahdhah. Contoh : Nikah.

4. Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah bersifat Tauqifiyyah maknanya adalah bahwa penetapan ibadah harus


bersumber dari pembuat syariat, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Sebuah perbuatan tidak
sah disebut ibadah jika didasarkan kepada selain petunjuk Allah, misalnya kepada pendapat
pribadi, intuisi, mimpi atau pemikiran kiayi. Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Q.S.
Hud : 112)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al Jatsiah :18)
Syaikh Muhammad al Amin Asy Syanqithi rahimahullah berkata dalam risalahnya
yang bertajuk, “Al Islam Din Kamil” (Islam agama yang sempurna), bahwa ibadah akan
diterima oleh Allah jika terpenuhi tiga syarat :
1) Ibadah harus bersih dari noda syirik.
Allah sangat tidak suka jika manusia yang diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya
mencampuri ibadah itu dengan syirik. Syirik adalah menyekutukan atau menduakan. Syirik
kepada Allah artinya menyekutukan atau menduakan Allah dalam ibadah. Iyyaaka na’budu
(Hanya kepada Engkau kami menyembah), adalah pernyataan yang berulang-ulang kita
ucapkan saat kita berdiri menghadap-Nya dalam shalat.
Syirik adalah beribadah kepada Allah, namun beribadah juga kepada selain Allah.
Shalat untuk Allah, zakat untuk Allah, shaum untuk Allah, haji untuk Allah, sujud dan rukuk
untuk Allah, istighfar untuk Allah, namun menyembelih untuk selain Allah misalnya, atau
meminta kesembuhan kepada penghuni kubur keramat dan seterusnya. Ini adalah bentuk
mencampuradukkan antara ibadah kepada Allah dengan kesyirikan. Allah berfirman,
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah
kepada Rabb-nya.” (Al-Kahfi : 110)
Jika ibadah dicampuri satu jenis saja kesyirikan, maka akibatnya adalah semua ibadah
yang telah dilakukan menjadi hancur tidak tersisa.
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.
Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah
dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Az Zumar : 65-66)
2) Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas.
Ikhlas sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu ibadah oleh Allah. Ikhlas
adalah beribadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah atau kebahagiaan di akhirat,
bukan bermaksud dunia atau mendapat pujian dari manusia (riya). Setiap ibadah harus
dilaksanakan dengan keikhlasan hati. Allah berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (Q.S.
Al Bayyinah : 5)
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Qur’an) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q.S. Az
Zumar : 2)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niat, dan setiap orang akan mendapatkan pahala
sesuai apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari Muslim)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi,
“Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang beramal
dengan suatu amalan, lalu ia mempersekutukanku padanya dengan selain-Ku, maka aku
tinggalkan ia dan sekutunya tersebut.” (H.R. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan
dicari dengannya wajah Allah.” (H.R. An Nasa’i)
3) Ibadah harus dilaksanakan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adalah diantara bentuk rahmat dan hikmah Allah, ketika Allah memerintahkan kita
untuk beribadah kepada-Nya, Allah pun mengutus seorang diantara kita untuk menjadi
teladan nyata dan penafsir maksud-maksud yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Utusan Allah itu mutlak harus dipatuhi dan dijadikan contoh dalam beribadah kepada-Nya.
Jika tidak, maka ibadah kita akan tertolak.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Q.S.
Al Ahzab : 21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari urusan kami, maka ia
tertolak.” (H.R. Muslim)
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian
darinya, maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaih)
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
“Ambilah dariku tata cara manasik haji kalian.” (H.R. Muslim)
Semua dalil di atas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan tidak selainnya.

F. Sifat dan Ciri-Ciri Ibadah

Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fiqih menyebutkan beberapa sifat yang
menjadi ciri-ciri ibadah yang benar, yaitu:

a. Bebas dari perantara; dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim tidak
memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah swt
b. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus; secara umum ajaran islam tidak
mengharuskan penganutnya untuk melakukan ibadah pada tempat- tempat khusus,
kecuali ibadah Haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat
ibadah.
c. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah swt senantiasa menghendaki
kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.

G. Mewaspadai Bid'ah

Ibadah yang tidak sesuai dengan contoh dan ajaran Allah dan Rasul-Nya disebut
sebagai bid'ah. Dalam beribadah, bid'ah adalah perkara yang harus benar-benar kita
waspadai. Karena dengannya ibadah kita menjadi sia-sia, tidak diterima oleh Allah dan bisa
berakibat siksa.
Perbuatan bid'ah mengandung banyak kerusakan. Syaikh Muhammad bin Shalih al
Utsaimin rahimahullah mengatakan ada sejumlah kerusakan yang terdapat dalam perbuatan
bid'ah diantaranya :
1) Bid’ah adalah kesesatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (H.R. Muslim)
Seorang mukmin tentu tidak akan memilih jalan orang-orang yang tersesat, yaitu jalan
orang-orang yang senantiasa kita berlindung kepada allah dari jalan mereka dalam setiap
shalat kita,
“Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat, bukan pula jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-
orang yang tersesat.” (Q.S. Al Fatihah : 6-7)
2) Bid’ah berarti keluar dari sikap ittiba’ (mengikuti ) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Ktakanlah : ”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Ali Imran : 31)
Orang yang beribadah kepada Allah dengan suatu bid’ah berarti ia keluar dari sikap
ittiba’ kepada Nabi, karena Nabi tidak pernah mensyariatkan perbuatan yang ia anggap
sebagai ibadah.
3) Bid’ah tidak sejalan dengan esensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Orang yang telah bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, seharusnya ia
hanya beribadah dengan cara dan ajaran yang dibawa oleh utusan Allah tersebut dan
memiliki komitmen yang jelas terhadap syari’atnya, tidak melampauinya dan tidak pula
menguranginya. Orang yang melakukan hal demikian, berarti ia tidak benar-benar
merealisasikan nilai yang terkandung dalam Syahadat tersebut.
4) Bid’ah mengandung celaan terhadap Islam
Orang yang melakukan bid’ah,secara tidak langsung telah menganggap bahwa Islam
adalah agama yang belum sempurna, sehingga ia seolah-olah menyempurnakan Islam dengan
perbuatan yang diada-adakannya itu. Padahal Allah berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Q.S. Al
Maidah :3)
Celaan ini tentu bukan dengan lisan, tapi dengan perbuatan. Rasulullah tidak pernah
beribadah dengan cara seperti itu, begitu pun juga dengan para sahabatnya. Apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahuinya?
5) Bid’ah mengandung celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bid’ah mengandung celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
bid’ah yang dianggap sebagai perbuatan ibadah itu, berarti tidak diketahui oleh Rasul atau
sengaja disembunyikan oleh Rasul? Dengan begitu orang yang mengerjakan perbuatan bid’ah
seakan-akan ia menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bodoh atau
mengkhianati risalah Allah.
6) Bid’ah memecah belah umat Islam
Jika umat Islam dibiarkan memperbuat bid’ah dan membuat kreasi masing-masing
dalam cara beribadahnya, maka masing-masing orang atau kelompok akan membuat cara
sendiri-sendiri dalam beribadah. Dan iniliah yang terjadi pada umat Islam saat ini. Setiap
kelompok merasa bangga dengan bid’ah-bid’ah yang diampunya dan setiap kelompok
menyesatkan kelompok yang lain. Seperti yang Allah gambarkan dalam firman-Nya,
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Q.S. Al
Rum : 32)
7) Bid’ah akan memadamkan Sunnah
Jika bid’ah merajarela, maka sunnah perlahan akan hilang. Oleh karena itu sebagian
salaf berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah, melainkan akan ada sunnah yang mereka
telantarkan.”
8) Bid’ah sama dengan tidak berhukum dengan Al Qur’an dan Sunnah
Orang yang berbuat bid’ah berarti tidak menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai
sumber hukumnya. Dan Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Q.S. An Nisaa’ : 59)
sebagian orang berbuat bid’ah dengan niat yang baik. Namun baik dalam niat tidak
berarti baik pula dalam perbuatan. Niat baik harus disertai dengan perbuatan baik pula.
(Syaikh Muhmmad bin Shalih al Utsaimin : Syarh Riyadh as Shalihin cet. Maktabah al Shafa
hlm. 472-474)
BAB III
RANGKUMAN

1. Ibadah secara bahasa berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut
istilah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang Dicintai dan Diridhai Allah
azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.
2. Hikmah (tujuan) ibadah yang paling utama adalah untuk meraih Keridhoan Allah
yang merupakan jalan amsuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
3. Macam-macam ibadah; Ibadah Mahdhah, Ibadah Ghair Mahdhah, dan Ibadah
Wajhain.
4. Syarat-syarat Ibadah; Bersih dari noda syirik, Ikhlas, dan Ittiba’.
Daftar Pustaka

Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc, Masih Perlukah Kita Beribadah?, (Subang: Sabilul Ilmi,
2015)

Tim Dosen PAI UPI, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Departemen Pendidikan Umum
FPIPS UPI, 2017)

https://konsultasisyariah.com/30399-apa-itu-ibadah.html diakses pada tanggal 1 Maret 2018


pukul 19.16

Anda mungkin juga menyukai