Anda di halaman 1dari 5

I.

PENGANTAR IBADAH
II.
A. Pengertian Ibadah
َ َََ
1. Kata ibadah [‫ ] ِعبادة‬berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar [ ‫ ]عبد‬yang berarti menyembah.
َ
Dalam bahasa Arab kata ibadah [‫ ] ِعبادة‬mengandung beberapa arti, di antaranya:
ٌ َ َ
a. Taat [‫]طاع ة‬, Ibadah adalah sesuatu bentuk penyembahan yang telah digariskan oleh Sang
Pencipta, sehingga pelaksanaan ibadah merupakan bukti ketaatan seorang hamba kepada
Tuhannya.
ٌ ُ ُ
b. Tunduk [‫]خضوع‬, kepatuhan dan ketundukkan ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran
Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan
yang mutlak terhadapnya.
ُ
c. Hina atau merendah diri [‫ ]ذ ٌّل‬penyembahan tidak akan terjadi ketika sesorang merasa
kedudukannya setara dengan yang objek yang disembahnya. Atas dasar pengakuan akan
kerendahan diri maka seseorang sanggup dengan rela menghambakan diri.
ٌ ُّ َ َ
d. Pengabdian [ ‫]تنس ك‬, menyembah atau menghambakan diri ke hadapan Yang Maha Kuasa.
Ketika seseorang menghambakan diri, maka ia akan senantiasa melakukan apa yang telah
digariskan oleh yang dituju dalam penyembahan.
2. Ibadah secara istilah menurut ulama Fiqhi, yaitu:
‫اآلخ َر ِة‬ ‫فى‬ ‫ه‬‫اب‬ َ ‫َماُأ ّد َي ْت ْابت َغ َاء َو ْجه هللا و َط َل َبا ل َث‬
‫و‬
ِ ِِ ِ ِ ِ
Sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-
Nya di hari akhirat.
3. Sedangkan menurut Persyarikatan Muhammadiyah yang dituangkan dalam Himpunan Putusan
Tarjih halaman 276 menyatakan bahwa ibadah adalah:
َّ ‫الع َم ُل ب َما َأ ذ َن به‬
َ ‫َا َّلت َق ُّر ُب َلى هللا ب ْامت َثال َأ َوامره َو ْا ْجت َناب َن َواه ْيه َو‬
‫الش ِار ِع‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِِ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
Dari pengertian ini menjelaskan bahwa Ibadah ialah:
َ ُ َ َّ َ
a. ‫ التق ُّرب ِإ لى هللا‬yaitu usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah.

b. Cara yang dilakukan seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah melaluli 3 cara, yaitu;
1) ‫ام ِر ِه‬
َ ‫ْ َ َأ‬
ِ ‫ ِبام ِتث ِال و‬yaitu dengan jalan melaksanakan segala perintah-Nya;
2) ‫اهيه‬
ْ ‫ ْا ْجت َناب َن َو‬, yaitu menjauhi segala yang dilarang-Nya, dan;
ِ ِ ِ ‫َأ‬
َّ َ َ ُ ََ
3) ‫ارع‬ِِ ‫العمل ِبما ِذن ِب ِه الش‬, yaitu mengerjakan segala yang diizinkan oleh pembuat Syariat
(Allah dan Rasulullah) .
Kesimpulannya, Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan
segala yang diperintahkan-Nya, meninggalkan atau menjauhi segala apa yang dilarang-Nya serta
melakukan segala sesuatu yang diboleh atau tidak tidak dilarang oleh Allah SWT.
B. Pembagian Ibadah
Ditinjau dari segi ruang lingkupnya Ibadah itu dibagi menjadi dua;
1. Ibadah khashshah [khusus] atau ibadah Mahdah, yaitu perbuatan yang telah ditetapkan bagian-
bagian, rincian, dan cara-cara secara, dimana ketentuannya yang telah ditetapkan dapat diketahui
melalui oleh nash [al-Quran, hadits, dan ijma’ ulama]. Misalnya thaharah [bersuci], shalat, puasa,
zakat dan sebagainya. Dalam ibadah khusus ini, seseorang tidak boleh merubah, baik menambah
atau pun mengurangi semua ketentuan dalam ibadah tersebut.
2. Ibadah ‘Ammah [umum] atau ibadah Ghaeru Mahdah, yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan
dengan niat karena Allah dan tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Misalnya berdakwah,
melakukan amar makmur nihi mungkar dalam berbagai bidang kehidupan, bekerja, menuntut
ilmu, berekreasi dan lain-lain yang semuanya diniatkan semata-mata karena Allah SWT dan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah.

C. Falsafah Ibadah; mengapa harus beribadah


Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara [ rububiyatullah], dimiliki dan
dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT [mulkiyatullah]. Sebagaimana firman-Nya;
        
  
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa, [QS al-Baqarah: 21].
Sebagai yang mencipta, tentu Dialah yang paling tahu apa yang terbaik dan terburuk bagi ciptaan-
Nya. Sebagai milik Allah, suka atau tidak suka semuanya pasti akan dikembalikan dan berserah diri
kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
         

Kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa
dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. [QS Ali Imran: 83]
Pada ayat ini menggunakan kaimat pasif ‘dikembalikan’. Sengaja Allah memilih kaimat ‘dikembalikan’
karena memang semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan di kembalikan atau dipaksa untuk kembali
kepada Allah Sang Pemilik, Sang Penguasa [al-Malik] dan Sang Pemaksa [A-Qahhar] dalam keadaan suak
ataupun tidak. Atas dasar inilah, sehingga tidak ada pilihan ain bagi manusia kecuali berserah diri secara mutlak
kepada Dzat yang Maha Memilikidan Menguasai seluruh hidup dan kehidupan ini [taujih mulkiyah]. Atas
dasar ini ini pula manusia tidak dibenarkanmemisahkan aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah,
sebagian lagi untuk yang lainnya. Semua ini harus total dipersembahkan hanya kepada Allah SWT.
Sesuai firman-Nya:
         
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. [,QS al-An’am: 162]
Selain itu Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna [liat QS at-Tin: 4] dan paling
dimuliakan Allah dengan memberinya beberapa kelebihan dibanding makhluk lainnya [liat QS al-
Isra:70]. Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan fasilitas yang lebih
berupa akal dan nurani tentunya bukan tanpa tujuan. Karena itulah Allah SWT memberikan
pertanyaan reflektif kepada manusian.
        
Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? [QS al-Mu’minun: 115]

Sengaja Allah merangkai dua pertanyaan dalam satu ayat tentang eksistensi tujuan penciptaan
manusia dan tentang ke mana tempat kembali dengan maksud mengajak kepada semua untuk
berfikir dan merenung tentang tujuan penciptaan manusia. Tentu ada tujuan Allah untuk semua itu.
Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kelebihan dimaksudkan karena Allah akan
memberikan tugas mulia kepada manusia, yakni menjadi khalifah Allah di muka bumi ini [iat QS al-
Baqarah: 30] yang akan bertugas memakmurkan bumi ini [liat QS Hud: 61]. Untuk melaksanakan
tugas kekkhalifaan dengan baik, maka tidak bias tidak kecuali harus didasarkan pada semangat
pengabdian [ibadah] yang muni hanya kepada Allah SWT semata. Sebagaimana firman-Nya:
      
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [QS az-
Dzariyat : 56]

Dengan beribadah kepada Allah SWT maka manusia bisa menjadi manusia yang bertaqwa,
sebagaimana firman-Nya:
        
  
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa, [QS al-Baqarah: 21]

Dengan bekal taqwa seseorang akan mampu memfungsikan dirinya sebagai khalifah Allah di bumi
sehingga ia mampu menyelesaikan tugas kekhalifaannya dengan baik ketika di dunia untuk kemudian
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak.
Kesimpulannya bahwa mengapa seseorang harus beribadah [menyembah] kepada Allah adalah tidak
lain karena:
1. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah.
2. Perintah Allah kepada seluruh manusia untuk menyembah.
3. Allah tempat kembali semua manusia untuk mempertanggungjawabkan tugasnya di dunia.

D. Prinsip-prinsip Ibadah
Untuk memberikan pedoman ibadah yang bersifat final, Islam memberikan prinsip-prinsip ibadah
sebagai berikut:
1. Prinsip utama dalam ibadah adalah hanya menyembah kepada Allah semata sebagai wujud
mengesakan Allah SWT [Tauhid Ilahiy] .
    
"Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan".
        
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun".
Lawan tauhid adalah syirik [mempersekutukan Allah] yang merupakan dosa terbesar di antara
dosa-dosa besar "zhulmun azhiem" [liat QS Luqman: 13] yang menyebabkan Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik ini [liat QS, An-Nisa: 116] .
2. Tanpa perantara hal ini didasarkan pada firman Allah SWT
            

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku"[QS al-
Baqarah: 186]

Oleh karena Allah SWT berada sangat dekat dengan hamba-hambanya dan memiliki sifat Maha
Mengetahui segaa apa yang dilakukan oleh setiap hamba-Nya, maka dalam berdoa harus angsung
dimohonkan kepada Allah, dan tidak perlu melaui perantara siapapun dan dan perantara apa pun.
3. Harus Ikhlas, yatu murni hanya mengharapkan ridha Allah SWT, keikhlasan harus ada dalam
setiap ibadah, karena keikhlasan inilah yang menjadi jiwa sebuah ibadah. Tanpa keikhlasan, maka
tidak mungkin ada ibadah yang sesungguhnya, sebagimana firman-Nya:
         
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus" [QS al-Bayyinah: 5].
Dan hadits Nabi SAW:
‫وج ُه ُه‬ ً ‫ان َل ُه َخال‬
ْ ‫صا و ْابتغي به‬ َ ‫الع َمل إاَّل َما َك‬
َ ‫هللا َال َي ْق َب ُل م َن‬
َ ‫َّإن‬
ِِ ِ ِ ِ ِ
Allah tidak menerima amalan kecuali dikerjakan dengan ikhlash dan hanya , mencari ridha-Nya.
[HR Al-Nasai]
Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang dilakukan secara ikhlas saja yang akan diterima
oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah yang dilakukan secara tidak ikhlas, seperti karena adanya unsur
riya’ [karena ingin dilihat] tidak akan punya nilai apa-apa di hadapan Allah, bahkan bisa
mendapatkan kecelakaan [lihar QS al-Maun; 4-7] .
4. Harus sesuai tuntunan, Allah SWT berfirman:
         
   
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" [QS al-Kahfi: 110].

Seseorang dikatan beramal shaleh bila dalam beribadah kepada Allah sesuai dengan cara yang
disyariatkan Allah melalui para Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh manusia sendiri .
Rasululah SAW bersabda:
َ َ َ ْ ‫َ ْ َأ ْ َ َ َأ‬
َ ‫هذا َما َل ْي‬
‫س ِف ْي ِه ف ُه َو َر ٌّد‬ ‫من حدث ِفى م ِرنا‬
Barang siapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami yang tidak ada tuntunan [Islam] di
dalamnya maka ditolak [Hadis ini disepakati oleh Bukhari & Muslim].

Hadis ini dimaksudkan sebagai peringatan agar siapa saja tidak mudah melakukan penyimpangan
[merubah] dalam masalah ibadah Mahdah.
5. Seimbang antara unsur jasmani & rohani hal ini didasarkan kepada Firman Allah SWT:
            

‘Dan cariah apa yang Allah berikan kepadamu berupa kebahagian negeri akhirat, namun jangan
kamu lupa bahagiamu di dunia’[QS al-Qashash: 77].

6. Mudah dan meringankan, Allah SWT berfirman:


       
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [QS al-Bawqarah: 286] "

Syariat yang diciptakan Allah SWT mesti sudah sesuai dengan porsi kemanusiaan manusia. Hal ini
karena Allah SWT sebagai pencipta Alam semesta termasuk menciptakan manusia, tentunya
paling tahu tentang ciptaan-Nya dan segala keterbatasan yang dimliiki ciptaan-Nya, sehingga
dalam keadaan yang tidak normal, yakni membahayakan, menyulitkan atau tidak memungkinkan,
maka akan selalu ada jaan keluar berupa keringanan atau rukhshah yang ditawarkan Allah SWT
dalam syariatnya, sebagai mana firman Allah SWT:
        
"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [QS al-Maidah: 6] .

Anda mungkin juga menyukai