Anda di halaman 1dari 49

Melangkah Maju dengan Ilmu

Bismillah.

Salah satu pelajaran berharga yang selalu diingatkan


oleh para ulama kepada umat adalah mengenai
pentingnya melandasi segala ucapan dan perbuatan
dengan ilmu. Sebagaimana telah diungkapkan oleh
Imam Bukhari rahimahullah dengan judul bab ‘Ilmu
sebelum ucapan dan amalan’.

Dan diantara ilmu terpenting dan paling mendasar


untuk dipahami oleh penimba ilmu adalah ilmu
tentang keikhlasan. Oleh sebab itu para ulama pun
tidak henti-hentinya mengingatkan tentang urgensi
ikhlas dan niat dalam segala aktifitas dan kegiatan.
Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Imam Nawawi
rahimahullah dengan mencantumkan hadits niat di
awal kitab Arba’in-nya.

Keikhlasan itu sendiri pada hakikatnya adalah


penyucian jiwa yang wajib dilakukan oleh setiap
hamba. Tanpa keikhlasan maka amal-amal tidak
bernilai dan tidak diterima. Allah berfirman (yang
artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan
perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia
melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan
dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu
apapun.” (al-Kahfi : 110). Tidak berbuat syirik
maksudnya adalah ikhlas…
Orang yang ikhlas akan membersihkan hatinya dari
segala niat dan keinginan yang merusak amalan.
Amalnya dia lakukan untuk mencari wajah Allah dan
mengharapkan keutamaan dari-Nya. Amal yang ikhlas
akan mendatangkan keberkahan walaupun tampaknya
kecil dan sepele. Sebagian ulama salaf berkata, “Betapa
banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya..
dan betapa banyak amal yang besar berubah menjadi
kecil juga karena niatnya.”

Dari sinilah, kita mengetahui betapa besar perhatian


ulama salaf terhadap masalah hati dan penyucian jiwa.
Dan bentuk penyucian jiwa yang paling besar dan
paling wajib adalah dengan mentauhidkan Allah dan
menjauhi segala bentuk perbuatan dan keyakinan syirik.
Inilah asas dakwah para nabi dan rasul. Allah berfirman
(yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus
kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan;
Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang
paling tinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan. Dan rasa malu merupakan salah satu cabang
iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah


iman itu dengan angan-angan atau sekedar menghiasi
penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang
bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan
amalan-amalan.”

2
Dengan bahasa lain, kita bisa memahami bahwa tauhid
juga bukan sekedar wawasan. Karena hakikat tauhid
adalah menujukan segala bentuk ibadah dan amalan
-besar ataupun kecil- untuk Allah semata, tidak kepada
selain-Nya. Oleh yang bertauhid akan menujukan
sholatnya, doanya, sembelihannya, nadzarnya,
istighotsah dan isti’adzahnya kepada Allah semata.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah
kalian menyeru/berdoa bersama dengan Allah siapa
pun juga.” (al-Jin : 19)

Salah satu bentuk kotoran hati yang paling berat


adalah kesombongan. Dan Allah menyebut orang yang
tidak berdoa kepada-Nya sebagai kaum yang sombong.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian
mengatakan; Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku
kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan
masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan
hina.” (Ghafir : 60)

Di sinilah terletak pentingnya pemahaman dalam


agama. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan niscaya Allah akan pahamkan dia
dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagian dari keikhlasan yang paling utama adalah


pemurnian ibadah kepada Allah yang itu menjadi
tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah berfirman
(yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

3
Ibadah mengandung makna perendahan diri dan
ketundukan. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan
bahwa ibadah itu merupakan perpaduan antara
puncak perendahan diri dengan puncak kecintaan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa
ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan;
yang tampak maupun yang tersembunyi. Ulama yang
lain juga menjelaskan bahwa ibadah itu mecakup
pelaksanaan perintah dan menjauhi larangan. Dengan
bahasa yang lebih sederhana, ibadah itu adalah
ketaatan.

Tauhid yang itu menjadi tujuan pokok dari ibadah


merupakan ketaatan yang paling utama. Karena
hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal
ibadah. Tidak memberikan ibadah kecuali hanya
kepada-Nya. Inilah kewajiban terbesar manusia
kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah
hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak
mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Tauhid inilah pondasi tegaknya agama Islam. Tanpa


tauhid maka seluruh amalan akan hancur dan sirna.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah
diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang
sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan
lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan
termasuk golongan orang-orang yang merugi.”
(az-Zumar : 65)

4
Dari sanalah maka tidak mengherankan jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan untuk
memulai dakwah dengan pelajaran tauhid sebelum
kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya. Beliau
bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan
kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan
Allah.” (HR. Bukhari)

Apabila kita cermati masih banyak kaum muslimin


yang belum memahami makna ibadah, belum
mengerti makna tauhid dan hakikat Islam. Bahkan
tidak sedikit diantara kaum muslimin yang masih akrab
dengan berbagai bentuk syirik dan perusak iman.
Bahkan tidak sedikit yang masih meremehkan iman
dan amal salih; padahal ini merupakan kunci
kebahagiaan setiap insan.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa.


Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal
salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling
menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang


melakukan amal salih dari kalangan lelaki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, benar-benar
Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik,
dan benar-benar Kami akan berikan kepada mereka
balasan pahala yang lebih baik daripada amal yang
mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)

Sementara iman dan amal salih harus dibangun di atas


tauhid. Sebab apabila amal salih tercampuri syirik maka
kebaikan akan hancur-lebur. Allah berfirman (yang

5
artinya), “Dan seandainya mereka itu melakukan syirik
pasti akan lenyap amal-amal yang telah mereka
kerjakan.” (al-An’am : 88)

Bangunan Iman Kepada Allah

Bismillah.

Alhamdulillah wash sholatu was salamu ‘ala Rasulillah.


Amma ba’du.

Iman kepada Allah merupakan pokok terpenting


dalam agama Islam. Islam digambarkan seperti sebuah
bangunan yang pondasinya adalah dua kalimat
syahadat. Kalimat laa ilaha illallah merupakan asas
keimanan. Di dalamnya terkandung kaidah-kaidah di
dalam aqidah.

Kalimat laa ilaha illallah memiliki dua rukun;


penolakan sesembahan selain Allah dan penetapan
ibadah hanya untuk Allah. Penolakan disebut dengan
istilah nafi, sedangkan penetapan disebut dengan
istilah itsbat. Kedua rukun ini harus terpenuhi dalam
aqidah dan ibadah seorang muslim.

Artinya, dia tidak boleh menujukan ibadah kepada


selain Allah. Karena hanya Allah yang berhak
menerimanya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas para hamba adalah
hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak
mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

6
Asas keimanan inilah yang dikenal dengan tauhid
kepada Allah. Tauhid bermakna pengesaan.
Maksudnya adalah mengesakan Allah dari segala
bentuk tandingan. Allah Mahaesa dalam hal Dzat-Nya,
nama dan sifat-Nya, perbuatan-Nya, rububiyah-Nya,
dan begitu pula dalam hal keberhakan untuk
mendapatkan ibadah dan penghambaan. Secara
ringkas, tauhid adalah mengesakan Allah dalam
beribadah kepada-Nya. Tauhid ini lah hikmah dan
tujuan diciptakannya jin dan manusia.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku


ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibadah
merupakan perpaduan antara puncak perendahan diri
dan puncak kecintaan, sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnul Qayyim rahimahullah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah


memaparkan bahwa ibadah mencakup segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik itu berupa
ucapan maupun perbuatan; yang tampak maupun
yang tersembunyi. Tidak ada suatu kedudukan/maqam
yang lebih utama dan lebih agung bagi manusia kecuali
posisi sebagai hamba. Oleh sebab itu Allah memuji
rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
kesempatan yang mulia tatkala Allah angkat beliau
untuk menerima kewajiban sholat dalam peristiwa
mi’raj dengan sebutan sebagai ‘hamba’.

Iman itu sendiri mencakup ucapan, keyakinan, dan


perbuatan anggota badan. Iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman
kepada Allah merupakan pondasi bagi rukun-rukun

7
iman yang lainnya; iman kepada malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan iman
kepada takdir. Barangsiapa mengingkari salah satu
rukun iman maka dia tidak termasuk golongan kaum
beriman. Apalagi jika yang diingkari adalah rukun iman
yang pertama; yaitu iman kepada Allah.

Iman kepada Allah sesungguhnya perkara yang sangat


jelas dan gamblang pada dasarnya. Keyakinan tentang
adanya Allah dan keesaan Allah dalam hal rububiyah
adalah fitrah yang tertanam dalam hati setiap insan.
Bahkan orang Arab badui pun bisa mengenali Allah
dengan bukti-bukti sederhana, tanpa mereka harus
belajar di sekolah atau kuliah. Mereka mengatakan :

Tahi onta menunjukkan adanya onta


Dan bekas-bekas kaki menunjukkan adanya
rombongan perjalanan

Akan tetapi fitrah ini tidak cukup untuk bisa


melaksanakan perintah ibadah kepada Allah dengan
rinci. Oleh sebab itulah Allah mengutus para nabi dan
rasul serta menurunkan kitab-kitab-Nya kepada umat
manusia. Dalam rangka mengajarkan kepada mereka
petunjuk dan agama yang benar. Mengajarkan tauhid
kepada manusia dan memperingatkan mereka dari
kesyirikan.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah


Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang
menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.”
(an-Nahl : 36)

8
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami
utus sebelum kamu -wahai Muhammad- seorang rasul
pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa
tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku,
maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu


telah menetapkan; Janganlah kalian beribadah kecuali
kepada-Nya…” (al-Israa’ : 23)

Salah seorang ulama guru dari para ulama yang ada di


masa kini, Syaikh Zaid al-Fayyadh rahimahullah (wafat
1416 H) menjelaskan dalam kalimat yang ringkas
tentang makna iman kepada Allah. Beliau berkata :
Iman kepada Allah maknanya adalah keyakinan yang
kuat bahwasanya Allah adalah Rabb/pengatur segala
sesuatu dan penguasanya. Bahwa hanya Allah yang
menciptakan. Bahwa Allah yang berhak mendapatkan
pemurnian ibadah, perendahan diri dan ketundukan.
Dan hanya Allah yang berhak menerima segala bentuk
ibadah. Bahwa Allah yang memiliki sifat-sifat
keagungan dan kesempurnaan. Allah tersucikan dari
segala keburukan dan kekurangan (lihat ar-Raudhah
an-Nadiyah Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, hal. 50)

Para ulama pun telah menjelaskan bahwa tauhid


kepada Allah mencakup :
- Tauhid rububiyah; mengesakan Allah dalam hal
perbuatan-perbuatan-Nya
- Tauhid uluhiyah; mengesakan Allah dalam beribadah
kepada-Nya
- Tauhid asma’ wa shifat; mengesakan Allah dalam hal
nama dan sifat-Nya

9
Adapun tauhid rububiyah maka tidak ada perselisihan
-secara umum- antara kaum muslimin dan kaum
musyrikin. Adapun tauhid uluhiyah maka di sinilah
letak perselisihan antara kaum muslimin dengan kaum
musyrikin. Adapun tauhid asma’ wa shifat terjadi
padanya perselisihan diantara kaum muslimin (lihat
Syarh Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari karya
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah, hal. 27-28).

Diantara pembahasan paling utama untuk ditekankan


di tengah kaum muslimin di saat ini adalah
pembahasan tentang tauhid uluhiyah. Karena inilah
misi utama dakwah para rasul. Oleh sebab itu para
ulama kita banyak mengupas perkara tauhid ini dalam
karya dan ceramah mereka. Diantaranya adalah Kitab
Tauhid, Ushul Tsalatsah, Qawa’id Arba’, dan Tafsir
Kalimat Tauhid karya dari Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah (wafat 1206 H).

Mengenalkan tauhid kepada masyarakat tidak cukup


hanya dengan mengenalkan Allah sebagai pencipta,
penguasa dan pengatur alam. Karena keyakinan
semacam ini belum memasukkan ke dalam Islam.
Mengenalkan tauhid juga tidak cukup hanya dengan
mengajarkan kalimat laa ilaha illallah. Betapa banyak
orang yang mengucapkan kalimat tauhid ini tetapi
tidak memahami maksud dan konsekuensinya. Umat
harus disadarkan bahwa tauhid menuntut kita
beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan segala
bentuk syirik kepada-Nya. Maka ibadah apapun tidak
boleh ditujukan kepada selain Allah; apakah itu
malaikat, nabi, atau wali.

10
Tauhid kepada Allah juga menuntut seorang muslim
mencintai apa-apa yang Allah cintai dan membenci
apa-apa yang Allah benci. Tauhid kepada Allah juga
menuntut seorang muslim untuk mengikuti rasul dan
tidak membuat ajaran-ajaran baru.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan
(agama) kami ini sesuatu yang bukan termasuk
ajarannya maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, bahwa


dakwah tauhid ini adalah dakwah yang membutuhkan
banyak rincian. Tidak cukup hanya seruan-seruan yang
bersifat global. Diantara yang paling utama untuk
diirinci adalah macam-macam ibadah, macam-macam
syirik, dan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Yang
dengan itu semuanya semoga kita semakin
mentauhidkan Allah…

11
Benteng Agama

Bismillah.

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Apakah


sama antara orang-orang yang berilmu dengan
orang-orang yang tidak berilmu.” (az-Zumar : 9)

Allah berfirman (yang artinya), “Dia lah yang


mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang
benar.” (at-Taubah : 33)

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan


petunjuk adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan
agama yang benar maksudnya adalah amal salih (lihat
keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
dalam al-Bayan li Akhtha’ Ba’dhil Kuttab, 1/12)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa


yang dimaksud ‘petunjuk’ adalah berita-berita yang
benar, keimanan yang lurus serta ilmu yang
bermanfaat, sedangkan yang dimaksud ‘agama yang
benar’ adalah amal-amal salih lagi benar yang
bermanfaat di dunia dan di akhirat (lihat Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim, 4/136)

Dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim


rahimahullah menerangkan : Iman itu memiliki dua
pilar. Yang pertama adalah mengenali ajaran yang
dibawa oleh Rasul dan mengilmuinya. Yang kedua
adalah membenarkan ajaran itu dalam bentuk ucapan
dan amalan. Pembenaran tanpa landasan ilmu dan
pemahaman adalah mustahil. Karena pembenaran

12
merupakan cabang dan konsekuensi dari keberadaan
sesuatu yang diyakini kebenarannya. Kalau begitu
maka kedudukan ilmu dalam keimanan seperti
peranan ruh di dalam jasad (lihat nukilan ini dalam
kitab ‘Ibadatul ‘Umri karya Syaikh Abdurrahman
as-Sanad hafizhahullah, hal. 10)

Kebaikan besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya


adalah tatkala dia mengenali kebenaran dan
mengamalkannya. Allah berfirman (yang artinya),
“Allah berikan hikmah itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang diberikan hikmah
maka sungguh dia telah diberi kebaikan yang sangat
banyak.” (al-Baqarah : 269)

Kata ‘hikmah’ di dalam al-Qur’an ini mengandung


makna mengenali kebenaran, menyuarakannya dan
beramal dengannya (lihat ‘Ibadatul ‘Umri, hal. 24)

Pokok utama dari hikmah itu adalah berupa rasa takut


kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan hal itu dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu oleh Imam
al-Baihaqi rahimahullah dalam kitabnya Syu’abul Iman
(lihat ‘Ibadatul ‘Umri, hal. 25)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah tambahkan


kepada orang-orang yang mengikuti petunjuk itu
dengan tambahan petunjuk.” (Maryam : 76)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang


mengikuti petunjuk Allah tambahkan kepada mereka
petunjuk dan Allah berikan kepada mereka ketakwaan.”
(Muhammad : 17)

13
Inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki
kebaikan maka Allah pahamkan dia dalam agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,


“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari
al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Orang yang menjadi baik dengan al-Qur’an adalah


mereka yang mempelajarinya, merenungkan
kandungannya serta melaksanakan ajarannya di dalam
kehidupan.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa


yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan
tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Bukan Sekedar Kalimat

Bismillah. Rabbi, yassir…

Nikmat besar yang kita jumpai di negeri ini begitu


banyak kaum muslimin yang dengan ringan
mengucapkan kalimat-kalimat kebaikan. Diantaranya
adalah kalimat tauhid; laa ilaha illallah. Sebuah kalimat
yang menjadi kunci kebahagiaan dan keselamatan.

Akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa


dipungkiri, bahwa masih banyak diantara kaum
muslimin sendiri yang belum memahami dengan benar
makna dan konsekuensi kalimat tauhid ini. Sehingga
hal itu membuat mereka melakukan atau

14
mengucapkan perkara-perkara yang merusak
kemurnian tauhid dan bahkan bisa mencabut akar
keimanan.

Banyak orang yang masih memahami bahwa makna


kalimat tauhid adalah meyakini Allah sebagai pencipta
dan pemelihara alam semesta. Tidak
tanggung-tanggung bahkan sebagian kalangan yang
dianggap sebagai pakar agama pun menafsirkan
kalimat tauhid dalam kitab-kitab mereka dengan
makna ‘tiada yang mampu menciptakan selain Allah’.

Padahal, kalimat laa ilaha illallah itu sebagaimana telah


dipahami oleh kaum musyriki arab kala itu
mengandung makna penolakan ibadah kepada selain
Allah dan menetapkan bahwa ibadah hanya boleh
ditujukan kepada Allah. Tidak ada yang berhak
disembah kecuali Allah. Allah berfirman (yang artinya),
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah adalah
[sesembahan] yang benar sedangkan apa-apa yang
mereka seru selain-Nya adalah batil.” (al-Haj : 62)

Apa sebab kekeliruan pemahaman ini? Salah satunya


adalah karena ketidakpahaman terhadap bahasa arab.
Karena dalam bahasa arab kata ‘ilah’ bermakna
‘ma’bud’ yaitu sesembahan. Ilah bukan bermakna
pencipta atau pemelihara. Selain itu disebabkan
ketidakpahaman mereka mengenai hakikat kesyirikan
yang dilakukan oleh kaum musyrik terdahulu; yang itu
berdampak membutakan mereka akan hakikat
kesyirikan yang terjadi di masa kini di tengah
masyarakat Islam.

15
Yang lebih memprihatinkan adalah ketika kerancuan
pemahaman ini dibawa oleh orang-orang yang
dianggap berilmu dan berpendidikan tinggi. Mereka
yang menyandang gelar akademik dan menduduki
posisi-posisi strategis dalam dunia pendidikan atau
kehidupan sosial. Keadaannya semakin runyam ketika
kerancuan ini dibungkus dengan berbagai argumentasi
abal-abal yang kebanyakan orang tidak mengerti dan
memahami letak kesalahannya.

Diantara bentuk kekeliruan adalah apa yang mereka


lontarkan bahwa iman cukup di dalam hati, tidak ada
sangkut pautnya antara ucapan lisan dengan iman.
Karena letak iman itu bukan di lisan tetapi di dalam
hati, katanya demikian. Padahal, orang yang mengkaji
aqidah Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah
akan mengenali dengan jelas bahwa iman itu
mencakup ucapan dan perbuatan; ucapan lisan dan
ucapan hati, perbuatan lisan dan perbuatan anggota
badan. Inilah bukti bahwa kerancuan pemahaman
dalam hal tauhid dan iman ini bukan hanya merambah
pada kalangan masyarakat awam, bahkan ia sudah
merasuk di jajaran kaum terpelajar dan tokoh agama,
Allahul musta’an.

Salah satu dalil telak untuk membantah kerancuan ini


adalah firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah
mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah
kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya
dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan
zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5).
Jika agama atau iman itu cukup di dalam hati tentu
tidak ada bedanya antara orang yang sholat dengan
orang yang tidak sholat, dan tidak ada bedanya antara

16
orang yang membayar zakat dengan orang yang tidak
membayar zakat, padahal dia mampu. Semuanya akan
kita katakan bahwa iman mereka sempurna, karena
iman cukup di dalam hati. Dan tidak ada seorang
muslim pun yang mengatakan demikian.

Begitu pula hadits dari Ibnu ‘Abbas yang menceritakan


diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah yang pertama
kali kamu serukan kepada mereka adalah syahadat laa
ilaha illallah….” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seandainya iman itu cukup di dalam hati maka tidak
perlu orang mengucapkan dua kalimat syahadat.
Karena pengakuan hati itu sudah menjadi bukti
keimanan; dan ternyata nabi tidak mencukupkan
dengan hal itu. Seandainya ucapan lisan itu tidak
menjadi bagian dari iman yang pokok maka tentu Abu
Thalib akan dengan mudah menerima ajakan Nabi
untuk mengucapkan syahadat; toh itu hanya ucapan
lisan… Akan tetapi karena dia menyadari bahwa
kalimat tauhid ini bukan sekedar ucapan, maka dia pun
menolaknya. Dan seandainya pengakuan hati itu
cukup maka Abu Thalib akan terbebas dari neraka….

Inilah kenyataan menyedihkan yang menimpa kaum


muslimin di negeri ini. Ribuan bahkan jutaan manusia
yang mengucapkan kalimat syahadat ini seolah tidak
ada artinya. Karena bagi orang-orang keblinger itu
tauhid dan iman cukup di dalam dada. Jadi, mereka
yang mengucapkan syahadat dengan lisan itu
sesungguhnya sedang dianggap seperti orang yang
mengenakan perhiasan atau busana tanpa makna.
Sehingga tidak masalah juga -menurut mereka-
seandainya umat Islam ini mengucapkan selamat atas

17
perbuatan kekafiran dan kemusyrikan kepada Allah…
Kan, iman itu bukan di lisan, tetapi cukup apa yang
tertanam di dalam dada. Subhanallah!

Kalau memang benar iman itu cukup di dalam hati


lantas mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata baik atau
diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau iman cukup
di hati dan tidak di lisan maka tidak perlu kita
mengucapkan kebaikan atau diam dari keburukan;
bahkan kalau perlu kita lontarkan semua kalimat kotor
dan caci-maki kepada setiap orang yang kita jumpai;
toh iman itu di hati, dan bukan di lisan?! Apakah ada
orang berakal yang mengatakan demikian?

Kalau iman itu cukup di hati maka apa arti hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim itu
adalah yang membuat selamat kaum muslimin dari
gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Kalau begitu tidak usah anda melarang anak
anda berkata-kata keji atau melaknat orang tuanya;
karena iman itu kan letaknya di dalam hati, bukan di
lisan!? Apakah ada orang muslim yang mengatakan
demikian?

Dan kalau iman itu cukup di hati saja, lantas mengapa


Allah memerintahkan kepada kaum beriman (yang
artinya), “Wahai orang-orang yang beriman
bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang lurus/benar…” (al-Ahzab : 71). Apa
salahnya kalau kita mengatakan kebatilan dan mencaci
kebenaran; bukankah iman itu cukup di dalam hati?!
Begitu…?

18
Sayang apabila pendapat aneh bin ajaib ini muncul dari
pembesar sebuah ormas Islam. Islam seperti apa yang
hendak diajarkan apabila makna iman saja rancu
dalam pikirannya? Hasan al-Bashri rahimahullah
mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan
berangan-angan atau menghias penampilan semata.
Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di
dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal
perbuatan.”

Benar bahwa ucapan lisan saja tidak cukup, demikian


pula perbuatan anggota badan pun tidak cukup,
karena semuanya harus dilandasi dengan keyakinan
hati. Akan tetapi bukan berarti iman cukup dengan
keyakinan saja. Oleh sebab itu para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa selalu
mengajarkan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan,
pembenaran di dalam hati, dan diamalkan dengan
anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan
menjadi berkurang atau luntur karena kemaksiatan.

Para ulama juga menjelaskan bahwa islam adalah sikap


berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk
kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari
syirik dan pelakunya. Hal ini memberikan faidah
bahwa islam tidak bisa tegak tanpa tauhid dan
membenci syirik. Islam harus disertai dengan
kepatuhan kepada perintah dan larangan. Perintah
terbesar adalah tauhid, dan larangan terbesar adalah
syirik. Tidak boleh berbuat syirik; apakah itu berupa
ucapan, perbuatan atau keyakinan. Dan tidak boleh
pula memberikan loyalitas kepada kaum musyrik.

19
Islam tidak melarang kaum muslimin berbuat baik
kepada orang kafir; apalagi itu tetangga atau kerabat.
Akan tetapi dalam urusan ibadah dan aqidah; bagi
mereka agama mereka dan bagi kita agama kita.
Sehingga kita pun tidak boleh menghadiri perayaan
hari besar mereka…

Bukti Kekuasaan Allah

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap muslim


meyakini bahwa alam semesta ini, langit dan bumi
beserta segala isinya adalah ciptaan Allah dan berada
di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang menciptakan
dan mengatur alam ini kecuali Allah. Ini adalah bagian
dari keyakinan mendasar bahkan fitrah yang telah
Allah tanamkan dalam hati umat manusia.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah


tauhid rububiyah. Keyakinan bahwa Allah Mahaesa
dalam hal mencipta, mengatur dan menguasai alam
semesta. Umat manusia pada dasarnya telah mengakui
hal ini dalam lubuk hati mereka, bahkan mereka yang
musyrik dan kafir sekali pun mengakui hal ini. Jika
mereka ditanya siapa yang menciptakan langit dan
bumi, mereka menjawab Allah. Jika mereka ditanya
siapa yang memberi rezeki, mereka menjawab Allah.

Pada hari-hari ini ketika musibah wabah telah melanda


berbagai negara dan menerpa berbagai lapisan
masyarakat baik yang kaya ataupun yang miskin, yang
punya kedudukan tinggi maupun orang biasa; maka

20
orang pun kembali tersadar bahwa manusia itu adalah
makhluk yang tidak berdaya di hadapan kekuasaan
Allah. Makhluk kecil bernama virus pun mampu
‘menumbangkan’ arogansi dan kesombongan
negara-negara kaya dan adidaya…

Pada hari ini kita pun kembali sadar, bahwa manusia


tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan dan
bantuan Allah. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memberikan pelajaran aqidah
mendasar ini dalam sabdanya kepada Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma, “Apabila kamu meminta
pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi, dia menyatakan hadits ini berderajat
hasan sahih)

Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah menyebutkan


salah satu faidah dari hadits itu adalah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan
dan arahan kepada sahabatnya itu agar bertawakal
kepada Allah semata dan tidak menggantungkan hati
kepada selain Allah dalam segala urusan; apakah itu
sedikit ataupun banyak (lihat ad-Durrah as-Salafiyah,
hal. 153)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Kita sebagai


manusia seringkali lupa akan hal ini. Banyak orang
yang terlalu bersandar kepada kemampuannya,
kecerdasannya, keahliannya, kekuatan dan kekuasaan
atau kekayaan dan kehebatannya. Padahal, tanpa
pertolongan Allah manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya dan
kekuatan kecuali dengan bantuan Allah. Kalimat yang
agung ini mengandung kewajiban bertawakal kepada

21
Allah semata dan agar kita senantiasa memohon
pertolongan kepada Allah dalam menghadapi urusan
dan permasalahan…

Apabila kita pun telah sadar dan teringat bahwa dunia


dan segala isinya ini adalah milik Allah dan Allah bisa
mengatur alam ini sesuai kehendak dan hikmah-Nya;
seperti apa pun yang Allah inginkan. Maka semestinya
kita pun kembali sadar bahwa tidak ada yang berhak
untuk disembah selain Allah; karena hanya Allah Rabb
yang mengatur alam raya ini. Allah pula yang
menjamin rezeki seluruh manusia dan bahkan setiap
binatang melata yang ada…

Kebanyakan orang apabila tertimpa musibah dan


bencana kembali kepada Allah dan berdoa
kepada-Nya semata agar segera dilepaskan dari
musibah dan marabahaya. Akan tetapi pada saat Allah
telah anugerahkan kepada mereka keselamatan maka
tiba-tiba mereka pun ‘kumat’ kembali tenggelam
dalam syirik dan kekufuran. Allah berfirman (yang
artinya), “Maka apabila mereka meniki perahu mereka
pun berdoa kepada Allah dengan memurnikan
untuk-Nya agama/doa. Maka setelah Allah selamatkan
mereka ke daratan tiba-tiba mereka kembali
melakukan kesyirikan.” (al-’Ankabut : 65). Ini
merupakan sikap tidak tahu diri dan tidak tahu terima
kasih.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah kita


ragu bahwa Allah Mahamampu untuk mengangkat
segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa
manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Atau
siapakah -selain Allah- yang mampu memenuhi

22
permintaan orang yang dalam keadaan terjepit ketika
dia memanjatkan doa kepada-Nya, dan siapakah yang
mampu menyingkapkan keburukan/musibah itu.”
(an-Naml : 62)

Bahkan orang-orang musyrik terdahulu pun meyakini


bahwa hanya Allah yang bisa memberikan pertolongan
kepada mereka dalam kondisi terancam bahaya dan
terjepit. Oleh sebab itulah orang-orang musyrik
terdahulu berdoa kepada Allah semata ketika berada
dalam keadaan susah dan genting seraya memurnikan
doanya untuk Allah (lihat Ibthal at-Tandid, hal. 87)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan apabila menimpa


manusia suatu marabahaya mereka pun berdoa kepada
Rabbnya seraya inabah/kembali kepada-Nya.
Kemudian ketika Allah berikan dari-Nya sebagian
rahmat tiba-tiba sebagian dari mereka pun kembali
berbuat kemusyrikan kepada Rabbnya.” (ar-Rum : 33)

Ayat-ayat yang gamblang ini memberikan pelajaran


kepada kita bahwa sikap kaum musyrikin terdahulu
apabila tertimpa musibah maka mereka kembali
kepada Allah dan meninggalkan sesembahan
selain-Nya. Sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad
bin Ishaq dari Ikrimah bin Abu Jahal yang mengisahkan
bahwa orang-orang musyrik kala itu ketika berada di
atas kapal dan terancam oleh badai/ombak lautan
mereka mengatakan, “Wahai kaum, murnikanlah
untuk Rabb kalian permintaan/doa kalian. Karena
tidak ada yang bisa menyelamatkan dalam keadaan ini
kecuali Dia (Allah).” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim,
6/160 cet. at-Taufiqiyah)

23
Allah pun telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya
(yang artinya), “Dan apabila menimpa kalian suatu
marabahaya/musibah di tengah lautan maka lenyaplah
semua sesembahan yang kalian seru kecuali Dia, maka
ketika Allah selamatkan kalian ke daratan ternyata
kalian pun berpaling. Dan adalah manusia itu orang
yang sangat ingkar.” (al-Israa’ : 67)

Pelajaran apa yang kiranya bisa kita petik dari musibah


wabah yang menggemparkan dunia ini? Ya, banyak
yang bisa kita resapi. Salah satunya adalah wajibnya
kita bersandar kepada Allah dan tidak kepada
kemampuan diri kita. Kita ini lemah dan Allah
Mahakuat. Kita ini tidak mampu dan Allah
Mahamampu. Kita ini tidak tahu sedangkan Allah
Mahamengetahui. Kita pun wajib memurnikan ibadah
kita kepada Allah, tidak boleh beribadah kepada
selain-Nya… Dengan demikian sebenarnya musibah ini
mestinya membuat manusia kembali sadar untuk
bertauhid dan bersyukur kepada Allah atas segala
nikmat-Nya. Semestinya manusia ingat bahwa sebab
utama musibah ini adalah karena syirik dan kekufuran
yang dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini.

Allah berfirman (yang artinya), “Telah tampak


kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah
tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian akibat dari apa yang mereka
kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali/bertaubat.”
(ar-Rum : 41)

Dengan kata lain, semestinya setelah musibah ini


menerpa seharusnya kita menjadi orang yang semakin
ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Semestinya kita

24
tinggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya; apa
pun bentuknya. Kita bersihkan hati kita dari syirik,
kemunafikan, kefajiran, riya’, dan ujub serta
kesombongan. Jika musibah-musibah ini tidak
menyadarkan kita akan hal-hal ini maka anda perlu
waspada; karena bisa jadi Allah telah mengunci
hatinya.

Sebagaimana dikatakan oleh orang arab :

Bagaimana mungkin sayatan luka


Bisa membuat sakit orang yang sudah binasa

Orang yang sudah mati hatinya tidak bisa lagi


mengenali kebaikan dan keburukan, tidak bisa lagi
membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Dia
tidak mau tunduk kecuali dengan apa-apa yang sesuai
dengan selera hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah
imamnya dan kebodohan adalah kendaraan
tunggangannya. Dia taklukkan akal sehatnya dalam
keadaan terjajah oleh bujuk rayu dan tipu daya para
penyeru menuju lembah neraka.

Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk


bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.

25
Cobaan dan Kecintaan

Bismillah.

Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala bersama
dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah
ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah
berikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa yang
ridha maka Allah ridha kepadanya. Dan barangsiapa
yang murka maka Allah pun murka kepadanya.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh
al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 286)

Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa


barangsiapa mendapatkan cobaan lebih besar niscaya
pahala yang akan diterima olehnya juga lebih besar.
Para ulama menjelaskan bahwasanya seorang muslim
yang tertimpa musibah hendaklah ridha dengan takdir
Allah. Seorang hamba tidaklah meraih hakikat/puncak
ridha sampai ridhanya ketika tertimpa kefakiran dan
musibah seperti ridhanya ketika dalam keadaan kaya
dan lapang (lihat Ibthal at-Tandid, hal. 198)

Yang dimaksud dengan cobaan/bala dalam hadits ini


bisa jadi berupa kesulitan, penyakit, hartanya hilang,
atau ditinggal mati kerabatnya. Sebagian orang ada
yang mengalami berbagai musibah yang bertubi-tubi.
Maka hal ini menjadi tanda kebaikan baginya apabila
orang tersebut beriman dan bersabar dalam
menghadapi musibah (lihat I’anatul Mustafid, 2/116)

26
Hadits di atas juga mengandung faidah bahwasanya
barangsiapa yang ridha terhadap ketetapan takdir
Allah dan bersabar menghadapi musibah maka Allah
ridha kepadanya dan mencintainya. Dan barangsiapa
yang tidak ridha dengan takdir Allah maka Allah
membencinya. Musibah-musibah ini diberikan dalam
rangka membuktikan siapakah orang yang sabar dan
siapa yang tidak sabar; dan dengan itulah
balasan/pahala akan diberikan (lihat I’anatul Mustafid,
2/117)

Musibah dan bencana ini adalah cobaan dari Allah.


Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa
ta’ala tidaklah menimpakan cobaan/musibah untuk
mencelakakannya, hanya saja Allah memberikan
musibah kepadanya untuk menguji kesabaran dan
penghambaannya kepada Allah. Karena sesungguhnya
Allah berhak mendapatkan penghambaan di kala susah
sebagaimana Dia juga berhak mendapatkan
penghambaan di kala senang…” (lihat al-Wabil
ash-Shayyib, hal. 4 penerbit Maktabah Darul Bayan)

Karena itulah tidak heran apabila Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan
musibah kepadanya.” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah
dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu
apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah
tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit
atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya
sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm.
379)

27
Ya, dengan adanya musibah dan diikuti dengan
kesabaran akan membuahkan keutamaan dan pahala
yang sangat besar dari Allah. Allah berfirman (yang
artinya), “Dan Allah mencintai orang-orang yang
sabar.” (Ali ‘Imran : 146). Allah juga berfirman (yang
artinya), “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang sabar.” (al-Anfal : 46)

Amal salih dan kesabaran merupakan sebab untuk


mendapatkan ampunan Allah dan pahala yang besar.
Allah berfirman (yang artinya), “Kecuali orang-orang
yang bersabar dan melakukan amal-amal salih, mereka
itulah yang akan diberi ampunan dan pahala yang
sangat besar.” (Hud : 11)

Demikian sedikit kumpulan catatan, semoga


bermanfaat.

Referensi :
- at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, Shalih bin Abdul
Aziz alu Syaikh
- I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, Shalih bin
Fauzan al-Fauzan
- Ibthal at-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid,
Hamd bin Ali bin Atiq
- al-Wabil ash-Shayyib, Ibnu Qayyim al-Jauziyah

28
Diantara Asma’ul Husna

Bismillah.

Diantara nama Allah Yang Mahaindah adalah


asy-Syakur; Yang Mahaberterima kasih. Syaikh as-Sa’di
rahimahullah mengungkapkan, Allah adalah asy-Syakur;
yang Dia akan mensyukuri amal walaupun sedikit dan
Allah akan menambahkan keutamaan/karunia kepada
orang-orang yang bersyukur (lihat al-Qaul as-Sadiid fi
Maqashid at-Tauhiid, hal. 11)

Diantara ayat yang menyebutkan nama asy-Syakur


yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan mereka
mengatakan : Segala puji bagi Allah yang telah
menghilangkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya
Rabb kami benar-benar Mahapengampun lagi
Mahaberterima kasih.” (Fathir : 34)

Nama Allah asy-Syakir atau asy-Syakur menunjukkan


bahwa tidak ada satu pun amalan yang tersia-siakan di
sisi Allah. Bahkan amalan-amalan itu akan
dilipatgandakan pahalanya berlipat-lipat. Allah
berkenan untuk menerima amalan walaupun itu ringan
atau kecil/terlihat sepele. Dan Allah pun memberikan
balasan atasnya dengan balasan yang melimpah ruah
(lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr
hafizhahullah dalam Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 241)

Dan nama ini tidaklah menunjukkan bahwa Allah


membutuhkan makhluk. Apabila manusia berterima
kasih kepada sesama karena perbuatan baik mereka

29
kepadanya maka Allah tidak demikian. Allah
Mahakaya dan tidak membutuhkan alam semesta.

Dari sifat yang terkandung di dalam nama asy-Syakur


inilah semestinya seorang muslim selalu menanamkan
harapan yang besar kepada Allah atas rahmat-Nya.
Karena sekecil apapun amalan pasti Allah berikan
balasan yang lebih besar. Oleh sebab itu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita
meremehkan kebaikan walaupun kelihatannya kecil
atau remeh.

Diantara perkataan ulama yang cukup bermanfaat


terkait nama asy-Syakur ini adalah : Apabila kamu
tidak mendapati kelezatan di dalam hati dari ibadah
yang kamu lakukan maka curigailah dirimu, karena
sesungguhnya Allah itu asy-Syakur/Mahaberterima
kasih.

Tidaklah diragukan bahwa ibadah akan membawa


kepada ketenangan dan kebahagiaan. Akan tetapi
harus diingat bahwa ibadah yang benar harus ditopang
dengan keikhlasan, rasa takut, cinta dan harapan
kepada Allah. Ibadah yang sesuai dengan tuntunan.
Ibadah yang tegak di atas iman dan tauhid. Bukan
ibadah yang dibangun di atas kemunafikan dan
kekafiran.

Maka ketika ibadah tidak membuahkan ketenangan


hati, kelezatan jiwa dan manisnya iman maka yang
harus diperiksa adalah kondisi hati orang yang
melakukannya. Karena bisa jadi terdapat kotoran
syubhat ataupun syahwat yang telah merusak nurani
dan ilmunya. Di sinilah pentingnya ilmu yang

30
bermanfaat, dzikir, dan istighfar dalam menjaga
kebersihan hati dari segala kotoran.

Semoga Allah beri taufik bagi kami dan pembaca untuk


istiqomah dalam kebaikan.

Pentingnya Sabar dan Syukur

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya


sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk
bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang
disampaikan kepadanya. Hal itu dikarenakan sabar
dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh
iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur.
Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung
pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya.
Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan
sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu
adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah
meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang
mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan
hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba
yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab
itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat
baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada
dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala
at-Tafsir [1/145])

Termasuk dalam bentuk nikmat -yang harus kita


syukuri- adalah ketaatan yang telah kita lakukan. Ini
semuanya adalah anugerah dan nikmat dari Allah.

31
Bahkan, nikmat iman dan ketaatan ini adalah nikmat
yang lebih agung daripada nikmat-nikmat keduniaan.
Oleh sebab itu sudah semestinya kita senantiasa
mensyukurinya (lihat Syarh al-Qawa'id al-Arba' oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak
hafizhahullah, hlm. 8)

Dengan demikian ketika seorang hamba telah diberi


taufik oleh Allah untuk mengenal tauhid dan
mengamalkannya sesungguhnya dia telah
mendapatkan nikmat yang sangat besar. Sebuah
nikmat agung yang wajib untuk disyukuri. Sufyan bin
'Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah
mengaruniakan nikmat kepada hamba dengan suatu
bentuk nikmat yang lebih utama daripada ketika Allah
perkenalkan mereka terhadap laa ilaha illallah.” Beliau
juga berkata, “Sesungguhnya laa ilaha illallah itu di
akhirat bagi mereka seperti air bagi manusia ketika
mereka hidup di dunia.” (lihat 'Uddatu ash-Shabirin,
hlm. 248-249)

Abud Darda' radhiyallahu 'anhu berkata, “Barangsiapa


yang tidak mengenali kenikmatan Allah terhadap
dirinya selain urusan makanan dan minumannya, maka
sungguh sedikit ilmunya dan telah datang adzab
untuknya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim,
hlm. 48)

Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan:


as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur
itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai
pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.”
Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak

32
muda.” (lihat al-Fawa'id wa al-Akhbar wa al-Hikayat,
hlm. 144)

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah pernah ditanya


tentang makna zuhud di dunia, beliau menjawab, “Jika
dia mendapatkan nikmat maka bersyukur dan jika dia
mendapatkan cobaan musibah maka dia pun bersabar.
Itulah zuhud.” (lihat Min A'lam as-Salaf [2/78])

Syaikh Sa'ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah


menerangkan bahwa hakikat syukur adalah
menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan.
Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati ia mengakui
bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan ia
menceritakan nikmat yang Allah berikan dan
menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan
anggota badan ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal
yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan
demikian syukur itu mencakup segala bentuk amal
ketaatan (lihat Syarh Mutun al-'Aqidah, hlm. 220)

Macam-Macam Sabar

Sabar yang terpuji ada beberapa macam: [1] sabar di


atas ketaatan kepada Allah 'azza wa jalla, [2] demikian
pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah
'azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung
takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam
menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi
perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada
sabar dalam menghadapi takdir yang terasa
menyakitkan... (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hlm.
279)

33
Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Adapun sabar
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar
dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka hal
itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya
merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal
itu merupakan pokok dan cabangnya. Karena pada
hakekatnya iman itu secara keseluruhan merupakan
kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri
kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam
menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga
karena sesungguhnya agama ini berporos pada tiga
pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan
rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan
rasul-Nya, dan [3] menjauhi larangan-larangan
keduanya...” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid
at-Tauhid, hlm. 105-106)

Sabar menempati kedudukan yang sangat agung di


dalam Islam. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu
berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi
tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang
tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I'anat
al-Mustafid [2/107 dan 109])

Pada dasarnya sabar itu mencakup sabar ketika


tertimpa musibah dan juga sabar ketika mendapatkan
nikmat. Sabar ketika mendapatkan nikmat maksudnya
adalah tidak menggunakan nikmat itu kecuali dalam
ketaatan. Termasuk di dalamnya adalah sabar dalam
menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah
dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan nikmat tersebut.

34
Inilah sabar yang menjadi senjata untuk menangkal
fitnah syahwat.

Dari sini, kita bisa memahami maksud perkataan


Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu'anhu, “Kami diuji
dengan kesulitan maka kami pun bisa bersabar, akan
tetapi tatkala kami diuji dengan kesenangan maka
kami tidak bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya', hlm. 342)

Jangan Kau Remehkan Tugas Itu

Bismillah.

Salah satu pelajaran berharga yang kami dapati dari


para pendahulu kami, adalah perhatian mereka yang
besar untuk menjaga amalan. Ada diantara mereka
yang Allah beri taufik untuk terus menimba ilmu ke
jenjang yang lebih tinggi dan kepada para ulama yang
lebih mumpuni. Ada pula yang Allah beri taufik untuk
mengurus kegiatan dakwah di masyarakat dengan
bekal ilmu yang dimiliki. Ada pula yang Allah
mudahkan untuk aktif mengurus masjid di tengah
kesibukannya.

Satu hal yang kami ingat bahwa mereka adalah


orang-orang yang berusaha menggunakan masa
mudanya untuk ketaatan kepada Allah dan
pengabdian kepada-Nya. Hal ini mungkin
mengingatkan kita akan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang mengisahkan tujuh golongan yang
diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat, salah
satunya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam

35
ketaatan beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Mereka bukanlah orang yang tidak punya kesibukan.


Bahkan mereka adalah para penggerak dan pegiat
dakwah di tengah umat. Waktunya penuh dengan
agenda kebaikan dan kemanfaatan. Dari satu kebaikan
menuju kebaikan yang lainnya. Mungkin sedikit tetapi
terus-menerus. Hal ini pun kembali mengingatkan kita
akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal
yang paling dicintai Allah adalah yang paling
terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari)

Sebagian mereka pun telah menekuni dunia akademik


atau usaha dengan berbagai macam bentuknya. Satu
hal yang mempersatukan mereka; yaitu kecintaan
kepada ilmu agama dan berjuang di jalan-Nya. Dari
perjalanan hidup mereka itulah banyak kita temukan
pundi-pundi hikmah yang tersimpan dalam firman
Allah (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya
manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, beramal salih, saling
menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati
untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Mereka adalah para penerus perjuangan manhaj para


sahabat nabi. Mereka adalah para pemuda pejuang
tauhid dan pengemban panji-panji sunnah di negeri ini.
Kini mereka pun telah memberikan sumbangsih
pengorbanan dan pengabdian untuk kemajuan negeri
ini. Dengan ilmu yang mereka tebarkan. Dengan
dakwah yang mereka siarkan. Dengan iman yang selalu
mereka junjung tinggi dan pertahankan. Mereka sama
sekali tidak mengincar kursi ataupun kedudukan.

36
Mereka adalah para pejuang tangguh yang berusaha
menunaikan tugas pengikut rasul. Allah berfirman
(yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku
mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang
nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang
mengikutiku…” (Yusuf : 108)

Jelas, mereka itu bukan malaikat. Mereka adalah


manusia, seperti kami dan anda. Akan tetapi mereka
memiliki ketinggian cita-cita dan semangat membaja.
Terngiang-ngiang di telinga mereka nasihat Imam
Malik rahimahullah, “as-Sunnah ini ibarat kapal Nabi
Nuh. Barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat,
dan barangsiapa yang tertinggal darinya akan
tenggelam.”

Salah seorang guru kami pernah mengutip perkataan


yang dinisbatkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq
radhiyallahu’anhu ketika berkata di hadapan para
sahabatnya saat itu. Beliau berkata ‘lau
khodzaltumuunii la jaahadtu bi nafsii’ yang artinya,
“Seandainya kalian semua meninggalkan aku/tidak
mau membantu, aku akan berjihad seorang diri.”
Allahu akbar! Tentu ini merupakan cerminan semangat
dan tekad bulat seorang pejuang iman… Mereka yang
tidak ragu untuk memegang erat Sunnah walaupun
harus merasakan pedih, perih dan terluka laksana
orang yang menggenggam bara api…

Semoga Allah merahmati guru-guru kami; yang dari


mereka kami mengenal makna pengabdian dan
perjuangan untuk masa depan yang hakiki. Semoga
Allah menjaga guru-guru kami yang dari lisan mereka
kami menyimak ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi

37
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah
memberkahi umur dan ilmu mereka. Semoga Allah
mencurahkan kepada kami dan mereka ampunan;
sampai-sampai ikan di lautan pun memohonkan
ampunan bagi pengemban ilmu syar’i. Terima kasih
guru, dari tanganmu -setelah taufik dari Allah- kami
mengenal jalan yang haq ini, dan melalui bimbingan
dan nasihat-nasihatmu masyarakat mengenal kebaikan
dan keburukan.

Seorang ulama salaf berkata, “Para malaikat adalah


penjaga-penjaga langit, sedangkan ahlul hadits adalah
penjaga-penjaga bumi.” Sebagian mereka pun
mengatakan, “Seandainya para raja dan putra-putra
mahkota mengetahui kenikmatan yang kami miliki
-dengan ilmu dan iman- pasti mereka akan berusaha
merebutnya dari kami dengan pedang-pedang
mereka…”

Dari guru-guru kami, kami mengenal kecintaan kepada


para sahabat nabi. Generasi terbaik umat ini yang telah
mendapatkan pujian dan rekomendasi dari Allah dan
Rasul-Nya. Dari guru-guru kami, kami mengenal
wajibnya mencintai kaum Muhajirin dan Anshar serta
tidak bolehnya menyimpan perasaan dengki kepada
mereka atau kaum muslim yang lainnya. Imam Abu
Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata, “Apabila kamu
melihat ada orang yang menjelek-jelekkan salah
seorang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ketahuilah bahwa dia itu zindik/sesat.”

Kini kami kembali melihat, sebagian pemuda yang


Allah beri taufik. Mereka relakan waktunya untuk
membela dan memperjuangan dakwah yang haq ini.

38
Mereka tidak menghendaki imbalan ataupun ucapan
terima kasih. Mereka hanya mencari wajah Allah. Dan
tidaklah kami menyucikan seorang pun di hadapan
Allah… Mereka berusaha mengamalkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang mukmin yang
satu dengan mukmin yang lain laksana sebuah
bangunan; bagian satu memperkuat bagian yang lain.”
(HR. Bukhari)

Sungguh mencari berlian di tengah gundukan pasir dan


tumpukan batu bukan perkara yang mudah. Akan
tetapi dengan taufik dari Allah, berlian itu pun akan
bisa ditemukan. Itu sedikit gambaran yang bisa kita
petik dari kalimat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika menceritakan keadaan banyak kaum muslim
yang seperti buih banjir; banyak tetapi tidak bermutu.
Tidak lain, karena saat itu telah merebak virus
wahn/cinta dunia dan takut mati di berbagai penjuru
bumi.

Inilah yang menyadarkan kita akan pesan emas para


ulama, “Hendaknya kamu terus mengikuti jalan
kebenaran, dan jangan gelisah karena sedikitnya orang
yang berjalan di atasnya. Waspadalah dari jalan-jalan
kebatilan, dan jangan tertipu oleh banyaknya jumlah
orang yang celaka.”

Saudaraku yang dirahmati Allah, mungkin anda pada


hari ini tersibukkan dengan mengurus masjid, mengajar
TPA, membantu dakwah di tengah masyarakat, atau
mengajar ilmu agama sesuai kemampuan dan kapasitas
anda. Maka yakinlah bahwa Allah tidak pernah
menyia-nyiakan amal anda. Anda tidak perlu risau
dengan rumput tetangga. Karena Allah berikan rezeki

39
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batasan.
Ingatlah bahwa sabar dan keyakinan itulah modal
untuk meraih kemuliaan. Takwa kepada Allah akan
mendatangkan kemudahan. Takwa kepada Allah akan
membuahkan kebahagiaan dan ketentraman.

Ingatlah, nasihat seorang ulama hadits, dermawan, ahli


ibadah dan petarung di medan jihad yang bernama
Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah, “Betapa
banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya.
Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil juga
karena niatnya.” Karena itu sebagian salaf pun berkata,
“Tidaklah aku berjuang untuk menaklukkan diriku
dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada
perjuangan untuk mencapai keikhlasan.”

Hari-hari ini agama anda berada dalam incaran oleh


musuh-musuh bani Adam. Mereka datang dari gerbang
syubhat maupun syahwat. Mereka menginginkan
rusaknya ilmu dan amalan umat ini. Mereka mengajak
kelompoknya agar bersama-sama kelak menjadi
penghuni api neraka yang menyala-nyala. Pemimpin
mereka yaitu Iblis telah bersumpah di hadapan Allah
untuk menyesatkan manusia kecuali hamba-hamba
Allah yang ikhlas dan terpilih.

Ya, Adam ‘alaihis salam pernah bersalah, tetapi beliau


bertaubat kepada Allah. Berbeda dengan Iblis yang
merasa hebat dan lebih baik daripada Adam; hingga
membuatnya terusir dari surga. Saudaraku, jangan kau
semai benih kesombongan. Sebab ia berbuah
kebancuran dan penyesalan.

40
Perbanyak Istighfar

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Istighfar yaitu permohonan ampun kepada Allah.


Sesuatu yang sangat akrab di telinga kita. Sebagai
seorang muslim kita telah diajari untuk beristighfar
dalam banyak kesempatan.

Diantaranya adalah setelah menunaikan sholat wajib.


Kita dituntun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk beristighfar 3 x. Bahkan, tidak hanya itu. Nabi
shallalahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Demi Allah,
sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah
dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70
x.” (HR. Bukhari no. 6307)

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari


Ibnu Umar, beliau berkata : Bahwa dirinya mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul
qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis
sebelum bangkit sebanyak 100 x (lihat Fath al-Bari oleh
Ibnu Hajar, 11/115)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,


“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya
seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung.
Dia takut apabila gunung itu jatuh/runtuh menimpa
dirinya...” (lihat Fath al-Bari, 11/118)

Demikianlah sifat seorang muslim. Bahwa dia


senantiasa merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah.

41
Dia menganggap kecil amal salihnya dan dia
mengkhawatirkan dampak perbuatan buruknya
meskipun itu kecil (lihat Fath al-Bari, 11/119)

‘Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan : Adalah


kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
telah keluar dari buang air (kamar kecil) maka beliau
mengucapkan ‘ghufroonak’ - artinya ‘Kami mohon
ampunan-Mu, ya Allah - (HR. Abu Dawud dan
lain-lain)

Makna doa ini adalah 'Aku memohon kepada-Mu -ya


Allah- ampunan-Mu yaitu Engkau tutupi dosa-dosaku
dan Engkau tidak menghukumku karena dosa-dosa itu'
(lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
dalam Tas-hilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil
Maram, 1/242)

Hikmah dari bacaan ini adalah apabila seorang telah


menunaikan hajatnya -dengan membuang kotoran
secara fisik- hendaklah dia mengingat kotoran secara
maknawi yang mengganggu kehidupannya yaitu
dosa-dosa. Karena sesungguhnya menanggung dosa
lebih berat dan lebih membahayakan daripada
menanggung kotoran berupa 'air besar' atau 'air kecil'.
Oleh sebab itu sudah sepantasnya kita mengingat
dosa-dosa kita dan memohon ampunan Allah atasnya
(lihat keterangan Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah
dalam Fat-hu Dzil Jalal wal Ikram, hlm. 306)

Hal ini mengandung pelajaran bagi kita bahwa istighfar


adalah bacaan yang sangat dianjurkan untuk
diperbanyak dalam segala keadaan. Dari keadaan
ibadah yang sangat agung yaitu setelah sholat hingga

42
keadaan menunaikan hajat semacam buang air maka
sesudahnya pun dianjurkan untuk membaca doa
ampunan. Hal ini tentu menunjukkan kepada kita
betapa besar kebutuhan seorang muslim terhadap
istighfar dan taubat kepada Allah.

Bahkan lihatlah apa yang Allah perintahkan kepada


Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir
hidupnya setelah melalui perjalanan panjang dalam
menegakkan dakwah tauhid selama 23 tahun maka
Allah pun memerintahkan kepadanya -sebagaimana
dalam surat an-Nashr- untuk menyucikan Allah dan
beristighfar kepada-Nya, ‘fa sabbih bihamdi Rabbika
wastaghfirhu’ maka sucikanlah dengan memuji
Rabbmu dan mintalah ampunan kepada-Nya…

Setelah turunnya ayat tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi


wa sallam pun memperbanyak doa
‘subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika
Allahummaghfirlii’ dalam ruku’ dan sujudnya (HR.
Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha)

Perhatikanlah, wahai saudaraku yang mulia! Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik di atas
muka bumi, nabi yang paling mulia, pemimpin anak
Adam pada hari kiamat, dan hamba yang paling Allah
cintai pun diperintahkan untuk memohon ampunan
kepada Allah; padahal beliau adalah beliau. Beliau
bukan pendosa, bukan ahli maksiat, bukan pula orang
yang lalai dan durhaka.

Hal ini mengandung pelajaran kepada kita bahwa


semakin tinggi keimanan seorang hamba maka semakin
besar kebutuhannya kepada istighfar; karena dia

43
melihat bahwa apa yang dia lakukan dalam bentuk
penghambaan kepada Allah sangat jauh dari apa yang
semestinya diberikan kepada-Nya berupa
pengagungan dan ibadah. Hak-hak Allah terlalu agung
dan mulia untuk ‘dibayar’ dengan ketaatan dan amal
salih segenap manusia! Karena Allah sama sekali tidak
membutuhkan hamba-Nya, bahkan seluruh makhluk
butuh kepada-Nya dalam segala kondisi mereka….

Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani hafizhahullah


mengatakan dalam sebuah nasehatnya, “Tidaklah
musibah-musibah -dan kehinaan- menimpa kaum
muslimin kecuali disebabkan minimnya perendahan
diri mereka kepada Allah. Dan hal ini merupakan
sunnah kauniyah; barangsiapa yang tidak mau tunduk
merendahkan diri kepada Allah, maka Allah akan buat
dia tunduk/merendah kepada selain-Nya.” (dinukil
dari Mafhum ‘Ibadah, seri 2 menit 20.15 - 20.31)

Dalam sebuah sya’irnya, Ibnul Qayyim rahimahullah


mengambarkan kondisi banyak manusia yang telah
berpaling dari pengabdian kepada Allah menuju
penghambaan kepada setan. Beliau berkata :

Mereka lari dari penghambaan


yang menjadi tujuan mereka diciptakan

Maka mereka terjebak dalam pengabdian


kepada hawa nafsu dan setan

Salah satu alasan yang menunjukkan betapa


pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia
untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid)
adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk

44
mengentaskan manusia dari penghambaan kepada
selain Allah menuju penghambaan kepada Allah
semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam
urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan
sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka
lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla
wa 'ala (lihat Qawa'id wa Dhawabith Fiqh ad-Da'wah
'inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hlm. 249 oleh 'Abid
bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I,
1428 H)

Ketundukan seorang hamba kepada Allah dibuktikan


dengan ketundukan dirinya terhadap perintah dan
larangan Allah. Pengagungan seorang mukmin
terhadap perintah dan larangan Allah merupakan
tanda pengagungan dirinya kepada pemberi perintah
dan larangan. Sebuah ketundukan yang harus dilandasi
dengan keikhlasan dan kejujuran. Ketundukan yang
dibangun di atas akidah yang lurus dan bersih dari
kemunafikan akbar. Karena bisa jadi seorang
melakukan perintah karena dilihat orang lain. Atau
karena mencari kedudukan di mata mereka. Atau dia
menjauhi larangan karena takut kedudukannya jatuh
dalam pandangan mereka. Maka orang yang semacam
ini ketundukannya kepada perintah dan larangan
bukan berasal dari pengagungan kepada Allah; Yang
memberikan perintah dan larangan itu (lihat al-Wabil
ash-Shayyib, hlm. 15-16)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa


penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah
dasar yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan
perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua
pokok/kaidah ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu

45
musyahadatul minnah -menyaksikan curahan
nikmat-nikmat Allah- dan muthala'atu 'aibin nafsi wal
'amal -selalu meneliti aib pada diri dan amal
perbuatan-. Dengan senantiasa menyaksikan dan
menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan
kepada hamba akan tumbuhlah kecintaan. Dan dengan
selalu meneliti aib pada diri dan amalan akan
menumbuhkan perendahan diri yang sempurna
kepada Rabbnya (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 8
tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim al-Arna'uth)

Dengan selalu menyaksikan dan menyadari betapa


banyak curahan nikmat yang Allah berikan akan
menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada
Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan.
Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal
perbuatan akan melahirkan sikap perendahan diri,
merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu.
Sehingga orang itu tidak memandang dirinya kecuali
berada dalam kondisi bangkrut. Pintu terdekat yang
akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu
gerbang perasaan bangkrut. Dia tidak melihat dirinya
memiliki kedudukan atau posisi dan peran yang layak
diandalkan/dibanggakan. Sehingga dia pun akan
mengabdi kepada Allah melalui pintu gerbang
perasaan fakir yang seutuhnya dan kondisi jiwa yang
merasa dilanda kebangkrutan (lihat al-Wabil
ash-Shayyib, hlm. 7)

Konsekuensi dari dua hal ini -puncak perendahan diri


dan puncak kecintaan- adalah dia akan tunduk
melaksanakan perintah-perintah Allah dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya. Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang insan yang

46
hanya mencukupkan diri dengan rasa cinta dan
perendahan diri tanpa melakukan apa-apa yang
diperintahkan Allah dan tanpa meninggalkan apa-apa
yang dilarang Allah tidak dianggap menjadi hamba
yang beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu puncak
kecintaan dan puncak perendahan diri itu
mengharuskan kepatuhan dalam bentuk melaksanakan
perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Dengan begitu akan terwujud
ibadah.” (lihat Silsilah Syarh Rasa'il, hlm. 251)

Berdzikir kepada Allah merupakan sebab Allah


mengingat dan memberikan pertolongan kepada
hamba-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Ingatlah
kalian kepada-Ku niscaya Aku pun ingat kepada kalian.”
(al-Baqarah : 152). Ibnu 'Abbas menafsirkan ayat
tersebut, “Ingatlah kalian kepada-Ku dengan
melakukan ketaatan kepada-Ku niscaya Aku akan
mengingat kalian dengan memberikan ampunan
dari-Ku kepada kalian.” Sa'id bin Jubair berkata,
“Artinya; Ingatlah kalian kepada-Ku pada waktu
berlimpah nikmat dan kelapangan niscaya Aku akan
mengingat kalian ketika berada dalam keadaan
tertimpa kesusahan dan bencana.” (lihat Ma'alim
at-Tanzil, hlm. 74)

Mengingat Allah adalah sebab perlindungan dan


bantuan dari Allah. Allah berfirman dalam sebuah
hadits qudsi, “Dan Aku senantiasa bersama dengan
hamba-Ku apabila dia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

Hal ini memberikan faidah bagi kita bahwa


sesungguhnya kebutuhan kita kepada dzikir dan

47
istighfar adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Karena kita tidak bisa terlepas dari bantuan dan
pertolongan Allah walaupun hanya sekejap mata. Oleh
sebab itu melazimkan istighfar dalam kehidupan
sehari-hari akan membuat hati kita selalu bergantung
kepada Allah, takut dan harap kepada-Nya, dan
bertawakal kepada Allah semata.

Selain itu, orang yang terbiasa beristighfar setelah


melakukan amal-amal ketaatan maka -dengan izin
Allah- dia akan lebih mudah beristighfar setelah
melakukan dosa.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


“Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah.
Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari
kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah


menjelaskan kandungan hadits ini, “Adapun kita
-apabila dibandingkan dengan Nabi- maka
sesungguhnya kita ini jauh lebih membutuhkan istighfar
dan taubat...” (lihat Syarh Muslim [8/293]). Benarlah
apa yang dikatakan oleh an-Nawawi, semoga Allah
merahmati dan mengampuni kita dan beliau...

Dan apabila kita cermati keadaan kaum muslimin di


zaman ini maka akan kita dapati bahwa amalan ini -
bertaubat 100 kali dalam sehari - termasuk salah satu
amalan yang sudah banyak ditinggalkan manusia
‘sunnah mahjurah’ kecuali pada sebagian manusia yang
Allah berikan taufik kepada mereka; dan betapa
sedikitnya mereka itu… Semoga Allah berikan taufik

48
kepada kami dan segenap pembaca untuk
mengamalkannya…

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari


Ibnu Umar, beliau berkata : Bahwa dirinya mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul
qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis
sebelum bangkit sebanyak 100 x (lihat Fath al-Bari,
11/115). Kepada Allah semata kita mohon
pertolongan…

Penyusun :
Redaksi www.al-mubarok.com

49

Anda mungkin juga menyukai