TAWAKAL
Menurut bahasa tawakal berasal dari kata dasar wakkala yang artinya mewakilkan
atau menyerahkan. Yakni mewakilkan atau menyerahkan suatu urusan kepada orang lain
yang karena sesuatu hal dirinya tidak bisa melakukannya. Sedangkan menurut istilah
tawakal adalah berserah diri kepada Allah dalam menghadapi suatu pekerjaan atau
keadaan. Dalam penerapannya tawakal merupakan tumpuan terakhir dalam suatu usaha dan
perjuangan, artinya berserah diri kepada Allah (tawakal) itu sesudah melakukan ikhtiar
nyata semaksimal mungkin sesuai kemampuan.
....
“… kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika
Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang
dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah
saja orang-orang mukmin bertawakkal”
3. QS Al Maidah ayat 23 :
“berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah
memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota)
itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
4. QS AT Thalaq ayat 3 :
“… dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
5. QS At Taubah ayat 51 :
”Katakanlah: "sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal."
Imam Al Ghazali membagi tawakal ke dalam beberapa tingkatan :
1. Bidayah (tingkat pemula), yakni tawakal pada tingkat hati yang selalu merasa
tentram terhadap apa yang sudah dijanjikan Allah SWT.
2. Mutawasithah (tingkat pertengahan), yakni tawakal pada tingkat hati yang selalu
merasa cukup menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. karena merasa yakin
bahwa Allah SWT telah mengetahui keadaan dirinya.
3. Nihayah (tingkat tinggi), yakni tawakal pada tingkat terjadi penyerahan diri
seseorang pada ridla atau merasa lapang menerima segala ketentuan Allah SWT.
1. Zuhud
Abu Bakar Shiddiq, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah sahabat
Nabi Muhammad Saw. yang kaya raya. Harta benda yang dimiliki para sahabat mereka
peroleh dari bekerja dengan cara yang benar, halal dan tidak ada unsur penipuan. Harta
benda tersebut dinafkahkan di jalan Allah, yakni untuk ibadah, menyantuni kaum duafa dan
mendukung perjuangan dan dakwah Islam. Pengabdian mereka kepada Allah SWT, sama
sekali tidak terpengaruh oleh harta benda yang mereka miliki. Ketiga sahabat tersebut
adalah orang yang kaya raya, tetapi mereka tetap hidup dalam keadaan zuhud.
Kondisi demikian bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada sahabat
Tsa’labah. Ketika miskin dia selalu shalat berjamaah bersama Rasulullah dan menempati
shaf pertama. Tetapi ketika dia sudah menjadi orang yang kaya dia lupa berjamaah, bahkan
ketika ayat tentang zakat disampaikan kepadanya, dia enggan membayar zakat.
Pengabdiannya terhadap Allah SWT, terpengaruh oleh hartanya, bahkan tidak mau
membayar zakat yang diwajibkan kepadanya. Tsa’labah sungguh telah menjadi orang yang
hubbuddunya.
Berdasarkan narasi di atas, maka contoh perilaku zuhud adalah sebagai berikut :
a. Senantiasa mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Allah SWT, meskipun sedikit.
b. Senantiasa merasa cukup, meskipun harta yang dimiliki hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan primer.
c. Senantiasa menggunakan harta yang dimiliki sebagai penunjang kesempurnaan
ibadah kepada Allah SWT.
d. Senantiasa berpenampilan sederhana, baik dari segi sandang, papan maupun
pangan.
e. Senantiasa mengutamakan cintanya kepada Allah SWT, daripada kecintaannya
terhadap dunia.
Bireuen 05 Oktober 2020
Mengetahui Penyuluh Agama,
KETUA POKJALUH