Anda di halaman 1dari 33

Tawakal

Kata tawakal memiliki asal makna itimad atau bersandar. Sehingga apabila dikatakan : Tawakkaltu alallaahi tawakkulan artinya itamadtu alaihi (aku bersandar kepadanya).

Hakikat tawakal adalah apabila seorang hamba menyandarkan diri kepada Allah subhanahu wa taala dengan sepenuh hati dalam berbagai kemaslahatan agama dan dunianya dengan disertai melakukan sebab-sebab yang mengantarkan kepada tujuan selama cara itu diperbolehkan oleh syariat. Dengan demikian tawakal itu meliputi keyakinan hati, penyandaran diri serta melakukan amal perbuatan.

Yang dimaksud dengan itiqad di sini adalah meyakini bahwa segala urusan ada di tangan Allah. Segala sesuatu yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan segala yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Allah semata pemberi manfaat, madharat, pemberi karunia dan yang berhak mencegah pemberiannya. Setelah dia meyakini hal itu maka hendaknya dia menyandarkan hatinya kepada Allah Rabbnya subhanahu wa taala serta mempercayakan urusan sepenuhnya kepada-Nya. Kemudian setelah itu dia melaksanakan bagian yang ketiga yaitu melakukan cara-cara yang diperbolehkan agama (lihat Hushul al-Mamul, hal. 83-84)

Perintah untuk bertawakal Allah taala berfirman (yang artinya), Dan bertawakallah hanya kepada Allah jika engkau beriman (QS. al-Maaidah : 23).

Tawakal adalah bersandar kepada Allah subhaanahu wa taala dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menolak hal-hal yang tidak disukai dengan dilandasi rasa percaya sepenuhnya kepada Allah, serta dengan menempuh cara-cara yang diperbolehkan oleh syariat dalam rangka mewujudkannya.

Rukun tawakal Untuk bisa mewujudkannya diperlukan dua hal, yaitu : 1. Bersandar kepada Allah dengan sungguh-sungguh 2. Menempuh cara-cara yang diperbolehkan untuk mewujudkan keinginannya Barangsiapa yang terlalu bersandar kepada cara/sarana yang ditempuh maka tawakalnya kepada Allah semakin berkurang. Sehingga hal ini membuatnya secara tidak langsung mencela kekuasaan Allah untuk bisa mengatasi segala problema. Yaitu tatkala seorang hamba menjadikan seolah-olah hanya cara itulah yang menjadi inti keberhasilan, agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak disukai hilang.

Barangsiapa yang membuat tawakalnya kepada Allah menyebabkan dirinya melalaikan cara/usaha maka sesungguhnya ia telah mencela hikmah Allah. Karena Allah menciptakan segala sesuatu memiliki sebab musabab. Sehingga orang yang semata-mata bersandar kepada Allah tanpa mau menjalani sebab maka tindakan tersebut merupakan bentuk celaan terhadap hikmah yang Allah tetapkan. Padahal Allah itu Maha bijaksana (Hakiim) yang mempertautkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Seperti contohnya orang yang menyandarkan dirinya kepada Allah demi mendapatkan anak tapi tidak mau menikah.

Kaidah Sebab-Akibat Allah telah menciptakan hukum sebab akibat yang berlaku di alam semesta ini dengan amat sempurna. Apabila seseorang lapar maka hendaknya dia makan supaya kenyang. Apabila seseorang ingin berharta maka hendaknya dia bekerja. Apabila seseorang ingin memiliki anak maka hendaknya dia menikah. Demikianlah diantara hukum-hukum sebab akibat yang sama-sama sudah kita mengerti.

Dalam perkara lain pun berlaku hal itu, maka tidak boleh kita menempuh sebab-sebab sebagai jalan keluar dari masalah kecuali apabila memenuhi tiga syarat berikut ini : 1. Hanya mencari sebab yang diizinkan oleh agama, tidak boleh memakai sebab yang haram dan tidak masuk akal. 2. Hanya menggantungkan hati kepada Allah 3. Meyakini bahwa berhasil atau tidaknya hanya Allah yang menentukan (lihat al-Qaul as-Sadid karya Syaikh as-Sadi rahimahullah, hal. 34-35)

Nabi teladan dalam bertawakal Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling hebat tawakalnya. Meskipun demikian beliau juga tetap menjalani sebab. Beliau membawa perbekalan apabila hendak bepergian. Begitu pula tatkala berangkat ke peperangan Uhud beliau mengenakan dua lapis baju perang (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Demikian juga ketika berangkat untuk berhijrah beliau juga memilih orang sebagai penunjuk jalan (HR. Bukhari) dan beliau tidaklah mengucapkan, Saya mau berangkat berhijrah dan akan bersandar kepada Allah, tanpa mencari teman untuk menunjukkan jalan bersamaku. Dan beliau shallallahu alaihi wa sallam juga melindungi tubuhnya dari sengatan panas dan dinginnya cuaca. Dan tidaklah itu semua mengurangi tawakal yang ada pada diri beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Tawakal palsu

Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa di masa Umar radhiyallahu anhu pernah ada sekelompok orang Yaman yang berangkat haji tanpa membawa perbekalan. Maka mereka pun dipanggil untuk menghadap Umar. Kemudian Umar menanyai mereka. Mereka mengatakan, Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Umar menimpali, Kalian bukan termasuk orang yang bertawakal. Tetapi kalian adalah orang yang pura-pura bertawakal.

Tawakal separuh agama Tawakal merupakan setengah dari agama Islam. Oleh sebab itulah kita senantiasa mengucapkan doa di dalam shalat kita, Iyyaaka nabudu wa iyyaaka nastaiin. Hanya kepada Engkau lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau lah kami meminta pertolongan. Kita meminta pertolongan kepada Allah karena kita bersandar kepada-Nya, karena kita yakin hanya Dia lah yang mampu membantu kita dalam upaya beribadah kepada-Nya. Allah taala juga memerintahkan (yang artinya), Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya (QS. Huud : 123). Allah juga membawakan perkataan salah seorang Nabi-Nya, Hanya kepada-Nya lah aku bertawakal dan kembali taat (QS. Huud : 88). Dan tidak mungkin ibadah terwujud tanpa adanya tawakal. Karena apabila seorang manusia dibiarkan untuk mengurusi dirinya sendiri dan ditelantarkan maka sesungguhnya dia telah disandarkan kepada sifat lemah dan ketidakmampuan. Sehingga pada akhirnya dia tidak akan bisa tegar dalam melaksanakan ibadah.

Dua macam tawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah ada dua macam : 1. Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih kepentingan pribadi hamba berupa rezki, kesehatan dan lain sebagainya 2. Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih keridhaan-Nya

Tawakal jenis yang pertama memiliki tujuan yang baik meskipun bukan dinilai ibadah karena ia murni terkait dengan kepentingan pribadi (duniawi) seorang hamba. Maka bertawakal kepada Allah untuk meraih tujuan itu dinilai sebagai ibadah dan hal itu merupakan sumber berkembangnya kemaslahatan agama dan dunianya.

Adapun jenis yang kedua maka tujuan yang hendak digapai adalah ibadah maka tidak ada cela sedikitpun padanya karena ia merupakan permintaan tolong kepada Allah untuk menggapai sesuatu yang diridhai-Nya. Oleh sebab itu pelaku tawakal jenis kedua ini adalah orang yang benar-benar merealisasikan makna Iyyaaka nabudu wa iyyaaka nastaiin (lihat Hushul al-Mamul, hal. 84)

Minimnya tawakal di dalam hati

Apabila seorang hamba beribadah kepada Allah dengan disertai perasaan sedang bersandar dan bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya dia akan mendapatkan pahala atas ibadahnya tersebut dan pahala atas tawakalnya. Akan tetapi fenomena yang banyak menimpa kita adalah terlalu lemahnya tawakal. Sehingga apabila beribadah atau menjalani kebiasaan kita tidak merasa sedang bersandar dan bergantung kepada Allah sehingga perbuatan kita itu bisa terlaksana.

Bahkan sebagian besar dari kita biasanya terlalu mengandalkan cara/sebab lahiriyah, dan lupa terhadap apa yang ada dibalik itu semua. Maka hilanglah pahala yang sangat besar dari kita, yaitu pahala bertawakal. Demikian pula halnya tatkala kita tidak mendapatkan taufik untuk bisa meraih keinginan dan menghindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan. Baik hal itu terjadi karena adanya penghalang yang membuat keinginan kita itu tidak terwujud sama sekali atau berkurang nilainya. Maka kitapun lupa untuk kembali menyandarkannya kepada Allah taala.

Macam-macam tawakal Tawakal itu ada tiga macam : Tawakal ibadah dan ketundukan, Bergantung kepada orang dalam hal rezeki dan urusan keduniaan lainnya, Menyerahkan urusan kepada seseorang yang dia percayai.

[1] Tawakal ibadah dan ketundukan Yaitu bergantung sepenuhnya kepada sesuatu yang disandari. Sehingga di dalam hatinya terdapat keyakinan bahwasanya di tangan sesuatu itulah kekuasaan untuk mendatangkan kemanfaatan dan menolak madharat. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk bertawakal kepadanya dengan sepenuh hati. Maka tawakal yang seperti ini hanya diperbolehkan ditujukan kepada Allah taala. Barangsiapa yang memalingkannya kepada selain Allah maka dia adalah musyrik dengan kategori syirik akbar. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang bergantung kepada orang-orang shalih yang sudah mati atau yang tidak hadir (tidak bisa berkomunikasi dengannya).

Hal semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa mereka itu memiliki kemampuan tersembunyi untuk turut campur dalam mengatur perjalanan kejadian di alam semesta, sehingga adanya keyakinan itu membuat mereka bergantung dan bersandar kepada mereka (orangorang shalih atau wali) demi mencapai manfaat dan menolak bahaya. Kesimpulannya tawakal jenis pertama ini syirik akbar jika ditujukan kepada selain Allah.

[2] Bergantung kepada orang lain dalam urusan duniawi Yang semacam ini tergolong perbuatan syirik ashghar (syirik kecil). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa ia termasuk jenis syirik khafi (syirik yang samar-samar). Seperti contohnya kebanyakan orang yang terlalu menyandarkan hatinya terhadap mata pencaharian yang digelutinya dalam rangka

mendapatkan rezki. Sehingga anda akan bisa menemukan keadaan orang semacam ini merasa bahwasanya dirinya sangat bersandar dan begitu membutuhkan bos, direktur, majikan atau juragan yang mempekerjakannya dan dia meyakini bahwasanya mereka itu bukan sekedar sebagai sebab datangnya rezki saja, akan tetapi lebih dari itu. Kesimpulannya tawakal jenis kedua ini adalah syirik ashghar. Dan dosa syirik ashghar itu lebih berat jenisnya daripada dosa maksiat.

[3] Menyerahkan urusan kepada orang lain Seperti meminta orang lain untuk membelikan suatu barang, maka yang seperti ini tidak mengapa. Karena pada hakikatnya dia hanya sekedar menyerahkan urusan kepada orang lain dalam keadaan dia berada di posisi yang lebih tinggi dari orang yang dimintai tolong, sehingga ia pun menjadikan orang lain itu sebagai wakil darinya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu untuk menyembelih sisa hewan kurban beliau (HR. Muslim), begitu pula ketika beliau mewakilkan pengurusan shadaqah/zakat kepada Abu Hurairah (HR. Bukhari secara muallaq) dan contoh yang lainnya. Sehingga kesimpulannya tawakal semacam ini yang disebut juga dengan taukil (tindakan mewakilkan) adalah perbuatan yang boleh-boleh saja dilakukan.

Di dalam ayat terdahulu (QS. al-Maaidah : 23) Allah mewajibkan kita untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Yaitu pada tawakal jenis yang pertama dan jenis yang kedua. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu konsekuensi atau syarat keimanan. Karena di dalam ayat tersebut Allah berfirman yang artinya, ..bertawakallah kepada Allah jika kalian benarbenar beriman.

Bahaya bergantung kepada selain Allah Dengan demikian orang yang bertawakal kepada selain Allah maka dia berada dalam salah satu di antara dua keadaan [baca: keburukan] : Keadaan Pertama : Kehilangan kesempurnaan iman yang hukumnya wajib ada, karena ia terjerumus dalam syirik ashghar. Keadaan Kedua : Kehilangan seluruh keimanan, karena ia terjerumus dalam syirik akbar. Wallahul mustaaan. ________ (Disadur dari al-Qaul al-Mufid, 2/28-30 dengan sedikit perubahan dan penambahan) Sumber: http://abumushlih.com/tawakal.html/

Tawakal yang Sebenarnya

Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.

Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.

Tawakal yang Sebenarnya Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jamiul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata.

Tawakal Bukan Hanya Pasrah Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.

Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Taala telah berfirman (yang artinya), Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada. (QS. An Nisa *4+: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang. (QS. Al Anfaal *8+: 60). Juga firmanNya (yang artinya), Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah (QS. Al Jumuah *62+: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan,Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jamiul Ulum wal Hikam)

Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku. Lalu Imam Ahmad mengatakan, Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku. Dan beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)

Al Munawi juga mengatakan, Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah taala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami At Tirmidzi, 7/7 -8, Maktabah Syamilah)

Tawakal yang Termasuk Syirik Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah taala semata.

Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.

Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah taala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal

semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah taala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Naudzu billah min dzalik.

Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.

Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)

Penutup Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah.

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Taala (yang artinya),Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).

Al Qurtubi dalam Al Jami Liahkamil Quran mengatakan, Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya, Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka. Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jamiul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49).

Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb Arsy yang agung.

*** Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Murojaah: Ustadz Aris Munandar http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/tawakal-yang-sebenarnya.html

Tawakkal, Syarat Mutlak Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab

Allah Taala berfirman:

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (semua keperluan) nya. (QS. Ath-Thalaq: 3)

Allah Taala berfirman:

Dan hanya kepada Allah, hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal. (QS. Ath-Thaghabun: 13)

Hushain bin Abdurrahman -rahimahullah- berkata:

Saya pernah bersama Said bin Jubair lalu dia berkata, Siapa di antara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam? Aku menjawab, Aku. Kemudian aku berkata, Tapi aku tidak sedang mengerjakan shalat, akan tetapi aku terbangun karena aku disengat (binatang). Said lalu berkata, Lantas apa yang kamu perbuat? Aku menjawab, Aku meminta untuk diruqyah. Said bertanya, Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut? Aku menjawab, Sebuah hadits yang Asy-Syabi ceritakan kepadaku. Said bertanya lagi, Apa yang diceritakan asy-Syabi kepada kalian. Aku menjawab, Dia telah menceritakan kepada kami dari Buraidah bin Hushaib al-Aslami, bahwa dia berkata, Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ain dan racun (sengatan binatang berbisa). Maka Said pun menjawab, Telah berbuat baik orang melaksanakan sesuai dengan apa (dalil) yang dia dengar.

Hanya saja Ibnu Abbas telah menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Telah diperlihatkan kepadaku semua umat. Lalu aku melihat seorang nabi yang bersamanya 3 sampai 9 orang, ada juga nabi yang bersama dengannya hanya satu atau dua orang lelaki saja, bahkan ada seorang nabi dan tidak ada seorangpun yang bersamanya. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekumpulan orang, maka aku menyangka mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, Mereka adalah Nabi Musa alaihissalam dan kaumnya. Tetapi lihatlah ke ufuk. Lalu aku pun melihatnya, ternyata ada kumpulan besar yang berwarna hitam (yakni saking banyaknya orang kelihatan dari jauh). Lalu dikatakan lagi kepadaku, Lihatlah ke ufuk yang lain. Ternyata di sana juga terdapat kumpulan besar yang berarna hitam. Dikatakan kepadaku, Ini adalah umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki surga tanpa dihisab dan azab.

Setelah menceritakan itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian bangkit lalu masuk ke dalam rumahnya. Orang-orang lalu memperbincangkan mengenai mereka yang akan dimasukkan ke dalam Surga tanpa dihisab dan azab. Sebagian dari mereka berkata, Mungkin mereka adalah orangorang yang selalu bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ada pula yang mengatakan,

Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah. Mereka mengemukakan pendapat masing-masing. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluar menemui mereka, lalu beliau bertanya: Apa yang telah kalian perbincangkan? Mereka pun menerangkannya kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Mereka adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak meyakini thiyarah (pamali) dan hanya kepada Allah mereka bertawakal. Ukkasyah bin Mihshan berdiri lalu berkata, Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk dari kalangan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kamu termasuk dari kalangan mereka. Kemudian seorang lelaki lain berdiri dan berkata, Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk dari kalangan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Ukkasyah telah mendahuluimu. (HR. AlBukhari no. 5270 dan Muslim no. 323)

Kalimat yang ditebalkan di atas telah dikritisi oleh sebagian ulama, di antaranya Imam AdDaraquthni dan selainnya. Karena kandungannya bertentangan dengan dalil-dalil lain yang membolehkan bahkan menganjurkan seseorang yang mampu untuk meruqyah saudaranya, tanpa perlu dia diminta.

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan:

Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meyakini thiyarah (pamali), tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb merekalah mereka bertawakkal.

Penjelasan ringkas: Definisi tawakkal adalah penyandaran hati dan penyerahan semua urusan kepada Allah Taala dalam meraih kebaikan atau menghindar dari mudharat, disertai dengan usaha dengan menempuh sebab yang syari (dibenarkan syariat) dan kauni (terbukti punya hubungan sebab akibat). Karenanya bukan tawakkal kalau hanya pasrah kepada takdir tanpa ada usaha, dan sebaliknya termasuk kesyirikan jika hanya bersandar pada usaha tanpa menyandarkan seluruhnya kepada Allah Taala.

Tawakkal termasuk dari ibadah qalbiah (hati) yang paling mulia dan paling urgen, sampai-sampai Allah Taala menggandengkan tawakkal dengan tauhid kepada-Nya dalam firman-Nya, (Dia-lah) Allah tidak ada sembahan yang hak selain Dia. Dan hanya kepada Allah, hendaknya orangorang yang beriman bertawakkal. (QS. Ath-Thaghabun: 13).

Karenanya balasannyapun merupakan balasan yang paling mulia di dunia dan di akhirat, di dunia berupa kecukupan dari Allah dalam semua hal yang dia butuhkan dan di akhirat berupa masuk surga pertama kali, tanpa didahului oleh hisab dan azab (dibersihkan dalam neraka).

Dalam hadits di atas disebutkan 4 kriteria dari ke-70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan azab, hanya saja 3 yang pertama merupakan sifat detail dan yang keempat merupakan sifat umum untuk ketiganya. Yakni karena orang yang minta diruqyah, meyakini pamali, dan berobat dengan kay adalah orang-orang yang rendah tawakkalnya kepada Allah.

Orang yang pertama karena minta diruqyah padahal bisa saja dia meruqyah dirinya sendiri, maka tatkala dia meminta bantuan diruqyah maka menunjukkan kepercayaan dan ketergantungan dia kepada Allah rendah. Orang yang meyakini pamali rendah tawakkalnya karena meyakini sesuatu yang bukan sebab syari dan kauni sebagai sebab, padahal dalam tawakkal seseorang hanya boleh menempuh dan meyakini sebab yang syari dan kauni. Orang yang ketiga juga rela menyakiti tubuhnya untuk sembuh padahal masih ada pengobatan lainnya, ini tentunya dia lakukan karena rendahnya tawakkal dan kesabaran dia kepada Allah.

Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Syarah Tsalatsah Al-Ushul hal. 58-59 menyebutkan 4 bentuk tawakkal, yang kesimpulannya: 1. Tawakkal kepada Allah Taala. Ini adalah ibadah yang besar bahkan merupakan tanda sempurnanya keimanan. 2. Tawakkal sirr (terselubung), yaitu seseorang bertawakkal kepada orang yang telah meninggal (sesoleh apapun dia, apalagi kalau dia adalah thaghut), dalam usaha meraih maslahat dan menghindar dari mudharat. Hukum amalan ini adalah syirik akbar dan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Hal itu karena tidak mungkin dia bertawakkal kepada orang yang sudah meninggal kecuali dia meyakini orang itu juga mampu mengatur para makhluk. 3. Tawakkal kepada makhluk (yang masih hidup) pada perkara yang makhluk itu sanggup melaksanakannya, tapi disertai perasaan tingginya kedudukan orang itu dan rendahnya kedudukan dia di hadapan orang itu. Misalnya seseorang yang hatinya bergantung pada pimpinannya dalam mendapatkan penghasilan, dan semacamnya. Hukum amalan ini adalah syirik asghar. Tapi jika dia meyakini pimpinannya hanya sebagai sebab dan hanya Allah yang memberikan rezeki maka yang seperti ini tidak mengapa. 4. Mewakilkan sebuah amalan kepada orang lain, pada amalan yang bisa diwakilkan dan orang lain itu bisa menggantikannya. Sebagaimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mewakilkan penjagaan sedekah kepada sebagian sahabat dan sebagaimana beliau mewakilkan penyembelihan 37 ekor ontanya kepada Ali setelah beliau sendiri menyembelih 63 ekor. Hukum amalan ini adalah boleh berdasarkan ijma ulama. Beberapa pelajaran dari hadits di atas: 1. Di antara kebiasaan para ulama salaf adalah senantiasa bermajelsi ilmu kapanpun mereka bertemu.

2. Tingginya keikhlasan dan wara` para ulama salaf, tatkala mereka tidak ingin dipuji pada amalan yang tidak mereka lakukan. Tatkala Hushain bangun di malam hari maka mungkin akan ada yang mengira kalau dia bangun untuk shalat lail, maka beliaupun membantah sebelum muncul perkiraan seperti itu. 3. Seseorang yang keliru, sebelum dia dinasehati hendaknya ditanyakan dahulu alasan dia melakukan kekeliruan tersebut, mungkin saja dia mempunyai dalil atas amalannya. Karenanya Said bin Jubair bertanya terlebih dahulu kepada Hushain mengenai alasannya minta diruqyah, karena sepengetahuan dia itu adalah amalan yang makruh. 4. Maksud kalimat, Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ain dan racun (sengatan binatang berbisa), adalah bahwa ruqyah pada kedua jenis penyakit ini sangat cepat berkhasiat, walaupun ruqyah juga bisa dilakukan pada selain kedua penyakit ini. 5. Orang yang beramal dengan dalil yang dia ketahui tidaklah tercela walaupun dia keliru, bahkan tindakannya itu adalah tindakan yang benar. Inilah maksud dari ucapan ulama, Setiap pihak yang berbeda pendapat itu benar, yakni jika keduanya berlandaskan pada dalil yang shahih. 6. Para nabi juga diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah, karena buktinya mereka juga mempunyai pengikut. 7. Tidak boleh tertipu dengan banyaknya pengikut, banyaknya murid, dan banyaknya orang yang hadir ketika dia membawakan materi, sehingga mengira dirinya di atas kebenaran. Hal itu karena mayoritas bukanlah tolak ukur kebenaran, karena para nabi dalam hadits tersebut jelas berada di atas kebenaran tapi ternyata pengikutnya hanya sedikit bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut. Bahkan nash-nash dalam kedua wahyu menunjukkan bahwa kebanyakan golongan mayoritas adalah orang-orang yang tersesat. Ini sebagai bantahan bagi semua metode mencari kebenaran dan kemenangan dengan menjadikan suara terbanyak sebagai patokan. 8. Walaupun seseorang tidak boleh tertipu dengan banyaknya pengikut, tapi tidak menunjukkan dia tidak perlu bersemangat dalam berdakwah. Karena pada hadits di atas juga disebutkan bahwa pengikut Nabi -alaihishshalatu wassalam- sangatlah banyak. Jadi hendaknya seorang dai berada di sikap pertengahan, tidak bangga dengan banyaknya murid dan juga tidak merasa cukup dengan sedikitnya orang yang mengikuti sunnah. 9. Umat Bani Israil merupakan umat yang terbanyak setelah umat Islam, dan sekaligus menunjukkan keutamaan Nabi Musa -alaihishshalatu wassalam- selaku nabi mereka. 10. Keutamaan Allah atas umat ini yang Dia tidak berikan kepada umat lainnya, yaitu ada 70.000 orang di antara mereka yang masuk surga tanpa hisab dan azab. 11. Jumlah orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab yang tersebut dalam hadits ini adalah 70.000 orang. Dan disebutkan dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili riwayat At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, dan dihasankan oleh sebagian ulama, Setiap seribunya ditambahkan tujuhpuluh ribu orang lagi. Jadi total seluruhnya adalah 4.900.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab. 12. Keutamaan mereka yang bersahabat dan senantiasa bersama Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena para sahabat mengira merekalah orangnya. Dan besarnya pahala menunjukkan besarnya nilai amalan itu. 13. Juga menunjukkan keutamaan anak-anak yang lahir dan meninggal dalam keluarga yang islami sehingga mereka tidak pernah berbuat kesyirikan walaupun sekali di dalam hidupnya. 14. Makruhnya minta diruqyah dan berobat dengan kay. Adapun meyakini thiyarah maka hukum asalnya adalah syirik asghar. 15. Semangat para sahabat untuk mendapatkan kebaikan. Terbukti dari permintaan Ukkasyah yang langsung dia ucapkan segera setelah beliau menyebutkan keutamaan tersebut. 16. Termasuk tawassul yang dibolehkan adalah minta didoakan oleh orang saleh, dan hal ini tidak terkhusus bagi Nabi -alaihishshalatu wassalam- saja.

17. Di antara 4.900.000 orang itu adalah Ukkasyah bin Mihshan. Sisanya tidak boleh ditetapkan siapa orangnya kecuali dengan dalil. Kepastian seseorang masuk ke dalam surga tidak menunjukkan mereka memasukinya tanpa hisab dan azab, wallahu alam. Jadi ini menunjukkan keutamaan Ukkasyah bin Mihshan -radhiallahu anhu-. 18. Sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, Ukkasyah telah mendahuluimu, termasuk di antara baiknya muamalah beliau kepada para sahabatnya. Beliau tidak mengatakan, Kamu tidak terpenuhi syarat, atau kamu tidak pantas, dan semacamnya. Hanya saja beliau mengucapkan hal ini untuk mencegah yang lainnya dari meminta. Karena kalau ini dibiarkan maka tentu saja semua orang yang ada di situ dan selainnya akan meminta, sehingga menyebabkan Nabi -alaihishshalatu wassalam- terpaksa harus menolak karena di antara mereka mungkin ada yang tidak memenuhi syarat tapi beliau tidak enak mengatakannya. Sumber: http://al-atsariyyah.com/tawakkal-syarat-mutlak-masuk-surga-tanpa-hisab-dan-azab.html

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab

Oleh: Hanif Nur Fauzi

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah taala, kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini adalah ketika seorang hamba dijauhkan oleh Allah taala dari siksa api neraka dan ketika Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya. Allah taala berfirman (yang artinya), Barangsiapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah memperoleh kemenangan, dan bukanlah kehidupan dunia melainkan kehidupan yang menipu. (QS. Ali Imran: 185)

Syaikh As Sadiy rahimahullah mengatakan, Orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang selamat dari adzab yang pedih, dia bisa menikmati berbagai macam kenikmatan di surga. Kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata manusia sebelumnya, belum pernah didengar oleh telinga manusia, dan belum pernah terlintas di dalam hati manusia.*1+ Demikianlah seharusnya orientasi kehidupan seorang muslim, menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai puncak cita dan harapannya.

Tauhid, Kunci Kebahagiaan Manusia Setelah kita mengetahui bahwa kabahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan akhirat, yaitu ketika manusia menikmati kenikmatan surga, sudah selayaknya kita memahami apa sarana yang dapat menghantarkan seseorang menuju surga dengan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya.

Saudaraku, ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan tersebut adalah tauhid, menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah taala semata. Barangsiapa yang dapat merealisasikan tauhid dalam seluruh perjalanan hidupnya, dan menjauhi kesyirikan maka sungguh dia adalah orang yang memperoleh kemenangan yang besar.

Allah taala berfirman (yang artinya), Yaitu orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan dengan kedzoliman (kesyirikan[2]), mereka lah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapatkan petunjuk (Al Anam:82)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ketika beliau menerangkan hakikat hak Allah kepada shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu, Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hambanya adalah hendaklah mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun, dan hak hamba yang akan dipenuhi oleh Allah, adalah Allah tidak akan mengadzab orang-orang yang tidak berbuat kesyirikan*3+

Syaikh As Sadiy rahimahullah menjelaskan bahwa diantara keutamaan orang yang merealisasikan tauhid adalah terbebasnya ahli tauhid dari kekekalan siksa neraka, bisa jadi orang tersebut disiksa di neraka untuk menghapus dosa-dosanya, namun tidak selama-lamanya. Tetapi jika ahli tauhid mampu merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya, maka niscaya Allah taala akan menjaga dirinya dari siksa api neraka secara sempurna.[4]

Kesempurnaan tauhid yang terpateri dalam hati seorang ahli tauhid akan memerdekakannya dari penghambaan diri dan ketergantungan hati kepada makhluk, akan membebaskan diri dari rasa takut dan berharap kepada makhluk. Inilah hakikat dari kemuliaan seorang manusia.[5] Hanyalah kepada Allah, seorang ahli tauhid akan menghambakan diri dan menggantungkan hatinya.

Hakikat Merealisasikan Tauhid Seorang hamba yang merealisasikan tauhid maknanya adalah mensucikan diri dari segala cabangcabang kesyirikan, bidah dan kemaksiatan.*6+

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullahu menjelaskan secara ringkas bahwa makna merealisasikan tauhid adalah membersihkan diri dari noda-noda kesyirikan. Ini tidak akan pernah terwujud dalam diri hamba melaikan terpenuhi tiga perkara: Al Ilmu (mengetahui makna tauhid), Al Itiqod (meyakini kandungan tauhid) dan Al Inqiyad (tunduk terhadap konsekuensi-konsekuensi tauhid).[7] Jika ketiga hal tadi telah terwujud dan terbukti secara nyata pada seseorang (secara umum) maka masuk surga tanpa hisab menjadi jaminan bagi dirinya.

Lihatlah Balasan bagi Sang Perealisasi Tauhid Saudaraku, diantara balasan orang yang merealisasikan tauhid adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, dalam hadits yang panjang:

Telah diperlihatkan kepada diriku umat-umat manusia. Aku melihat seorang Nabi yang bersamanya beberapa orang dan bersamanya satu dan dua orang, serta seorang Nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepada diriku sekelompok manusia yang berjumlah banyak, dan

aku pun mengira bahwa mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, Ini adalah Musa bersama kaumnya. Lalu tiba-tiba aku melihat sekelompok manusia yang banyak pula. Kemudian dikatakan kepadaku ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Kemudian beliau shallallahu alaihi wa sallam bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Maka para shahabat mulai membicarakan siapakah mereka itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, Mungkin mereka adalah orang-orang yang menjadi shahabat Rasulullah. Ada lagi yang mengatakan, Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah berbuat kesyirikan. Dan ada di antara mereka yang menyebutkan kemungkinan lainnya. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar dan menemui mereka dan menjelaskan, Mereka adalah orang-orang tidak meminta diruqyah, tidak meminta diobati dengan cara kai (menempel luka dengan besi panas), tidak melakukan tathayur,dan mereka adalah orangorang yang bertawakal kepada Rabb mereka. (HR. Bukhari 5705, 6541 dan Muslim 220)

Makna Istirqa (Meminta untuk Diruqyah oleh Orang Lain) Ruqyah adalah bacaan-bacaan tertentu untuk perlindungan yang dibacakan kepada seseorang yang menderita penyakit, semisal penyakit demam, penyakit ayan dan penyakit yang lainnya.[8] Pada asalnya, ruqyah adalah sebagaimana cara pengobatan pada umumnya. Ada beberapa syarat yang harus ada agar ruqyah tersebut tergolong ruqyah yang disyariatkan.

Diantara syarat-syarat ruqyah yang disyariatkan adalah: (1) Tidak meyakini bahwa ruqyah tersebut mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tanpa izin dari Allah taala. (2) Tidak mengandung kata-kata yang menyelisihi syariat, semisal lafadz-lafadz doa kepada selain Allah, meminta bantuan kepada jin dan yang semisalnya. (3) Lafadz-lafadz ruqyah hendaklah dapat dipahami maknanya.[9]

Adapun ruqyah yang tidak memenuhi syarat di atas, maka merupakan ruqyah yang terlarang, bisa menjadi sarana kesyirikan atau bahkan bisa termasuk ke dalam syirik besar.

Ibnul Qayyim, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallahu, menjelaskan bahwa yang terlarang adalah meminta untuk diruqyah oleh orang lain. Karena pada diri orang yang meminta diruqyah, terdapat kecondongan dan penyandaran hati kepada selain Allah taala. Adapun jika kita meruqyah orang lain, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan makruh ini.[10] Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah meruqyah*11+ diri beliau sendiri,

demikian pula Malaikat Jibril pernah meruqyah beliau[12], demikian pula para shahabat juga pernah meruqyah.[13]

Makna Pengobatan Kai Pengobatan kai adalah pengobatan dengan cara menempelkan besi panas pada luka dengan tujuan agar darah yang keluar dari luka cepat mengering dan berhenti.

Ibnul Atsir rahimahullahu membawakan pendapat bahwa hukum pengobatan kai adalah terlarang jika digunakan sebagai media pencegahan penyakit, namun hukumnya mubah ketika ada kebutuhan.[14] Hanya saja, seseorang yang tidak meminta diobati dengan cara kai, menunjukkan adanya kesempurnaan tawakal kepada Allah taala.

Makna Tathayur Ibnu Atsir rahimahullahu dalam kitabnya An Nihayah menjelaskan, tathayur adalah merasa sial terhadap sesuatu, yang karenanya dia membatalkan niat untuk melakukan aktivitasnya.[15] Tathayur diambil dari kata thairun (Indonesia: burung), karena orang arab biasa beranggapan sial atau merasa beruntung dengan mengaitkannya dengan burung. Ketika hendak safar, dalam rangka penunjuk jalan, mereka menggertak burung, jika burung terbang ke arah kanan maka mereka meneruskan perjalanannya, tetapi jika burung ke arah kiri, maka mereka membatalkan perjalanan mereka.[16]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (dalam hatinya terdapat hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakalnya*17+ (Thiyarah -dalam bahasa arab- adalah bentuk jamak dari tathayur)

Tathayur adalah perkara yang terlarang dalam agama Islam, karena tathayur menyebabkan berkurangnya kemurnian tauhid seseorang. Seseorang yang melakukan tathayur maka dia telah bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada selain Allah taala, dan dia telah melakukan sebab yang pada hakikatnya tidak ada kaitan dan hubungannya sama sekali dengan keinginannya.[18]

Tawakal hanya kepada Allah taala Semata

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sifat yang terakhir dari orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azdab adalah bertawakal kepada Allah taala. Inilah pangkal dari segalanya. Tawakal adalah penyandaran hati dengan sebenarnya kepada Allah taala dalam mewujudkan kebaikan dan dalam menangkal bahaya, dengan diiringi usaha-usha yang diijinkan dalam syariat Islam.

Sebab utama yang menghantarkan seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, adalah adanya kesempurnaan tauhid pada dirinya. Karena kesempurnaan tauhid dan penyandaran hati kepada Allah itulah, mereka enggan untuk meminta ruqyah, meminta di-kay kepada orang lain, karena pada hakikatnya perbuatan semacam itu sangat besar kemungkinan hilangnya tawakal kepada Allah taala dalam dirinya. Allah taala berfirman (yang artinya): Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). (AthTholaq:3).

Tawakal pun Membutuhkan Usaha Bukanlah maksud hadits di atas, seseorang tidak perlu berusaha dalam mewujudkan keinginannya, hanya berpangku tangan menunggu pertolongan Allah datang. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjelaskan[19] bahwa, tawakal harus memenuhi dua hal, yaitu (1) Penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah taala, (2) Melakukan sebab-sebab yang diijinkan dalam syariat.

Kedua hal tersebut harus beriringan, tidak boleh seseorang bersandar kepada Allah tanpa ada usaha sedikit pun, atau melakukan usaha tanpa menyandarkan hati kepada Allah taala. Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, Barang siapa yang meniadakan sebab dalam usahanya, maka hal ini menunjukkan kecacatan tawakalnya, barang siapa yang tidak berusaha maka hanya akan menjadikan harapannya sebatas angan-angan semata.*20+

Semoga Allah taala menjadikan kita sebagai bagian dari barisan muwahhidin (ahli tauhid), yang mendapatkan janji dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Amiin. [Hanif Nur Fauzi] Pentingnya Tawakal Label:Akhlaq dan Nasehat,Akidah,Musibah - Harta - Duniawi

Allah Akan Mencukupi Semua Urusan Orang Yang Bertawakal Kepada-Nya

"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [Ath-Thalaq : 3]

Yaitu yang mencukupinya, Ar-Robi' bin Khutsaim berkata: Dari segala sesuatu yang menyempitkan (menyusahkan) manusia. [Hadits Riwayat Bukhari bab Tawakal 11/311]

Ibnul Qayyim berkata : Allah adalah yang mencukupi orang yang bertawakal kepadanya dan yang menyandarkan kepadaNya, yaitu Dia yang memberi ketenangan dari ketakutan orang yang takut, Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong dan barangsiapa yang berlindung kepada-Nya dan meminta pertolongan dari-Nya dan bertawakal kepada-Nya, maka Allah akan melindunginya, menjaganya,

dan barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah akan membuatnya nyaman dan tenang dari sesuatu yang ditakuti dan dikhawatirkan, dan Allah akan memberi kepadanya segala macam kebutuhan yang bermanfa'at. [Taisirul Azizil Hamidh hal. 503]

Dan ini adalah ganjaran yang paling besar, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjadikan diri-Nya sendiri sebagai yang memenuhi segala kebutuhan orang yang bertawakal kepada-Nya, dan sungguh Allah telah banyak menyebutkan kebaikan dan keutamaan yang menjadi ganjaran untuk orang-orang yang bertawakal kepada Allah, antara lain.

Firman Allah ta'ala "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar". [AthThalaq : 2]

"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahan dan akan melipat gandakan pahala baginya". [Ath-Thalaq : 5]

"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". [Ath-Thalaq : 4].

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu ; Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya". [An-Nisa' : 69]

Sedangkan ayat yang menyebutkan sikap tawakal adalah firman Allah :"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [Ath-Thalaq : 3]

Ibnu Al-Qayyim berkata : Perhatikanlah ganjaran-ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bertawakal yang mana ganjaran itu tak diberikan kepada orang lain selain yang bertawakal kepada-Nya, ini membuktikan bahwa tawakal adalah jalan terbaik untuk menuju ketempat di sisinya dan perbuatan yang amat dicintai Allah. [Madarijus Salikin 2/128]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata. Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Jika seseorang keluar dari rumah, maka ia akan disertakan oleh dua orang malaikat yang selalu menemaninya. Jika orang itu berkata Bismillah (dengan menyebut nama Allah), kedua malaikat itu berkata : Allah telah memberimu petunjuk, jika orang itu berkata : Tiada daya dan upaya dan kekuatan kecuali kepada Allah, kedua malaikat itu berkata : Engkau telah dilindungi dan dijaga, dan jika orang itu berkata : Aku bertawakal kepada Allah, kedua malaikat itu berkata : Engkau telah mendapatkan kecukupan".[1]

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam bab Zuhud yang disanadkan kepada Amru bin 'Ash yang mengangkat hadits ini kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda :"Sesungguhnya di dalam hati anak Adam terdapat celah-celah, dan barangsiapa yang mengabaikan Allah pada setiap celah di dalam hatinya maka ia akan binasa, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi celah-celah yang ada dalam hatinya itu". [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bab Zuhud : 4166 (2/1395) di dalam Az-Zawaid dikatakan bahwa hadist ini lemah sanadnya, dan di dalam Al-Mizan dikatakan bahwa hadits ini tertolak]

Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang memutuskan gantungannya selain kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah akan mencukupi baginya segala kebutuhannya, dan Allah akan mendatangkan rezeki baginya dari yang tak terduga".[Dikeluarkan oleh Thabrani dalam Ash-Shagir 1/115-116 dan diriwayatkan oleh Ibnu Abu Halim seperti yang disebutkan dalam Ibnu Katsir 8/174 dan Abu Shaikh dalam At-Targhib 2/538 lihat Majmu' Az-Zawa'id 10/303]

Yang memberi kecukupan hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya : "Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu" [Al-Anfal : 64]

Maksudnya ; cukuplah Allah bagi kamu, dan cukuplah bagimu orang-orang yang beriman mengikutimu (Tafsir Ath-Thabari 10/37), maka kalian semua tak akan membutuhkan seseorang jika kalian bersama Allah, ini adalah pendapat dari Abu Shaleh Ibnu Abbas, dan juga berpendapat Ibnu Zaid, Muqatil (Zaad Al-Masir 3/556). Asy-Sya'bi (Tafsir Ath-Thabari 10/37) dan lain-lainnya, dan Ibnu Katsir tak menyebutkan selain pendapat ini (Tafsir Ibnu Katsir 4/30) Ada juga yang mengatakan bahwa artinya adalah : cukuplah bagimu Allah, dan cukuplah bagimu orang-orang yang beriman, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Al-Hasan dan diikuti oleh An-Nuhas. [Tafsir Al-Qurthubi 8/43]

Ibnu Al-Jauzy berkata : Bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama (Zaad Al-Masir 3/256), hal itu berdasar pada petunjuk bukti kajian bahwa sesungguhnya yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. [Adlwa'u Al-Bayan]

Ibnu Al-Qayyim berkata : Ini begitu juga dengan pendapat sebagian orang adalah suatu kesalahan yang nyata, tidak boleh mengartikan ayat ini seperti ini (pendapat kedua), dan bahwa sesungguhnya yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah semata, begitu juga dengan tawakal, taqwa dan penyembahan hanyalah kepada Allah, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam AlQur'an "Dan jika mereka bermaksud hendak menipu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin". [AlAnfal : 62]

Lalu dia (Ibnu Al-Qayyim) membedakan antara memberi kecukupan dengan memberi kekuatan yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, sementara yang bisa memberi kekuatan adalah hanyalah Allah dengan membantunya dan juga bersama hamba-hamba Allah lainnya, Allah telah memuji kepada orang-orang yang bertauhid serta orang-orang yang bertawakal di antara hamba-hambanya, yang mana Allah menghususkan mereka untuk mendapat kecukupan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah berfirman : "(Yaitu) orang-orang (yang menta'ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan :' Sesungguhnya manusia telah mengupmpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka', maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : 'Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". [Ali Imran : 173]

Dan mereka tidak pernah mengatakan : cukuplah Allah bagi kami dan Rasulnya.

Jika mereka berpendapat seperti ini dan Allah memuji mereka seperti itu, maka bagaimana mungkin Allah mengatakan kepada utusan-Nya dengan mengatakan: Allah dan pengikut-pengikutmu akan memberimu kecukupan, sementara para pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjadikan Allah satu-satunya yang memberi kecukupan, dan mereka tidak pernah mensekutukan Allah dengan Rasul-Nya dalam masalah memberi kecukupan, bagaimana mungkin mereka (para pengikut Muhammad) melakukan hal seperti ini ?! ini adalah kemustahilan yang paling Mustahil dan Kesesatan yang paling sesat.

Hal yang serupa dengan bahasan ini adalah firman Allah yang berbunyi :

"Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata. 'Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah', (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)". [At-Taubah : 59]

Maka perhatikanlah, bagaimana Alllah menjadikan kewajiban untuk mematuhi diri-Nya dan RasulNya, sebagaimana firman-Nya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia". [Al-Hasyr : 7]

Dan menjadikan kecukupan itu hanya dengan diri-Nya semata, Allah tidak pernah mengatakan : dan mereka berkata: cukuplah Allah dan Rasul-Nya bagi kami, akan tetapi Allah menjadikan diri-Nya sendiri satu-satunya yang bersifat memberi kecukupan, seperti fiman Allah: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah". [At-Taubah : 59]

Dan Allah tidak pernah mengatakan: "dan kepada Rasul-Nya", akan tetapi Allah menjadikan berharap hanya kepada-Nya semata, sebagaimana firman Allah : "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap"

Maka berharap, bertawakal, berlindung dan memberi kecukupan hanyalah kepada Allah semata, sebagaimana bahwa ibadah, taqwa dan sujud hanyalah milik Allah semata, begitu juga dengan sumpah dan bernadzar tidak diperbolehkan kecuali hanya kepada Allah semata.

Dan yang serupa dengan ayat ini adalah firman Allah yang berbunyi : "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya". [Az-Zumar : 36]

[Disalin dari buku At-Tawakkul 'Alallah wa 'Alaqatuhu bil Asbab oleh Dr Abdullah bin Umar AdDumaiji dengan edisi Indonesia Rahasia Tawakal & Sebab Akibat hal. 84 - 89 Bab Buah Tawakal, terbitan Pustaka Azzam, Th 1999, Penerjemah Drs. Kamaluddin Sa'diatulharamaini dan Farizal Tirmidzi] _________ Fote Note:

[1]. Hadits Riwayat At-Tirmidzi bab do'a 3426 (5/490) dan ia juga mengatakan bahwa hadits ini adalah : hadits baik, benar dan asing, kami tak mengetahuinya kecuali dengan ungkapan seperti ini. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bab do'a 3886 (2/178), ia berkata di dalam Kitab Az-Zawaid : Bahwa di dalam sanad hadits ini terdapat Harun bin Abdullah, ia adalah seorang yang lemah. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Anas bab Adab 5073 (13/437), Ahmad dalam Musnadnya (1/66) yang lebih sempurna dari ungkapan ini. Hadits ini dibenarkan oleh Al-Albani sebagaimana dalah shahih AlJami Ash-Shagir 513, 227 (1/1950).

Tawakal Adalah Sarana Terbesar Untuk Mendapatkan Kebaikan Dan Menghindari Kerusakan

Tawakal adalah salah satu sarana terkuat di antara sarana-sarana yang bisa mendatangkan kebaikan serta menghindari kerusakan, berlawanan dengan pendapat yang mengatakan: bahwa tawakal hanyalah sekedar ibadah yang mendatangkan pahala bagi seorang hamba yang melakukannya, seperti orang yang melempar jumrah (ketika haji), juga berlawanan dengan orang yang berpendapat tawakal berarti mentiadakan prinsip sebab musabab dalam penciptaan serta urusan, sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh golongan "Mutakallimin" seperti Al-Asy-ari dan lainnya, dan juga seperti pendapat yang dilontarkan oleh para ahli Fiqh dan golongan shufi, (Risalah Fi Tahqiqi AtTawakkul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal. 87), hal ini akan diterangkan dalam bahasan mengenai prinsip sebab-musabab, Insya Allah.

Ibnul Qayyim berkata : Tawakal adalah sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya. [Bada'i Al-Fawa'id 2/268]

Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang disanadkan kepada Ibnu Abbas : Hasbunallahu wa nima Al-Wakiil, yang artinya : (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung), ungkapan ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim saat tubuhnya dilemparkan ke tengah-tengah Api yang membara, juga diungkapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dikatakan kepadanya : Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk membunuh mu, maka waspadalah engkau terhadap mereka. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir 4563 (Fathul Bari 8/77)]

Ibnu Abbas berkata : Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ketengah bara api adalah : "Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik pelindung". [Hadits Riwayat AlBukhari bab Tafsir 4564 8/77]

Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang disanadkan kepada Bastar bin Al-Harits, ia berkata : Ketika Nabi Ibrahim digotong untuk dilemparkan kedalam api, Jibril memperlihatkan diri padanya dan berkata :

Wahai Ibrahim, apakah Kamu perlu bantuan ?, Ibrahim menjawab : Jika kepada engkau, maka saya tidak perlu bantuan, [Diriwayatkan oleh Ibni Jarir dalam Tafsirnya 17/45, Al-Baghwi dalam tafsirnya 4/243]

ini adalah bagian dari kesempurnaan tawakal yang hanya kepada Allah semata tanpa lainnya.

Akan tetapi apa yang terjadi setelah itu ?!, Allah berfirman : "Kami berfirman : 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim', mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi". [Al-Anbiya : 69-70]

Dan befirman pula Allah tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya : "Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar" [Ali Imran : 174]

Ibnu Katsir berkata : Setelah mereka bertawakal kepada Allah maka Allah melindungi mereka dari bahaya yang mengancam mereka, dan Allah mencegah dari mereka bencana yang telah direncanakan oleh orangorang kafir, lalu mereka kembali ke negeri mereka sesuai dengan firman-Nya, Dengan ni'mat dan karunia (yang besar dari Allah, mereka tidak dapat bencana apa-apa) dari sesuatu yang tersembunyi dalam hati musuh-musuh mereka dan (mereka mengikuti keridla'an Allah) dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Tafsir Qur'anul Adzhim 2/148]

Dan firman Allah tentang orang-orang beriman. "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu, Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal". [Al-Maidah : 11]

Kandungan dari ayat ini adalah bahwa sikap tawakal kepada Allah yang ada dalam hati orang-orang yang beriman adalah salah satu sebab Allah menahan tangan orang-orang kafir yang hendak mencelakakan orang-orang yang beriman, Allah menggagalkan apa yang diingini oleh orang-orang kafir terhadap orang-orang beriman.

Berita yang menerangkan tentang sebab turunnya ayat ini ada tiga berita, semuanya membuktikan bahwa hanya Allah-lah yang menjadi pelindung bagi Nabi-Nya dan Allah pula yang menjaganya dari kejahatan manusia, ketiga berita itu adalah: Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari Jabir bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam terpisah dari para sahabatnya lalu bernaung dibawah pohon (Disebutkan bahwa pohon itu adalah pohon yang berduri, An-Nihayah 3/255) beliau menggantungkan pedangnya di atas pohon itu, kemudian datang seorang Arab Badui (Diriwayatkan bahwa nama orang itu adalah Ghurata bin Al-Harits, lihat Shahihul Bukhari dalam kitab Al-Maghazy 4136 V/491 dan lihat pula Tafsir Ibnu Katsir 3/59) kepada Rasulullah dan mengambil pedang milik beliau, lalu orang itu bediri di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sambil bertanya : Siapakah yang dapat mencegahmu dari aku .?. Beliau menjawab : Allah !, orang Arab Badui itu bertanya dua atau tiga kali : Siapa yang dapat mencegahmu dari aku ?, dan Nabi menjawab : Allah, Jabir berkata : Kemudian orang Arab itu menyarungi pedangnya, lalu Nabi memanggil para sahabatnya, dan mengabarkan kepada mereka tentang kejadian Arab Badui itu, sementara Arab Badui itu duduk di sisi Rasulullah dengan tidak memberi hukuman kepada orang itu. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/311, Bukhari bab Jihad 2910 6/113, diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya 6/146]

Berita yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lainnya dari Ibnu Abbas -tentang ayat ini ia menyebut ayat 11 dari surat Al-Ma'idah- dan ia berkata : Sesungguhnya orang-orang dari kaum Yahudi membuat makanan untuk membunuh Rasulullah dan para sahabatnya, kemudian Allah mewahyukan kepada utusan-Nya itu tentang rencana mereka, maka Rasulullah dan para sahabatnya tidak makan makanan itu . [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya 6/46 dan Ibnu Abu Hatim sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir 3/59]

Dikisahkan bahwa orang-orang dari Kaum Yahudi bersepakat untuk membunuh Nabi dengan cara mengundang Nabi dalam suatu urusan, ketika Nabi datang kepada mereka, mereka membuat siasat untuk melempar beliau dengan sebuah batu besar pada saat Rasulullah bernegosiasi dengan orangorang Yahudi, lalu Allah memberitahukan rencana mereka ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah kembali ke Madinah dengan para sahabatnya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya 6/144)

maka pada saat itulah Allah menurunkan ayat yang berbunyi : "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu" [Al-Maidah : 11]

Dari berita-berita yang menyebabkan turunnya ayat di atas, serta kejadian-kejadian lain yang nyata membuktikan bahwa Allah akan selalu menjaga dan melindungi Nabi utusan-Nya, hal ini tidak lain adalah karena kesempurnaan beliau dalam bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla. Berita dan kejadian seperti ini banyak sekai dan cukup bagi kami dengan apa yang telah kami sebutkan.

[Disalin dari buku At-Tawakkul 'Alallah wa 'Alaqatuhu bil Asbab oleh Dr Abdullah bin Umar AdDumaiji dengan edisi Indonesia Rahasia Tawakal & Sebab Akibat hal. 89 - 92 bab Buah Tawakal terbitan Pustaka Azzam, Th 1999, penerjemah Drs Kamaluddin Sa'diatulharamaini dan Farizal Tarmizi]

Sumber: http://almanhaj.or.id/

Anda mungkin juga menyukai