Anda di halaman 1dari 25

AKHLAQ KEPADA ALLAH

AKHLAQ KEPADA ALLAH


(Mualimin, S.Pd.I)
BAB I
PENDAHULUAN

Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai
individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat
tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir
batinnya, apabila rusak, maka rusaklah lahir batinnya.

Kewajiban seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu
membuat orang menjadi aman, tenang, dan tidak adanya perbuatan yang tercela. Seseorang
yang berakhlak mulia selalu melaksanakan kewajiban- kewajibannya. Dia melakukan
kewajiban terhadap dirinya sendiri yang menjadi hak dirinya, terhadap Tuhan yang menjadi
hak Tuhannya, terhadap makhluk lain, dan terhadap sesama manusia.

Berangkat dari pembuatan makalah ini, kita akan mengajak teman- teman sekalian untuk
sedikit banyak mengulas apa saja yang perlu kita ketahui dan pahami tentang bagaimana
berakhlak kepada Allah dengan semestinya, yang mana setelahnya diharapkan mampu
memberikan kontribusi positif dalam berakhlak kepada Allah. Amiin.

BAB II
PEMBAHASAN

A. AKHLAK MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH


Manusia sebagai hamba Allah sepantasnya mempunyai akhlak yang baik kepada Allah.
Hanya Allah–lah yang patut disembah. Selama hidup, apa saja yang diterima dari Allah
sungguh tidak dapat dihitung. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam Qur’an surat An-
nahl : 18, yang artinya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar- benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan sebagai khalik.
Berkenaan dengan akhlak kepada Allah dilakukan dengan cara memuji-Nya, yakni
menjadikan Tuhan sebagai satu- satunya yang menguasai dirinya. Oleh sebab itu, manusia
sebagai hamba Allah mempunyai cara-cara yang tepat untuk mendekatkan diri. Caranya
adalah sebagai berikut :
1. Mentauhidkan Allah
Yaitu dengan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu apapun. Seperti yang
digambarkan dalam Qur’an Surat Al-Ikhlas : 1-4.[1]
2. Bertaqwa kepada Allah
Maksudya adalah berusaha dengan semaksimal mungkin untuk dapat melaksanakan apa-
apa yang telah Allah perintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
a. Hakekat taqwa dan kriteria orang bertaqwa
Bila ajaran Islam dibagi menjadi Iman, Islam, dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah
integralisasi ketiga dimensi tersebut. Lihat ayat dalam Surah Al- Baqoroh: 2-4, Ali Imron:
133-135.
Dalam surah Al- Baqoroh ayat 2-4 disebutkan empat kriteria orang- orang yang bertaqwa,
yaitu: 1). Beriman kepada yang ghoib, 2). Mendirikan sholat, 3). Menafkahkan sebagian rizki
yang diterima dari Allah, 4). Beriman dengan kitab suci Al- Qur’an dan kitab- kitab
sebelumnya dan 5). Beriman dengan hari akhir. Dalam dua ayat ini taqwa dicirikan dengan
iman ( no. 1,4 dan 5 ), Islam (no. 2 ), dan ihsan ( no. 3 ).
Sementara itu dalam surah Ali Imron 134-135 disebutkan empat diantara ciri- ciri orang yang
bertaqwa, yakni: 1). Dermawan ( menafkahkan hartanya baik waktu lapang maupun sempit),
2). Mampu menahan marah, 3). Pemaaf dan 4). Istighfar dan taubat dari kesalahan-
kesalahannya. Dalam dua ayat ini taqwa dicirikan dengan aspek ihsan.
b. Buah dari taqwa
1. Mendapatkan sikap furqan yaitu tegas membedakan antara hak dan batil (Al- anfal : 29)
2. Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan (At-thalaq : 2)
3. Mendapat rezeki yang tidak diduga- duga (At-thalaq : 3)
4. Mendapat limpahan berkah dari langit dan bumi (Al- A’raf : 96)
5. Mendapatkan kemudahan dalam urusannya (At-thalaq : 4)
6. Menerima penghapusan dosa dan pengampunan dosa serta mendapat pahala besar (Al-
anfal : 29 & Al- anfal : 5).[2]
3. Beribadah kepada Allah
Allah berfirman dalam Surah Al- An’am : 162 yang artinya :”Sesungguhnya sholatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Dapat juga dilihat dalam Surah Al- Mu’min : 11 & 65 dan Al- Bayyinah : 7-8.[3]
4. Taubat
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa.
Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itu, ketika kita sedang
terjerumus dalam kelupaan sehingga berbuat kemaksiatan, hendaklah segera bertaubat
kepada-Nya. Hal ini dijelaskan dalam Surah Ali-Imron : 135.
5. Membaca Al-Qur’an
Seseorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya.
Demikian juga dengan mukmin yang mencintai Allah, tentulah ia akan selalu menyebut
asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW berkata yang artinya : “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an
itu dapat memberikan syafaat dihari kiamat kepada para pembacanya”.
6. Ikhlas
Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata
mengharapkan ridha Allah SWT. Dalam bahasa populernya ikhlas adalah berbuat tanpa
pamrih, hanya semata-mata karena Allah SWT.
a. Tiga unsur keikhlasan:
1. Niat yang ikhlas ( semata-semata hanya mencari ridho Allah )
2. Beramal dengan tulus dan sebaik-baiknya
- Setelah memiliki niat yang ikhlas, seorang muslim yang mengaku ikhlas melakukan
sesuatu harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan itu dengan sebaik-baiknya.
3. Pemanfaatan hasil usaha dengan tepat.
b. Keutamaan Ikhlas[4]
Hanya dengan ikhlas, semua amal ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT. Rasulullah
SAW bersabda, yang artinya :”Selamatlah para mukhlisin. Yaitu orang- orang yang bila hadir
tidak dikenal, bila tidak hadir tidak dicari- cari. Mereka pelita hidayah, mereka selalu selamat
dari fitnah kegelapan…”( HR. Baihaqi ).
7. Khauf dan Raja’
Khauf dan Raja’ atau takut dan harap adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki
secara seimbang oleh setiap muslim. Khauf didahulukan dari raja’ karena khauf dari bab
takhalliyyah (mengosongkan hati dari segala sifat jelek), sedangkan raja’ dari bab tahalliyah
(menghias hati dengan sifat-sifat yang baik). Takhalliyyah menuntut tarku al-mukhalafah
(meninggalkan segala pelanggaran), dan tahalliyyah mendorong seseorang untuk beramal.4
8. Tawakal
Adalah membebaskan diri dari segala kebergantungan kepada selain Allah dan
menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepadanya. Allah berfirman dalam surah Hud:
123, yang arinya :”Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nya lah dikembalikan urusan- urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali- kali Tuhanmu tidah lalai dari apa yang kamu
kerjakan.”
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal ( ikhtiar ). Tidaklah
dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa- apa.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam berakhlak kepada Allah, adalah suatu hal yang menjadi prioritas ketika kita telah
berikrar menjadi seorang muslim yaitu tidak lain beragama Islam dan bertuhankan Allah
SWT.
Ada beberapa cara untuk kita berakhlak kepada Allah SWT yang dari sini kita diharapkan
bisa dan mampu menjadi seorang muslim sejati, antara lain :
1. Mentauhidkan Allah
2. Bertaqwa kepada Allah
3. Beribadah kepada Allah
4. Taubat
5. Membaca Al- Qur’an
6. Ikhlas
7. Khauf dan Raja’
8. Tawakal.

DAFTAR PUSTAKA

Djatmika rachmat, 1996, Sistem etika Islam ( Akhlak Mulia ). Jakarta : Pustaka Panjimas.
Abdullah Yatimin, 2007, Study Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta : Amzah.
Ilyas Yunahar, 2005, Kuliah Akhlak. Yogyakarta : LPPI.
http:\\akhlakterhadapAllah.com

http://ppmalimangendeng.blogspot.com/p/akhlaq-kepada-allah.html

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Al-Islam’ dengan
pokok bahasan ‘Akhlaq terhadap Allah SWT’.
Makalah ini saya buat dengan sederhana dan ringkas agar dapat dipahami oleh semua
pembaca, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat untuk saya dan
semua pembaca.
Dan pada kesempatan ini, saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu. Khususnya kedapa Ibu Dosen Al-islam Rifqi,
berkatnya saya bisa menyusun makalah yang sedemikian ini, dan olehnya saya juga
mengetahui proses hakikat manusia sebagai ciptaan, sehingga manusia harus tunduk kepada
sang Pencipta yaitu Allah SWT dengan cara mengakhlaqinya. Tidak lupa juga saya haturkan
kepada kedua orangtua kami yang atas doanya dan dukungannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu, dan Semoga amal baik semua pihak yang telah membantu
mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, 17 Desember 2013

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Identivikasi............................................................................................................ ...... 5
1.3 Rumusan masalah........................................................................................................ 5
1.4 Batasan Masalah ......................................................................................................... 5
1.5 Tujuan Penulisan. ....................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Akhlaq....................................................................................................... 4
2.1.1 Kriteria akhlaq.................................................................................................... 5
2.1.2 Pembagian Akhlaq............................................................................................. 5
2.2 Pengertian Taqwa........................................................................................................ 6
2.2.1 Devinisi Taqwa menurut alim Ulama................................................................ 6
2.2.2 Keagungan Taqwa.............................................................................................. 7
2.2.3 Tingkatan-tingkatan dan tanda-tanda orang bertaqwa.................................. 7
2.3 Pengertian Cinta dan Ridha....................................................................................... 8
2.3.1 Perbedaan Cinta dan Ridho............................................................................... 9
2.4 Pengertian ikhlas........................................................................................................ 10
2.3.1 Cedera Ikhlas...................................................................................................... 11
2.5 Pengertian Khauf dan Raja’.................................................................................... 12
2.5.1 Devinisi Khauf.................................................................................................... 12
2.5.1.1 Macam-macam khauf............................................................................. 12
2.5.2 Devinisi Raja’...................................................................................................... 13
2.5.2.1 Macam-macam Raja’............................................................................. 13
2.5.2.2 Sifat Raja................................................................................................. 13
2.6 Pengertian Tawakal................................................................................................... 14
2.6.1 Tawakal dan Ikhtiar......................................................................................... 15
2.7 Pengertian Syukur..................................................................................................... 16
2.7.1 Dimensi Syukur................................................................................................. 16
2.8 Pengertian Muroqobah............................................................................................. 17
2.8.1 Muhasabah dan Muroqobah........................................................................... 18
2.8.2 Tahapan-tahapan pengasaan.......................................................................... 18
2.9 Pengertian Taubat..................................................................................................... 20
2.9.1 Kewajiban Bertaubat....................................................................................... 21
2.9.1 Dimensi Taubat................................................................................................. 21

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 23


Kesimpulan....................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 23

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang
sempurna, keharusan manusia sebagai makluk sempurna diantara ciptaan-ciptaan lainya
adalah bersyukur kepada-Nya, salah satu wujud kesyukuran yang dilimpahkan manusia
sebagai ciptaan kepada penciptanya yaitu Allah SWT adalah dengan mengakhlakinya. akhlak
adalah budi pekerti atau tingkahlaku dan perilaku sesorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Kewajiban manusia mengakhlaki Allah SWT adalah dengan wujud taqwa kepadanya,
definisi taqwa secara harfiyah adalah memelihara diri dari siksaan Allah SWT dengan
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, budi pekerti atau akhlaq
merupakan perilaku keseharian manusia yang tidak bisa diragukan lagi rutinitasnya, untuk
menjaga budipekerti manusia dari akhlaqsu’ulkarimah terutama mengakhlaki Allah SWT,
maka Allah SWT mewajibkan kepada seluruh ciptaannya khususnya manusia sebagai
makhluk sempurna dan hayawanu natiq (hewan yang berfikir) untuk mengaklaqi Allah SWT
dengan bertaqwa kepadanya.
Selain Bertaqwa manusia juga harus senantiasa cinta dan ridho kepada Allah SWT,
untuk mendefinisikan cinta sangat luas sekali maknanya, menurut wikipedia Cinta adalah
sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi, cinta juga dapat diartikan
take and Give (saling memberi dan menerima) sedangkan dalam konsep filosofi cinta adalah
sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.
Berbeda dengan cinta, kalaulah cinta definisinya sangat luas, sedangkan ridho
pengertiannya lebih lus dibandingkan dengan cinta. Ridho secara harfiyah diartikan rela atau
perkenan, bisa juga diartikan puas. Olehkarena pengertian ridho sendiri lebih luas daripada
cinta maka hal ini menunjukan bahwa hirerarki tuhan yang lebih tinggi daripada manusia.
Adapun makna Ridho terhadap Allah SWT berarti Allah SWT puas akan ibadah yang kita
lakukan, berbeda dengan cinta yang berarti take and Give, ridho senantiasa melakukan ibadah
terhadap Allah SWT sedangkan Allah SWT senantiasa tidak membutuhkan pemberian
manusia atau tidak perlu menerima persembahan apapun.
Dalam cinta dan Ridho terhadap Allah SWT manusia juga harus senantiasa
mengakhlaki Allah SWT dengan sikap Ikhlas atas segala kehendak-Nya, karena ridho kepada
Allah SWT harus didasari dengan sikap ikhlas, ikhlas adalah salah satu hal yang bisa
menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima Allah SWT. Sedangkan Pengertian Ikhlas
dalam islam adalah memurnikan ibadah atau amalan shalih hanya untuk Allah SWTdengan
mengharap pahala dari-Nya semata. Olehkarenanya sebagai manusia haruslah bersikap ikhlas
dan tidak mengharapkan imbalan terhadap perbuatan yang telak dilakukan baik untuk diri
sendiri maupun orang lain selain kepada-Nya.
Setelah ikhlas atas segala kehendak-Nya manusia juga harus Khauf dan Raja’
terhadap Allah SWT, Khauf secara bahasa berarti takut, khauf terhadap Allah SWT adalah
takut kepada Allah SWT dengan mempunyai perasaan khawatir akan adzab Allah SWT yang
akan ditimpahkan kepada manusia. Sedangkan Raja secara bahasa berarti harapan atau cita-
cita, Raja kepada Allah SWT artinya mengharapkan Ridho, rahmat dan pertolongan kepada
Allah SWT.
Selanjutnya, budi pekerti atau akhlak yang harus mendasar pada manusia adalah
TAWAKAL, tawakal berarti mewakilkan atau menyerahkan, sedangkan yang dimaksud
bertawakal kepada Allah SWT ialah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT dalam
menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti dari suatu keadaan. Manusia
harus senantiasa bertawakal dalam segala macam cobaan, musibah, ujian bahkan kenikmatan
yang diberikan Allah SWT semuanya adalah kehendak dari-Nya olehkarenanya tawakal
harus mendasar dalam diri manusia.
Setelah Tawakkal atau beserah diri kepada Allah, manusia juga harus senantiasa
bersyukur terhadap apa saja yang allah kehendaki. Syukur adalah memuji pemberi nikmat
atas kebaikan yang telah dilakukan-Nya, wujud kesyukuran manusia dengan cara mengakui
nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk
taat kepada allah.
Selanjutnya manusia harus bermurakabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sifat manusia adalah lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan
berkeluh kesah. Semua itu adalah penyebab terjerumusnya manusia kedalam lembah
kenistaan dan kemaksiatan akibat godaan syaithan. Maka, manusia harus mendekatkan diri
terhadap Allah SWT atau Murokobatillah.
Manusia diciptakan Allah SWT dengan kriteria makhluk sempurna yang memiliki
akal dan nafsu, menurut Aristoteles manusia adalah hewan yang berakal. Hewan diciptakan
Allah SWT hanya dikaruniai nafsu sedangkan malaikat hanya dikaruniai akal. Karena
manusia memiliki hawa nafsu dan akal oleh karenya manusia tidak luput dari kesalahan
(dosa) dan lupa. Allah SWT telah membuka pintu taubat sebesar-besarnya kepada manusia
yang melakukan kesalahan dan lupa. Maka dalam mengakhlaki Allah SWT Manusia harus
bertaubat kepadanya atas segala kesalahan (dosa) yang telah Manusia perbuat.
1.2 Identivikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Akhlaq?
2. Apa yang dimaksud dengan taqwa terhadap Allah SWT?
3. Apa yang dimaksud dengan Cinta dan ridho terhadap Allah SWT?
4. Apa yang dimaksud dengan Ikhlas atas kehendak Allah?
5. Apa yang dimaksud dengan Khauf dan Raja’ kepada Allah?
6. Apa yang dimaksud dengan Tawakkal kepada Allah?
7. Apakah yang dimaksud dengan Syukur?
8. Apa yang dimaksud dengan murokobatillah?
9. Apa pengertian dari Taubat?
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah Akhlak terhadap Allah SWT
1.4 Batasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka batasan masalah pada makalah ini
adalah Akhlak Manusia terhadap Allah SWT
1.5 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana manusia
mengakhlaki Allah SWT dan peran manusia dalam mengakhlaki Allah.

BAB II
PEMBAHASAN
Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk ciptaan, dimana konteks ciptaan ialah hasil
pencipta, maka dalam penciptaan pasti memiliki pencipta. Kemudian siapakah yang
menciptakan manusia?. Allah SWT adalah sang pencipta, maha pencipta, tidak hanya
manusia saja yang diciptakannya, namun Malaikat, binatang, syaitan, bahkan alam semesta
beserta isinya merupakan ciptaan Allah SWT.
Maka hendaklah seorang manusia mensyukuri atas terciptanya kepada sang pencipta,
bagaimana kita mensyukurinya?. Salah satu wujud kesyukuran yang harus diimplementasikan
manusia kepada penciptanya adalah dengan cara mengakhlakinya.
Sehingga munculah pertanyaan besar bagi kita Bagaimanakan kita mengakhlaki pencipta
kita?, untuk menjawab pertanyaan itu hendaklah kita mengetahui hakikat kita yang
sebenarnya, untuk itu kita harus Bertaqwa kepada-Nya, Cinta dan Ridho atas kehendaknya,
Ikhlas atas segalanya, Khauf dan raja’ kepada-Nya, Senantiasa bertawakal kepadanya, selalu
mensyukuri nikmatnya, senantiasa bermurakabah dengan-Nya, dan selalu bertaubat atas
segala kesalahan kita kepada-Nya.
2.1 Pengertian Akhlaq
Akhlaq adalah Budi Pekerti atau tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik[1]. Akhlak merupakan
bentuk jamak dari kata Khuluq, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangi, tingkah laku
atau tabi’at.
Kata akhlaq diartikan sebagai tingkah laku, tetapi tingkahlaku tersebut harus
dilakukan secara berulang-ulang tidah cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau
hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatan berakhlak jika timbul dengan sendirinya,
didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan yang sering
diulang-ilang sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan
tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlaq.
2.1.1 Kriteria Akhlaq
Sesorang sering kali merasa bahwa dirinya sudah berakhlak, namun sesorang dapat
dikatakan berakhlak (baik atau buruk) apabila dia telah memenuhi kriteria berikut ini :
a. Melakukan Perbuatan yang baik atau Buruk.
b. Kemampuan melakukan Perbuatan.
c. Kesadaran akan perbuatan itu.
d. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk.
2.1.2 Pembagian Akhlaq
Dalam menilai sesorang berakhlak baik atau buruk, manusia terkadang atas tindakan
atau tingkah laku yang dia perbuat namun dia tidak menyadari bahwa tindakannya adalah
baik atau buruk menurut dia maupun orang lain, adapun pembagian akhlaq Dibedakan
Menjadi dua bagian.
1. Akhlaq Baik (Al-Hamidah)
Akhlaq Al-hamidah adalah suatu tingkah laku sesorang yang didorong oleh keinginan
yang baik dengan tujuan tidak mendatangkan kerugian bagi dirinya dan orang lain. Adapun
contoh dari Akhlaq Baik adalah Jujur (As-Sidqu), Berperilaku Baik (Khusnul khuluqi), Malu
(Al-Haya’), Rendah Hati (At-tawadlu’), Murah hati (Al-hilmu), Sabar (Ash-Shobru).
2. Akhlaq Buruk (Adz-Dzaminah)
Akhlaq buruk merupakan suatu tingkah laku sesorang yang berdampak buruk bagi
dirinya sendiri dan orang lain, adapun contoh dari akhlaq Adz-Dzaminah adalah mengambil
atau mencuri hak orang lain, membicarakan kejelekan orang lain, membunuh, segala bentuk
tindakan tercela dan merugikan orang lain.
2.2 Pengertian Taqwa
Taqwa Besasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. "memelihara
diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan atau petunjuk allah" Adapun dari asal bahasa arab
quraish taqwa lebih dekat dengan kata Waqa, Waqa bermakna melindungi sesuatu,
memelihara dan melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.[2]
Taqwa dalam bahasa arab berarti memelihara diri dari siksaan allah dengan mengikuti
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Maka kata taqwa bisa diartikan
berusaha memelihara dari ketentuan allah dan melindungi diri dari dosa atau larangan Allah
SWT, atau juga berhati-hati dalam menjalani hidup sesuai petuntuk allah.
2.2.1 Devinisi Taqwa menurut para Ulama
a. Imam ar-Raghib al-Ashfahani
Takwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa dan itu dengan
meninggalkan apa yang dilarang menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang
dihalalkan.
b. Imam an-Nawawi
Takwa adalah dengan menaati perintah dan larangan-Nya. Maksudnya menjaga diri
dari kemurkaan dan azab Allah. Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang
mengakibatkan siksa baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.
Dengan demikian, barangsiapa yang tidak menjaga dirinya dari perbuatan dosa berarti
dia bukanlah orang bertakwa. Maka, orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang
diharamkan Allah atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah atau
mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai Allah atau berjalan ke tempat
yang dikutuk oleh Allah berarti tidak menjaga dirinya dari dosa. Jadi orang yang
membangkang perintah Allah serta melakukan apa yang dilarang-Nya dia bukanlah termasuk
orang-orang yang bertakwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia
pantas mendapat murka dan siksa dari Allah maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan
orang-orang yang bertakwa.
2.2.2 Keagungan Taqwa
Dalam sebuah hadist menjelaskan :
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar
baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (hadist diatas) mengatakan :
“Maknanya barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang
diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya niscaya Allah akan memberinya
jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka yakni dari arah yang tidak
pernah terlintas dalam benaknya”
Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya.”
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi tetapi mereka mendustakan itu
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri.”
2.2.3 Tingkatan-tingkatan dan tanda-tanda orang Bertaqwa
Adapun tanda-tanda orang bertaqwa adalah sebagaimana Firman Allah SWT dalam
surat Ali’imron Ayat 134 :
“(yaitu) orang-orang yang berinfak (karena Allah SWT), baik diwaktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mereka yang pemaaf terhadap
(kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Sedangkan Tingkatan-tingkatan orang bertaqwa memiliki tiga tingkatan :


1. Ketika seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan mengada-adakan sekutu-sekutu bagi
Allah, dia disebut orang yang Taqwa. Didalamnya pengertian ini semua orang beriman
tergolong taqwa meskipun mereka masih terlibat beberapa dosa.
2. Jika seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dia
memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi.
3. Orang yang setiap saat selalu berupaya menggapai cinta Allah SWT, dia memiliki tingkat
Taqwa yang lebih tinggi lagi.
2.3 Pengertian Cinta dan Ridha
Sebagai kaum muslimin, setiap kali sorang muslim melakukan rutinitas dimasyarakat dalam
kesehariannya yang terpenting dalam hidupnya adalah Ridha Allah SWT. Maka dalam
menjalankan segala aktivitasnya sesorang muslim haruslah berpegang teguh kepada Ridha
Ilahi, bukan selainnya. Ada salah satu agama yang mengajarkan bahwa Cinta tuhanlah yang
dicari. Olehkarena itu, hendaklah seorang mengetahui makana dari cinta dan Ridha
Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi, cinta
juga dapat diartikan take and Give (saling memberi dan menerima)[3] sedangkan dalam
konsep filosofi cinta adalah sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih
dan kasih sayang.
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan
seorang terpatut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih
sayang[4].
Rihho Secara harfiyah berarti “rela” atau “perkenan”. Bisa juga diartikan sebagai
“puas”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) Rida atau ridho adalah rela, suka,
senang hati. Ridha juga berarti memperkenankan atau mengizinkan[5].
Devinisi Ridha kepada Allah berarti ALLAH SWT puas akan ibadah yang kita
lakukan. Karena kepuasan ALLAH SWT ini berarti tata cara, niat, dan rukun ibadah kita
sudah sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan begitu, ALLAH SWT rela dan memberikan izin
kepada kita untuk berkarya di muka bumi-Nya.
2.3.1 Perbedaan Cinta dan Ridha
Manusia sering kali terkecoh oleh cinta, namun sangat minoritas sekali yang benar-benar
mengetahui makna cinta yang sebenarnya, dalam memahami cinta sebaiknya seorang harus
mengetahui makna cinta sendiri itu seperti apa, maka untuk mengetahui itu hendaklah
mengenal perbedaan antara cinta dan ridho,
A. Cinta
Cinta memiliki arti saling memberi dan menerima (Take And Give), yang maknanya
setiap terjadinya cinta pasti memiliki proses pemberian dan penerimaan, contohnya cinta
anak terhadap orang tua, cinta seorang anak adalah hasil pemberian kasih sayang yang
diberikan dengan tulus oleh kedua orangtuanya terhadap anak tersebut, sehingga orang tua
pun menerima dan banggga kepada anaknya tersebut. Begitupun sebaliknya.
B. Ridho
Ridha memiliki arti yang lebih luas dari cinta, ini menunjukan hierarki tuhan yang
lebih tinggi daripada manusia. kalaulah makna cinta itu saling memberi dan menerima,
sementara itu ridha Allah SWT sama sekali tidak membutuhkan pemberian manusia atau
tidak perlu menerima apapun. Seperti yang dijelaskan diatas Ridha Allah artinya Allah SWT
puas akan ibadah yang kita lakukan.
Tidak hanya itu, bahkan ada suatu kisah tentang seorang sufi yang hendak berdo’a :
“Tuhanku, andaikata engkau menempatkan aku di neraka sekalipun, bila itu karena Ridha-
Mu kepadaku, aku ikhlas.” . hikmah dari kisah ini sangatlah dalam, terkadang seorang
muslim yang keberagamaannya masih ditatanan awam, beraguentasi “mendapatkan surga dan
menghindari neraka” argumentasi ini sering kali terdengar ditelingga kita pasca sekolah dasar
(SD) hal inilah yang menyebabkan orientasinya berbeda antara Cinta dan Ridha. Maka
semoga kita selalu ikhlas dalam melakukan rutinitas kita, khususnya dalam beribadah.
2.4 Pengertian Ikhlas
Dalam melakukan dan mengakhlaki seseorang terkadang seorang masih bingung apakah
perbuatan yang dilakukannya dengan tulus ataukan berniat untuk minta jasa, riya, ingin
mendapatkan sesuatu, atau untuk dikenal (populer).
Hal tersebutlah yang menjadi pertanyaan besar bagi seorang muslim, bagaimanakah bisa
seorang muslim berusa baik dan tulus kepada seseorang yang lain tetapi dengan tujuan imbal
jasa atau minta jasa, inikah muslim yang sebenarnya?. Oleh sebab itu hendaklah seorang itu
mengetahui kata ikhlas dan maknanya yang sesunguhnya agar seorang muslim tidak
terjerumus oleh kata ikhlas tapi minta jasa.
Ikhlas adalah salah satu hal yang bisa menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima
Allah Ta'ala. Adapun makna Ikhlasa dalam Islam adalah memurnikan ibadah atau amal shalih
hanya untuk Allah dengan mengharap pahala dari Nya semata.[6] Jadi dalam beramal kita
hanya mengharap balasan dari Allah, tidak dari manusia atau makhluk-makhluk yang lain.

Seorang ulama muslim, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan arti ikhlas yaitu
mengesakan Allah di dalam tujuan atau keinginan ketika melakukan ketaatan, beliau juga
menjelaskan bahwa makna ikhlas adalah memurnikan amalan dari segala yang
mengotorinya. Inilah bentuk pengamalan dari firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 5
yang artinya: "Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon
pertolongan."

Waspadalah atas segala apa yang kita perbuat, apakah perbuatan kita hanya mengejar
duniawi saja ataukah ingin terkenal olehnya, berhati-hatilah dalam bertintak sesuatu karena
tatkala kita berniat salah apalagi berniat buruk itu akan mengurangi keikhlasan dalam diri
kita, Allah tidak akan menerima amal tersebut dan hanya menjadikannya seperti debu yang
berterbangan sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam QS Al-Furqan: 23 yang
artinya: "Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu
seperti debu yang berterbangan.
Memiliki rasa ikhlas yang sesungguhnya memanglah tidak mudah, akan tetapi kita
harus belajar dan mempraktekkan keikhlasan itu sendiri.
2.4.1 Cedera Ikhlas
Sering kali manusia tergoda oleh keindahan duniawi, seperti harta, tahta, wanita/pria. Ketiga
hal inilah yang terkadang menyebabkan terkurangnya keikhlasan dalam diri seseorang,
olehkarenya ada beberapa hal yang merusak keikhlasan seseorang yaitu :

1. Riya
Pengertian riya adalah seseorang menampakan amalnya dengan tujuan orang lain
melihatnya dan memujinya. Dan hal inilah yang termasuk pembatal ikhlas dalam islam.
Sehingga kita harus berhati-hati terhadap ikhlas dan menanyakan pada diri kita sendiri bahwa
kita sudah ikhlas. Dan ini adalah termasuk perbuatan syirik dan dikategorikan srikrik kecik
Sirkul Asghor,

2. Ujub
Ujub adalah seseorang berbangga diri dengan amal-amalnya. Para ulama
menerangkan bahwa ujub merupakan sebab terhapusnya pahala seseorang, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ujub sebagai hal-hal yang membinasakan.
Beliau bersabda yang artinya: "Hal-hal yang membinasakan ada tiga yaitu: berbangganya
seseorang dengan dirinya, kikir yang dituruti, dan hawa nafsu yang diikuti"(HR. Al-Bazzar)

3. Sum’ah
Sum’ah adalah seseorang beramal dengan tujuan agar orang lain mendengar amalnya
tersebut lalu memujinya. Maka bahaya sum’ah sama dengan bahaya riya’ dan pelakunya
terancam tidak akan mendapatkan balasan dari Allah, bahkan Allah akan membuka semua
keburukannya di hadapan manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
yang artinya : "Barangsiapa yang memperdengarkan amalannya maka Allah akan
memperdengarkan kejelekan niatnya dan barang siapa yang beramal karena riya’ maka Allah
akan membuka niatnya di hadapan manusia"(HR. Bukhari dan Muslim).

2.5 Pengertian Khauf dan Raja’


Banyak sekali manusia yang menyombongkan dirinya lebih berkuasa, ini merupakan akibat
dari mengejar tujuan duniawi, bahkan ada yang meyombangkan dirinya lebih pintar, lebih
berkuasa dibanding tuhaan. Fir’aun adalah salahsatu contoh nyata dan sebagai pelajaran bagi
seluruh umat manusia bahwa tidak ada yang paling sempurna, paling berkuasa dibanding
tuhan, maka jangan sekali-kali kita menandingi idealisme, intelektual kita dengan-Nya.
Dalam mengantisipasi itu semua hendaklah kaum muslimin didunia ini untuk
senantiasa takut dan hanya mengharapkan ridho kepadanya (Khauf dan Raja’)
2.5.1 Devinisi Khauf
Secara bahasa Khauf berasal dari kata khafa, yakhafu, khaufan yang artinya takut.
Takut yang dimaksud disini adalah takut kepada Allah SWT. Khauf adalah takut kepada
Allah SWT dengan mempunyai perasaan khawatir akan adzab Allah yang akan ditimpahkan
kepada kita. Cara untuk dekat kepada Allah yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
2.5.1.1 Macam-macam Khauf
Adapun Macam-macam Khauf terbagi mendi tiga macam yaitu :
a. Khouf thabi’i
seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut
semacam ini tidak membuat orangnya dicela akan tetapi apabila rasa takut ini menjadi sebab
dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
b. Khouf ibadah
khauf Ibadah yang berarti seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga
membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali
ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik
akbar.
c. Khouf sirr
Khauf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di
kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut
kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik.
Allah SWT bukanlah Dzat yang harus ditakuti dalam arti dijauhi, tetapi dipatuhi
segala perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-Nya. Allah Maha Pengasih. Lagi Maha
Penyayang, Allah Maha Penolong, juga Maha Pengampun. Ada pun alasan yang sering kali
ditakuti manusia terhadap allah adalah karena kekuasaan dan keagungan-Nya, Karena
balasan-Nya, karena taufik dan hidayah yang diberikan-Nya kepada manusia, dan karena
rahmat dan minat yang dilimpahkan kepada manusia.
2.5.2 Devinisi Raja’
Raja’ secara bahasa artinya harapan atau cita-cita. Raja’ adalah mengharap ridho,
rahmat dan pertolongan kepada Allah SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya, atau suatu
jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT, setelah
melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapaknnya. Jika
mengharap ridha, rahmat dan pertolong Allah SWT, kita harus memenuhi ketentuan Allah
SWT. Jika kita tidak pernah melakukan shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya, jangan harap
meraih ridha,rahmat,dan pertolongan Allah SWT.
2.5.2.1 Macam Macam Raja’
Dua bagian termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya
adalah raja` yang tercela. Yaitu:
 Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia
senantiasa mengharap pahala-Nya
 Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan
Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
 Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam
kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja` yang
seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
2.5.2.2 Sifat Raja’
1. Optimis
Optimis adalah memungkinkan seseorang melewati setiap warna kehidupan dengan
lebih indah dan membuat suasana hati menjadi tenang.
2. Dinamis
Dinamis adalah sikap untuk terus berkembang, berfikir cerdas, kreatif, rajin, dan
mudah beradaptasi dengan lingkungan. Orang yang bersikap dinamis tidak akan mudah puas
dengan prestasi-prestasi yang ia peroleh, tetapi akan berusaha terus menerus untuk
meningkatkan kualitas diri.

Baik Khauf maupun raja` merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya
menyatu dalam diri seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi
seimbang. Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan ketaatan
dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan dirinya untuk
selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
2.6 Pengertian Tawakal
Musibah dan kenikmatan adalah dua peristiwa atau kejadian yang acap kali terjadi dan
ditimpa manusia, musibah merupakan kejadian/peristiwa menyedihkan yang menimpa
manusia[7]. Sedangkan kenikmatan adalah keadaan yang enak dan merasa puas olehnya. Dua
peristiea inilah yang membuat hati kita kencang dan kendor, maksudnya berkat keduanya hati
kita bisa beralih-alih terkadang mensyukurinya namun dilain hal membencinya. Dalam
mengatasi hal tersebut maka hendaklah seorang muslim untuk berserah diri kepada-Nya
(bertawakal) karenya segala peristiwa yang dilimpahkan Allah kepada manusia adalah
sebagai cobaan.
Tawakal berarti mewakilkan atau menyerahkan. Adapun arti tawakal dalam agama
islam adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil
suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan[8].
Salah seorang alim ulama, Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai
berikut, "Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu
kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa
bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya
yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah
yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan
mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena
Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah
dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya[9].
2.6.1 Tawakal dan Ikhtiar
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha yang maksimal (ikhtiar). Tidaklah
dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salahsatu bentuk kesalahpahaman
terhadap hakikat tawakal.
Banyak sekali orang mengerta kata tawakal namun jarang yang mendalami maknanya.
Salahsatu contoh orang yang hanya mengeti maknanya saja adalah dia enggan berusaha dan
bekerja, tetapi hanya menunggu. Orang semacam ini mengerti kata tawakal ialah berserah diri
kepada-Nya sehingga dia malas untuk berusaha dan bekerja karena pada prinsipnya
semuanya terserah allah. Jika allah menghendaki dia kaya maka dia akan kaya, tanpa harus
bekerja. jika allah menghendaki pintar maka dia pintar, tanpa harus belajar. Inilah yang
mejadikan paradigma manusia pragmatis atau instan/praktis.
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau
perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya menurut ajaran Islam ialah menyerah diri
kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan
kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia tetapkan[10].
Adapun contoh orang yang bertawakal ialah seperti seseorang yang meletakkan
sepeda di halaman rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakkal. Pada zaman
Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu.
Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, "Saya telah benar-benar bertawakkal
kepada Allah". Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, "Ikatlah dan
setelah itu bolehlah engkau bertawakkal.",
Dengan demikian, berserahdiri atau bertawakal kepada Allah SWT tidaklah pasrah dengan
realita kehidupan, melainkan tawakal yang sebenarnya adalah dengan didasari dan senantiasa
berikhtiar (bekerja keras dan berusaha maksimal) untuk menggapai sesuatu yang dicita-
citakan dan tidak pragmatis dalam merealisasikannya.
2.7 Pengertian Syukur
Syukur adalah memuji pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukan-Nya.
Syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan. Wujud kesyukuran hati berupa
muhasabah dan mahabbah, sedangkan lisan berupa memuja dan menyebut nama Allah, dan
anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan
keta’atan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya. Syukur seorang hamba
berkisar atas tiga hal yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan
bersyukur, adapun ketiga hal tersebut ialah :
1. Mengakui nikmat dalam batin.
2. Membicarakannya secara lahir
3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah
Syukur memang berbeda dengan Al-hamdu (pujian), karena syukur selalu sebagai
respons terhadap nikmat atau pemberian yang diterima. Sedangkan al-hamdu menyangkut
sifat terpuji yang melekat pada diri yang terpujitanoa suatu keharusan sipemuji mendapatkan
nikmat atau pemberian dari yang dipuji. Syukur melibatkan tiga aspek sekaligus yaitu, Hati.
Lisan, dan anggota badan. Sedangkan al-hamdu atau pujian cukup dengan lisan.
2.7.1 Dimensi Syukur
Adapun dimensi yang dimaksud adalah tiga hal yang disebutkan diatas yaitu : hati,
Lisan dan Jawarih (anggota badan). Bila seorang muslim bersyukur kepada Allah SWT atas
kekayaan harta benda yang didapatnya maka yang pertama sekali yang harus dilakukannya
adalah mengetahui dan mengakui bahwa semua kekayaan yang didapatnya itu adalah karunia
dari Allah SWT. Usaha yang dia lakukan hanyalah sebab atau ikhtiar semata. Ikhtiar tanpa
taufik dari Allah SWT tidak akan menghasilkan apa yang diinginkan. Oleh sebab itu, dia
harus bersyukur kepada Allah yang maha pemurah dan maha pemberi rizki. Selain itu baru
dia mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji-pujian seperti al-hamdulillah,
assyukrulillah dan lain sebagainya. Kemudian dia buktikan rasa syukur dengan amal
perbuatan yang nyata yaitu memanfaatkan harta kekayaan itu pada jalan yang diridhai oleh
Allah SWT, baik untuk keperluannya sendiri maupun untuk keperluan keluarga, umat atau
untuk fisabillah.
2.8 Pengertian Murakabah
‘ilmu, bashar, dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) merupakan bagian dari
asma’ulhusna (nama-nama Allah). Ketiga sifat-sifat allah menjelaskan bahwa allah mah
mengetahui segala apa yang kita perbuat mulai dari hal yang kecil hingga yang tak terhingga,
manusia adalah makhluk yang mencoba untuk sempurna. Diamana dalam merealisasikan
impiannya itu sering kali melakukan salah dan khilaf melakukaan hal yang menurutnya salah.
Terkadang kita merasa bebas hidup didunia ini, bebas berfikir, bertindak, berakhlak dst.
Namun kita tidak menyadari bahwa ada pencipta yang selalu mengawasi gerak-gerik kita.
Sehingga kita baru menyadarinya tatkala diberikan cobaan olehnya. Maka salahsatu cara
mengakhlakinya adalah dengan senantiasa merasa terawasi oleh-Nya (bermuroqobah)
kepada-Nya.
Muroqobah berakar dari kata raqaba (raqaba) yang berarti menjaga, mengawal,
menanti dan mengamati[11]. Maka muroqobah jika disimpulkan berarti pengawasan karena
apabila seorang mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan dan mengawalnya.
Pengertian muroqobah adalah kesadaran seorang muslim bahwa dia selalu berada
dalam pengwalan Allah SWT[12]. Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah SWT
dengan sifat ‘ilmu, bashar dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) Nya mengetahui
apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja. Dia mengetahui apa yang ia pikirkan dan
rasakan. Tidak ada satupun yang lupt dari pengawasannya.
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah
(muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan
mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
2.8.1 Muhasabah dan Muroqabah

Muhasabah adalah kesadaran akan pengawasan Allah SWT akan mendorong seorang
muslim untuk melakukan Muhasabah (perhitungan, Evaluasi) terhadap amal perbuatan,
tingkahlaku dan sikap hatinya sendiri[13].

Maka Muhasabah kaitannya dengan muraqabah adalah (al-muraqabah thariq ila al-
muhasabah) muraqabah adalah sebagai jalan menuju muhasabah[14]. Berbeda dengan
muhasabah, muraqabah lebih cenderung penddekatan diri kepada-Nya. Sedangkan
muhasabah adalah evaluasi diri manusia atas amal perbuatannya.

2.8.2 Tahapan-tahapan Penguasaan.

Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem
pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar
benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari
keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.

1. Mu’ahadah.

Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah
SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu
kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini
Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)

Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita
tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.

Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR.
Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di
alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)

2. Muraqabah.

Setelah bermu’ahadah, kemudian kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang
selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.

3. Muhasabah.

Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang
kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih
detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.

Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan


sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam
meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal
dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita
menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak
engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan
hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-
cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa
itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat
shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh
isinya, subhanallah.

5. Mujahadah

Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah


kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang
diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal
rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur
kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.

6. Mutaba’ah.

Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-
proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.

2.9 Pengertian Taubat


Agama menganjurkan kepada kita dalam melaksanakan sesuatu haruslah dilakukan dengan
hati-hati dan penuh pertimbangan, sebagaimana dikatakan dalam pepatah “didalam keberhati-
hatian itu ada keselamtan, didalam ketergesaan itu ada penyesalan. Namun Ada lima perkara
yang harus dilaksanakan manusia secara terburu-buru dan tergesa-gesa:
1. Menguburkan jenazah
2. Menikahkan anak perempuan yang sudah cukup umur.
3. Membayar Hutang
4. Memberi makan seorang musafir
5. Bertaubat kepada Allah SWT.
Dalam konteks ini, manusia diharuskan mendahulukan hal-hal diatas ketimbang dalam
melaksanakan rutinitasnya. Terutama apabila seorang muslim melakukan kesalahan baik
kesalahan kecil maupun besar, maka bersegera dia untuk bertaubat kepada Allah SWT.
Taubat berakar dari kata taba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada
Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu, kembali dari sifat-
sifatnya yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan menuju perintah-
Nya, kemballi dari maksiat menuju yang taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju
yang diridhai-Nya, kembali dari yang saling betentangan menuju yang saling menyenangkan,
kembali taat setelah menentang-Nya[15].
Makna tobat secara definitif adalah seseorang mustahil menjadi menyesal yang
sungguh-sungguh selama orang masih menetapi dosa atau berbuat dosa yang sejenisnya,
sebab itulah penyesalan merupakan syarat utama untuk bertobat. Sedangkan dalil dari hadits
Nabi yang artinya : "Seorang yang tobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan
jika Allah mencintai seorang hamba pasti dosa tidak akan membahayakannya". (HR. Ibnu
Mas'ud dan dikeluarkan oleh Ibnu Majjah).
2.9.1 Kewajiban Bertaubat
Menurut para Ulama', taubat itu hukumnya ialah wajib, dan orang-orang yang
berpegang teguh kepada prinsip-prinsip ahli sunnah mengatakan. Allah SWT Maha penerima
taubat, betapapun besarnya dosa seorang manusia, apabila dia bertaubat, Allah pasti
mengampuninya. Tidak ada istilah terlambat untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali
kalau nyawa sudah berada ditenggorokkan atau matahari sudah terbit dibarat, pintu taubat
memang sudah tertutup.
Kita mengetahui Rasulullah Saw adalah sebaik-baik manusia yang diciptakan oleh
Allah SWT. Beliau tidak pernah meninggalkan perintah Allah dan tidak pula pernah
melanggar larangan-Nya. Sekalipun demikian beliau selalu minta ampun kepada Allah SWT.
Apalagi kita. Mestinya lebih banyak lagi minta ampun kepada Allah SWT.
2.9.2 Dimensi Taubat
Sering kali kita dihadapkan untuk bertaubat kepada allah namun sedikit dari kita yang
memaknai kebenaran taubat yang sebenarnya, adapun taubat dikatakan taubat yang sempurna
apabila memenuhi lima Dimensi :

1. Menyadari Kesalahan
Seorang tidak mungkin bertaubat kalau dia tidak menyadari kesalahan atau tidak
merasa bersalah. Maka dimensi yang pertama ialah menyadari kesalahannya.

2. Menyesalai Kesalahan.
Sekalipun seorang tahu bahwa dia bersalah tetapi dia tidak menyesal telah
melakukannya maka orang yang demikian bukanlah tipikal orang yang bertaubat dan belum
bisa dikatakan bertaubat.

3. Memohon ampun kepada Allah SWT (istigfar).


Dalam bertaubat seorang haruslah beristigfar dengan keyakinan atau busn azh-zhan
bahwa Allah SWT akan mengampuninya. Semakin banyak dan semakin sering seorang
mengucapkan istigfar kepada Allah SWT semakin baik.

4. Berjanji Tidak akan mengulangi.


Janji itu harus keluar dari hati nuraninya dengan sejujurnya, tidak hanya dimulut,
sementara didalam hati masih tersimpan niat untuk kembali mengerjakan dosa itu sewaktu-
waktu.

5. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh.


Untuk membuktikan bahwa dia benar-benar bertaubat. Allah berfirman dalam surat
Thaha 20:82 “dan sesungguhnya. Aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman
dan beramal sholeh, kemudian tetap dijalan yang benar”.
Apabila lima dimensi diatas terealisasikan maka itulah yang dimaksud dengan taubat
yang sempurna atau taubat nashuha. Olehkarenanya apabila kita melakukan kesalahan
bersegeralah untuk bertaubat kepadanya dengan memenuhi lima dimensi diatas untuk
mencapai taubat yang sempurna.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kewajiban manusia sebagai ciptaan kepada penciptanya yaitu Allah SWT
salahsatunya adalah dengan mengakhlakinya, akhlaq terhadap Allah SWT harus senantiasa
kita lakukan dan mengaplikasikannya, mengakhlaki Allah tidahlah seperti berakhlak kepada
sesama manusia yang senantiasa saling memberi dan menerima. Untuk mewujudkan akhlaq
yang sebenar-benarnya alangkah baiknya kita harus mengakhlaki sesama manusia dengan
sebenar-benarnya, yaitu melakukan runutinas didunia dengan tidak bertujuan menikmati
keindahan duniawi semata, dalam membantu sesama haruslah diliputi dengan rasa ikhlas dan
tulus bukan semata-mata ingin minta jasa.
Konsep Akhlaq terhadap tuhan sudah diterangkan diatas bahwa kita harus senantiasa
menanmkan delapan nilai-nilai tersebut dalah diri kita. Bertaqwa kepada-Nya, cinta dan ridha
atas segala kehendak-Nya, Ikhlas menerima kenyataan dari-Nya, Takut dan berharap ridha
(Khauf dan Raja’) dari-Nya, selalu tawakal kepada-Nya, mensyukuri segala kehendaknya,
bermurokobah dengan-Nya, dan senantiasa bertaubat atas segala kesalahan yang diperbuat.

http://faridbloger.blogspot.com/2014/05/makalah-akhlaq-terhadap-allah-swt.html

Anda mungkin juga menyukai