Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Al-Islam’ dengan
pokok bahasan ‘Akhlaq terhadap Allah SWT’.
Makalah ini saya buat dengan sederhana dan ringkas agar dapat dipahami oleh semua
pembaca, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat untuk saya dan
semua pembaca.
Dan pada kesempatan ini, saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu. Khususnya kedapa Ibu Dosen Al-islam Rifqi,
berkatnya saya bisa menyusun makalah yang sedemikian ini, dan olehnya saya juga
mengetahui proses hakikat manusia sebagai ciptaan, sehingga manusia harus tunduk kepada
sang Pencipta yaitu Allah SWT dengan cara mengakhlaqinya. Tidak lupa juga saya haturkan
kepada kedua orangtua kami yang atas doanya dan dukungannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu, dan Semoga amal baik semua pihak yang telah membantu
mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah SWT. Amin.
Seorang ulama muslim, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan arti ikhlas yaitu
mengesakan Allah di dalam tujuan atau keinginan ketika melakukan ketaatan, beliau juga
menjelaskan bahwa makna ikhlas adalah memurnikan amalan dari segala yang
mengotorinya. Inilah bentuk pengamalan dari firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 5
yang artinya: "Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon
pertolongan."
Waspadalah atas segala apa yang kita perbuat, apakah perbuatan kita hanya mengejar
duniawi saja ataukah ingin terkenal olehnya, berhati-hatilah dalam bertintak sesuatu karena
tatkala kita berniat salah apalagi berniat buruk itu akan mengurangi keikhlasan dalam diri
kita, Allah tidak akan menerima amal tersebut dan hanya menjadikannya seperti debu yang
berterbangan sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam QS Al-Furqan: 23 yang
artinya: "Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu
seperti debu yang berterbangan.
Memiliki rasa ikhlas yang sesungguhnya memanglah tidak mudah, akan tetapi kita
harus belajar dan mempraktekkan keikhlasan itu sendiri.
2.4.1 Cedera Ikhlas
Sering kali manusia tergoda oleh keindahan duniawi, seperti harta, tahta, wanita/pria. Ketiga
hal inilah yang terkadang menyebabkan terkurangnya keikhlasan dalam diri seseorang,
olehkarenya ada beberapa hal yang merusak keikhlasan seseorang yaitu :
1. Riya
Pengertian riya adalah seseorang menampakan amalnya dengan tujuan orang lain
melihatnya dan memujinya. Dan hal inilah yang termasuk pembatal ikhlas dalam islam.
Sehingga kita harus berhati-hati terhadap ikhlas dan menanyakan pada diri kita sendiri bahwa
kita sudah ikhlas. Dan ini adalah termasuk perbuatan syirik dan dikategorikan srikrik kecik
Sirkul Asghor,
2. Ujub
Ujub adalah seseorang berbangga diri dengan amal-amalnya. Para ulama
menerangkan bahwa ujub merupakan sebab terhapusnya pahala seseorang, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ujub sebagai hal-hal yang membinasakan.
Beliau bersabda yang artinya: "Hal-hal yang membinasakan ada tiga yaitu: berbangganya
seseorang dengan dirinya, kikir yang dituruti, dan hawa nafsu yang diikuti"(HR. Al-Bazzar)
3. Sum’ah
Sum’ah adalah seseorang beramal dengan tujuan agar orang lain mendengar amalnya
tersebut lalu memujinya. Maka bahaya sum’ah sama dengan bahaya riya’ dan pelakunya
terancam tidak akan mendapatkan balasan dari Allah, bahkan Allah akan membuka semua
keburukannya di hadapan manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
yang artinya : "Barangsiapa yang memperdengarkan amalannya maka Allah akan
memperdengarkan kejelekan niatnya dan barang siapa yang beramal karena riya’ maka Allah
akan membuka niatnya di hadapan manusia"(HR. Bukhari dan Muslim).
Baik Khauf maupun raja` merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya
menyatu dalam diri seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi
seimbang. Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan ketaatan
dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan dirinya untuk
selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
2.6 Pengertian Tawakal
Musibah dan kenikmatan adalah dua peristiwa atau kejadian yang acap kali terjadi dan
ditimpa manusia, musibah merupakan kejadian/peristiwa menyedihkan yang menimpa
manusia[7]. Sedangkan kenikmatan adalah keadaan yang enak dan merasa puas olehnya. Dua
peristiea inilah yang membuat hati kita kencang dan kendor, maksudnya berkat keduanya hati
kita bisa beralih-alih terkadang mensyukurinya namun dilain hal membencinya. Dalam
mengatasi hal tersebut maka hendaklah seorang muslim untuk berserah diri kepada-Nya
(bertawakal) karenya segala peristiwa yang dilimpahkan Allah kepada manusia adalah
sebagai cobaan.
Tawakal berarti mewakilkan atau menyerahkan. Adapun arti tawakal dalam agama
islam adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil
suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan[8].
Salah seorang alim ulama, Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai
berikut, "Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu
kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa
bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya
yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah
yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan
mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena
Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah
dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya[9].
2.6.1 Tawakal dan Ikhtiar
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha yang maksimal (ikhtiar). Tidaklah
dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salahsatu bentuk kesalahpahaman
terhadap hakikat tawakal.
Banyak sekali orang mengerta kata tawakal namun jarang yang mendalami maknanya.
Salahsatu contoh orang yang hanya mengeti maknanya saja adalah dia enggan berusaha dan
bekerja, tetapi hanya menunggu. Orang semacam ini mengerti kata tawakal ialah berserah diri
kepada-Nya sehingga dia malas untuk berusaha dan bekerja karena pada prinsipnya
semuanya terserah allah. Jika allah menghendaki dia kaya maka dia akan kaya, tanpa harus
bekerja. jika allah menghendaki pintar maka dia pintar, tanpa harus belajar. Inilah yang
mejadikan paradigma manusia pragmatis atau instan/praktis.
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau
perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya menurut ajaran Islam ialah menyerah diri
kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan
kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia tetapkan[10].
Adapun contoh orang yang bertawakal ialah seperti seseorang yang meletakkan
sepeda di halaman rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakkal. Pada zaman
Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu.
Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, "Saya telah benar-benar bertawakkal
kepada Allah". Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, "Ikatlah dan
setelah itu bolehlah engkau bertawakkal.",
Dengan demikian, berserahdiri atau bertawakal kepada Allah SWT tidaklah pasrah dengan
realita kehidupan, melainkan tawakal yang sebenarnya adalah dengan didasari dan senantiasa
berikhtiar (bekerja keras dan berusaha maksimal) untuk menggapai sesuatu yang dicita-
citakan dan tidak pragmatis dalam merealisasikannya.
2.7 Pengertian Syukur
Syukur adalah memuji pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukan-Nya.
Syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan. Wujud kesyukuran hati berupa
muhasabah dan mahabbah, sedangkan lisan berupa memuja dan menyebut nama Allah, dan
anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan
keta’atan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya. Syukur seorang hamba
berkisar atas tiga hal yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan
bersyukur, adapun ketiga hal tersebut ialah :
1. Mengakui nikmat dalam batin.
2. Membicarakannya secara lahir
3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah
Syukur memang berbeda dengan Al-hamdu (pujian), karena syukur selalu sebagai
respons terhadap nikmat atau pemberian yang diterima. Sedangkan al-hamdu menyangkut
sifat terpuji yang melekat pada diri yang terpujitanoa suatu keharusan sipemuji mendapatkan
nikmat atau pemberian dari yang dipuji. Syukur melibatkan tiga aspek sekaligus yaitu, Hati.
Lisan, dan anggota badan. Sedangkan al-hamdu atau pujian cukup dengan lisan.
2.7.1 Dimensi Syukur
Adapun dimensi yang dimaksud adalah tiga hal yang disebutkan diatas yaitu : hati,
Lisan dan Jawarih (anggota badan). Bila seorang muslim bersyukur kepada Allah SWT atas
kekayaan harta benda yang didapatnya maka yang pertama sekali yang harus dilakukannya
adalah mengetahui dan mengakui bahwa semua kekayaan yang didapatnya itu adalah karunia
dari Allah SWT. Usaha yang dia lakukan hanyalah sebab atau ikhtiar semata. Ikhtiar tanpa
taufik dari Allah SWT tidak akan menghasilkan apa yang diinginkan. Oleh sebab itu, dia
harus bersyukur kepada Allah yang maha pemurah dan maha pemberi rizki. Selain itu baru
dia mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji-pujian seperti al-hamdulillah,
assyukrulillah dan lain sebagainya. Kemudian dia buktikan rasa syukur dengan amal
perbuatan yang nyata yaitu memanfaatkan harta kekayaan itu pada jalan yang diridhai oleh
Allah SWT, baik untuk keperluannya sendiri maupun untuk keperluan keluarga, umat atau
untuk fisabillah.
2.8 Pengertian Murakabah
‘ilmu, bashar, dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) merupakan bagian dari
asma’ulhusna (nama-nama Allah). Ketiga sifat-sifat allah menjelaskan bahwa allah mah
mengetahui segala apa yang kita perbuat mulai dari hal yang kecil hingga yang tak terhingga,
manusia adalah makhluk yang mencoba untuk sempurna. Diamana dalam merealisasikan
impiannya itu sering kali melakukan salah dan khilaf melakukaan hal yang menurutnya salah.
Terkadang kita merasa bebas hidup didunia ini, bebas berfikir, bertindak, berakhlak dst.
Namun kita tidak menyadari bahwa ada pencipta yang selalu mengawasi gerak-gerik kita.
Sehingga kita baru menyadarinya tatkala diberikan cobaan olehnya. Maka salahsatu cara
mengakhlakinya adalah dengan senantiasa merasa terawasi oleh-Nya (bermuroqobah)
kepada-Nya.
Muroqobah berakar dari kata raqaba (raqaba) yang berarti menjaga, mengawal,
menanti dan mengamati[11]. Maka muroqobah jika disimpulkan berarti pengawasan karena
apabila seorang mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan dan mengawalnya.
Pengertian muroqobah adalah kesadaran seorang muslim bahwa dia selalu berada
dalam pengwalan Allah SWT[12]. Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah SWT
dengan sifat ‘ilmu, bashar dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) Nya mengetahui
apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja. Dia mengetahui apa yang ia pikirkan dan
rasakan. Tidak ada satupun yang lupt dari pengawasannya.
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah
(muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan
mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Muhasabah adalah kesadaran akan pengawasan Allah SWT akan mendorong seorang
muslim untuk melakukan Muhasabah (perhitungan, Evaluasi) terhadap amal perbuatan,
tingkahlaku dan sikap hatinya sendiri[13].
Maka Muhasabah kaitannya dengan muraqabah adalah (al-muraqabah thariq ila al-
muhasabah) muraqabah adalah sebagai jalan menuju muhasabah[14]. Berbeda dengan
muhasabah, muraqabah lebih cenderung penddekatan diri kepada-Nya. Sedangkan
muhasabah adalah evaluasi diri manusia atas amal perbuatannya.
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem
pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar
benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari
keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah
SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu
kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini
Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)
Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita
tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR.
Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di
alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah bermu’ahadah, kemudian kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang
selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.
3. Muhasabah.
Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang
kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih
detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
5. Mujahadah
6. Mutaba’ah.
Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-
proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
1. Menyadari Kesalahan
Seorang tidak mungkin bertaubat kalau dia tidak menyadari kesalahan atau tidak
merasa bersalah. Maka dimensi yang pertama ialah menyadari kesalahannya.
2. Menyesalai Kesalahan.
Sekalipun seorang tahu bahwa dia bersalah tetapi dia tidak menyesal telah
melakukannya maka orang yang demikian bukanlah tipikal orang yang bertaubat dan belum
bisa dikatakan bertaubat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kewajiban manusia sebagai ciptaan kepada penciptanya yaitu Allah SWT
salahsatunya adalah dengan mengakhlakinya, akhlaq terhadap Allah SWT harus senantiasa
kita lakukan dan mengaplikasikannya, mengakhlaki Allah tidahlah seperti berakhlak kepada
sesama manusia yang senantiasa saling memberi dan menerima. Untuk mewujudkan akhlaq
yang sebenar-benarnya alangkah baiknya kita harus mengakhlaki sesama manusia dengan
sebenar-benarnya, yaitu melakukan runutinas didunia dengan tidak bertujuan menikmati
keindahan duniawi semata, dalam membantu sesama haruslah diliputi dengan rasa ikhlas dan
tulus bukan semata-mata ingin minta jasa.
Konsep Akhlaq terhadap tuhan sudah diterangkan diatas bahwa kita harus senantiasa
menanmkan delapan nilai-nilai tersebut dalah diri kita. Bertaqwa kepada-Nya, cinta dan ridha
atas segala kehendak-Nya, Ikhlas menerima kenyataan dari-Nya, Takut dan berharap ridha
(Khauf dan Raja’) dari-Nya, selalu tawakal kepada-Nya, mensyukuri segala kehendaknya,
bermurokobah dengan-Nya, dan senantiasa bertaubat atas segala kesalahan yang diperbuat.
DAFTAR PUSTAKA
http://faridbloger.blogspot.com/2014/05/makalah-akhlaq-terhadap-allah-swt.html