Anda di halaman 1dari 23

Materi Mata Kuliah

ULUMUL HADITS

Prodi Pendidikan Bahasa Arab


Semester I (Satu) Unit II
Tahun Akademik 2020-2021
Dosen Pengasuh :
Tgk.H.T.Faisal, S.Sos.I, M.Sos

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH


SAMALANGA KAB. BIREUEN

0
Materi Mata Kuliah
ULUMUL HADITS
PENGANTAR
Tulisan ini disusun untuk materi Mata Kuliah Ulumul Hadits untuk mahasiswa dan
mahasiswi IAI Al-Aziziyah Prodi Manajemen Pendidikan Islam Semester II (Genab) Unit 3
dan 5 Tahun Akademik 2019-2020 sebatas kemampuan penulis sebagai dosen pengasuh mata
kuliah Ulumul Hadits di unit tersebut. Karena keterbatasan waktu dan rujukan maka sangat
banyak ketidaksempurnaan dalam materi ini. Pembahasan yang lebih shahih dan lebih
lengkap dapat dirujuk pada kitab-kitab dan buku-buku Ulumul Hadits. Tulisan ini hanya
sebagai pengenalan dasar tentang pembahasan-pembahasan Ulumul Hadits. Mudah-mudahan
bermanfaat untuk pembaca dan penulis dapat lebih menyempurnakannya lagi di semester-
semester mendatang. (Samalanga, 19 Oktober 2020, Penulis)

PENGERTIAN HADITS
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw,
baik itu perkataan beliau, perbuatan ataupun pengakuan (taqrir). Hadits Qauliyah (ucapan)
yaitu hadits hadits Rasulullah Saw, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persoalan.
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad Saw, seperti praktek shalat lima
waktu dengan tata caranya dan rukun-rukunnya, ibadah hajinya dengan semua tata caranya
dan lain-lain. Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi Saw yang telah
diikrarkan atau disetujui oleh Nabi Saw, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan,
sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu, bila seseorang
melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan di hadapan Nabi Saw atau
pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya,
namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS


Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua
umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasul sering
dirangkaikan dengan perintah mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59
: yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)"
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa orang yang mentaati Rasul
berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80 yang artinya
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka."
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti
apa-apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum

1
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya
dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut :
1. Bayan At-Taqrir wat Ta'kid (Memperjelas dan memperkuat isi Al Quran)
Fungsi hadits terhadap Al Quran yang pertama adalah memperkuat isi dari Al-Quran.
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim terkait perintah
berwudhu, yakni: “Rasulullah Saw bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang
berhadats sampai ia berwudhu”. Hadits di atas memperkuat isi dari surat Al-Maidah ayat
6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” - (QS.Al-Maidah:6)
Contoh lain Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya “ Dan dirikanlah
sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya “ Islam
itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, ..."

2. Bayan At-Tafsir (Menafsirkan isi Al Quran)


Fungsi Haditst terhadap Al Quran selanjutnya adalah sebagai Bayan At-Tafsir yang
berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi Al Quran yang masih bersifat umum
(mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat
mutlak. Contoh hadits sebagai bayan At-tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW
mengenai hukum pencurian : “Rasulullah Saw didatangi seseorang yang membawa
pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”.
Haditst diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38 : “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” - (QS.Al-Maidah: 38). Dalam Al
Quran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong
tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi Muhammad Saw memberikan
batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan
3. Bayan At-Tasyri’ (Memberi kepastian hukum Islam yang tidak ada di Al Quran)
Sedangkan fungsi hadits terhadap Al Quran sebagai Bayan At-tasyri’ ialah sebagai
pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran.
Biasanya Al Quran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Contohnya hadits
mengenai zakat fitrah, : “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam
pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka
atau hamba, laki-laki atau perempuan” - (HR. Muslim).
4. Bayan Nasakh (Mengganti ketentuan terdahulu)
Fungsi hadits terhadap Al-Quran selanjutnya adalah Bayan Nasakh. Para ulama
mendefinisikan Bayan Nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih
cocok dengan lingkungannya dan lebih luas. Contohnya: Hadits “Tidak ada wasiat bagi
ahli waris” Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180: “Diwajibkan atas kamu,
apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” - (QS.Al-Baqarah:180).

PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA PRAKODIFIKASI


Sejarah perkemabangan Haditst pada masa prakodifikasi maksudnya adalah pada masa
sebelum pembukuan hadits, mulai sejak zaman Rasulullah Saw hingga ditetapkannya

2
pembukuan Haditst secara resmi (kodifikasi). Masa ini terbagi menjadi tiga periode yaitu
masa Rasulullah Saw, masa Sahabat dan masa Tabi’in. Adapun periode tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1. Hadits Pada Masa Rasulullah Saw
Membicarakan Hadits pada masa Rasulullah Saw berarti membicarakan Hadits
pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait langsung kepada Rasulullah Saw
sebagai sumber Hadits. Rasulullah Saw membina umat Islam selama 23 tahun. Masa ini
merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya Hadits. Keadaan ini
sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama
ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah Swt kepadaanya dijelaskannya melalui perkataan,
perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah Saw. Sehingga apa yang
disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan
merupakan pedoman. Rasulullah adalah satu-satunya contoh bagi para sahabat, karena
Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia
lainnya.
Adapun metode yang digunakan oleh Rasulullah Saw dalam mengajarkan Hadits
kepada para sahabat sebagai berikut: Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah
Saw, Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw, Para sahabat
mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah Saw, Para
sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah Saw

a. Larangan Menulis Hadits Pada Masa Rasulullah Saw


Pada masa Rasulullah Saw sedikit sekali sahabat yang bisa menulis sehingga
yang menjadi andalan mereka dalam menerima Hadits adalah dengan menghafal.
Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan Al-
Qur’an dan Hadits seakan mereka membaca dari sebuah buku
Perhatian sahabat terhadap Hadits sangat tinggi, terutama di berbagai majlis
nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah Islamiyah seperti di masjid, halaqah
ilmu, dan diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah menjadi pusat
narasumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi
masalah, baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui istri-istri Rasulullah
dalam masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang
paling mengetahui keadaan Rasulullah dalam masalah keluarga.
Hadits pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para
sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi, karena
situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Memang Nabi melarang bagi umum karena
khawatir bercampur antara Hadits dan Al-Qur’an. Banyak Hadits yang melarang para
Sahabat untuk menulis Hadits, di antara Hadits yang melarang penulisan Hadits
adalah:

َ َ‫ ََل تَ ْكتُبُوْ ا َعنِّي َو َم ْن َكت‬:‫صلَّى هللاِ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم‬


‫ب َعنِّيي َغ ْي َر‬ َ ِ‫ع َْن اَ ِب ْي َس ِع ْي ُد ا ْل ُخ ْد ِري اَ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
‫ رواهُ مسلم‬.ُ‫ان فَ ْليَ ْم ُحه‬
ِ ْ‫ا ْلقُر‬
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:
janganlah engkau menulis (Hadits) dariku, barangsiapa menulis dariku selain dari Al-
Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”
Alasan larangan pencatatan Hadits pada masa Rasulullah karena khawatir
Hadits tercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih proses penurunan. Oleh

3
karena itu maka pada saat itu nabi melarang keras kepada sahabat untuk menulis dan
mencatat Hadits agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an Al-karim.

b. Diperbolehkannya Menulis Hadits Pada Masa Rasulullah Saw


Larangan menulis Hadits tidaklah umum kepada semua sahabat, ada sahabat
tertentu yang diberikan izin untuk menulis Hadits. Nabi melarang menulis Hadits
karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain nabi
memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar, dia
berkata: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Saw,
aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang Quraisy melarangku
melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (Hadits) padahal Rasulullah
bersabda melarangnya”. Kemudian aku menahan diri (Untuk tidak menulis Hadits)
hingga aku ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah. Beliau berabda:
‫ا ُ ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذيْ نَ ْف ِس ْي ِبيَ ِد ِه َما َخ َر َج َعنِّي اِ ََّل َحق‬
“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah
keluar dariku kecuali kebenaran”

c. Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadits Pada Masa Rasulullah Saw


Menghadapi dua Hadits yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa
pendapat berkenaan dengan ini, yaitu:
1) Larangan menulis Hadits terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin
penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan
2) Larangan penulisan Hadits itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan
tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur
dengan Al-Qur’an. Izin menulis Hadits diberikan kepada orang yang pandai
menulis dan tidak dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an.
3) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan
tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis
Hadits
4) Larangan Hadits dicabut oleh izin menulis Hadits karena tidak dikhawatirkan
tercampurnya catatan Hadits dengan Al-Qur’an.
5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis Hadits bersifat khusus
kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan Hadits dan
catatan Al-Qur’an
6) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk
sekedar dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri
7) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun
ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulian Hadits
diizinkan.

2. Hadits Pada Masa Sahabat


Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegangi bagi
pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi Saw wafat, kendali
kepemimpinan umat Islam berada di tangan Sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama
menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M)
kemudian disusul oleh Umar bin Khattab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat
35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam
sejarah dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga

4
dengan zaman Sahabat besar. Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafaur Rasyidin
tentang periwayatan hadits Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu
Bakar merupakan Sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman
Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada
seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari
harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat
petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada
nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para Sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah
menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan
kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi
menetabkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar
meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin
Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu.
Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian berdasarkan hadits Nabi Saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera
menerima riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan
penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat
pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri
Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar
lima ratus hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan
hadits. Hal ini menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan
hadits.
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits di kalangan umat Islam pada
masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada
masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai
ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai
ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada
itu tidak sedikit Sahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai
peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan
penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar
dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam.
Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam
periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat
berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang
diriwayatkan oleh para Sahabat

b. Umar bin al-Khatthab


Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat,
misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab.
Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para Sahabat
yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi
tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada

5
Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku
demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadits ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu
Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu menunjukkan
kehati-hatian Umar dalam periwayatan hadits. Umar pernah merencanakan
menghimpun hadits nabi secara tertulis. Umar meminta pertimbangan kepada para
Sahabat. Para Sahabat menyetujuinya. Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk
kepada Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah, akahirnya dia
mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan
perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak
nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun hadits
diurungkan bukan karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain,
yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an

c. Usman bin Affan


Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya
saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat
puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan
sanad. Matan hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudhu’.
Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan,
kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman
melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadits.
Hal tersebut terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga
karena wilayah Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan
bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat

d. Ali bin Abi Thalib.


Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan
mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari Nabi
Saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah dipercayainya. Dengan demikian
dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah
sebagai syarat muthlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu
apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin
keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits
yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat),
pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan
hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.

6
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi
Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian matan dari hadits tersebut berulang-
ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali
bin Abi Thalib merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan
dengan ke tiga khalifah pendahulunya

3. Hadits Pada Masa Tabi’in


Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam periwayatan
Hadits . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti pada masa sahabat. Pada
masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah tidak menghawatirkan
lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para sahabat ahli Hadits telah
menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari
Hadits.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan Hadits
sehingga Hadits tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra Hadits
sebagai berikut:
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Aisyah dan Abu Hurairah.
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abdullah Ibn Mas’ud
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Amr Ibn Al-Ash

PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA KODIFIKASI


Pada masa ini terjadi kodifikasi Hadits yang dimulai pada masa Umar bin Abd Aziz
yang mengintruksikan pada Muhammad bin syihab Al-zuhri karena dia dinilai paling mampu
dalam Hadits. Sehingga pada masa ini lahirlah kodifikasi Hadits secara resmi.
1. Hadits Pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III H
Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi Hadits yaitu upaya mudawwin
Hadits menyeleksi Hadits secara ketat. Masa ini dimulai ketika pemerintahan dipegang oleh
dinasti bani ‘Abbasiyah khususnya pada masa Al-Makmun.
2. Hadits Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII
Masa seleksi di lanjutkan pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan
kitab-kitab Hadits. Masa ini disebut dengan masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan
penghimpunan. Maka muncul kitab Al-Muwattha’ karya imam Malik Ibn Anas.
3. Hadits Pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Masa ini disebut dengan masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan
pembahasan. Pada masa ini ulama berupaya mensyarahi kitab Hadits yang sudah ada.

ILMU HADITS RIWAYAH DAN DIRAYAH


1. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah adalah Ilmu yang mempelajari tentang segala perkataan Nabi
Saw, segala perbuatan beliau dan persetujuan beliau dan periwayatannya
Objek pembahasan ilmu ini adalah diri Nabi Saw baik dari segi perkataan, perbuatan,
persetujuan dan sifat-sifat beliau yang diriwayatkan secara teliti dan berhati-hati tanpa
membicarakan nilai shahih atau tidaknya. Yang dimaksud dengan periwayatan dalam definisi
di atas yaitu menyangkut siapa yang menjadi perawi, dari siapa ia meriwayatkan, apa isi
berita yang diriwayatkan. Jadi ilmu hadits riwayah mempelajari periwayatan yang
mengakumulasi apa, siapa dan dari siapa berita tersebut diriwayatkan beserta keadaan ketiga
hal tersebut tanpa membahas diterima atau tidaknya periwayatan

7
Pendiri Ilmu Hadits Riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, yakni orang
pertama yang melakukan penghimpunan dan pembukuan hadits secara formal berdasarkan
instruksi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tujuan dari ilmu hadits riwayah adalah untuk
memelihara otentisitas sunnah dan menjauhi kesalahan dalam periwayatannya

2. Ilmu Hadits Dirayah


Menurut pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani, Ilmu Hadits Dirayah adalah pengetahuan
tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi dan sesuatu yang diriwayatkan.
Pengertian ini diikuti oleh sebagian besar ahli hadits. Dari pengertian tersebut dapat
dijelaskan bahwa ilmu hadits dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah untuk mengetahui
keadaan perawi (sanad) dan sesuatu yang diriwayatkan (matan) dari segi dapat diterima
(maqbul) dan tidak keadaan perawi dan sesuatu yang diriwayatkan tersebut (mardud)
Objek kajian atau pokok pembahasan ilmu hadits dirayah, berdasarkan definisi di
atas, adalah penelitian terhadap keadaan para perawi hadits (sanad) dan matannya (teks
hadits). Pembahasan tentang sanad meliputi :
a. Sanadnya bersambung (ittis al as-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadits
haruslah bersambung mulai dari sahabat sampai pada periwayat terakhir yang
menuliskan atau membukukan hadits tersebut. Oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu
rangkaian sanad tersebut yang terputus (tidak pernah bertemu, tidak semasa),
tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar
b. Segi kepercayaan sanad (Siqat as-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam
sanad suatu hadits harus memiliki sifat adil dan dabit (kuat dan cermat daya hapalan
haditsnya)
c. Bebas dari kejanggalan (syaz)
d. Bebas dari cacat (‘illat).
Sedangkan pembahasan mengenai matan (teks hadits) adalah meliputi segi kesahihan atau ke-
daif-an matan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari segi :
a. Apakah matan hadits tersebut sesuai atau tidak dengan kandungan/ajaran al-Qur’an
b. Bebas dari kejanggalan redaksi
c. Bebas dari cacat atau kejanggalan makna (fasad al- ma’na), karena bertentangan
dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau
dengan fakta sejarah
d. Bebas dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami
berdasarkan maknanya yang umum dikenal
Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin
Khalad Ar Ramahurmuzy pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, sebelum beliau belum ada
Ulama yang menulis tentang ilmu hadits dirayah secara terpisah menjadi satu bidang ilmu,
tetapi sebelumnya ditulis sebagai salah satu pembahasan dari suatu bidang ilmu yang lain
seperti ushul fiqh. Tujuan dari ilmu hadits dirayah adalah untuk meneliti hadits berdasarkan
qaidah-qaidah atau persyaratan dalam periwayatan untuk mengetahui periwayatan yang
diterima (maqbul) dan yang tertolak (mardud)

3. Hubungan Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah


Sekalipun berbeda antara Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah atau antara hadits dan
ilmu hadits, namun keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain seperti
halnya hubungan antara Ilmu Tafsir dengan Tafsir, Ushul Fiqh dengan Fiqh dan sebagainya.
Dengan Ilmu Hadits Riwayah dapat diketahui hadits-hadits Nabi Saw dan periwayatannya
dan dengan Ilmu Hadits Dirayah hadits-hadits tersebut dapat diklasifikasikan dalam berbagai
tingkatan dan pembahagian seperti Mutawatir dan Ahad, Shahih, Hasan dan Dhaif, Marfu',
Mauquf dan Maqthu' dan Muttashil dan Musnad

8
KLASIFIKASI HADITS
Hadits diklasifikasikan dengan beberapa tinjauan, antara lain :
1. Ditinjau dari jumlah perawi, terbagi 2 :
a. Hadits Mutawatir, yang terbagi lagi menjadi hadits mutawatir lafzhi dan hadits
mutawatir maknawi
b. Hadits Ahad, yang terbagi lagi menjadi hadits Masyhur, hadits 'Aziz dan Hadits
Gharib
2. Ditinjau dari keadaan perawi dan sanad, terbagi 3 :
a. Hadits Shahih, yang terbagi lagi menjadi hadits Shahih li dzatih dan hadits Shahih li
ghairih
b. Hadits Hasan, yang terbagi lagi menjadi hadits Hasan li dzatih dan hadits Hasan li
ghairih
c. Hadits Dhaif yang terbagi lagi menjadi bermacam-macam hadits Dhaif menurut
penyebab-penyebab kedhaifannya
3. Ditinjau dari sumber berita atau penyandarannya :
a. Hadits Qudsi
b. Hadits Marfu'
c. Hadits Mauquf
d. Hadits Maqthu'
4. Ditinjau dari persambungan sanad :
a. Hadits Muttashil/Maushul
b. Hadits Musnad

HADITS MUTAWATIR DAN HADITS AHAD


Ditinjau dari jumlah perawi, Hadits dibagi menjadi Mutawatir dan Hadits Ahad :
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak
pada setiap tingkatan sanadnya yang tidak mungkin secara adat ('uruf/kebiasaan) para
perawi tersebut sepakat untuk berdusta atau memalsukan hadits dari permulaan hingga
akhir sanad yang disebut dengan bilangan tawatur, dan mereka bersandarkan dalam
meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya
dan semacamnya

b. Syarat-syarat hadits Mutawatir


Dari definisi jelas bahwa suatu hadits dapat dikatakan Mutawatir jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Diriwayatkan banyak perawi, Para ulama hadits berbeda pendapat tentang
minimal jumlah banyak pada periwayat hadits Mutawatir tersebut. Diantara
mereka ada yang berpendapat paling sedikit 5 orang, ada yang berpendapat
paling sedikit 10, pendapat lain ada yang mengatakan 40 orang, 70 orang, bahkan
ada yang berpendapat 300 orang lebih
2) Jumlah banyak bilangan perawi tersebut terdapat pada seluruh tingkatan
(thabaqat) sanad. Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad
dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian
sanad saja, tidak dinamakan Mutawatir, tetapi nanti masuk pada hadits Ahad.
Kesamaan banyak para periwayat tidak berarti harus sama jumlah angka
nominalnya, tetapi semuanya adalah bilangan tawatur
3) Menurut kebiasaaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Misalnya jika para
perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang

9
berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para periwayat yang banyak
ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan bohong secara uruf (tradisi).
Tetapi jika jumlah banyak itu masih memungkinkan adanya kesepakatan bohong
tidaklah digolongkan Mutawatir
4) Beritanya bersifat indrawi, Maksudnya berita yang diriwayatkan itu dapat
didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata kepala, tidak disandarkan pada
logika akal. Sandaran berita secara indrawi maksudnya dapat diindra dengan
indra manusia, misalnya seperti ungkapan periwayatan: ‫ = َس ِم ْعنَا‬Kami mendengar
Rasulullah bersabda begini

c. Pembagian Hadits Mutawatir


1) Mutawatir Lafzhi, ialah apabila lafazh dan maknanya mutawatir yang dirawikan
oleh perawi. Contoh:
‫سى قَالُوا َح َّدثَنَا‬ َ ‫س َم ِعي ُل بْنُ ُمو‬ ِ َّ ‫س ِعي ٍد َو َع ْب ُد‬
ْ ِ‫َّللا بْنُ عَا ِم ِر ْب ِن ُز َرا َرةَ َوإ‬ ُ ‫ش ْيبَةَ َو‬
َ ُ‫س َو ْي ُد بْن‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَ ِبي‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫سعُو ٍد عَنْ أَبِي ِه قَا َل قَا َل َر‬ ِ َّ ‫اك عَنْ َع ْب ِد ال َّر ْح َم ِن ْب ِن َع ْب ِد‬
ْ ‫َّللا ْب ِن َم‬ ٍ ‫س َم‬ِ ْ‫ش ِري ٌك عَن‬ َ
ْ َ َ
)‫" َمنْ َكذ َب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّمدًا ف ْليَتَبَ َّوأ َم ْق َع َدهُ ِمنْ النَّا ِر" (البخارى‬
“Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan atas namaku maka ia akan
mendapatkan tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Bukhari)
Imam Jalaluddin Al-Suyuthiy menyebutkan bahwa Ibnu al-Shalah
menyebutkan 62 orang sahabat yang meriwayatkan Hadits di atas dengan susunan
redaksi dan makna yang sama

2) Mutawatir Ma’nawi, ialah hadits yang maknanya mutawatir sedangkan lafazhnya


tidak. Atau dengan kata lain adalah hadits yang diriwayatkan, perawinya
berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita pemberitaan yang
berlainan itu terdapat persesuaian dan kesamaan makna pada prinsipnya
Contoh:
‫سقَا ِء َوإِنَّهُ َي ْرفَ ُع َحتَّى يُ َرى‬ ْ ‫سلَّ َم ََل َي ْرفَ ُع َي َد ْي ِه ِفي ش‬
ْ ‫َي ٍء ِمنْ ُدعَا ِئ ِه إِ ََّل ِفي ِاَل‬
ْ ‫س ِت‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫(( َكانَ النَّ ِب ُّي‬
َ
)) ‫اض إِ ْبط ْي ِه‬
ُ َ‫بَي‬
"Rasulullah Saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-
doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya,
sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadits yang semakna dengan yang semacam itu, tidak kurang dari 30
buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Kendatipun hadits-hadits tersebut
berbeda-beda redaksinya namun karena mempunyai kadar mustarak (titik
persamaan) yang sama, yakni keadaan beliau mengangkat tangan di kala berdoa,
maka hadits tersebut disebut mutawatir maknawi

d. Hukum Hadits Mutawatir


Ulama Hadits sepakat bahwa hadits Mutawatir memberikan ilmu dharuri
( ‫ ) الضروري‬yaitu ilmu yang pasti (yakin) dan tidak boleh diingkari kebenarannya.
Mutawatir itu wajib diterima dengan yakin dan wajib diamalkan. Ulama juga sepakat
bahwa hadits Mutawatir dari Nabi SAW semuanya maqbul dan tidak perlu lagi mencari
keadaan perawinya
Hadits Mutawatir sama derajatnya dengan nash Al-Quran. Karenanya,
mengingkari Hadits Mutawatir, sama dengan mengingkari Al-Quran, dihukum kafir. Atau
paling sedikit sebagai orang yang mulhid, yaitu orangyang mengakui akan keesaan Allah
dan mengaku sebagai orang Islam tetapi tidak mengakui Muhammad sebagai Rasulullah

10
e. Kitab-kitab tentang Hadits Mutawatir
Para ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan
mengumpulkan hadits-hadits mutawatir, lalu menjadikannya sebagai kitab khusus
(mushanaf) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Di
antara kitab-kitab itu adalah:
1) Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar al-Mutawatirah, Karya Jalaluddin As-
Suyuthi.
2) Qathful Azhar, Karya Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan kitab di atas.
3) Al–La’ali’ al-Mutanatsirah fi al-Ahadits al-Mutawatirah, Karya Abu Abdillah
Muhammad Bin Thulun Al-Dimasyqi.
4) Nazhmul Mutanatsirah minal Hadits al–Mutawatirah, Karya Muhammad bin
Ja’far Al Kittani

2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Secara etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti
satu. Maka hadits Ahad atau hadits Wahid adalah suatu yang disampaikan oleh satu
orang. Sedangkan secara terminologi hadits Ahad adalah hadits yang para perawinya
tidak mencapai jumlah perawi hadits Mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat,
atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah
perawi tersebut masuk dalam kelompok hadits Mutawatir

b. Pembagian Hadits Ahad


Hadits Ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadits Masyhur, hadits Aziz dan
hadits Gharib.
1) Hadits Masyhur
Masyhur merupakan Isim Maf’ul dari kata syahrah yang secara etimologi
berarti sesuatu yang jelas, diterangkan. Sedangkan menurut terminology merupakan
hadits yang diriwayatkan tiga orang perawi atau lebih di setiap tingkatan (thabaqat)
sanad tapi tidak sampai tingkat hadits Mutawatir
Contoh hadits Masyhur:
‫ق عالما ً اتخ َذ‬ ِ ‫يقبض ا ْل ِع ْل َم ِبقَ ْب‬
ِ ‫ض العلما ِء حت َّى إذا لم يُ ْب‬ ُ ْ‫ض ا ْل ِع ْل َم ا ْن ِتزاعًا َي ْنتَ ِز ُعهُ ِمن العبا ِد ولكن‬
ُ ‫َّللا َل يَ ْق ِب‬
َ َّ‫((إن‬
)‫)) (أخرجه البخاري‬.‫ضل ْوا‬ ُّ َ ُّ
َ ‫علم فضل ْوا وأ‬ ْ َ
ٍ ‫سئِلوا فأفت َْوا بغي ِر‬ ُ َ ً
ُ ‫سا ُجهَّاَل ف‬ ُ َّ‫الن‬
ً ‫اس ُر ُء ْو‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari
dada seorang hamba, akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para
ulama, sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang
bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari)
Hukum hadits masyhur bergantung kepada hasil penelitian atau pemeriksaan
para ulama. Sebagain Hadits masyhur ada yang shahih, sebagian hasan, dan sebagian
lagi ada yang dha`if, bahkan ada yang Maudhu’. Namun perlu diketahui, bahwa ke-
shahih-an hadits masyhur lebih kuat dari pada ke-shahih-an hadits Aziz dan Gharib
yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat saja

2) Hadits Aziz
Secara etimologi Aziz artinya yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. secara
istilah Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi walaupun
periwayatan oleh dua orang perawi tersebut hanya pada satu thabaqat saja kemudian
pada thabaqat-thabaqat yang lain diriwayatkan oleh lebih dari dua orang perawi

11
Dalam hadits Aziz terdapat hadits Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada
pula yang Dha'if tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.
Contoh Hadits Aziz.
)‫َل يؤمن احدكم حتى اكون احب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين (متفق عليه‬

“Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya dari
pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia
seluruhnya.“ (Muttafaqun 'Alaihi)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. Dan
diriwayatkan juga oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah. Susunan sanad dari dua jalan
(sanad) itu adalah: yang meriwayatkan dari Anas: Qatadah dan Abdul Aziz bin
Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah: Syu’bah dan Said.Yang meriwayatkan
dari Abdul Aziz : Ismail bin ‘Illiyyah dan Abdul Warits

3) Hadits Gharib
Kata Gharib secara etimologi berarti sendirian (al-munfarid), terisolir jauh
dari kerabat, perantau, asing, aneh dan sulit dipahami. Sedangkan secara terminologi
hadits gharib ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri
dalam meriwayatkan, di thabaqat mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi
Ulama hadits membagikan hadits Gharib ini ke dalam dua macam, yaitu :
a) Gharib Mutlak
Hadits yang hanya seorang diri perawi dalam periwayatannya,
Contoh :
)‫َب (أخرجه أحمد‬
ُ ‫ع وَل يُ ْوه‬
ُ ‫ب َل يُبا‬ َ َّ‫الوَل ُء لَ ْحمةٌ كلَحم ِة الن‬
ِ ‫س‬ َ
“Hamba Wala’ (pewaris budak adalah yang memerdekakannya)
adalah daging bagaikan daging nasab tidak boleh dijual dan tidak boleh
dihibahkan.” (H.R Ahmad)
Hadits di atas Gharib Muthlak, karena hanya Abdullah bin Dinar dari
Ibnu Umar sendirian yang meriwayatkannya
b) Gharib Nisbi
Gharib Nisbi yaitu apabila ke-gharib-annya terjadi pada pertengahan
sanadnya bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang
diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian
dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja
yang mengambil dari para perawi tersebut.
Misalnya: Hadits Imam Malik, dari Zuhri, dari Anas ra : “Bahwa Nabi
Saw masuk ke kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas
kepalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh
Malik dari Zuhri. Dinamakan dengan Gharib Nisbi karena kesendirian
periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu

HADITS SHAHIH, HADITS HASAN DAN HADITS DHAIF


Ditinjau dari keadaan sanad dan perawi, Hadits dibagi menjadi Hadits Shahih, Hadits Hasan
dan Hadits Dhaif :
1. Hadits Shahih
a. Pengertian Hadits Shaheh
Imam Al-Suyuti mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”

12
b. Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad
dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi
hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang
menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam periwayatannya. Sanad suatu
hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari
rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi
yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik
dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapat merusak harga dirinya.
3) Perawinya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya
ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar al-
Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar
secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya
kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz artinya hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tetapi
riwayatnya bertentangan dengan hadits lain yang lebih tsiqah darinya. Hadits seperti
ini disebut Hadits Syadz dan termasuk hadits dhaif
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit secara
tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan
samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi
tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang
di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi
baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun
demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad. Hadits seperti ini
dinamakan dengan hadits Muallal yang merupakan salah satu dari macam-macam
hadits dhaif

Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;


"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin
math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar Rasulullah Saw membaca
dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Analisis terhadap hadits tersebut:


1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari
gurunya

13
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits
tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a. Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin.
b. Malik bin Annas = imam hafidz
c. Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
d. Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e. Jubair bin muth'imi = Sahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta
tidak cacat.

c. Klasifikasi Hadits Shahih


1) Hadits Shahih li-Dzatih
Hadits Shahih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari
permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang
sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat, seperti contoh hadits shahih di atas

2) Hadits Shahih li-Ghairih


Hadits Shahih li-Ghairihi adalah hadits hasan li dzatih yang naik derajat
menjadi shahih karena ada periwayatan dengan sanad yang lain yang sama-sama
hasan atau lebih kuat darinya yaitu sanadnya shahih
Contoh Hadits Shahih li-Ghairihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi melalui jalan Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Seandainya aku tidak khawatir memberatkan atas
umatku, tentu aku perintah mereka bersiwak ketika setiap shalat". Hadits ini
berkualitas hasan karena Muhammad bin Amr tidak bersifat Tsiqah (Adil dan Dhabit
yang sempurna). Ia hanya bertitel Shaduq yaitu Adil dan Dhabit tetapi dhabitnya
sedikit kurang. Tetapi hadits ini mempunyai jalan lain yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim melalui jalan Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah.
Maka hadits di atas dapat naik menjadi Shahih Li Ghairih yang juga sering
diistilahkan dengan hadits Hasanun Shahihun

2. Hadits Hasan
a. Pengertian Hadits Hasan
Ibnu Hajar Al-Atsqalani mendefinisikan Hadits Hasan dengan “Hadits yang
sanadnya bersambung dengan periwayatan oleh perawi yang adil tetapi dhabit/hafalannya
yang sedikit kurang dan tidak sempurna/tamm, dari awal sampai akhir sanad dengan tidak
syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali
hanya di bidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits
shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ibnu Hibban dari Al Hasan bin Urfah Al Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda : "Usia umatku sekitar antara 60
sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu". Para perawi hadits
tersebut tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr, ia adalah shaduq (banyak benarnya).
Oleh para ulama hadits nilai ta'dil shaduq tidak mencapai dhabit tamm sekalipun
mencapai keadilan. Kedhabitannya kurang sedikit jika dibandingkan dengan kedhabitan
shahih seperti tsiqatun (perawi terpercaya karena adil dan dhabitnya tam)

14
b. Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan
(syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits seperti contoh hadits hasan di atas

2) Hadits Hasan li-Ghairih


Hadits Hasan li-Ghairih adalah hadits dhaif yang naik derajat menjadi Hasan
karena diriwayatkan dengan jalan/sanad yang lain dengan derajat yang sama atau
lebih kuat dan penyebab kedhaifan hadits tersebut bukan karena fasik atau dustanya
perawi.
Contoh Hadits Hasan li-Ghairih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dari Al Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah dari Sa'id bin Al Musayyab dari
Aisyah, Nabi bersabda : "Allah melaknat kalajengking, janganlah engkau
membiarkannya baik dalam keadaan sedang shalat atau lainnya, Maka bunuhlah ia
di tanah halal atau di tanah haram". Hadits ini dhaif karena Al Hakam bin Abdul
Malik seorang dhaif, tetapi terdapat sanad yang lain yang berbeda perawi di kalangan
Tabi'in melalui Syuhbah dari Qatadah. Maka ia naik derajatnya menjadi hasan li
ghairih

c. Kehujahan Hadits Hasan


Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya di bawah
hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau
hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama
ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan

3. Hadits Dhaif
a. Pengertian Hadits Dhaif
Dhaif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara
istilah yaitu “ Hadits yang tidak memenuhi syarat sebagai hadits hasan dengan cara
hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat
maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah

b. Penyebab Kedhaifan Hadits


Adapun penyebab kedhaifan suatu hadits karena pada periwayatan hadits
tersebut terdapat salah satu atau beberapa dari hal-hal berikut ini :
1) Terputus sanadnya
2) Terdapat Perawi dalam sanad hadits tersebut yang tidak memenuhi syarat Adil
dalam meriwayatkan hadits
3) Terdapat Perawi dalam sanad hadits tersebut yang tidak dhabit
4) Adanya Syadz atau Illat pada periwayatan hadits tersebut

c. Klasifikasi Hadits Dha’if


1) Hadits Dhaif Karena Sanad Terputus :
a) Hadits Mursal
Hadits Mursal terbagi 3 :
 Mursal Shahabi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang Sahabat dari
Nabi Saw padahal mereka tidak melihat dan mendengar langsung dari Nabi

15
Saw karena usianya pada saat itu yang masih kecil atau hal-hal yang lain.
Maka yang digugurkan dalam sanad adalah Sahabat yang melihat atau
mendengar langsung dari Nabi Saw
 Mursal Tabi'i, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tabi'in dari Nabi Saw tanpa
menyebutkan penghubung antara tabiin dan Nabi Saw yaitu Sahabat. Maka
yang digugurkan dalam sanad adalah Sahabat
 Mursal Khafi, yaitu gugurnya seorang perawi di mana saja tempat dari sanad
yang terletak antara dua orang perawi yang hidup semasa tetapi mereka berdua
tidak pernah berjumpa. Disebut mursal khafi karena perawi yang gugur
tersembunyi antara dua orang perawi yang hidup semasa sehingga diduga
mereka pernah berjumpa dan tidak ada perawi yang gugur antara mereka

b) Hadits Munqathi'
Hadits Munqathi' adalah hadits yang gugur dari sanadnya seorang perawi atau
beberapa orang perawi secara tidak berturut-turut sebelum Sahabat. Artinya
perawi yang gugur berasal dari kalangan tabiin, tabi' tabiin dan seterusnya

c) Hadits Mu'dhal
Hadits Mu'dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau
lebih secara berturut-turut di tengah sanad sebelum Sahabat. Artinya perawi yang
gugur secara berturut-turut berasal dari kalangan tabiin, tabi' tabiin dan seterusnya
di tengah sanad

d) Hadits Mu'allaq
Hadits Mu'allaq adalah hadits yang digugurkan dari awal sanadnya seorang perawi
atau lebih secara berturut-turut. Yang dimaksud dengan Awal sanad adalah ujung
sanad hadits tersebut sebelum sampai pada Imam-imam hadits seperti Bukhari,
Muslim dan lain-lain. Bila Mu'allaq ini terjadi pada hadits dalam Shaheh Bukhari
dan Shaheh Muslim yang diterima keshahihannya oleh para ulama secara
aklamasih, maka hadits tersebut tidak dihukumkan dengan Dhaif karena mu'allaq
di sini dimaksudkan meringkas

e) Hadits Mudallas
Hadits Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacat dalam isnadnya dan
ditampakkan cara periwayatan yang baik. Perawi yang melakukan hal ini disebut
Mudallis dan perilakunya tersebut dinamakan dengan Tadlis. Tadlis hadits ada 2
macam :
 Tadlis Al-Isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang
syaikh padahal perawi tersebut tidak mendengar langsung darinya, ia
mendengar dari syaikh lain yang mendengar daripadanya. Kemudian syaikh
lain ini digugurkan oleh perawi dalam periwayatan dengan menggunakan
ungkapan yang seolah-olah ia mendengar langsung dari syaikh pertama
tersebut
 Tadlis Asy-Syuyukh, yaitu seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh
sebuah hadits yang ia dengar darinya, kemudian ia memberi nama lain untuk
syaikh tersebut atau nama kuniyah atau nama bangsa atau nama sifat yang
tidak dikenal dengan tujuan supaya syaikh tersebut tidak dikenal
2) Hadits Dha’if Karena Perawinya Tidak ‘Adil :
a) Hadits Matruk

16
Hadits Matruk adalah hadits yang salah satu perawinya seseorang yang tertuduh
pendusta. Di antara sebab-sebab seorang perawi tertuduh pendusta adalah sebagai
berikut :
 Periwayatan hadits yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang
meriwayatkannya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang
meriwayatkannya selain dia
 Seorang perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada selain hadits
 Isi hadits yang diriwayatkannya menyalahi kaidah-kaidah yang maklum dalam
agama

b) Hadits Majhul
Hadits Majhul adalah hadits yang salah satu perawinya tidak dikenal jati dirinya
atau dikenal orangnya tetapi tidak dikenal sifat-sifat keadilan dan kedhabitannya
Ada beberapa faktor penyebab seorang perawi tidak dikenal jati dirinya :
 Seseorang yang mempunyai banyak nama, gelar dan panggilan, dan dia
dikenal hanya dengan sebagian dari nama, gelar dan panggilan tersebut
kemudian dalam sanad ia disebutkan dengan nama, gelar dan panggilan yang
tidak dikenal
 Seorang perawi yang sangat sedikit periwayatan hadits, misalnya hanya ada
satu orang atau dua orang saja yang pernah meriwayatkan hadits darinya
 Tidak jelas penyebutan nama perawi karena diringkas menjadi nama kecil atau
nama panggilan

c) Hadits Mubham
Hadits Mubham adalah hadits yang pada sanad atau matannya terdapat seseorang
yang tidak disebutkan nama tetapi hanya disebutkan seorang laki-laki atau seorang
perempuan. Maka hadits mubham dapat dibagi 2 :
 Mubham pada Sanad, artinya ada salah seorang perawi tidak disebutkan
namanya. Jika perawi mubham tersebut merupakan Sahabat maka tidak
membuat hadits menjadi dhaif karena setiap Sahabat adalah Adil. Dan jika
terjadi pada selain Sahabat maka hadits tersebut dhaif
 Mubham pada Matan, artinya di dalam matan hadits disebutkan seorang laki-
laki atau seorang perempuan tanpa disebutkan namanya. Mubham pada matan
tidak mengapa dan tidak menggangu keshahihan suatu hadits

3) Hadits Dha’if Karena Cacat Kedhabitan Perawinya


a) Hadits Munkar
Hadits Munkar adalah hadits yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang
sangat lemah daya hafalannya dan sangat parah kesalahan-kesalahannya sehingga
periwayatannya menyendiri tidak sama dengan periwayatan orang yang tsiqah
Tingkat kedhaifannya sangat dhaif setelah matruk karena cacat hadits ini sangat
parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan dalam periwayatannya

b) Hadits Mu'allal
Hadits Mu'allal adalah hadits yang dilihat di dalamnya terdapat 'illah yang
tersembunyi yang membuat cacat keshahihan hadits padahal dilihat pada lahirnya
selamat dari 'illah tersebut. Contoh 'illah : perawi meng-irsal-kan hadits marfu'
atau maushul, perawi me-mauquf-kan hadits yang marfu' atau perawi menyisipkan
suatu matan hadits pada matan lain menjadi satu hadits, hal tersebut tidak nampak
sehingga secara lahir hadits tersebut seakan tidak bermasalah

17
c) Hadits Mudraj
Hadits Mudraj terbagi menjadi mudraj sanad dan mudraj matan, yang mempunyai
pengertian masing-masing :
 Mudraj Sanad, yaitu :
o Sekelompok jamaah meriwayatkan suatu hadits dengan beberapa sanad
yang berbeda, kemudian diriwayatkan oleh seorang perawi dengan
menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tersebut tanpa
menerangkan ragam dan perbedaan sanad
o Seorang perawi meriwayatkan matan tetapi tidak sempurna,
kesempurnaannya ia temukan melalui sanad yang lain, kemudian ia
meriwayatkannya dengan menggunakan sanad yang pertama
o seseorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua sanad yang
berbeda pula, kemudian ia meriwayatkannya dengan salah satu sanadnya
saja
o Seorang perawi menyampaikan periwayatan, kemudian terjadi suatu
gangguan, kemudian dia berbicara dari dirinya sendiri. Di antara
pendengar ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah matan hadits
lalu ia meriwayatkannya
 Mudraj Matan, yaitu : hadits yang dimasukkan ke dalam matannya sesuatu
yang bukan bagian dari haditst tanpa ada pemisah

d) Hadits Maqlub
Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik susunan kalimatnya tidak sesuai
dengan susunan yang semestinya, terkadang mendahulukan yang seharusnya
ditakhirkan dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena kesalahan yang tak disengaja
akibat perawi yang sangat lemah dhabet atau daya ingatnya dalam meriwayatkan
hadits tersebut, Hadits Maqlub terbagi dua :
 Maqlub pada sanad, misalnya periwayatan hadits dari Ka'ab bin Murrah, tapi
diucapkan Murrah bin Ka'ab
 Maqlub pada Matan, misalnya yang terjadi pada hadits " Maka ketika itu aku
bersama Nabi Saw, Beliau duduk di atas bangku menghadap Qiblat dan
membelakangi Syam", kemudian hadits ini dimaqlubkan menjadi "Menghadap
Syam dan Membelakangi Qiblat"

e) Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib adalah hadits yang kontra antara satu dengan yang lain yang
tidak dapat dikompromikan dan tidak pula dapat ditarjihkan (diunggulkan) salah
satu karena sama kekuatan kualitasnya. Di antara penyebab hal tersebut adalah
lemahnya daya ingat perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Hadits
Mudhtharib terbagi dua :
 Mudhtharib pada sanad, misalnya hadits "Abu Bakar ra berkata : Ya
Rasulullah aku melihat engkau beruban, Rasulullah menjawab : Membuat
uban rambutku Surah Hud dan saudara-saudaranya (H.R At-Tirmidzi).
Hadits ini Mudhtharib pada sanadnya karena hanya diriwayatkan melalui Abu
Ishaq dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara perawi ada
yang meriwayatkan secara mursal dan ada yang mawshul. Di antara mereka
ada yang menjadikannya musnad Abu Bakar, Musnad Aisyah, Musnad Sa'ad
dan lain-lain, semua kontradiksi tersebut tidak dapat dikompromikan dan tidak
dapat ditarjehkan

18
 Mudhtharib pada matan, misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi
dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy sya'bi dari Fathimah binti Qays ra :
Rasulullah ditanya tentang zakat maka Beliau menjawab : ”Sesungguhnya
pada harta itu ada hak selain zakat". Sementara pada riwayat Ibnu Majah
melaui jalan ini juga, Rasulullah menjawab : "Tidak ada hak pada harta selain
zakat". Hadits tersebut tidak dapat dikompromikan dan ditarjih salah satu
karena sama kekuatan kualitas sanad

f) Hadits Mushahhaf dan Muharraf


Hadits Mushahhaf dan Muharraf secara umum dapat didefinisikan sebagai hadits
yang terjadi perubahan pada kalimatnya berupa titik atau syakal/harkat yang
berbeda dengan riwayat yang tsiqah. Perbedaan antara Mushahhaf dan Muharraf :
 Apabila yang berubah berupa titik tanpa terjadi perubahan pada bentuk dasar
hurufnya disebut Mushahhaf
 Apabila yang berubah adalah syakal/harkat saja tanpa terjadi perubahan pada
bentuk huruf dan titiknya disebut dengan Muharraf

g) Hadits Syadzdz
Hadits Syadzdz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi dan
periwayatannya menyalahi periwayatan orang yang tsiqah atau yang lebih tsiqah.
Syadzdznya suatu hadits dapat terjadi pada sanad dan pada matan :
 Contoh Syadzdz pada sanad, "Hadits yang diriwayatkan Tirmizi, Nasai dan
Ibnu majah melalui jalan Ibnu Uyaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari
Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah Saw dan
tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakannya. Nabi
bertanya : "Apakah ada seseorang yang menjadi pewarisnya?". Mereka
menjawab : "Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya",
kemudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya".
Hammad bin Zaid (Seorang perawi yang tsiqah, adil dan dhabith) juga
meriwayatkan hadits di atas dari Amr bin Dinar dari Aisyah, tetapi tidak
menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin Zaid Syadzdz dan
periwayatan Ibnu Uyaynah Mahfuzh
 Contoh Syadzdz pada matan, "Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A'masy dari Abu Shalih
dari Abu Hurairah secara marfu' bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Jika
telah Shalat dua rakaat fajar salah seorang di antara kamu, hendaklah
tiduran pada lambung kanan". "
Al-Baihaqi berkata : Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadzdz
karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkannya dari segi
perbuatan Nabi bukan sabda Beliau. Abdul Wahid menyendiri di antara para
perawi Tsiqah

HADITS QUDSI, HADITS MARFU', HADITS MAUQUF DAN HADITS MAQTHU'


Ditinjau dari penyandarannya, Hadits dibagi menjadi Hadits Qudsi, Hadits Marfu', Hadits
Mauquf dan Hadits Maqthu' :
1. Hadits Qudsi
a. Pengertian Hadits Qudsi
Hadits Qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Saw dari Allah Swt,
tetapi bukan berupa wahyu seperti Al-Qur'an. Hadits Qudsi diterima maknanya saja oleh
Nabi Saw dari Allah Swt melalui ilham, kemudian redaksinya/lafazhnya dari Nabi

19
sendiri, sedangkan Al-Qur'an adalah wahyu yang diterima oleh Nabi Saw melalui Jibril as
dalam bentuk lafazh dan maknanya. Jadi redaksi Al-Qur'an adalah langsung dari Allah,
yang dibacakan oleh Jibril as kepada Nabi Saw. Dinamakan dengan hadits Qudsi karena
maknanya adalah firman Allah dan disebut hadits karena redaksi lafazhnya dari Nabi Saw

b. Contoh Hadits Qudsi


"Sabda Rasulullah Saw pada apa yang diriwayatkan dari Tuhannya,
bahwasanya Dia berfirman "Aku menurut dugaan hamba-Ku pada-Ku dan Aku
bersamanya ketika ia ingat kepada-Ku. Jika ia mengingat dan menyebut-Ku sendirian
maka Akupun ingat kepadanya sendirian dan jika ia mengingat dan menyebut-Ku dalam
kelompok/jama'ah maka Akupun menyebutnya dalam kelompok/jama'ah yang lebih baik
dari kelompoknya (Jama'ah Para Malaikat)". "

2. Hadits Marfu'
a. Pengertian Hadits Marfu'
Hadits Marfu' adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi Saw berupa perkataan,
perbuatan maupun pengakuan Beliau baik dengan sanad bersambung (muttashil) atau
dengan sanad yang terputus (munqathi'). Hadits marfu' disebut juga hadits Nabawi karena
disandarkan kepada Nabi Saw. Dinamakan dengan marfu' karena disandarkan dan
dirafa'kan/diangkat hingga sampai kepada Nabi Saw

b. Macam-macam Hadits Marfu'


1) Hadits Marfu Sharih, yaitu hadits yang secara tegas dikatakan oleh seorang
Sahabat bahwa hadits tersebut didengar atau dilihat dari Nabi Saw ataupun
persetujuan nabi terhadap perbuatan para Sahabat
2) Hadits Marfu' Hukmi, yaitu hadits yang secara lahirnya adalah perkataan Sahabat
(mauquf) tetapi hakikatnya disandarkan kepada Rasulullah Saw (dihukumi
marfu'). misalnya sebagai berikut :
a) Perkataan Sahabat tentang suatu masalah yang tidak dapat dicapai dengan
ijtihad, seperti rakaat shalat, berita ghaib, pahala atau siksaan terhadap suatu
amalan. Perkataan Sahabat tersebut dihukumi marfu' (disandarkan kepada
Nabi Saw)
b) Seorang Sahabat membuat suatu pekerjaan yang tidak dapat diperoleh dengan
ijtihad, maka perbuatan para Sahabat tersebut dipandang sebagai hadits marfu'
karena dipersepsikan, bahwa para Sahabat tidak akan melakukan suatu
perbuatan tanpa ada tuntunan dari Nabi Saw, pada suatu tuntunan yang tidak
mungkin diperoleh dari selain Nabi Saw
c) Perkataan Sahabat dengan ungkapan bahwa di antara mereka para Sahabat ada
yang melakukan begini dan begitu pada masa Rasulullah Saw. Perkataan para
Sahabat tersebut dihukumi marfu' karena dipersepsikan bahwa Nabi Saw
melihat perbuatan para Sahabat tersebut dan beliau tidak melarangnya
d) Perkataan Sahabat dengan ungkapan : "Di antara sunnah adalah ........... "
Perkataan ini dihukumi marfu' karena maksud dari sunnah adalah sunnah
Rasulullah Saw
e) Perkataan Sahabat dengan ungkapan : "Kami diperintahkan begini.... atau
Kami dilarang dari begini...."
f) Perkataan Sahabat tentang peristiwa yang telah lewat seperti tentang kejadian
makhluk
g) Perkataan Sahabat tentang hal-hal yang akan terjadi keadaan hari kiamat
h) Perkataan Sahabat yang berkaitan dengan asbabun nuzul suatu ayat

20
3. Hadits Mauquf
a. Pengertian Hadits Mauquf
Hadits Mauquf adalah hadits disandarkan pada seorang Sahabat atau segolongan
Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan, baik bersambung
sanadnya atau terputus. Disebut dengan hadits mauquf yang secara bahasa mempunyai
arti yang dihentikan, karena dihentikan sandarannya hanya sampai kepada Sahabat tidak
sampai kepada Nabi Saw. Hadits mauquf mempunyai istilah yang lebih populer, yaitu
Atsar Sahabat

b. Kehujjahan Hadits Mauquf


Hadits Mauquf ada yang Shahih, Hasan dan juga Dhaif sebagaimana Hadits
Nabawi atau Hadits Marfu'. Walaupun sebuah hadits mauquf derajatnya Shahih atau
Hasan, tetapi tidak dapat dijadikan Hujjah kecuali hadits mauquf yang dihukumi sebagai
marfu' atau hadits marfu' hukmi dan kecuali hadits mauquf yang didukung atau diperkuat
oleh hadits lain yang marfu'

4. Hadits Maqthu'
a. Pengertian Hadits Maqthu'
Hadits Maqthu' adalah hadits disandarkan pada seorang tabi'in dan orang-orang
setelah tabi'in seperti tabi' tabiin kemudian orang-orang setelah mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan

b. Kehujjahan Hadits Maqthu'


Hadits Maqthu' tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara' sekalipun
shahih atau hasan karena ia bukan yang datang dari Nabi Saw. Tetapi jika ada bukti-bukti
yang kuat yang menunjukkan kemarfu'annya, dihukum marfu' mursal

HADITS MUTTASHIL/MAUSHUL DAN HADITS MUSNAD


Ditinjau dari persambungan sanad, Hadits dibagi menjadi Hadits Muttashil/Maushul dan
Hadits Musnad :
1. Hadits Muttashil/Maushul
Hadits Muttashil/Maushul adalah hadits yang bersambung sanadnya sampai
akhir baik berupa marfu' yang disandarkan kepada Nabi Saw ataupun mauquf yang
disandarkan kepada Sahabat. Hadits yang bersambung sanadnya sampai akhir dan
disandarkan kepada Tabi'in atau Tabi' Tabi'in tidak disebut Muttashil secara mutlak tetapi
secara muqayyad, misalnya akhir dari sanadnya Sa'id bin Al Musayyab dan sanad
tersebut tidak terputus hingga sampai kepadnya, maka disebut Muttashil kepada Sa'id bin
Al Musayyab

2. Hadits Musnad
Hadits Musnad adalah hadits bersambung sanadnya sampai akhir, dan akhir dari
sanad tersebut adalah Nabi Saw. Maka hanya hadits marfu' yang bersambung sanad
sampai akhir yang dapat disebut Hadits Musnad

HADITS MAUDHU'
Secara etimologi kata maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’a yang berarti al-
isqath (menggugurkan), al tark (meninggalkan)’ al-iftira’ wa iltilaq (mengada ada atau
membuat buat). Sedangkan secara terminologi menurut Ibn Al-Shalah dan ikuti oleh Al
Nawawi : ‫" “ ما نسب الى رسول َّللا عليه و سلم اختافا وكذبا مما لم يقله او يفعله او يقره‬Yaitu Hadits yang

21
dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah Saw, yang sifatnya di buat buat dan di ada
adakan, karena Rasulullah Saw sendiri tidak mengadakannya, memperbuat, maupun
menetapkanya.”
Ibn Al-Shalah menyatakan bahwa Hadits Maudhu’ yaitu Hadits yang diciptakan dan
di buat buat atas nama Rasulullah Saw, dan oleh karena itu Hadits Maudhu’ tersebut adalah
Hadits yang paling buruk statusnya dan karena itu pula tidak di benarkan dan bahkan haram
hukumnya untuk meriwayatkannya dengan alasan apapun kecuali disertai dengan penjelasan
tentang kemaudhu’-annya

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadits, Jakarta : Amzah, 2010

22

Anda mungkin juga menyukai