Anda di halaman 1dari 7

HADITS TENTANG RELASI KEIMANAN KEPADA ALLAH DENGAN

KEIMANAN PADA HARI AKHIRAT DAN SIKAP MANUSIA DALAM


BERINTERAKSI SESAMA MANUSIA

Fayyidh Trian Rivaldi, Helma Mike Folina, Ika Mubdi Mulki Harahap, Jella
Octaria Putri, Khaira Nisa Mawarti
UIN Suska Riau, Indonesia
12130211048@students.uin-suska.ac.id, 12130223525@students.uin-suska.ac.id,
12130223365@students.uin-suska.ac.id, 12130222520@students.uin-suska.ac.id,
12130221168@students.uin-suska.ac.id

Abtrak
Relasi keimanan kepada Allah dengan keimanan pada hari akhir dan
sikap manusia dalam berinteraksi adalah salah satu pembahasan yang menarik
untuk dikaji dalam penafsiran dengan mengaitkan salah satu hadits arbain-15.
Dalam penafsiran hadits ini, imam Asy-Syafi’i juga memberikan penjelasan atau
syarah hadits tersebut. Hadits ini juga tedapat fiqih haditsnya. Hadits ini
membahas seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir adlah orang yang
berkata atau berbicara yang baik-baik atau lebih baik diam. Penafsiran ini
dilakukan agar lebih mendalami bagaiman adab kita berinteraksi sesama manusia
dan juga bagaimana menjamu dan memuliakan tamu atau tetangganya.
Dari berbagai amal, menjaga bicara dan memuliakan adalah ciri-ciri
orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir. Oleh karena itu kita
dibiasakan berbicara seperlunya saja. Karna kita tidak tau apakah lidah kita
menyakiti seseorang atau tidak. Amal yang paling besar, adalah amal lidah.
Karena amal bisa menggurkan dosa, selamat dari malapetaka dan lain-lain

Kata kunci : Fiqih hadits, Hadits, Keimanan, Syarah Hadits, Memuliakan

A. Pendahuluan
Dalam pembahasan kali ini tentang relasi keimanan kepada allah dengan
keimanan pada hari akhirat dan sikap manusia dalam berinteraksi sesama
manusia. Yamg mana tema ini berkaitan dengan hadits yang telah diberikan yaitu
hadits arbain yang ke-15. Hadits tersebut menjelaskan bahwa akhlak seorang
muslim yang beriman dalam bertutur kata atau berbicara. Bila benar-benar dia
beriman kepada Allah SWT maka berbicaralah yang baik atau diam, dan ini juga
menerangkan memuliakan tamu atau tetangganya.
Hadits tersebut tidak lain juga menunjukkan bagaimana adab seorang
mulim yang beriman yang bersungguh-sungguh, yitu cara menjaga lisan saat
berbicara yang penuh sopan dan santun dan yang lainnya. Untuk lebih
mengetahui, hadits dan penjelasan berikut dibawah ini.
B. Hadits dan Terjemahan

‫ َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل‬: ‫َعْن ًأِبْي ُّ ُهَرْيَر َة َرِض َى ُهللا َع ْنُه َاَّن َرُسْو َل ِهللا َص َّل ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ‘ َقَل‬
.‫ َفْلُيْك ِرْم َج اَرُه‬،‫ َو َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬. ‫ َفْلَيُقْل َخ ْيًر ا َأْو ِلَيْص ُم ْت‬،‫َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬
‫ َفْلُيْك ِرْم َض ْيَفُه‬،‫َو َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬.
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah shallallaahu’alaihi
wa sallam, beliau bersabda, “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dari hari
akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan
tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka
hendaklah dia memuliakan tamunya.” ( HR. Al-Bhukari dan Muslim )1

C. Analisa/Penjelasan ( Syarah )

Menurut ahli bahasa, dalam bahasa Arab biasa disebutkan shamata — yashmutu -
shamtan — shumuutan - shamaatan, artinya diam. Al Jauhari berkata, “Dalam
bahasa Arab biasa disebutkan kata ashmata yang juga memiliki makna shamata.
At-Tashmiit artinya assukuut (diam). Namun, kata at-tashmiit juga berarti at-
taskiit (mendiamkan atau menenangkan).

Imam an-Nawawi berkata :


Sabdanya,
‫ َفْلَيُقْل َخ ْيًر ا َأْو ِلَيْص ُم ت‬،‫َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬
“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dari hari akhir, maka
hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.”

Asy-Syafi’i mengatakan, makna hadits ini, jika hendak berbicara, maka


pikirkanlah terlebih dahulu. Jika tampak padanya bahwa ucapan tersebut tidak
merugikannya, maka bicaralah. Jika tampak padanya bahwa ucapan tersebut ada
mudharatnya atau la ragu, maka tahanlah (jangan bicara). 2" Imam terkemuka Abu
Muhammad bin Abi Zaid, Imam Malikiyah di Maghrib pada zamannya, fer
mengatakan, "Semua adab kebajikan bercabang dari empat hadits:

1. Sabda Nabi Muhammad SAW

‫ َفْلَيُقْل َخ ْيًر ا َأْو ِلَيْص ُم ت‬،‫َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia
sebagian dari berkata baik atau hendaklah ia diam".

2. Sabdanya,
1
Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi dkk, Syarah Arbain An-Nawawi (Jakarta: DARUL HAQ, 2019), hal.
159.

2
Ibid. Hal.160
‫ِم ْن ُ ُح ْس ِن ِإْس َالِم اْلَم ْر ِء َتْر ُك ُه َم ا اَل َيْعِنْيِه‬
" Di antara kebaikan Islam kan seseorang ialah dia meninggalkan apa yang tidak
penting baginya ".

3. Sabdanya kepada orang yang diberi pesan dengan ringkas,

‫اَل َتْغ َض ْب‬


" Jangan marah" 3

4. Sabdanya,

‫اَل ُيْؤ ِم ُن َأَح ُد ُك ْم َح َّتى ُيِح َّب َأِلِخ ْيِه َم ا ِلَنْفِسِه‬


“ Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya
segala yang dicintainya untuk dirinya”

Al-Qadhi Iyadh mengatakan :

،‫ َو َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬.‫ َفْلُيْك ِرْم َج اَر ُه‬،‫َو َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬
‫َفْلُيْك ِرْم َض ْيَفُه‬.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia
memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.

Makna hadits ini bahwa siapa yang komitmen dengan syariat Islam, ia pasti
memuliakan tamu dan tetangganya.4
Tetangga yang berdekatan, masih kerabat lagi Muslim mempunya tiga hak,
tetangga yang jauh lagi Muslim mempunyai dua hak, dan bukan kerabat lagi
Muslim mempunya satu hak. Menjamu tamu adalah merupakan salah satu adab
Islam, dan akhlak para nabi Muhammad SAW dan shalihin. Al-laits
mewajibkannya satu malam.5 Banyak ulama yang bersilisih, apakah menjamu itu
berlaku kepada orang yang bertempat tinggal (hadhir) dan juga orang hidup
nomaden (badi) atau orang yang hidup nomaden saja?
Dalam hal ini Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Abdul Hakam berpendapat
bahwa itu berlaku atas hadhir dan badi. Sedangkan dari Malik dan Sahnun
berpendapat bahwa itu berlaku kepada kaum yang tidak bertempat
tinggal ,menetap saja.6

Imam Ibnu Daqiq berkata :


Sabdanya,

3
Diriwayatkan oleh al-Bhukari, no. 6116
4
Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi dkk, Op.Cit., hal. 163
5
Ibid. hal. 164
6
Ibid.
‫َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬،

Imam Ibnu Daqiq berkata :


“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dari hari akhir,

Yakni, siapa yang beriman dengan keimanan yang semourna, yang


menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah.

‫َفْلَيُقْل َخ ْيًر ا َأْو ِلَيْص ُم ت‬


maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.
Karena, siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya,
maka ia takut ancamanNya, mengharapkan pahalaNya, berusaha mengerjakan apa
yang diperintahkanNya, dan meninggalkan segala yang dilarangNya. Dan yang
lebih penting baginya daripada itu, ialah memelihara seluruh anggota tubuhnya
yang menjadi gembalaannya, dan ia bertanggungjawab terhadapnya, sebagaimana
FirmaNya,

‫َو اَل َتْقُف َم ا َلـْيَس َلـَك ِبٖه ِع ْلٌم ۗ  ِاَّن الَّس ْم َع َو ا ْلَبَص َر َو ا ْلُفَؤ اَد ُك ُّل ُاوٰٓلِئَك َك ا َن َع ْنُه‬
‫َم ْس ُئْو اًل‬
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya."( QS. Al-Isra’ 17:36)

Penyakit-penyakit lisan itu sangat banyak. Maka olehkarna itu, siapa yang
mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya, maka
ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia berbicara
kecuali kebaikan atau diam.
Sebagian ulama mengatakan tentang makna hadits ini : Jika seseorang hendak
berbicara; Jika apa yang dibicarakan itu baik dan yakin bakal diberi pahala, maka
bicaralah. Jika tidak, aka janganlah berbicara, baik nampak olehnyaa bahwa
perkataan tersebut haram, makruh ataupun mubah.7 Berdasarkan hal ini maka
perkataan mubah diperintahkan agar ditinggalkan serta dianjurkan untuk menahan
dirinya, karena khawatir akan menariknya kepada keharaman atau makruh, dan
hal itu kerap terjadi. Allah SWT berfirman

‫َم ا َيْلِفُظ ِم ْن َقْو ٍل ِااَّل َلَد ْيِه َرِقْيٌب َع ِتْيٌد‬


" Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat
pengawas yang selalu siap (mencatat)." ( QS. QAF 50:18 )

7
Ibid. Hal. 166
Para ulama berselisih tentang: apakah segala yang diucapkan manusia akan
dicatat meskipun mubah, atau tidak dicatat kecuali perkataan yang berisikan
balasan berupa pahala atau siksa?
Pendapat yang kedua itulah yang dinyatakan Ibnu Abbas dan lainnya.
Berdasarkan hal ini, maka ayat ini dikhususkan. Yakni

‫َم ا َيْلِفُظ ِم ْن َقْو ل‬


Tidak ada suatu kata yang diucapkan
Maksudnya yang beroleh balasan

Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa ucapan yang
dicatat hanyalah yang mengandung konsekuensi pahala dan dosa. Dengan
demikian, ayat Al Qur'an di atas perlu diartikan secara khusus. Sehingga cara
mengartikannya adalah sebagai berikut, “Tiada suatu ucapan pun yang
mendatangkan balasan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir”8
Ajaran syariat sendiri telah menganjurkan seseorang untuk tidak banyak
melontarkan perkataan yang sifatnya mubah agar tidak terjerumus kepada
perkataan perkataan yang haram maupun makruh. Dikarenakn orang-orang ahli
ibadah lebih memilih untuk diam, maka hal itu disebabkan karena mereka
mengetahui bahwa dalam Perkataan mengandung banyak bencana. Diam menurut
mereka, dianggap salah Satu rukun untuk mendidik akhlak mulia.
Diriwayatkan dari Dzun-Nun, “Orang yang paling menjaga dirinya adalah
orang yang paling mampu menahan lisannya (untuk banyak bicara yang tidak
bermanfaat).”

D. Fiqih Hadits9
1. Iman terkait langsung dengan kehidupan sehari hari.
2. Islam menyerukan kepada sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta
dan kasih sayang dikalangan individu masyarakat muslim.
3. Termasuk kesempurnaan iman adalah perkataan yang baik dan diam dari
selainnya.
4. Berlebih-lebihan dalam pembicaraan dapat menyebabkan kehancuran,
sedangkan menjaga pembicaraan merupakan jalan keselamatan.
5. Islam sangat menjaga agar seorang muslim berbicara apa yang
bermanfaat dan mencegah perkataan yang diharamkan dalam setiap
kondisi.
6. Tidak memperbanyak pembicaraan yang diperbolehkan, karena hal
tersebut dapat menyeret kepada perbuatan yang diharamkan atau yang
makruh.
7. Termasuk kesempurnaan iman adalah menghormati tetangga dan
memperhatikan serta tidak menyakitinya.
8. Wajib berbicara saat dibutuhkan, khususnya jika bertujuan menerangkan
yang haq dan beramar ma’ruf nahi munkar.
8
Wawan Djoenaedi Soffandi, Syarah Shahih Muslim ( Jakarta: Pustakaazam, 2010), hal. 124
9
Abdullah Haidhir, Muhyiddin Yahya Bin Syaraf Nawawi, ( Jakarta : Islamhouse, 2007), hal. 47
9. Memuliakan tamu termasuk di antara kemuliaan akhlak dan pertanda
komitmennya terhadap syariat Islam.
10. Anjuran untuk mempergauli orang lain dengan baik.

E. Kesimpulan
Iman itu ada bukti nya dalam bentuk amal. Al sunnah wal jamaah
mengakui iman itu ada 3, yiatu Di benarkah dengan hati, di ucapkan/ dinyatakan
dengan lisan, dibuktikan dengan amal.
Hubungan antara tema dengan hadit ini adalah apabila seseorang itu
dilihat dari keimanan nya. Maka lihat lah dari tutur kata nya dan juga memuliakan
tetangganya. Karena dari semua amal, yaitu amal lidahlah yang paling berat
timbangannya.
Contoh nya amal tersebut,gara-gara lidah orang bisa dapat syafaat quran,
gara-gara lidah orang bisa mati husnul khotimah, gara-gara lidah orang bisa dekat
dengan nabi muhammad ( orang yang dekat dengan nabi, orang yang sering ber
sholawat ), gara-gara lidah, azab tidak jadi turun. Yaitu, orang masih ada nasihat
menasihati, gara-gara lidah orang dapat amal yang paling baik. ( berdzikir ), gara-
gara lidah, allah tidak jadi menurunkan malapetaka. Yaitu orang-orang yang
beristiqhfar ( Beristiqhfar di waktu sahur menjelang subuh ), gara-gara lidah orang
menjadi di lapang kan hidup nya, di jauh kan dr kesulitan. Di berikan solusi setiap
permasalah, mendptkan rezeki yang tidak di sangka-sangka.

Lidah ini, di samping membawa amal baik, dia juga membawa kita ke
neraka, yaitu gara-gara lidah juga, orang memakan bangkai saudara nya sendiri,
seperti orang yang membicarakan aib orang lain. Gara-gara lidah orang kena azab
kubur, Gara-gara lidah, amal bisa berpindah. Yaitu, orang yang lidah nya kasar,
mencaci maki, sumpah serapah.
Yang Rasulullah SAW sangat khawatir pada akhir zaman adalah lidah.
Jadi membiasakan dirilah untuk bersholawat, berdzikir , baca al-quran . Bicaralah
yang seperlu perlu nya saja, yang gk perlu tinggal kan saja atau tidak perlu di
bicarakan. Zaman sekarang, fitnah medsos sangat berbahaya. berbicara kita bisa di
potong-potong atau bisa di plintir dan bisa di jadikan boomerang. Nuadzubillah
jika kita sampe terjebak. Cara melihat keimanan seseorang, siapa yang beriman
kepada allah dan hari akhir, berbicara nya baik-baik, atau diam. Kalau ada orang
rajin mengaji, rajin berbicara juga. Ini baru sebatas menikmati pengajian, belum
mengamalkan
" Mulut mu harimau mu " mulut kamu itu lebih tajam. Inilah hati
manusia, rusak atau luka di sebabkan oleh lidah. Karna hati yang sakit kemana
obat mau di cari. Mungkin orang sudah memaafkan, tetapi ia masih ingat.
Cara melihat ciri-ciri orang yang beriman, lihat lah dari kata-kata nya.
Kalau kata-katanya bermakna, jauh dari ghibah. Maka itu termasuk ciri-ciri yang
beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan juga ciri-ciri orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir adalah orang yang memuliakan tetangganya.karna
bila kita sakit, lagi sedang sulit, atau meninggal. Maka tetangga itulah yang
datang. Memuliakan yang disebut adalah berbagi atau dermawan kepada tetangga.
F. Daftar Pustaka

Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi dkk. 2019. Syarah Arbain An-Nawawi.


Jakarta; DARUL HAQ.
Haidhir, Abdullah. 2007. Muhyiddin Yahya Bin Syaraf Nawawi. Jakarta ;
Islamhouse.
Soffandi, Wawan Djoenaedi. 2010. Syarah Shahih Muslim. Jakarta;
Pustakaazam.

Anda mungkin juga menyukai