DISUSUN OLEH :
1. RIKO ARDIANSYAH ( 2022D1B138 )
2. MUHAMMAD ARLANGGA ( 2022D1B133 )
3. MUHAMMAD GAZWAN AL ( 2022D1B134 )
GIFFARI
4. RESTU ANGGARA (2022D1B137)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “
Akhak terhadap allah SWT ” dengan baik.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
MAPPANYOMPA, MM. M.Pd.I yang telah memberikan kami tugas mata kuliah
Akhlak tentang Akhlak terhadap Allah SWT. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang telah memberi kontribusi baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari teman-teman senantiasa kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membawa
pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua tentang Akhlak terhadap Allah
SWT
Mataram,16 Oktober 2023
Penulis
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akhlaq merujuk kepada amalan dan tingkah laku tulus yang
tidak dibuat-buat yang menjadi kebiasaan. Manakala menurut istilah
Islam, akhlaq ialah sikap keperibadian manusia terhadap Allah,
manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan suruhan dan
larangan serta petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini
berarti akhlaq merujuk kepada seluruh perlakuan manusia sama ada
berbentuk lahiriah maupun batiniah yang merangkumi aspek amal
ibadah, percakapan, perbuatan, pergaulan, komunikasi, kasih sayang dan
sebagainya.
Dalam makalah ini yang dibahas adalah akhlaq seorang muslim
kepada Allah SWT, yaitu tentang bagaimana seharusnya perilaku
seorang muslim tehadap Allah SWT. Sehingga nantinya seorang muslim
akan menjadi seorang yang berakhlaq mulia khususnya akhlaq kepada
Allah SWT.
Dan adapun akhlaq kepada Allah yaitu menjalankan segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Jadi seorang muslim itu
hendaknya taat terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhannya.
Sehingga akhlaq orang muslim kepada Allah SWT yaitu beriman dan
taqwa kepada-Nya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian akhlaq terhadap Allah SWT?
2. Mengapa seorang muslim harus berakhlaq kepada Allah SWT?
3. Bagaimana seharusnya akhlaq seorang muslim kepada Allah SWT?
DAFTAR ISI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Taqwa
Kata taqwa berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata -يقي-)وقى وققاية
waqa, yaqi dan wiqayah) yang berarti takut, menjaga, menghindar,
menjauhi, waspada, berhati-hati, memelihara dan melindungi. (Ahmad
Warson Munawwir, 1997: 1577) Dari kata waqa, taqwa bisa di artikan
berusaha memelihara diri dari ketentuan Allah dan melindungi diri dari
dosa/larangan Allah. bisa juga diartikan berhati-hati dalam menjalani
hidup sesuai petunjuk Allah, atau dengan kata yang paling populer adalah
“memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.” Atau lebih ringkas lagi “mengikuti segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah
”ittaqullah” yang secara harfiah berarti “hindarilah, jauhilah, atau jagalah
dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat
dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan
diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu
dimana pun kamu berada”. Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat
untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna
dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk
menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat. (M.
Quraish Shihab, 1996: 531)
Afif Abd al-Fattah Thabbarah dalam bukunya Rub ad-Din al-Islam
mendefinisikan Taqwa dengan:
َأْن َيَّتِقي اِإْل ْنَس اُن َم ا َيْغ َض ُب َر ُّبُه َو َم ا ِفْيِه َضَر ٌر ِلَنْفِسِه َأْو اْض َر اٌر ِلَغْيِر ِه.
“Seseorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang
kemarahan Tuhannya dan dari segala sesuatu yang mendatangkan
mudharat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.”
Lebih lanjut Thabbarah mengatakan bahwa makna asal dari taqwa
adalah pemeliharaan diri. Diri tidak perlu pemeliharaan kecuali terhadap
sesuatu yang dia takuti. Yang paling dia takuti adalah Allah SWT. Rasa
takut memerlukan ilmu terhadap yang di takuti. Oleh sebab itu yang
berilmu tentang Allah akan takut kepada-Nya. Muttaqin adalah orang-
orang yang memelihara diri mereka dari azab dan kemarahan Allah di
dunia dan akhirat dengan cara berhenti di garis batas yang telah di
tentukan, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya. Sedangkan Allah tidak memerintahkan kecuali yang baik
untuk manusia, dan tidak melarang kecuali yang memberikan mudharat
kepada mereka. (Yunahar Ilyas ,2007: 17)
Taqwa merupakan sikap mental sesorang yang selalu ingat dan
waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan
dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak
mudah terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Termasuk dalam takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai
berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan
tuntunan syari‟at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca:
bid‟ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana
saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa
kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi, sendirian atau
ketika berada di tengah keramaian di hadapan orang.
Seorang yang bertaqwa akan selalu menghambakan dirinya kepada
Allah SWT dan selalu menjaga hubungan dengannya setiap saat. Sehingga
dia dapat menghindari diri dari berbuat kejahatan dan kemunkaran serta
membuatnya selalu konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Memelihara
hubungan dengan Allah dimulai dengan melaksanakan ibadah secara
sunguh-sungguh dan ikhlas seperti mendirikan shalat dengan khusyuk
sehingga dapat memberikan warna di dalam kehidupan ini, melaksanakan
puasa dengan ikhlas dapat melahirkan kesabaran dan pengendalian diri,
menunaikan zakat dapat mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan diri
dari sikap tamak. Dan hati yang dapat mendatangkan sikap persamaan,
menjauhkan dari takabur dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Segala
perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya bukan untuk kepentingan
Allah sendiri melainkan merupakan untuk keselamatan manusia.
Ketaqwaan kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman
kepada Allah menurut cara-cara yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang
sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup
manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali „Imran [3] ayat 138,
Hakikat Taqwa
َلْيَس اْلِبَّر َاْن ُتَو ُّلْو ا ُوُجْو َهُك ْم ِقَبَل اْلَم ْش ِرِق َو اْلَم ْغ ِر ِب َو ٰل ِكَّن اْلِبَّر َم ْن ٰا َم َن ِباِهّٰلل
ٰۤل
َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِر َو اْلَم ِٕىَك ِة َو اْلِكٰت ِب َو الَّنِبّٖي َن ۚ َو ٰا َتى اْلَم اَل َع ٰل ى ُحِّبٖه َذ ِوى اْلُقْر ٰب ى
َو اْلَيٰت ٰم ى َو اْلَم ٰس ِكْيَن َو اْبَن الَّس ِبْيِۙل َو الَّس ۤا ِٕىِلْيَن َو فِى الِّر َقاِۚب َو َاَقاَم الَّص ٰل وَة َو ٰا َتى
الَّز ٰك وَة ۚ َو اْلُم ْو ُفْو َن ِبَع ْهِدِهْم ِاَذ ا َعاَهُد ْو ا ۚ َو الّٰص ِبِر ْيَن ِفى اْلَبْأَس ۤا ِء َو الَّضَّر ۤا ِء
ٰۤل ٰۤل
َو ِح ْيَن اْلَبْأِۗس ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َص َد ُقْو ا َۗو ُاو ِٕىَك ُهُم اْلُم َّتُقْو َن
ذِلَك اْلِكَتُب اَل َر ْيَب ِفيِه ُهًدى ِّلْلُم َّتِقيَن اَّلِذ يَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِباْلَغْيِب َو ُيِقيُم وَن الَّص َلَو ة َوِمَّم ا َر َز ْقَتُهم ُينِفُقوَن
َو اَّلِذ يَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِبَم ا ُأنِز َل ِإَلْيَك َو َم ا
)٤-٢ :) (البقرة٢( ُأنِز َل ِم ن َقْبِلَك َو ِباآلِخَرِة ُهْم ُيوِقُنوَن
“Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang
yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendrikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan
kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab(Al-Qur‟an) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 2-4)
َو َس اِرُعوا ِإَلى َم ْغ ِفَر ٍة ِّم ن َّرِّبُك ْم َو َج َّنٍة َع ْر ُض َها الَّسَم َو ُت َو اَأْلْر ُض ُأِع َّد ْت ِلْلُم َّتِقيَن اَّلِذ يَن ُينِفُقوَن في
الَّس َر اِء َو الَّصراِء َو اْلَك ِظِم يَن اْلَغْيَظ َو اْلَع اِفيَن َع ِن الَّناِس َو ُهَّللا ُتِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن َو اَّلِذ يَن ِإَذ ا َفَع ُلوا َفنِح َش ًة
َأْو َظَلُم وا أنُفَس ُهْم َذ َك ُروا َهَّللا َفاْسَتْغ َفُروا ِلُذ ُنوِبِه ْم َو َم ن َيْغ ِفُر الُّذ ُنوَب ِإاَّل ُهَّللا َو َلْم ُيِص ُّر وا
۱۳۵-۱۳۳ :َع َلى َم ا َفَع ُلوا َو ُهْم َيْع َلُم وَن (آل عمران
Salah satu perintah Allah SWT yang banyak disebutkan dalam Al-
Qur‟an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah agar orang-
orang mukmin, berusaha mencapai tingkat/derajat taqwa. Taqwa kepada
Allah SWT sangat penting, karena dengan taqwa ini, seseorang
mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. Taqwa adalah buah
dari pohon ibadah. Ia merupakan tujuan utama dari setiap perintah ibadah
kepada Allah SWT. Taqwa yang sesungguhnya hanya diperoleh dengan
cara berupaya secara maksimal melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-larangannya. Ketaatan ini adalah ketaatan yang
tulus, tidak dicampuri oleh riya atau pamrih. Banyak sekali ayat-ayat Allah
maupun hadis Nabi SAW. yang menekankan perintah untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT. Di antaranya adalah firman Allah SWT :
يناها الذيَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َح َّق ُتَقاِتِه َو اَل َتُم وُتَّن ِإاَّل َو َأنُتم ُم ْس ِلُم وَن )آلعمران
)إَّن َأْو َلى الَّناِس ِفي اْلُم َّتُقوَن َم ْن َك اُنوا َو َح ْيُث َك اُنوا (رواه ابن حبان
َو َلْو َأَّن َأْهَل اْلُقَر ى اَم ُنوا َو اَّتَقْو ا َلَفَتْح َنا َع َلْيِه م َبَر َك ِت ِم َن الَّس َم اِء َو اَأْلْر ِض
٩٦ : َو َلِكن َك َّذ ُبوا َفَأَخ ْذ َتُهم ِبَم ا َك اُنوا َيْك ِس ُبوَن (األعرف
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al -A‟raf [7]: 96)
3. Mendapatkan Jalan Keluar Melaksanakan sebuah perbuatan, selalau
mendapatkan balasan.
Seseorang yang berbuat baik kepada sesama. Akan mendapat
keuntungan dicintai dan dihormati orang lain. Sebaliknya, perbuatan
jahat akan mendapatkan balasan pula. Demikian juga halnya dengan
seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT, konsekuensi dari
perbuatan taqwanya ialah memperoleh kebahagiaan yang hakiki,
hidupnya terasa tenang tenteram, walaupun banyak masalah yang dia
hadapi, karena setiap manusia tidak pernah terlepas dari
masalahmasalah hidup di dunia ini. Kadang susah dan terkadang
senang, tetapi dengan sebab mempertahankan nilai ketaqwaaan niscaya
akan dibukakan jalan keluar oleh Allah SWT dari masalah-masalah
yang mengihimpit hidupnya. Sebagaimana firman-Nya berikut:
٢ : َو َم ن َيَّتِق َهللا َجَع ل له مخرجا (الطالق
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2)
4. Mendapat Rizqi tanpa Diduga-duga
Allah menjanjikan bagi orang bertaqwa bukan sekedar
mengeluarkan dari dari kesulitan bahkan Allah akan membukan pintu
rezeki bagi orang-orang yang bertaqwa dengan sungguh-sungguh dari
arah yang disangka-sangkanya.
٣ : َو َيْر ُز ْقُه ِم ْن َح ْيُث اَل َتْح َتِس ُب (الطالق
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya.”
(QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
5. Mendapatkan Kemudahan dalam Urusannya
Orang-orang yang bertaqwa akan mendapatkan kemudahan dalam
urusannya, sehingga hidup terasa lebih tenang dan nyaman. Tidak ada
kamus putus asa dalam kehidupannya.
4:َو َم ن َيَّتِق َهَّللا َيْج َع ل َّلُه ِم ْن َأْم ِر ه ُيسًرا (الطالق
“Dan barang-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. AthThalaq
[65]: 4)
6. Dihapus kesalahannya, Diampuni Dosanya, dan Mendapatkan Pahala
yang Besar
Setiap manusia pasti memiliki dosa dan kesalahan, bahkan hingga
tiba saat menghadap Allah, manusia masih membawa dosa yang tidak
sedikit. Sungguh kenikmatan dan anugerah yang sangat besar bagi
orang yang bertaqwa karena kelak Allah akan menghapus
kesalahannya, diampuni dosanya dan mendapatkan pahala yang besar.
بايا الذين َو اَم ُنوا ِإن َتَّتُقوا َهَّللا َتْج َع ل َّلُك ْم ُفْر َقاَنا َو ُيَك ِّفْر َعنُك ْم
٢٩ :َس ِّيَئاِتُك ْم َو َيْغ ِفْر َلُك ْم َو ُهَّللا ُذ و اْلَفْض ِل اْلَعِظ يِم (األنفال
٥: َو ُيْع ِظ ْم َلُه َأْج ًرا (الطالق،َو َم ن َيَّتِق َهَّللا ُيَك ِّفْر َع ْنُه َس ِّيَئاِتِه
-
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An‟am [6]: 162-
163)
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2)
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa ikhlas atau tidaknya
seseorang beramal tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya imbalan
materi yang dia dapat, tetapi ditentukan oleh niat, kualitas amal, dan
pemamfaatan hasil. Atau dengan kata lain tidak setiap yang gratis itu
otomatis ikhlas, dan tidak pula setiap yang dibayar itu tidak ikhlas.
Keutamaan Ikhlas
-
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, malainkan
kaum yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87)
E. Tawakal
Secara etimologi, kata tawakal berasal dari bahasa Arab, yaitu:
توكل،يتوكٌل، توكاٌلdan di dalam Kamus Munawir di sebut ٌ )توكل اهلٌل على
bertawakkal, pasrah kepada Allah). (Ahmad Warson Munawwir, 2002:
1579) Sedangkan menurut Poerwadarminta, tawakal berarti berserah
(kepada kehendak Tuhan), dengan segenap hati percaya kepada Tuhan
terhadap penderitaan, percobaan dan lain-lain. (1976: 1026). Sedangkan
tawakkal menurut terminologi, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh beberapa pakar berikut:
a. Amin Syukur dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Studi Islam”
dengan singkat menyatakan, tawakal artinya memasrahkan diri kepada
Allah. (Amin Syukur, 2000: 173).
b. Imam Qusyairi dalam bukunya yang berjudul Risalah Qusyairiyyah
menjelaskan bahwa: menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, syarat
tawakal sebagaimana yang diungkapkanoleh Abu Turab An-Nakhsyabi
adalah melepaskan anggota tubuh dalam penghambaan,
menggantungkan hati dengan ketuhanan, dan bersikap merasa cukup.
Apabila dia diberikan sesuatu, maka dia bersyukur, Apabila tidak,
maka dia bersabar. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud
tawakal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu dan
melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Seorang hamba akan
selalu memperkuat ketawakalannya apabila mengerti bahwa Allah
SWT. selalu mengetahuinya dan melihat segala sesuatu. Abu Ja'far bin
Farj mengatakan, "Saya pernah melihat seorang laki-laki yang
mengetahui Unta Aisyah karena dia sangat cerdik. la dipukul dengan
cambuk. Saya bertanya kepadanya, "dalam keadaan bagaimana
sakitnya pukulan lebih mudah diketahui?' Dia menjawab, 'Apabila kita
dipukul karena dia, maka tentu dia mengetahuinya". Husin bin
Manshur pernah bertanya kepada Ibrahim Al-Khawwash, "Apa yang
telah engkau kerjakan dalam perjalanan dan meninggalkan padang
pasir?" "Saya bertawakal dengan memperbaiki diriku sendiri.” (Al-
Qusyairy An-Naisabury, 2000: 228-229)
c. Menurut, tawakal adalah pengendalian hati kepada Tuhan Yang Maha
Pelindung karena segala sesuatu tidak keluar dari ilmu dan kekuasaan-
Nya, sedangkan selain Allah tidak dapat membahayakan dan tidak
dapat memberinya manfaat. (Al-Ghazali Khalil „Aid, 1995: 290)
d. Menurut Muhammad bin Hasan asy-Syarif, tawakal adalah orang yang
mengetahui bahwa hanya Allah penanggung rizkinya dan urusannya.
Oleh karena itu ia bersandar kepada-Nya semata-mata dan tidak
bertawakal kepada selain-Nya.
e. Menurut, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, tawakal adalah menyerahkan diri
kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Dari beberapa definisi
di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa tawakal adalah penyerahan
segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah Swt
serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan
kemaslahatan atau menolak kemudaratan. (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
2001: 534)
“Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Khafsin Amru bin Ali dari
Yahya bin Said al-Qathan dari al-Mughirah bin Abi Qurrah alSadusyi
berkata saya telah mendengar Anas bin Malik r.a berkata: Telah datang
kepada Rasulullah SAW. seorang laki-laki yang hendak meninggalkan
unta yang dikendarainya terlepas begitu saja di pintu masjid, tanpa.
ditambatkannya lebih dahulu. Dia bertanya: Ya, Rasulullah! Apakah unta
itu saya tambatkan lebih dahulu, kemudian baru saya tawakal; atau saya
lepaskan saja dan sesudah itu saya tawakal ? Rasulullah SAW. menjawab:
"Tambatkan lebih dahulu, baru engkau tawakal.” (HR. Tirmidzi : 2517)
Dari redaksi hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa
Rasulullah memerintahkan kepada laki-laki itu untuk mengikatkan
untanya lebih dahulu, sebagai satu ikhtiar, supaya unta itu jangan lari.
Tidak boleh menyerah begitu saja kepada nasib dan keadaan, tapi harus
ada usaha. Mengenai masalah tawakkan orang Islam hanya di perbolehkan
bertawakal kepada Allah semata. Allah SWT berfirman:
“Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib di langit dan dibumi dan
kepadanyalah dikemblikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah dia,
dan bertawakallah kepadanya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11]: 123)
“Dan hanya kepada Allah hedaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah [5]: 23)
“(Dialah) Allah tidak ada tuhan (yang berhak disembah selain Dia). Dan
hendakklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.” (QS. At-
Taghabun [64]: 13)
Jika suatu waktu harta itu hilang, maka janganlah khawatir, karena
sudah melakukan ikhtiar. Jika terjadi seperti ini, maka camkanlah di dalam
hati, bahwa Tuhan pasti menyimpan sesuatu yang tidak berkah di dalam
harta itu, sehingga Tuhan kemudian mengambilnya melalui orang lain.
Janganlah bersedih jika suatu waktu mengalami kehilangan harta.
Yakinlah, bahwa pasti ada sesuatu yang tidak bermanfaat seandainya harta
itu tetap tinggal bersama dengannya. Tak usah meratapi barang yang
hilang, sebab apa yang telah hilang itu belum tentu akan kembali.
Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk tetap
selalu waspada, tidak lalai atau acuh tak acuh:
“Hai orang yang beriman, bersiap siagalah kamu dan majulah (kemedan
pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama.” (QS.
An-Nisa‟ [4]: 71)
-
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam
hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.
Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 284)
Dalam ayat lain, Allah SWT mengatakan:
-
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam
hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya."
Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada
di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali
„Imron [3]: 29)
b. Pengetahuan Allah tentang setiap gerak-gerik seseorang, hingga
dalam sujud sekalipun-
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan
(melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang
yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Asy-Syu‟ara‟ [26]: 218-220)
Dalam ayat lain Allah SWT mengatakan:
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu‟minun [40]: 19)
c. Kebersamaan Allah dengan diri kita
-
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid [57]: 4)
d. Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui
makhluknya Allah SWT berfirman:
-
“Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
e. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan
manusia maupun dibelakangnya Allah berfirman:
-
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]:
255)
2. Muraqabah dalam Hadits
a. Sikap muraqabatullah membawa seorang insan memiliki derajat
ihsan. Sedangkan derajat ihsan merupakan derajat yang tinggi di
sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim, dalam Shahihnya:
-
“… Jibril bertanya, beritahukanlah kepadaku apa itu ihsan?‟
Rasulullah SAW menjawab, „Bahwa ihasan adalah engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranyapun
engkau tidak (dapat) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR. Muslim: 1)
b. Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk bertaqwa
kepada Allah SWT dimanapun kita berada. Sedangkan ketaqwaan
tidak akan lahir tanpa adanya muraqabatullah. Rasulullah SAW
mengatakan:
-
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan
perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan
yang baik.” (HR. Tirmidzi: 333)
c. Tanpa adanya muraqabah, seseorang memiliki prosentase jatuh
pada kemaksiatan lebih besar. Padahal jika seseorang berbua
maksiat, Allah sangat cemburu padanya. Dalam sebuah hadits
digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
-
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; „sesungguhnya
Allah SWT cemburu. Dan kecemburuan Allah terjadi jika seorang
hamba mendatangi (melakukan) sesuatu yang telah diharamkan
baginya.” (HR. Bukhari: 5223)
d. Dengan muraqabah seseorang akan sadar untuk beramal guna
kehidupan akhiratnya. Dan hal seperti ini dikatakan oleh
Rasulullah SAW sebagai seseorang yang memiliki akal yang
sempurna (cerdas). Dalam hadits dikatakan:
-
“Orang yang sempurna akalnya adalah yang mennudukkan jiwanya
dan beramal untuk bekal kehidupan setelah kematian. Sedangkan
orang yang lemah (akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa
nafsunya, di samping itu ia mengharapkan anganangan kepada
Allah SWT.” (HR. Tirmidzi: 2459)
e. Muraqabah juga akan membawa seseorang untuk meninggalkan
suatu perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW mengatakan :
-
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, „diantara
kesempurnaan iman seseorang adalah, meninggalkan suatu
pekerjaan yang tidak menjadi kepentingannya.” (HR. Tirmidzi:
2459)
H. Muhasabah
Pengertian muhasabah secara etimologis berasal dari kata َ َ- بَ س ح
اَ سِ ح- )حْ ِس بً بَُ يmenghitung) kemudian berderivasi menjadi َ َ- ب اسَ ح
ً ةَ بَ اسَ َم ح- ح اِس بَ ُحيyang berarti membuat perhitungan atau evaluasi
diri sendiri. (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 261) Sehingga penjabaran
makna arti muhasabah adalah bahwasannya muhasabah berasal dari kata
hasibah yang artinya adalah menghisab atau pun menghitung. Dalam
penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri
atau mengevaluasi, atau pun introspeksi diri.
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal
yang telah dilakukan dari masa-masa yang telah lalu. Manusia yang
beruntung adalah manusia yang tahu akan dirinya sendiri. Dan manusia
beruntung akan selalu mempersiapkan dirinya untuk kehidupan kelak yang
abadi di yaumul akhir di akhirat yang pasti adanya. Dengan
melakasanakan muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan
setiap waktu dari detik, menit, jam dan harinya serta keseluruhan jatah
hidupnya dengan sebaik-baiknya demi meraih keridhoan Allah Ta'ala.
Dengan melakukan penuh akan perhitungan baik itu dalam hal amal
ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat
dan kehidupannya sebagai seorang hamba kepada Allah Sang Khalik.
Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya
dengan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Ada beberapa manfaat dan keutamaan muhasabah bagi setiap
orang yang beriman yaitu:
1. Dengan bermuhasabah diri, maka diri setiap muslim akan bisa
mengetahui akan aib serta kekurangan dirinya sendiri. Baik itu dalam
hal amalan ibadah, kegiatan yang memberikan manfaat untuk banyak
manusia. Sehingga dengan demikian akan bisa memperbaiki diri apa-
apa yang dirasa kurang pada dirinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW
menjelaskan bahwa orang yang pandai adalah orang yang pandai
menghisab dirinya sabaliknya orang yang lemah adalah orang yang
tidak biasa muhasabah dirinya sendiri. Sebagaiman nabi Muhammad
SAW bersabda:
-
“Orang pandai adalah orang yang pandai menghisab (mengevaluasi)
dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.
Sedang orang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan
serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Tirmidzi: 5459)
2. Dalam hal ibadah, kita akan semakin tahu akan hak kewajiban kita
sebagai seorang hambaNya dan terus memperbaiki diri dan
mengetahui hakekat ibadah bahwasannya manfaat hikmah ibadah
adalah demi kepentingan diri kita sendiri. Bukan demi kepentingan
Allah Ta'ala. Karena kita lah manusia yang lemah dan penuh dosa
yang memerlukan akan pengampunan dosa-dosa kita yang banyak.
3. Mengetahui akan segala sesuatu baik itu kecil maupun besar atas apa
yang kita lakukan di dunia ini, akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak di akherat. Inilah salah satu hikmah muhasabah dalam diri setiap
manusia.
4. Membenci hawa nafsu dan mewaspadainya. Dan senantiasa
melaksanakan amal ibadah serta ketaatan dan menjauhi segala hal yang
berbau kemaksiatan, agar menjadi ringan hisab di hari akhirat kelak.
I. Taubat
Kata Taubat berasal dari bahasa arab yang merupakan mashdar dari
dari kalimat ً ةَ بْ َ و ت- َ حو تَ ي- ”َب اْ حب تtaba-yatubu-taubatan” yang
artinya kembali. (Abudin Nata, 2010: 197) Dengan kata lain, taubat adalah
kembali dari meninggalkan segala perbuatan tercela (dosa) untuk
melakukan perbuatan yang terpuji di dalam syari’at.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa taubat adalah
amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau
dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada
ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala
larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak
akan mengulanginya lagi. Taubat merupakan suatu keniscayaan bagi
manusia, sebab tidak satu pun anak keturunan Adam AS di dunia ini yang
tidak luput dari berbuat dosa. Semua manusia, pasti pernah melakukan
berdosa. Hanya para nabi dan malaikat saja yang luput dari dosa dan
maksiyat. Manusia yang baik bukan orang yang tidak berdosa, melainkan
manusia yang jika berdosa dia melakukan taubat karena itu Rasulullah
SAW bersabda:
-
“Setiap manusia (dapat berbuat) salah. Dan sebaik-baik orang yang
bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi: 2499)
Dan juga dijelaskan dalam Al-Qur‟an bahwa Allah SWT senang
terhadap orang yang mau betaubat . Sebagaimana firman-Nya:
-
“Sesungguhnya Allah itu menyukai orang-orang yang tobat kepada-Nya
dan dia menyukai orang-orang yang membersihkan diri.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 222)
Dalam ajaran Islam orang yang benar-benar bertaubat itu disebut
taubat nasuha. Hukum taubat nasuha adalah wajib, baik dosa itu kepada
Allah SWT maupun dosa kepada sesama manusia. Jika dosa itu berkaitan
dngan manusia, hendaklah meminta maaf dari pada keslahan yang pernah
diperbuat kepada orang tersebut. Sekiranya dosa berkaitan dengan harta
benda, hendaklah dikembalikan harta tersebut kepada tuannya. Bertaubat
kepada Allah hendaklah dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan hati
yang ikhlas kerana taubat yang tiada keikhlasan tidak mendatangkan apa-
apa kesan terhadap individu tersebut. Taubat yang terbaik adalah taubat
yang penuh penyesalan, keinsafan dan rasa rendah diri kepada Allah SWT.
Karena itu orang yang taubat nasuha harus memenuhi lima syarat berikut:
1. Taubatnya tersebut dilakukannya dengan ikhlas semata karena Allah.
Jadi, faktor yang mendorongnya untuk bertaubat, bukanlah karena
riya‟, nama baik (prestise), takut kepada makhluk ataupun mengharap
suatu urusan duniawi yang ingin diraihnya. Bila dia telah berbuat
ikhlas dalam taubatnya kepada Allah dan faktor yang mendorongnya
adalah ketaqwaan kepada-Nya, takut akan siksaanNya serta mengharap
pahala-Nya, maka berarti dia telah berbuat ikhlas dalam hal tersebut.
2. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Yakni, seseorang
mendapati dirinya sangat menyesal dan bersedih atas perbuatan yang
telah lalu tersebut serta memandangnya sebagai perkara besar yang
wajib baginya untuk melepaskan diri darinya.
3. Berhenti total dari dosa tersebut dan keinginan untuk terus
melakukannya. Bila dosanya tersebut berupa tindakannya
meninggalkan hal yang wajib, maka setelah taubat dia harus
melakukannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk
membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa tindakannya
melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia harus cepat berhenti
total dan menjauhinya. Termasuk juga, bila dosa yang dilakukan
terkait dengan makhluk, maka dia harus memberikan hak-hak mereka
tersebut atau meminta dihalalkan darinya.
4. Bertekad untuk tidak lagi mengulanginya di masa yang akan datang.
Yakni, di dalam hatinya harus tertanam tekad yang bulat untuk tidak
lagi mengulangi perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya.
5. Taubat tersebut hendaklah terjadi pada waktu yang diperkenankan.
Jika terjadi setelah lewat waktu yang diperkenankan tersebut, maka ia
tidak diterima. Lewatnya waktu yang diperkenankan tersebut yaitu
sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika
dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima. Dalam
hal ini Allah SWT befirman:
-
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada
seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, „Sesungguhnya
saya bertaubat sekarang‟, Dan tidak (pula diterima taubat) orang-
orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran.” (QS. An-Nisa‟
[4]: 18)
-
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah
bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam
masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah oleh kalian sesungguhnya
kamipun menunggu (pula).” (QS. Al-An‟am [6]: 158)
Tidak Ada Istilah Terlambat untuk Bertaubat
Sebagai seorang yang beriman tidak boleh putus asa dari perbuatan
dosa yang telah diperbuatnya, ingatlah bahwa Allah SWT maha
penerima taubat. Betapapun besarnya dosa seorang mnusia, apabila dia
bertaubat, Allah pasti mengampuninya. Tidak ada istialh terlambat
untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalu nyawa sudah
berada di tenggorokan atau matahari terbit di barat, pintu taubat
memang sudah tertutup. (Yunahar Ilyas, 2007: 59-61). Rasulullah
SAW bersabda:
-
Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam
supaya bertaubat orang yang berbuat salah siang hari. Dan dia
membentangkan tangan-Nya pada siang hari, supaya bertaubat orang
yang berbuat salah malam hari. Keadaan ini tetap terus hingga
matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim: 6816)
-
“Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat seseorang hambaNya
selama nyawa masih belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi:
3537)
A. KESIMPULAN
Seorang muslim itu harus berahlak baik kepada Allah SWT.
Karena kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah SWT dan
untuk menyembah kepada Allah SWT sesuai dengan firman Allah
SWT yang artinya “dan tidaklah Kami (Allah) ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”