Anda di halaman 1dari 61

MAKALAH AKHAL

“AKHLAK TERHADAP ALLAH SWT”


DOSEN PENGAMPU : MAPPANYOMPA, MM. M.Pd.I

DISUSUN OLEH :
1. RIKO ARDIANSYAH ( 2022D1B138 )
2. MUHAMMAD ARLANGGA ( 2022D1B133 )
3. MUHAMMAD GAZWAN AL ( 2022D1B134 )
GIFFARI
4. RESTU ANGGARA (2022D1B137)

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “
Akhak terhadap allah SWT ” dengan baik.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
MAPPANYOMPA, MM. M.Pd.I yang telah memberikan kami tugas mata kuliah
Akhlak tentang Akhlak terhadap Allah SWT. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang telah memberi kontribusi baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari teman-teman senantiasa kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membawa
pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua tentang Akhlak terhadap Allah
SWT
Mataram,16 Oktober 2023

Penulis

.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akhlaq merujuk kepada amalan dan tingkah laku tulus yang
tidak dibuat-buat yang menjadi kebiasaan. Manakala menurut istilah
Islam, akhlaq ialah sikap keperibadian manusia terhadap Allah,
manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan suruhan dan
larangan serta petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini
berarti akhlaq merujuk kepada seluruh perlakuan manusia sama ada
berbentuk lahiriah maupun batiniah yang merangkumi aspek amal
ibadah, percakapan, perbuatan, pergaulan, komunikasi, kasih sayang dan
sebagainya.
Dalam makalah ini yang dibahas adalah akhlaq seorang muslim
kepada Allah SWT, yaitu tentang bagaimana seharusnya perilaku
seorang muslim tehadap Allah SWT. Sehingga nantinya seorang muslim
akan menjadi seorang yang berakhlaq mulia khususnya akhlaq kepada
Allah SWT.
Dan adapun akhlaq kepada Allah yaitu menjalankan segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Jadi seorang muslim itu
hendaknya taat terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhannya.
Sehingga akhlaq orang muslim kepada Allah SWT yaitu beriman dan
taqwa kepada-Nya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian akhlaq terhadap Allah SWT?
2. Mengapa seorang muslim harus berakhlaq kepada Allah SWT?
3. Bagaimana seharusnya akhlaq seorang muslim kepada Allah SWT?

DAFTAR ISI
BAB II

PEMBAHASAN

A. Taqwa
Kata taqwa berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata -‫يقي‬-‫)وقى وققاية‬
waqa, yaqi dan wiqayah) yang berarti takut, menjaga, menghindar,
menjauhi, waspada, berhati-hati, memelihara dan melindungi. (Ahmad
Warson Munawwir, 1997: 1577) Dari kata waqa, taqwa bisa di artikan
berusaha memelihara diri dari ketentuan Allah dan melindungi diri dari
dosa/larangan Allah. bisa juga diartikan berhati-hati dalam menjalani
hidup sesuai petunjuk Allah, atau dengan kata yang paling populer adalah
“memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.” Atau lebih ringkas lagi “mengikuti segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah
”ittaqullah” yang secara harfiah berarti “hindarilah, jauhilah, atau jagalah
dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat
dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan
diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu
dimana pun kamu berada”. Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat
untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna
dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk
menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat. (M.
Quraish Shihab, 1996: 531)
Afif Abd al-Fattah Thabbarah dalam bukunya Rub ad-Din al-Islam
mendefinisikan Taqwa dengan:
‫َأْن َيَّتِقي اِإْل ْنَس اُن َم ا َيْغ َض ُب َر ُّبُه َو َم ا ِفْيِه َضَر ٌر ِلَنْفِسِه َأْو اْض َر اٌر ِلَغْيِر ِه‬.
“Seseorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang
kemarahan Tuhannya dan dari segala sesuatu yang mendatangkan
mudharat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.”
Lebih lanjut Thabbarah mengatakan bahwa makna asal dari taqwa
adalah pemeliharaan diri. Diri tidak perlu pemeliharaan kecuali terhadap
sesuatu yang dia takuti. Yang paling dia takuti adalah Allah SWT. Rasa
takut memerlukan ilmu terhadap yang di takuti. Oleh sebab itu yang
berilmu tentang Allah akan takut kepada-Nya. Muttaqin adalah orang-
orang yang memelihara diri mereka dari azab dan kemarahan Allah di
dunia dan akhirat dengan cara berhenti di garis batas yang telah di
tentukan, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya. Sedangkan Allah tidak memerintahkan kecuali yang baik
untuk manusia, dan tidak melarang kecuali yang memberikan mudharat
kepada mereka. (Yunahar Ilyas ,2007: 17)
Taqwa merupakan sikap mental sesorang yang selalu ingat dan
waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan
dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak
mudah terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Termasuk dalam takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai
berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan
tuntunan syari‟at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca:
bid‟ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana
saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa
kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi, sendirian atau
ketika berada di tengah keramaian di hadapan orang.
Seorang yang bertaqwa akan selalu menghambakan dirinya kepada
Allah SWT dan selalu menjaga hubungan dengannya setiap saat. Sehingga
dia dapat menghindari diri dari berbuat kejahatan dan kemunkaran serta
membuatnya selalu konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Memelihara
hubungan dengan Allah dimulai dengan melaksanakan ibadah secara
sunguh-sungguh dan ikhlas seperti mendirikan shalat dengan khusyuk
sehingga dapat memberikan warna di dalam kehidupan ini, melaksanakan
puasa dengan ikhlas dapat melahirkan kesabaran dan pengendalian diri,
menunaikan zakat dapat mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan diri
dari sikap tamak. Dan hati yang dapat mendatangkan sikap persamaan,
menjauhkan dari takabur dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Segala
perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya bukan untuk kepentingan
Allah sendiri melainkan merupakan untuk keselamatan manusia.
Ketaqwaan kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman
kepada Allah menurut cara-cara yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang
sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup
manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali „Imran [3] ayat 138,

‫َٰه َذ ا َبَياٌن ِّللَّناِس َو ُهًدى َو َم ْو ِع َظٌة ِّلْلُم َّتِقيَن‬


“Inilah (Al-Qur‟an) suatu ketenangan bagi manusia dan petunjuk
serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imran [3]:138)
Manusia juga harus beribadah kepada Allah dengan menjalankan
shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa selama sebulan penuh
dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali dalam seumur hidup, semua
itu dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Sebagai hamba Allah sudah sepatutnya bersyukur atas segala nikmat yang
telah diberikan-Nya, bersabar dalam menerima segala cobaan yang
diberikan oleh Allah serta memohon ampun atas segala dosa yang telah
dilakukan.

Hakikat Taqwa

Orang yang bertaqwa adalah orang yang menjalankan tiga hal


yaitu: iman, islam, dan ihsan. Kalau ketiga hal itu tidak dijalankan maka
belum dikatakan orang yang bertaqwa yang sebenarnya. Untuk lebih
jelasnya coba perhatikan beberapa ayat bawah ini yang menjelaskan
tentang hakikat taqwa:

‫َلْيَس اْلِبَّر َاْن ُتَو ُّلْو ا ُوُجْو َهُك ْم ِقَبَل اْلَم ْش ِرِق َو اْلَم ْغ ِر ِب َو ٰل ِكَّن اْلِبَّر َم ْن ٰا َم َن ِباِهّٰلل‬
‫ٰۤل‬
‫َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِر َو اْلَم ِٕىَك ِة َو اْلِكٰت ِب َو الَّنِبّٖي َن ۚ َو ٰا َتى اْلَم اَل َع ٰل ى ُحِّبٖه َذ ِوى اْلُقْر ٰب ى‬

‫َو اْلَيٰت ٰم ى َو اْلَم ٰس ِكْيَن َو اْبَن الَّس ِبْيِۙل َو الَّس ۤا ِٕىِلْيَن َو فِى الِّر َقاِۚب َو َاَقاَم الَّص ٰل وَة َو ٰا َتى‬

‫الَّز ٰك وَة ۚ َو اْلُم ْو ُفْو َن ِبَع ْهِدِهْم ِاَذ ا َعاَهُد ْو ا ۚ َو الّٰص ِبِر ْيَن ِفى اْلَبْأَس ۤا ِء َو الَّضَّر ۤا ِء‬
‫ٰۤل‬ ‫ٰۤل‬
‫َو ِح ْيَن اْلَبْأِۗس ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َص َد ُقْو ا َۗو ُاو ِٕىَك ُهُم اْلُم َّتُقْو َن‬

“Bukanlah menghadapkan wajahmu menghadap timur dan barat itu suatu


kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajiakan itu ialah beriman kepada
Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya terhadap kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat: dan orang-orang yang
menepati janji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang sabar: dan mereka
itulah orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)

‫ذِلَك اْلِكَتُب اَل َر ْيَب ِفيِه ُهًدى ِّلْلُم َّتِقيَن اَّلِذ يَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِباْلَغْيِب َو ُيِقيُم وَن الَّص َلَو ة َوِمَّم ا َر َز ْقَتُهم ُينِفُقوَن‬
‫َو اَّلِذ يَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِبَم ا ُأنِز َل ِإَلْيَك َو َم ا‬
)٤-٢ :‫) (البقرة‬٢( ‫ُأنِز َل ِم ن َقْبِلَك َو ِباآلِخَرِة ُهْم ُيوِقُنوَن‬

“Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang
yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendrikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan
kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab(Al-Qur‟an) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 2-4)

‫َو َس اِرُعوا ِإَلى َم ْغ ِفَر ٍة ِّم ن َّرِّبُك ْم َو َج َّنٍة َع ْر ُض َها الَّسَم َو ُت َو اَأْلْر ُض ُأِع َّد ْت ِلْلُم َّتِقيَن اَّلِذ يَن ُينِفُقوَن في‬
‫الَّس َر اِء َو الَّصراِء َو اْلَك ِظِم يَن اْلَغْيَظ َو اْلَع اِفيَن َع ِن الَّناِس َو ُهَّللا ُتِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن َو اَّلِذ يَن ِإَذ ا َفَع ُلوا َفنِح َش ًة‬
‫َأْو َظَلُم وا أنُفَس ُهْم َذ َك ُروا َهَّللا َفاْسَتْغ َفُروا ِلُذ ُنوِبِه ْم َو َم ن َيْغ ِفُر الُّذ ُنوَب ِإاَّل ُهَّللا َو َلْم ُيِص ُّر وا‬

۱۳۵-۱۳۳ :‫َع َلى َم ا َفَع ُلوا َو ُهْم َيْع َلُم وَن (آل عمران‬

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada


syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan unntuk orang-
orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya)
baik di waktu lapang dan sempit, orang-orang yang menahan amrahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat
mengampun selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali „Imran [3]:
133-135)

Dari beberapa ayat yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa


hakikat taqwa adalah memadukan secara integral aspek Iman, Islam dan
Ihsan dalam diri seseorang. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah
orang dalam waktu bersamaan menjadi mukmin, muslim dan muhsin.
Bertaqwa Secara Maksimal

Salah satu perintah Allah SWT yang banyak disebutkan dalam Al-
Qur‟an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah agar orang-
orang mukmin, berusaha mencapai tingkat/derajat taqwa. Taqwa kepada
Allah SWT sangat penting, karena dengan taqwa ini, seseorang
mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. Taqwa adalah buah
dari pohon ibadah. Ia merupakan tujuan utama dari setiap perintah ibadah
kepada Allah SWT. Taqwa yang sesungguhnya hanya diperoleh dengan
cara berupaya secara maksimal melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-larangannya. Ketaatan ini adalah ketaatan yang
tulus, tidak dicampuri oleh riya atau pamrih. Banyak sekali ayat-ayat Allah
maupun hadis Nabi SAW. yang menekankan perintah untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT. Di antaranya adalah firman Allah SWT :

‫يناها الذيَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َح َّق ُتَقاِتِه َو اَل َتُم وُتَّن ِإاَّل َو َأنُتم ُم ْس ِلُم وَن )آلعمران‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan


sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam .” (QS. Ali-Imran [3]: 102)

Taqwa kepada Allah artinya mempunyai kesadaran akan


kehadiran-Nya. Allah selalu dekat dan menyertainya, selalu mengawasi
setiap perbuatannya. sehingga menimbulkan kesadaran agar dia senantiasa
berhati-hati, jangan sampai menyimpang dari tuntunan, ajaran, dan
ketentuan-ketentuan Allah SWT. dalam kehidupan kesehariannya. Hal
tersebut akan mendatangkan ketentraman dan ketenangan hati serta
kesejahteraan dan keselamatan baik dalam kehidupan di dunia yang
sebentar ini, maupun dalam kehidupan di akhirat yang langgeng kelak.

Rasulullah SAW bersabda:

)‫لى هللا حيثما كنَت (رواه الترمذي‬


“Bertaqwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada.” (HR.
Timidzi: 1978)

Firman Allah SWT:

‫ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع نَد ِهللا َأْتَقَنُك ْم )الحجرات‬

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi


Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS. AlHujarat
[49]: 13)

Rasulullah SAW bersabda:

)‫إَّن َأْو َلى الَّناِس ِفي اْلُم َّتُقوَن َم ْن َك اُنوا َو َح ْيُث َك اُنوا (رواه ابن حبان‬

“Sesungguhnya seutama- utama manusia denganku adalah orangorang


yang bertaqwa, siapapun dan bagaimanapun keadaan mereka.” (HR. Ibnu
Hibban: 647)

Buah dari Taqwa

Apabila manusia bertaqwa kepada Allah, niscaya akan diberikan


banyak keuntungan. Ibaratnya pohon taqwa, jika terus disemai, disiram,
dipupuk dan dirawat, Insya Allah akan mengeluarkan buah yang ranum,
yang menyenangkan hati penanamnya. Maka bergembiralah penanam
pohon taqwa, karena dia akan menuai buahnya. Adalah beberapa buah
takwa sebagai berikut:

1. Mendapat Sikap Furqon


Furqan adalah “pembeda antara haq dan batil” jadi, orang yang
yang dikaruniai sikap furqan oleh Allah, maka dia akan mampu
membedakan mana perbuatan yang benar dan mana perbuatan yang
diridhoi oleh Allah, dan mana perbuatan yang tidak baik atau dilarang
oleh syari‟at. Dari sikap furqon ini dia selalu mengerjakan kebajikan
dan mampu menjaga diri dari perbuatan-perbutan yang dilarang Allah.
Sikap furqon ini menjadi kunci penyelamat di dunia maupun di
akhirat. Apalagi pada zaman sekarang ini, dimana kebenaran dan
kesalahan sudah tidak begitu kentara. Banyak manusia pada zaman
sekarang yang terperosok ke dalam perilaku maksiat karena pada
awalnya dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah salah,
apalagi kemasannya begitu indah mempesona.
‫ين الذين امنوا إن َتَّتُقوا هللا تجَع ل َّلُك ْم ُفْر َقاًنا َو ُيَك ِّفْر َعنُك ْم َس ِّيَئاِتُك ْم‬
٢٩: ‫َو َيْغ ِفْر َلُك ْم َو ُهَّللا ُذ و اْلَفْض ِل اْلَعِظ يِم (األنعم‬
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Dia akan
memberikan kepadamu Furqan dan akan menghapuskan kesalahan-
kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)-mu. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 29)
2. Mendapat Berkah dari Langit dan Bumi
Salah satu janji Allah apabila komunitas suatu tempat terdiri dari
orang-orang yang bertaqwa, maka Allah akan melimpahkan barokah,
sehingga kehidupan masyarakat di tempat tersebut aman dan tenteram.
Oleh karenanya perlu menjadi koreksi bersama, kenapa kehidupan
masyarakat masih belum terasa aman dan tenteram. Mungkin karena
masyarakat belum cukup disebut sebagai manusia yang bertakwa.

‫َو َلْو َأَّن َأْهَل اْلُقَر ى اَم ُنوا َو اَّتَقْو ا َلَفَتْح َنا َع َلْيِه م َبَر َك ِت ِم َن الَّس َم اِء َو اَأْلْر ِض‬
٩٦ : ‫َو َلِكن َك َّذ ُبوا َفَأَخ ْذ َتُهم ِبَم ا َك اُنوا َيْك ِس ُبوَن (األعرف‬
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al -A‟raf [7]: 96)
3. Mendapatkan Jalan Keluar Melaksanakan sebuah perbuatan, selalau
mendapatkan balasan.
Seseorang yang berbuat baik kepada sesama. Akan mendapat
keuntungan dicintai dan dihormati orang lain. Sebaliknya, perbuatan
jahat akan mendapatkan balasan pula. Demikian juga halnya dengan
seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT, konsekuensi dari
perbuatan taqwanya ialah memperoleh kebahagiaan yang hakiki,
hidupnya terasa tenang tenteram, walaupun banyak masalah yang dia
hadapi, karena setiap manusia tidak pernah terlepas dari
masalahmasalah hidup di dunia ini. Kadang susah dan terkadang
senang, tetapi dengan sebab mempertahankan nilai ketaqwaaan niscaya
akan dibukakan jalan keluar oleh Allah SWT dari masalah-masalah
yang mengihimpit hidupnya. Sebagaimana firman-Nya berikut:
٢ : ‫َو َم ن َيَّتِق َهللا َجَع ل له مخرجا (الطالق‬
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2)
4. Mendapat Rizqi tanpa Diduga-duga
Allah menjanjikan bagi orang bertaqwa bukan sekedar
mengeluarkan dari dari kesulitan bahkan Allah akan membukan pintu
rezeki bagi orang-orang yang bertaqwa dengan sungguh-sungguh dari
arah yang disangka-sangkanya.
٣ : ‫َو َيْر ُز ْقُه ِم ْن َح ْيُث اَل َتْح َتِس ُب (الطالق‬
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya.”
(QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
5. Mendapatkan Kemudahan dalam Urusannya
Orang-orang yang bertaqwa akan mendapatkan kemudahan dalam
urusannya, sehingga hidup terasa lebih tenang dan nyaman. Tidak ada
kamus putus asa dalam kehidupannya.
4:‫َو َم ن َيَّتِق َهَّللا َيْج َع ل َّلُه ِم ْن َأْم ِر ه ُيسًرا (الطالق‬
“Dan barang-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. AthThalaq
[65]: 4)
6. Dihapus kesalahannya, Diampuni Dosanya, dan Mendapatkan Pahala
yang Besar
Setiap manusia pasti memiliki dosa dan kesalahan, bahkan hingga
tiba saat menghadap Allah, manusia masih membawa dosa yang tidak
sedikit. Sungguh kenikmatan dan anugerah yang sangat besar bagi
orang yang bertaqwa karena kelak Allah akan menghapus
kesalahannya, diampuni dosanya dan mendapatkan pahala yang besar.
‫بايا الذين َو اَم ُنوا ِإن َتَّتُقوا َهَّللا َتْج َع ل َّلُك ْم ُفْر َقاَنا َو ُيَك ِّفْر َعنُك ْم‬
٢٩ :‫َس ِّيَئاِتُك ْم َو َيْغ ِفْر َلُك ْم َو ُهَّللا ُذ و اْلَفْض ِل اْلَعِظ يِم (األنفال‬

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami


akan memberikan kepadamu Furqan. Dan kami akan jauhkan dirimu
dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosadosa)mu.” (QS.
Al-Anfal [8]: 29)

٥: ‫ َو ُيْع ِظ ْم َلُه َأْج ًرا (الطالق‬،‫َو َم ن َيَّتِق َهَّللا ُيَك ِّفْر َع ْنُه َس ِّيَئاِتِه‬

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan


menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala
baginya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 5)

7. Dicintai Allah SWT


Suatu hal yang paling membahagiakan bagi seorang hamba
manakala dicintai oleh Allah SWT, karena Allah tidak akan
mendatangkan keburukan bagi hamba-Nya yang dicintai-Nya.
-
“Bukan demikian, sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)
nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Ali „Imran [3]: 76)
8. Disertai Allah SWT
Dengan kebersamaan Allah, manusia tidak menghadapi
permasalahan sendirian, dan tidak dibiarkan menentukan nsibnya
sendirian. Tetapi Allah akan memberikan bantuannya dan tegurannya
apabila kita melanggar batas aturan-Nya.
-
“Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 194)
9. Terjaga dari Tipu Daya
Sungguh sebuah anugerah apabila Allah menjaga manusia dari tipu
daya, sehingga kemudharatan yang ditimpakan kepadanya tidak akan
berarti apa-apa.
-
“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka
sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (QS. Ali
„Imran [3]: 120)
10. Terpelihara Dzurriyah Dha’if
-
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisa [4]: 9)
-
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka
berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu
menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan
bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.
Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak
dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 82)
B. Cinta dan Ridha
1. Cinta
Dalam KBBI kata cinta berarti suka sekali; sayang benar; terpikat
(antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu.
(Tim Penyusun Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 288) Sementara dalam
bahasa Arab disepadankan dengan kata hubb atau mahabbah yang
berasal dari kata ‫ً ة بَ ََ م ا و ب ح ح‬- ‫ بَ ِ ُحي‬- ‫ ب ح‬yang artinya mencintai
atau menyukai (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 229) Berkenaan
dengan mahabbah dalam terminologi keimanan, Suhrawardi pernah
mengatakan: “Sesungguhnya mahabbah adalah suatu mata rantai
keselarasan yang mengikat Sang Pencinta kepada kekasihnya; suatu
ketertarikan kepada kekasih, yang menarik Sang Pencinta kepadanya
dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya, sehingga pertama-tama ia
menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya
dalam genggaman qudrah Allah. (Suhrawardi, terj. Ilma Nugraha
Isma‟il, 1998: 185)
Cinta dengan pengertian demikian sudah merupakan fitrah yang
dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu
pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan
mulia. Bagi seorang mukmin, cinta pertama dan utama sekali diberikan
kepada Allah SWT. Allah lebih dicintainya dari pada segalasegalanya.
Dalam hal ini Allah berfirman:
-
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Seorang yang beriman sejak memproklamirkan bahwa tiada ilah
(ilah dapat berma'na yang dicintai) selain Allah dan beriltizam
(commit) sepenuh daya akan proklamasi diri ini, maka Allah telah
ditempatkan dan menempati tiang tertinggi cintanya. Mahabbatullah
(cinta akan Allah) memenuhi seluruh rongga dada dan merah hatinya.
Dari sanalah diturunkan rasa cinta kepada Rasul-Nya, orang-orang
beriman, sanak keluarga dan para kerabat.
Rasa cinta itu demikian bersangatan, mengalahkan cintanya kepada
anak dan istri, perniagaan yang dikhawatirkan kerugiannya. Cinta,
harap dan takut kepada rabb yang menciptakan dirinya, yang
memberinya rizki dan pertolongan. Lalu rasa takut cinta tak diterima-
Nya akan menambah-nambah rasa cinta itu. Sehingga seorang mukmin
amat sangat cintanya kepada Allah dan hasrat yang besar untuk
bertemu denganNya. Sebagai mana yang dijelaskan dalam surat At-
Taubah ayat 24:
-
“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istriistri
kau keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya
dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. “Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah [9]: 24)
Refleksi cinta adalah tunduk-patuh, menurut, taat akan perintah
Allah dan menjauhkan segala laranganNya. Mahabbatullah tidak
cukup sekedar di mulut lalu menyepi, menyendiri dan hanya
melaksanakan ibadah mahdoh (khusus) belaka tanpa melihat kondisi
kaum muslimin yang merealitas. Rasa cinta kepada Allah tidak cukup
dengan hanya menjadi seorang „abid (ahli ibadah) dan lari dari
kenyataan yang menimpa kaum muslimin. Tak cukup dengan
beribadah sendirian lalu ingin masuk surga sendirian. Mahabbatullah
bukanlah melulu dengan dzikir lisan sampai ludah penuh membasahi
tikar dan mengeringkan tenggorok, lalu mengaku wahdattul wujud
(bersatu dengan Allah) atau mengaku menjadi Allah. Rasa cinta
kepada Allah tidak cukup dengan itu semua, sama sekali tidak cukup,
apalagi di saat kaum Muslimin tertindas, hak-haknya terampas,
dipermalukan dan dihinakan.
Rasa cinta yang benar adalah sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah, tauhiddul uswah, dijalankan oleh generasi terbaik umat ini,
para awwalun Muslimin. Rasa cinta yang meresap pada setiap gerak
bibir, yang membasah dalam setiap tetes keringat, yang mengental
dalam setiap merah darah tubuh yang terluka, yang mengendap
bersama ruhhul jihad, yang memancar bersama denting pedang, helaan
tali kekang kuda, dan luncuran anak panah. Rasa cinta yang merealitas,
rasa cinta yang mewujud dan bukan sekedar angan-angan egoisme
dalam penyendirian. Rasa cinta yang muncul dari segenap daya dan
bukan melulu kata-kata dan sebatas kata-kata percintaan sufistik.
Cinta akan Allah mewujud dalam upaya menegakkan kalimat-Nya,
membangun „qiyadah‟ (kepemimpinan) yang memuliakan-Nya,
membangun kesatuan yang mengangkat „izzah‟ (kebanggaan) kaum
Muslimin, merebut kembali hak-hak kaum muslimin yang terampas,
membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, membebaskan
penyembahan manusia atas manusia, penyembahan manusia atas
materi dan kekuasaan, penyembahan manusia atas nafsu syahwat lalu
mengukuhkan tugas suci sebagai khalifah fil ardh, memainkan peran
untuk memberi rahmatan lil 'alamin. Mahabbatullah mestilah
mengambil bentuk dalam amal jama'i, amar ma'ruf nahi munkar.
Inilah cinta kepadaNya, cinta yang hidup, cinta yang mewujud,
cinta yang realistis, cinta yang mengental dalam akhlak Islam, cinta
yang melandasi setiap sikap cinta kepada mahluk, sikap yang
melandasi cinta kepada kaum Muslimin, Ahlul Bait Rasulullah, cinta
yang dicontohkan oleh manusia teladan, yaitu Muhammad SAW.
Sejalan dengan penjelasan di atas, ajaran cinta (mahabbah)
memiliki beberapa dasar dan landasan, baik dari Al-Qur‟an maupun
hadits, berikut ini penullis memaparkan beberapa dalil yang berkaitan
dengan cinta di antaranya:
1) Dalil-dalil dalam Al-Qur‟an. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 165:
-
“ Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat
besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang
yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
(QS. Al-Baqarah [2]: 165)
QS. Al-Maidah ayat 54
-
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,
yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-
Nya, dan Allah Maha luas (pemberianNya), lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Maidah [5]: 54)
QS. Ali - Imran ayat 31
-
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali „Imran [3]: 31)
2) Dalil-dalil dalam hadits Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai
berikut:
-
“Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan
merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih
ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang
kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran
sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari: 164)
-
“Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan
ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku
mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia
gunakan untuk mendengar; menjadi pengelihatannya yang ia
gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk
memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
(HR. Bukhari: 6502)
-
“Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya
daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR.
Bukhari: 149)
2. Ridha
Dalam bahasa Arab, kata ridha secara etimologi/bahasa berasal dari
lafaz َ ِ ‫ْ َ ضاة رَ ا ومً انَ ْ ضوً ضى ِو ر ِر‬- ‫ ى رَ ً ي‬- ‫ ضيَ ْ َ ض ر‬yang berarti
senang, suka, rela, puas, setuju. (Ahmad Warson Munawwir, 1997:
505) Di samping diperintahkan untuk cinta kepada Allah, seorang
muslim haruslah dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan
keputusan Allah SWT. Artinya dia harus bisa menerima dengan
sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang
dari Allah dan rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan maupun
petunjuk-petunjuk lainnya. Dia akan melaksanakan semua perintah,
meninggalkan semua larangan dan mengikuti semua petunjuk-
petunjuk-Nya juga dengan segala senang hati. Dia dapat ridha karena
dia mencintai Allah dan yakin bahwa Allah yang maha pengasih dan
penyayang, Yang Maha Mengetahui segalanya, Yang Maha Bijaksana
tentulah tidak akan membuang suatu aturan yang tidak sesuai atau
akan merugikan umat manusia makhluk ciptaan-Nya.
Dengan keyakinan seperti itu dia juga akan rela menerima segala
qadha dan qadar Allah terhadap dirinya. Dia akan bersyukur atau
segala kenikmatan , dan akan bersabar atas segala cobaan.
Demikianlah sikap cinta dan ridha kepada Allah SWT. Dengan
cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dan dengan ridha kita
mengharapkan cinta-Nya.
C. Ikhlas
Ikhlas secara etimologis berasal dari Bahasa Arab yang berakar
dari akar kata khalasha (‫( َص َل َ خ‬kemudian berderivasi menjadi akhlasha-
yukhlishu-ikhlashan ( ‫ ل اً َ الصْ ِ خ‬- ‫َ خِ ُح ْي‬- ‫ َص َل ْ حص ا‬yang ) ‫ إ‬berarti
bersih, jernih yang tidak bercampur dengan sesuatu apapun dan tulus.
(Ahmad Warson Munawwir, 2002: 359) Sementara dalam kitab Islamuna
yang ditulis Sayyid Sabiq mendefinisikan ikhlas secara terminologis
sebagai berikut:

“Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata mengharapkan ridha Allah


swt. dari perkataan, perbuatan, dan jihadnya, tanpa mengharapkan materi,
popularitas, julukan, perhatian, superioritas, atau pamrih, agar manusia
terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak tercela, sehingga
langsung berhubungan dengan Allah SWT.

Ikhlas merupakan batasan sifat yang paling tinggi dalam hati,


dikarenakan orang ikhlas akan selalu mengabdikan dirinya dalam
kehidupan di jalan Allah. Alangkah indahnya hidup ini jika ikhlas dapat
diterapkan dalam kehidupan di dunia.

Dalam kerangka yang lebih kecil dalam kehidupan, ikhlas dapat


diterapkan dalam sebuah perbuatan karena niscaya semua hal yang
diperbuat akan selalu mendapatkan kemudahan, kelapangan, dan ridho
dari Allah. Perbuatan atau pekerjaan apapun yang tidak didasari
keikhlasan akan mudah putus asa, tidak bisa langgeng, gampang goyah,
mudah rapuh, dan hasil dari kerjanya sangat buruk, kurang memuaskan.
Karena ia kerja bukan dorongan hatinya tetapi karena faktor lain. Bila
faktor lain yang diharapkan itu tidak kunjung tiba maka dengan sendirinya
pekerjaannya atau amal ibadahnya itu akan kendur dan berhenti begitu
saja.

Orang-orang yang melakukan perbuatan dengan didasari


keikhlasan, baik urusan pribadinya, masyarakat, dan agamanya, pasti akan
mengundang daya tarik yang hebat, memperoleh kejutan dan dukungan
yang berarti, mendapat bantuan dan dorongan untuk mencapai cita-
citanya. Dengan demikian maka semangatnya berkobar, kemauannya
semakin membakar, dan kesungguhannya semakin menyala-nyala karena
orang yang ikhlas akan sungguh-sungguh dalam melakukan aktivitasnya
sehingga ia akan tekun dengan pekerjaannya agar didapatkan hasil yang
sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita dan idamannya.

Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang melakukan pekerjaan


apapun tidak dengan ikhlas, bahkan setiap pekerjaannya dititikberatkan
pada suatu keuntungan yang akan didapatnya dan tidak jelas maka cepat
atau lambat aibnya akan terbongkar, pamrihnya akan diketahui dan orang-
orang di sekitarnya akan menghindar, teman dekatnya akan
melupakannya, pembantu maupun pengagum-pengagumnya akan tidak
mengindahkan dirinya lagi, karenanya semangatnya menjadi kendur,
kemauan dan gairahnya semakin lemah, dan akhirnya hati dan jiwanya
dihinggapi putus asa. Maka segala rencana berantakan, usahanya terhenti
dan ia menderita kerugian besar, hidup merasa tanpa suatu harapan dan
tujuan yang jelas. Orang yang ikhlas adalah orang yang beramal tanpa
pamrih, tidak mengharapkan balasan terhadap apa yang dikerjakannya dan
tidak peduli meskipun semua penghargaan atas dirinya hilang demi meraih
kebaikan hubungan kalbunya dengan Allah, dan orang tersebut tidak ingin
apa yang ia lakukan dipamerkan walaupun sebesar biji zarrah pun.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Az- Zumar ayat 14 :

“Katakanlah: "Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan


ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar
[39]: 14)

Dan dalam surat Al- An‟am ayat 162-163:

-
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An‟am [6]: 162-
163)

Menurut Yunahar Ilyas, persoalan ikhlas itu tidak ditentukan oleh


ada atau tidak adanya imbalan materi, tetapi ditentukan oleh tiga faktor :

1. Niat yang ikhlas

2. Beramal dengan sebaik-baiknya

3. Pemanfaatan hasil usaha dengan tepat. (Yunahar Ilyas, 2007: 30)

Pertama, niat yang ikhlas, karena semua amal perbuatan seseorang


diterima atau tidaknya disisi Allah tergantung niat. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung pada niat. Dan


sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya.
Barang siapa yang hijrah pada jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
itu ialah kepada Allah dan rasul-Nya. Barang siapa berhijrah karena ingain
memperoleh keduniaan, atau untuk mengawini seorang wnita maka
hijrahnya, maka hijrahnya ialah ke arah yang ditujunya itu.” (HR. Bukhari:
54)

Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai jawaban


atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif
keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
sababul wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah SAW dari
Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut
serta dengan Nabi SAW untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara
para sahabat yang ikut bersama Nabi SAW, ada salah seorang di antara
mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif
menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia
mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan
hijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah.

Berdasarkan riwayat, wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada


awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah bersama Rasulullah SAW,
tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap
dikawini di Madinah. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta
bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu
menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut
ditanyakan kepada Nabi SAW. Apakah orang tersebut mendapatkan
pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat
lain. Maka Rasulullah SAW bersabda bahwa: amal seseorang diberikan
pahala berdasarkan niat, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang
disebutkan di atas. (Rachmat Syafe‟i, 2000: 56)

Dari riwayat di atas, dapat diketahui bahwa niat sangat menentukan


diterima atau tidaknya amal seseorang olah Allah SWT. Dari itu para
ulama telah sepakat bahwa niat sangat penting dalam menetukan sahnya
suatu ibadah. Niat termasuk rukun pertama dalam setiap melakukan
ibadah. Seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah-ibadah yang lainnya,
bila dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang salah.

Kedua, Beramal dengan sebaik-baiknya (itqan al-„amal), Tidak


cukup niat yang ikhlas kalau tidak diikuti dengan amal yang baik.
Seoranag muslim yang mengaku dirinya ikhlas dalam melakukan sesuatu
harus dibuktikan dengan amal yang sungguh-sungguh atau beramal
dengan sebaik-bainya. Baik di dalam ibadah maupun amal-amal sholeh
lainnya walaupun amal itu kecil. Karena di akhirat nanti semua orang
sangat mengharapkan amal yang mereka perbuat di dunia ini walaupun
sangat kecil. Rasulullah SAW bersabda:
-

“Sesunguhnya Allah SWT, menyukai bila seorang beramal, dia


melakukannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Albani: 1113) Dan firman
Allah SWT:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2)

Orang-orang yang ikhlas dalam melakukan amal selalu berusaha


untuk bisa melakukannya dengan sempurna sesuai dengan syariat yang
telah ditentukan oleh Allah Ta'ala dan RasulNya. Kemudian dia akan
memohon kepada Allah ta'ala agar amal-amalnya dapat diterima. Karena
walaupun dia sudah berusaha untuk melakukannya dengan sempurna, akan
tetapi karena kelemahan dan kebodohannya masih belum bisa sempurna.
Dan dia juga selalu memohon ampun kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-
benarnya serta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki
dirinya agar dosanya dapat diampuni.

Ketiga, pemanfaatan hasil usaha dengan tepat (jaudah alada‟).


Unsur ketiga dari keikhlasan menyangkut pemanfaatan hasil yang
diperoleh. Misalnya menuntut ilmu Allah SWT dan belajar dengan rajin,
tekun dan disiplin, maka setelah berhasil mendapatkan ilmu itu, yang
ditandai dengan keberhasilannaya meraih gelar kesarjanaan, lantas
bagaimana dia memafaatkan ilmunya atau kesarjanaannya apakah dia
hanya memanfaatkan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri
(sekedar cari uang dan kedudukan atau bersenang-senag secara materi)
atau dia memamfaatkan juga untuk kepentingan Islam dan umat Islam
secara khusus dan kepentingan umat manusia secara umum? Apakah dia
memamfaatkan ilmunya pada jalan yang halal atau yang haram?
Semuanya itu menentukan keikhlasannya. Contoh lain pedagang. Setelah
dia luruskan motivasinya dan berusaha secara profesional, lalu setelah
berhasil mendapatkan kekayaan, untuk apa keakyaan itu
dimanfaatkannya? Apakah hanya sekedar untuk memuaskan hawa
nafsunya atau untuk kepentingan lain yang lebih mulia? apakah dia
belanjakan harta bendanya untuk kebaikan atau kemaksiatan? Hal inilah
yang menentukan keikhlasannya.

Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa ikhlas atau tidaknya
seseorang beramal tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya imbalan
materi yang dia dapat, tetapi ditentukan oleh niat, kualitas amal, dan
pemamfaatan hasil. Atau dengan kata lain tidak setiap yang gratis itu
otomatis ikhlas, dan tidak pula setiap yang dibayar itu tidak ikhlas.

Keutamaan Ikhlas

1. Ikhlas untuk keselamatan Aqidah


Ibadah yang dilakukan semata-mata ditujukan hanya untuk Allah,
bukan untuk yang lain selain Allah, misalnya seseorang beribadah
untuk mengharapkan sesuatu dari manusia. Allah SWT memerintahkan
untuk beribadah kepadanya dengan penuh keikhlasan dan beramal
semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Allah SWT berfirman:
-
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah
dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
-
“Katakanlah: “sesungguhnya shalatku, ibadahku,hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‟am [6]: 162)
2. Amal tanpa ikhlas akan sia-sia
Suatu amal yang tidak diiringi dengan keikhlasan akan sia-sia.
Keikhlasan adalah sebagai kunci utama diterimanya amal seseorang.
Tanpa keikhlasan, hanya kelelahan yang akan dirasakan, sedangkan
nilainya menjadi sia-sia, tidak memberikan sedikitpun pengaruhnya
bagi pelakunya dan tidak mendapatkan pahala dari sisi Allah.
Sungguh, seseorang akan mengalami kerugian di dunia dan akhirat,
bila tidak memiliki keikhlasan dalam beramal. Karena banyaknya amal
bukan jaminan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
-
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali
yang murni dan hanya mengharap ridho Allah.” (HR. Nasa‟i: 3140)
Orang yang ikhlas tidak pernah sombong dengan keberhasilan
yang diperolehnya, tidak pernah memamerkan apa yang dimilikinya,
dan tidak pernah memperdengarkan kebaik-baikannya. Rasulullah
mengucapkan selamat bagi orang yang selalu ihklas dalm beramal
sebagaimana sabdanya:
-
“Selamatlah para mukhlishin, yaitu orang-orang yang bila hadir tidak
dikenal, bila tidak hadir tidak dicari-cari. Mereka pelita hidayah,
mereka selalu selamat dari fitnah kegelapan.” (HR. Baihaqi: 6448)
3. Ikhlas akan membuat ketahanan dalam beramal
Sering kali orang merasa jenuh dalam melaksanakan amal
kebaikan, kenapa demikian? Salah satu penyebanya adalah tidak ikhlas
dalam beramal. orang yang tidak ikhlas akan cepat terbuai dan lupa
diri bila mendapatkan pujian, dan cepat berputus asa menghadapi
segala rintangan dalam perjuangan. Karena tujuan utamanya beramal
bukan karena mengharapkan ridha Allah semata, umpamanya ketika
bekerja hanya mengharapkan gaji semata, ketika belajar mengharapkan
nilai semata, ketika ibadah hanya pamer belaka, maka jangan kaget
ketika rasa jenuh, bosan dan malas akan dengan serta merta menyerap
pada dirinya. Sebaliknya orang ikhlas akan selalu bersemangat dalam
beramal dan selalu kontinyu dalam melakukannya tidak melakukannya
dengan setengah-setengah. Pujian tidak membuat dia terbuai, dan
cacian tidak membuat dia mundur karena yang dicarinya hanyalah
ridha Allah SWT semata.
4. Menjaga dari Maksiat
Saat sendirian kecenderungan berbuat maksiat akan lebih besar.
Kenapa? Karena merasa tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Namun, mereka tidak sadar dan malu bahwa ada yang mengawasinya
yaitu Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Mereka hanya
fokus pada pengelihatan manusia dan tidak terfokus dengan
pengawasan Allah. Dalam hal ini Allah SWT menjelaskan di dalam
surat An-Nisa [4] ayat 108 sebagai berikut :
-
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tak bersembunyi
dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam
mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tak ridhai. Dan
adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka
kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 108)
Mereka menyembunyikan (kejahatan mereka) dari manusia
sedangkan mereka tidak menyembunyikan (kejahatan mereka) dari
Allah. Padahal Allah ada bersama-sama mereka, ketika mereka
merancangkan pada malam hari, kata-kata yang tidak diridhai oleh
Allah dan (ingatlah) Allah sentiasa Meliputi Pengetahuan-Nya akan
apa yang mereka lakukan. Akan tetapi orang yang ikhlas selalu
menjaga dirinya dari kemaksiatan baik di tempat sepi maupun ramai.
Riya’ Menghapuskan Amalan
Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah
ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak
henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari
keikhlasan. Salah satunya adalah melalui pintu riya‟ yang banyak tidak
disadari setiap hamba. Riya‟ merupakan lawan dari kata ikhlas, kalau
ikhlas ialah melakuakan sesuatu karena Allah SWT, sedangkan riya‟
ialah melakukan sesuatu bukan karena Allah. tetapi karena ingin dipuji
atau karena pamrih lainnya.
Untuk lebih jelasnya apa sebenarnya riya‟ itu? Untuk menjawab
pertanyaan ini mari dilihat definisi riya dari dua sudut pandang definisi
yaitu dari segi etimologis dan terminologis :
Secara etimologis riya‟ ) ( ‫ ح اءَ يِّ الر‬adalah akar dari kata: -‫راءى‬
‫راءي‬ÄÄ‫ي‬-‫اء‬ÄÄ‫ )ورءاٌء ري‬memperlihatkan). Sedangkan secara terminologis
syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi riya'.
Tetapi intinya sama, yaitu:
-
"Seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah,
tetapi ia melakukan bukan karena Allah melainkan karena tujuan
dunia.” (Umar Sulaiman, 1415 H: 94) Sedangkan Al-Qurtuby
mengatakan :
-
“Hakikat riya adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan
pada asalnya adalah mencari posisi tempat di hati manusia.” (Al-
Qurtuby, 1913: 144)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya‟ adalah
melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah,
melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal
kebaikannya kepada orang lain supaya mendapatkan pujian atau
penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan
penghormatan padanya. (Shodiq Abdullah, 2006: 137)
Macam-macam Riya’
Riya’ banyak macamnya diantaranya adalah riya‟ yang berasal dari
badan, riya‟ yang berasal dari pakaian dan gaya, riya‟ dengan
perkataan, riya‟ dengan perbuatan, dan riya‟ dengan teman. Riya‟
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ar-riya‟ bi an-niyah (riya‟ dengan niat) yaitu ketika mengawali
perbuatan, dia tidak didasari dengan niat yang ikhlas namun didahuli
oleh niat riya,‟ yang dia inginkan hanyalah untuk mendapatkan
pujian, sanjungan dan penghargaan dari orang lain. Kalau niat
seseorang seperti ini walaupun keliatannya perbuatan akhirat dia
tidak akan mendapatkan pahala dari Allah, yang dia dapatkan
hanyalah apa yang dia niatkan itu. Sebaliknya kalau niatnya itu
didasari dengan niat karena Allah maka perbuatan itu mempunyai
nilai di sisi Allah yaitu diberi pahala olehnya. Karena itu Rasulullah
SAW bersabda:
-
“Aku mendengar Umar bin al Khathab berkata di atas mimbar,„aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya segala
perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap
orang memperoleh sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari: 54)
3. Ar-riya’ bi al-amal/al-hal (riya‟ dengan perbuatan) yaitu memamerkan
atau menunjukkan perbuatan di depan orang banyak, agar perbuatan
tersebut dipuji, diperhatikan, dan disanjung orang lain. Di antara
contoh riya dalam perbuatan, bila seorang pelajar terlihat belajar
dengan sungguh-sungguh hanya karena ingin mendapat nilai yang
bagus. Dan dia melakukan hal itu kepada orang tuanya hanya karena
ingin mendapatkan apa yang dia minta dari orang tuanya agar cepat
terkabul.
Beberapa penjelasan Allah SWT dalam Al-Qur‟an sehubungan
dengan riya‟ dalam perbuatan antara lain:
a. Bershodaqoh yang didasari oleh riya‟. Firman Allah SWT:-
-
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(persaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari kemudian, maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu di timpa hujan lebat,
lalu mejadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 264)
b. Melakukan ibadah sholat dengan didasari riya‟, firman Allah
SWT:
-
“Maka celakalah orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (QS. AlMa‟un
[107]: 4-6)
c. Allah melarang berperang orang yang didasari riya‟. Firman Allah
SWT:
-
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari
kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada
manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu)
Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal [8]:47)
Bahaya riya’
Riya’ adalah salah satu penyakit hati yang selalu menyerang
kepada seseorang yang melakukan ibadah atau aktivitas tertentu
lainnya. Penyakit ini termasuk jenis penyakit yang sangat berbahaya
karena bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak luar biasa.
Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga
kebanyakan orang tak merasa kalau telah terserang penyakit ini. Dan
berdampak luar biasa, karena bila suatu amalan dijangkiti penyakit
riya‟ maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah SWT dan
pelakunya mendapat ancaman keras dari Allah SWT. Oleh karena itu
Rasulullah SAW menamai riya‟ dengan syirik kecil. Dan nabi
Muhammad sangat khawatir bila penyakit ini menimpa umatnya. Nabi
SAW bersabda:
-
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian
adalah syirik kecil”. Sahabat berrtanya:“Apa syirik kecil itu ya
Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Riya” (HR. Ahmad: 23589)
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah SWT berfirman:
-
“Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu, barang siapa yang
melakukan amalan yanag menyengutukan aku dengan yang lain, maka
aku berlepas diri darinya, maka amalannya itu untuk sekutu itu.”
(Hadis Qudsi Riwayat Muslim).
Di samping riya‟ termasuk dalm katagori syirik kecil dan riya‟
juga termasuk dalam sifat orang-orang munafik. Sebagaimana firman-
Nya:
-
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah
akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya dihadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
(QS. An-Nisa‟ [4]: 142)
D. Khauf dan Raja’
Khauf dan Raja‟ adalah dua hal yang saling berhubungan. Orang
yang takut adalah orang yang sekaligus juga berharap. Bukankah orang
yang takut kepada Allah berharap akan kasih sayang-Nya sehingga dengan
ketakutannya itu manusia senantiasa berada di jalan yang lurus, tidak
terjerumus ke dalam keputusasaan atau merasa aman dari azab Allah.
Khauf dan raja‟ merupakan motivator yang dapat menggerakkan dan
membimbing kepada kebaikan dan ketaatan serta giat dalam menjalankan
kebaikan dan ketaatan, juga giat menjauhi larangan, meninggalkan
kejahatan dan kemaksiatan.
1. Khauf
Khauf adalah takut kepada Allah SWT dengan mempunyai
perasaan khawatir akan adzab Allah SWT yang akan ditimpakan
kepadanya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khauf (
‫( ٌف ْ وَ خ‬adalah kata benda yang memilliki arti ketakutan atau
kekhawatiran khawatir sendiri mearupakan kata sifat yang bermakna
takut (cemas/gelisah) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan
pasti. Sedangkan takut adalah kata sifat yang memiliki makna seperti
merasa gentar menghadapi sesuatu yang dianggap mendatangkan
bencana; taqwa; tidak berani; (berbuat, menempuh, menderita dan
lainlain); dan gelisah atau khawatir. (Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990: 436, 888)
Menurut Imam Qusyairy, takut kepada Allah berarti takut terhadap
hukum-Nya. Menurutnya khauf adalah masalah yang berkaian dengan
kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika
apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian
hanya terjadi di masa depan. (Al-Qusyairy An-Naisabury, 2000: 123)
Ibnu Qahbik Berkata, “makna khauf menurutku adalah berdasarkan
waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada Allah saat ia dalam keadaan
aman”. Menurutnya orang yang takut adalah orang yang lebih takut
akan dirinya sendiri dari pada hal-hal yang ditakutkan syaitan.
(Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Thusi, 2007: 56) Menurut Ahmad
Faridh, khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk
menggiring hambahamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan
keduanya itu mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf adalah
kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan
menimpa diri di masa mendatang. Khauf dapat mencegah hamba untuk
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam
ketaatan. (Ahmad Faridh, terj. Nabhani Idris, 1989: 179)
Dalam Al-Qur‟an kata „khauf‟ diulang sebanyak seratus dua puluh
kali di antara ayat-ayat yang berkaitan dengan khauf adalah sebagai
berikut:
1. Firman Allah SWT:
-
“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti
(kamu) dengan teman-teman setianya (orang-orang musyrik
Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi
takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.
Ali Imran [3]:175)
2. Firman Allah SWT:
-
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap
mendirikan sholat, membayar zakat, dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah (saja), maka mereka itulah yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. At Taubah [9]: 18)
Macam-macam Khauf
Khauf adalah suatu sisi yang dimiki oleh makhluk ciptaan Allah
SWT. Ketakutan dalam diri manusia seringkali dikaitkan dengan hal
yang buruk, semisal takut miskin, takut tidak sukses. Namun ketakutan
manusia juga dapat berarti baik, jika ketakutan itu seperti halnya takut
kepada Allah, takut mengganggu orang lain, takut menyepelekan
waktu. Khauf disini lebih mendalam lagi, karena ini bukan sembarang
ketakutan seperti yang diperbandingkan di atas. Khauf (ketakutan)
yang hanya dimiliki oleh orang yang membentengi dirinya dengan
iman, mendasari pahamnya kembali pada Islam, menilik tiap
langkahnya bersamaan dengan ihsan. Ketika seorang sudah
membentengi dirinya dengan iman, maka niscaya dia akan takut
berbuat yang dilarang oleh agamanya. Dalam hal ini khauf dibagi
menjadi tiga bagian:
a. Khauf thabi‟i, khauf seperti ini hampir dimiliki semua orang.
Misalnya, takut terhadap ular. Hampir semua orang takut dengan
ular (kecuali pawang ular), takut kalau-kalau ular tersebut
menggigit dirinya. Atau takut terhadap anjing, kucing, harimau,
bahkan hal-hal yang menurut ebagian yang lain merupakan hal
yang tidak menakutkan. Juga bisa berupa takut terhadap gelap,
kuburan atau tempat-tempat yang menyeramkan lainnya. Dan
reaksi dari rasa takut ini hampir seragam, yaitu berlari menghindar.
Jenis takut ini tidaklah sampai menjerumuskan sesseorang dalam
dosa karena ia merupakan sifat dasar dari manusia, asalkan
takutnya tidak berlebihan.
b. Khauf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu
sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang
seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta‟ala.
Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
c. Khauf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau
wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan
pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka
para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik. Khauf
seperti ini juga tidak di perbolehkan.
Khauf yang sebenarnya dalam Islam hanyalah khauf kepada Allah,
bagi setiap orang yang mengaku dirinya beriman. Allah SWT
berfirman:
-
“ Mengapakah kamu tidak memerangi orang yang merusak sumpah
(janjinaya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir
Rasul, dan merekalah yang pertama kaali memualai memerangi kamu?
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang
berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang beriman.”
(QS. At-Taubah [9]: 13)
Bukan berarti khauf kepada Allah dia lari dari Allah sehingga dia
jauh darinya tetapi sebaliknya dengan khauf dia lebih dekat dengan
Allah. Karena dengan khauf kepada Allah seseorang itu mampu
menahan angota-angota tubuh dari mengerjakan kemaksiatan dan
mengikatnya dengan ketaatan. Akan tetapi kalau khaufnya lemah
justru akan mendorong seseorang untuk lalai dan berani mengerjakan
dosa, sedangkan berlebih-lebihan dalam khauf akan menyebabkan
patah semangat dan keputusasaan. Khauf kepada Allah adakalanya
karena ma‟rifatullah (mengetahui Allah), mengetahui sifatsifat-Nya,
serta mengeatahui bahwa bila Allah inggin membinasakan seluruh
alam, dia tidak akan peduli, dan tidak akan bisa dihalangi oleh siapa
pun, adakalanya karena banyaknya kesalahan hamba, karena
mengerjakan maksiat, dan terkadang karena keduanya sekaligus,
pengetahuaannya tentang aib dan kekurangan dirinya serta kebesaran
Allah, dan Allah tidak mebutuhkan hamba, dan Allah tidak akan
ditanya tentang berbagai tindakan-Nya, sementara manusia akan
ditanya, sesua dengan kekuatan khaufnya. Dengan demikkian, orang
yang paling takut kepada Tuhannya adalah orang yang paling tahu
dengan dirinya dan Tuhannya. Oleh karena itu, RasulAllah SAW
bersabda:
-
“.... Demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara
kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku
shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci
sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari: 4675)
Allah SWT berfirman :
-
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)
Tingkatan khauf kepada Allah dibagi menjadi dua tingkat:
a. Takut karena azab Allah, khauf seperti ini merupakan khauf
umumnya semua manusia, khauf ini berhasil dengan iman akan
syurga dan neraka.
b. Takut kepada Allah, khauf seperti ini adalah khauf para ulama dan
orang yang mempunyai hati yang mengetahui sifat-sifat Allah.
Khauf ini lebih tinggi derajatnya.
2. Raja’
Raja’ َ adalah mengharap ridho, rahmat dan pertolongan kepada Allah
SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya, atau suatu jiwa yang sedang
menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT,
setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang
diharapkannya. Jika seseorang mengharap ridha, rahmat dan
pertolongan Allah SWT, niscaya dia harus memenuhi ketentuan Allah
SWT. Jika dia tidak pernah melakukan shalat ataupun ibadah-ibadah
lainnya, jangan harap meraih ridha, rahmat, dan pertolongan Allah
SWT. Menurut Imam Al-Ghazali, raja‟ adalah kesenangan hati untuk
menunggu apa yang disukainya. (Al-Ghazali, Terj. Prof. Ismail
Ya‟kub 1985: 6) Sedangkan menurut Ahmad Faridh, raja‟ berarti
berharap akan sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja‟ yang
benar adalah apabila raja‟ itu mendorong seseorang untuk berbuat
ketaatan dan mencegah dari kemaksiatan. Raja‟ yang sia-sia adalah
harapan yang hanya berupa angan-angan. Dia berharap tetapi tetap
tenggelam dalam kemaksiatan. (Ahmad Faridh, terj. Nabhani Idris,
1989: 171-173)
Firman Allah SWT:
-
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihat di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat,
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 218)
Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa sikap raja' (berharap) tidaklah
dilakukan kecuali setelah mengerjakan sebab-sebab memperoleh
keberuntungan. Adapun raja' yang diiringi sikap malas dan tidak
mengerjakan sebab, maka hal ini merupakan kelemahan dan ghurur
(tipuan). Hal itu menunjukkan lemahnya semangat yang ada pada diri
sesesorang dan lemah akalnya. Tidak bedanya dengan orang orang
yang ingin punya anak, tetapi tidak menikah atau menginginkan hasil
dari tanahnya, namun tanahnya tidak ditaburi benih dan tidak disirami.
Pada kata-kata "mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah"
terdapat isyarat bahwa jika seorang hamba mengerjakan amalan apa
pun bentuknya, jangan sampai bersandar dan bergantung kepada
amalan itu, bahkan hendaknya ia mengharapkan rahmat Tuhannya, ia
mengharap agar amalnya diterima, diampuni dosa-dosanya dan aib-
aibnya ditutupi.
Sebagai seorang mukmin haruslah memiliki sikap raja‟. Karena
dengan sifat raja‟ dia tidak mudah putus asa. Bila beribadah dan
beramal, dia punya harapan bahwa ibadah dan semua amalnya pasti
akan diterima sisi Allah SWT dan pasti akan dibalas oleh Allah SWT
dengan balasan yang berlipat ganda. Bila dia berbuat dosa, kemudian
menyadarinya, dia segera minta ampun dan penuh harap Allah SWT
dan mengmpuninya. Dia yakin Allah SWT Maha Pengasih dan Maha
Penyayang dan Maha Pengampun terhadap hamba-hamba-Nya.
Sifat Raja‟ kepada Allah SWT yang dimilki oleh orang yang
beriman tentu dalam hidupnya akan bersikap:
a. Optimis
Optimis adalah sikap yang terus menerus berharap bahwa
rahmat Allah pasti ada sehingga dalam beramal dia tidak mudah
putus asa, kalau orang yang punya sikap optimis dia yakin bahwa
apa yang diperbuatnya itu pasti akan mendapatkan balasan dari
Allah SWT. Sebaliknya tidak boleh pesimis dari rahmat Allah,
karena sifat pesimis merupakan sikap orang-orang kafir. Allah
SWT berfirman:

-
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, malainkan
kaum yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87)

Rasullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) seratus


bagian, maka dipeganglah di sisi-Nya sembilan puluh sembilan
bagian dan diturunkannya satu bagian untuk seluruh makhlukNya,
sekiranya orang-orang kafir mengetahui setiap rahmat (kasih
sayang) yang ada di sisi Allah, niscaya mereka tidak akan berputus
asa untuk memperoleh surga, dan sekiranya orang-orang mukmin
mengetahui setiap siksa yang ada di sisi Allah, maka ia tidak akan
merasa aman dari neraka.” (HR. Bukhari: 5988)
b. Dinamis
Dinamis adalah sikap untuk terus berkembang, berfikir
cerdas, kreatif, rajin, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan.
Orang yang bersikap dinamis tidak akan mudah puas
dengan prestasi-prestasi yang ia peroleh, tetapi akan berusaha terus
menerus untuk meningkatkan kualitas diri. Inilah ajaran dinamis
seperti yang terkandung dalam Q.S Al-Insyirah 7,
-
“Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu urusan, maka
bergegaslah untuk menyelesaikan urusan yang lain.” (QS.
AlInyiroh [94]: 7)
c. Berfikir Kritis
Beberapa ciri orang yang memiliki sifat berfikir kritis antara lain:
1) Menanggapi atau memberikan komentar terhadap sesuatu
dengan penuh pertimbangan.
2) Bersedia memperbaiki kesalahan
3) Dapat menganalisa sesuatu yang datang kepadanya secara
sistematis
4) Bersikap cermat, jujur dan ikhlas
5) Adil dalam memberikan kesaksian tanpa melihat siapa
orangnya walaupun merugikan.
6) Keadilan ditegakkan dalam segala hal

Islam mengajarkan bahwa tidak boleh berputus asa dari rahmat


Allah, apa lagi masalah harapan untuk mendapatkan ampunan dari
Allah SWT bukankah rahmat Allah lebih luas dari marah-Nya?
Bukankah Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa anak Adam
sekalipun dosa-dosa itu bertumpuktumpuk seperti gunung. Untuk
lebih jelasnya perhatikanlah beberapa nash berikut ini:

“Katanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap


diri mereka sendiri, jannganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

“Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk, Allah tuliskan di


dalam kitab-Nya, yang kitab itu berada di sisiNya di atas Arsy,
yang isinya adalah: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan
kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari: 3194)

engkau berdoa dan mengharap kepada-Ku, nisacaya aku ampuni


dosa-dosamu, dan aku tiada akan peduli. Wahai Bani Adam! Jika
sekiranya dosa dan kesalahanmu setinngi awan, lalu engkau
memohon ampun kepada-Ku, niscaya aku ampuni.Wahai Bani
Adam! Andai engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa
sebanyak isi bumi kemudian engkau mati dalam keadaan tidak
menyekutukan Aku dengan sesuatupun, niscaya Aku akan datang
kepadamu dengan membawa ampunan seisi bumi pula!” (HR.
Tirmizi: 3540)

“Sesungguhnya Allah selalu mengulurkan tangan-Nya malam hari


untuk mengampuni dosa-dosa yang dilakuakan siang hari, dan
mengulaurkan tangan-Nya siang hari, untuk mengampuni dosadosa
yang dilakukan malam hari. Begitu sampai matahari terbit dari
barat.” (HR. Muslim: 6816)

Akhirnya sekali lagi kita katakan bahwa kedua sikap itu,


khauf dan raja‟ harus berlangsung sejalan dan seimbang dalam diri
seorang muslim. Kalau hanya membayangkan azab Allah
seseorang akan berputus asa untuk dapat masuk syurga, sebaliknya
kalau hanya membayangkan rahmat Allah semua merasa dapat
masuk syurga. Rasulullah SAW bersabda:

“Kalau seseorang mukmin mengetahui sikasaan yang ada di sisi


Allah maka tidak seorang pun maka tiadak seorangpun dapat
berharap masuk syurga. Dan jika orang kafir mengetahui rahmat
yang ada disisi Allah tidak seorang pun berputus asa untuk masuk
syurga.” (HR. Muslim: 6807)

E. Tawakal
Secara etimologi, kata tawakal berasal dari bahasa Arab, yaitu:
‫توكل‬،‫يتوكٌل‬،‫ توكاٌل‬dan di dalam Kamus Munawir di sebut ٌ ‫)توكل اهلٌل على‬
bertawakkal, pasrah kepada Allah). (Ahmad Warson Munawwir, 2002:
1579) Sedangkan menurut Poerwadarminta, tawakal berarti berserah
(kepada kehendak Tuhan), dengan segenap hati percaya kepada Tuhan
terhadap penderitaan, percobaan dan lain-lain. (1976: 1026). Sedangkan
tawakkal menurut terminologi, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh beberapa pakar berikut:
a. Amin Syukur dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Studi Islam”
dengan singkat menyatakan, tawakal artinya memasrahkan diri kepada
Allah. (Amin Syukur, 2000: 173).
b. Imam Qusyairi dalam bukunya yang berjudul Risalah Qusyairiyyah
menjelaskan bahwa: menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, syarat
tawakal sebagaimana yang diungkapkanoleh Abu Turab An-Nakhsyabi
adalah melepaskan anggota tubuh dalam penghambaan,
menggantungkan hati dengan ketuhanan, dan bersikap merasa cukup.
Apabila dia diberikan sesuatu, maka dia bersyukur, Apabila tidak,
maka dia bersabar. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud
tawakal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu dan
melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Seorang hamba akan
selalu memperkuat ketawakalannya apabila mengerti bahwa Allah
SWT. selalu mengetahuinya dan melihat segala sesuatu. Abu Ja'far bin
Farj mengatakan, "Saya pernah melihat seorang laki-laki yang
mengetahui Unta Aisyah karena dia sangat cerdik. la dipukul dengan
cambuk. Saya bertanya kepadanya, "dalam keadaan bagaimana
sakitnya pukulan lebih mudah diketahui?' Dia menjawab, 'Apabila kita
dipukul karena dia, maka tentu dia mengetahuinya". Husin bin
Manshur pernah bertanya kepada Ibrahim Al-Khawwash, "Apa yang
telah engkau kerjakan dalam perjalanan dan meninggalkan padang
pasir?" "Saya bertawakal dengan memperbaiki diriku sendiri.” (Al-
Qusyairy An-Naisabury, 2000: 228-229)
c. Menurut, tawakal adalah pengendalian hati kepada Tuhan Yang Maha
Pelindung karena segala sesuatu tidak keluar dari ilmu dan kekuasaan-
Nya, sedangkan selain Allah tidak dapat membahayakan dan tidak
dapat memberinya manfaat. (Al-Ghazali Khalil „Aid, 1995: 290)
d. Menurut Muhammad bin Hasan asy-Syarif, tawakal adalah orang yang
mengetahui bahwa hanya Allah penanggung rizkinya dan urusannya.
Oleh karena itu ia bersandar kepada-Nya semata-mata dan tidak
bertawakal kepada selain-Nya.
e. Menurut, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, tawakal adalah menyerahkan diri
kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Dari beberapa definisi
di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa tawakal adalah penyerahan
segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah Swt
serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan
kemaslahatan atau menolak kemudaratan. (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
2001: 534)

Berdasar pendapat para pakar di atas di dalam mendefinisikan tawakal


dapat disimpulkan bahwa tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah
setelah melakukan usaha secara maksimal. Seseorang yang berusaha
secara maksimal untuk mencapai suatu keinginan atau cita-cita, setelah itu
dia menerima dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah atas hasil yang
akan dia dapatkan, orang ini disebut bertawakal. Orang yg bertawakal,
maka ia termasuk orang yang berakhlak mulia.

Rasulullah SAW telah mengaambarkan makna tawakkal dalam sebuah


riwayat sebagaimana yang dilukiskan dalam sabdanya:

“Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Khafsin Amru bin Ali dari
Yahya bin Said al-Qathan dari al-Mughirah bin Abi Qurrah alSadusyi
berkata saya telah mendengar Anas bin Malik r.a berkata: Telah datang
kepada Rasulullah SAW. seorang laki-laki yang hendak meninggalkan
unta yang dikendarainya terlepas begitu saja di pintu masjid, tanpa.
ditambatkannya lebih dahulu. Dia bertanya: Ya, Rasulullah! Apakah unta
itu saya tambatkan lebih dahulu, kemudian baru saya tawakal; atau saya
lepaskan saja dan sesudah itu saya tawakal ? Rasulullah SAW. menjawab:
"Tambatkan lebih dahulu, baru engkau tawakal.” (HR. Tirmidzi : 2517)
Dari redaksi hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa
Rasulullah memerintahkan kepada laki-laki itu untuk mengikatkan
untanya lebih dahulu, sebagai satu ikhtiar, supaya unta itu jangan lari.
Tidak boleh menyerah begitu saja kepada nasib dan keadaan, tapi harus
ada usaha. Mengenai masalah tawakkan orang Islam hanya di perbolehkan
bertawakal kepada Allah semata. Allah SWT berfirman:

“Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib di langit dan dibumi dan
kepadanyalah dikemblikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah dia,
dan bertawakallah kepadanya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11]: 123)

Tawakal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang


beriman bahwa semua urusan kehidupan, dan semua manfaat dan
mudharat ada di tangan Allah, akan menyerahkan segala sesuatunya
kepada-Nya dan akan ridha dengan segala kehendak-Nya. dia tidak takut
menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya
tenang dan tentram, karena yakin dengan keadilan dan ramat Allah.” Oleh
sebab itu Islam menetapakan bahwa iman harus diikuti oleh sikap tawakal.
Allah SWT berfirman:

“Dan hanya kepada Allah hedaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah [5]: 23)

“(Dialah) Allah tidak ada tuhan (yang berhak disembah selain Dia). Dan
hendakklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.” (QS. At-
Taghabun [64]: 13)

Tawakal dan Ikhtiar


Sesungguhnya, pembekasan tawakal itu nampak dalam gerak-gerik
seorang hamba. Bekas-bekas ketawakalan bisa dilihat jika orang tersebut
berusaha dengan ikhtiarnya. Jadi, ikhtiar itu adalah usaha. Seseorang yang
sakit wajib hukumnya untuk berobat. tidak boleh berpasrah diri begitu saja
ketika sakit. Orang yang mati dalam keadaan tidak berikhtiar, maka sama
saja orang tersebut mati bunuh diri. Ada kalanya usaha tersebut dilakukan
untuk menarik manfaat, yaitu seperti bekerja. Jika seseorang bekerja di
kantor misalkan yang itu ada gajinya, maka hal ini merupakan usaha
(ikhtiar) untuk hidup. Kalau sudah memperoleh manfaat, kemudian dia
pelihara manfaat itu, maka ini adalah bagian dari tawakal. Dalam hal ini
harus pula diingat, bahwa jangan bersikap mubazir. Memelihara manfaat
atau harta yang diperoleh itu adalah dengan menyimpannya, sebagian
disimpan untuk keperluan darurat. Janganlah jika dihari ini mendapatkan
rezeki yang hari itu juga akan habis. makanya dianjurkan untuk
menghemat.

Jika suatu waktu harta itu hilang, maka janganlah khawatir, karena
sudah melakukan ikhtiar. Jika terjadi seperti ini, maka camkanlah di dalam
hati, bahwa Tuhan pasti menyimpan sesuatu yang tidak berkah di dalam
harta itu, sehingga Tuhan kemudian mengambilnya melalui orang lain.
Janganlah bersedih jika suatu waktu mengalami kehilangan harta.
Yakinlah, bahwa pasti ada sesuatu yang tidak bermanfaat seandainya harta
itu tetap tinggal bersama dengannya. Tak usah meratapi barang yang
hilang, sebab apa yang telah hilang itu belum tentu akan kembali.

Ikhtiar juga dilakukan untuk memelihara dari kemelaratan, yaitu


seperti menolak orang-orang yang menyerang, menolak pencuri, ataupun
menolak binatang buas. Dalam hal ini, tidak boleh berpasrah saja jika
menghadapi halhal tersebut. Selain itu, ikhtiar juga dilakukan untuk
menghindari dari penyakit, yaitu seperti meminum obat. Jika sakit, lalu
kemudian tidak mengobatinya, maka hal ini bukanlah tawakal, melainkan
telah melakukan dosa.
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa mengikuti
sunnah Rasulullah tentang hukum sebab dan akibat. Usaha harus selalu
dilakukan. Perhatikan, dalam situasi perang, sewaktu shalat pun kaum
muslimain tidak boleh menanggalkan senjata. Allah SWT berfirman:

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu


kamu hendak mendirikan shalat berama- sama mereka, maka hendak
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan seraka‟at), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi muduh) dan hendaklah datang segolongan
yang kedua yang belum shalat, shalat denganmu dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bedamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligu.” (QS. An-Nisa‟ [4]: 102)

Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk tetap
selalu waspada, tidak lalai atau acuh tak acuh:

“Hai orang yang beriman, bersiap siagalah kamu dan majulah (kemedan
pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama.” (QS.
An-Nisa‟ [4]: 71)

Rasulullah SAW juga mengajarkan bagaimana harus berusaha


melakukan tindakan preventif untuk mengindari bahaya dan penyakit.
Beliu bersabda:

“Apablia kamu mendengar ada wabah penyakit di suatu daerah, maka


janganlah kamu memasuki daerah itu. Apabila wabah itu sedang
berjangkit di daerah dimana kamu berada, maka janganlah kamu kelaur
dari daerah itu.” (HR. Bukhari: 5728)

Matikan lampu-lampu diwaktu malam sebelum kamu tidur. Ikatlah pundi-


pundi air dan tutuplah mkanan dan minuman.” (HR. Bukhari: 50)

Keutamaan Orang Yang Tawakkal

1. Dapat membuktikan keimanan yang benar, orang yang bertawakal


merupakan orang yang dapat membuktikan keimanannya, karena salah
satu ciri orang beriman adalah bertawakal kepada Allah SWT.
2. Memperoleh jaminan rezeki, Rasulullah SAW bersabda:
-
“Seandainya kalian bertawaqal kepada Allah dengan tawaqal yang
sebenar-benarnya, kalian pasti diberikan rezeki sebagaimana burung
yang diberi rezeki, ia pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong,
kemudian pulang pada sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR.
Tirmidzi: 2344)
3. Memperoleh kecukupan dari apa yang di butuhkan, orang yang
bertawakal kepada Allah akan dicukupkan apa yang jadi keperluan
dalam hidup. Bila dari sisi jumlah tidak cukup, paling tidak dengan
bertawakal itu dia akan merasa cukup dengan apa yang diperolehnya.
Allah SWT berfirman:
-
“Barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya dia akan mencukupkan
keperluannya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
4. Tidak di sukai setan. Orang yang bertawakal tidak bisa di goda apalagi
dikuasai oleh setan. Sebab, bagaimana mungkin setan dapat menggoda
orang-orang yang begitu dekat dan terikat kepada Allah SWT,
sebagaimana firmannya:
-
“Sungguh setan itu tidak akan berpengaruh terhadap oreang yang
beriman dan bertawakkal kepada Tuhan.” (QS. An-Nahl [16]: 99)
5. Menghargai usaha yang dilakukan. Saat seseorang berusaha lalu tidak
mencapai hasil yang diharapkannya kadang dia merasa sia-sia atau
percuma saja berusaha bila hasilnya hanya demikian. Sikap ini
disebabkan oleh tidak bertawakalnya dia kepada Allah SWT. Bila dia
bertawakkal, maka dia akan menerima apa yang sudah diperolehnya
dan disyukurinya, jika belum memuaskan seperti yang dia harapkan,
maka dia akan berusaha lagi dengan uasaha yang lebih maksimal.
Dapat dipahami apabila suatu pekerjaan atau usaha dirinya sendiri saja
sudah tidak dihargai, bagaimana mungkin dia bisa menghargai
pekerjaan orang lain, apalagi bila pekerjaan itu tidak mencapai hasil
yang diinginkan.
F. Syukur
Pengertian syukur secara bahasa berasal dari kata َ َ‫َ كر حَ ْ ش حكر‬- ‫ش‬
‫ اً حشْ كر اً انَ حشْ كر ا وً رْ حش حكو و‬- ‫ ي‬yaitu memuji, berterima kasih dan
merasa berhutang budi kepada Allah atas karunia-Nya.(Ahmad Warson
Munawwir, 1997: 734) Secara istilah bersyukur adalah berterima kasih
terhadap segala nikamat yang dibeikan oleh Allah SWT. Nikmat yang
Allah berikan merupakan bentuk kasih sayang-Nya kepada semua
makhluk. Jika semua makhluk termasuk manusia diminta untuk
menghitung-hitung nikmat-Nya pasti dia akan pernah mampu menghitung
nikmat yang telah diberikan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT
berikut:
-
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benarbenar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 18)
Namun, tentu syukur sesungguhnya bukan hanya mengakui
nikmat-nikmat Allah saja. Akan tetapi harus diikuti dengan menggunakan
semua nikmat-Nya untuk sungguhsungguh taat kepada-Nya. Semakin kaya
semakin dermawan, semakin tinggi jabatannya semakin amanah, semakin
alim semakin takut kepada Allah, semakin terkenal semakin tawaddhu‟
dan teladan, semua nikmat yang diberikan membuat hamba itu semakin
dekat dengan Allah SWT.
Keutamaan Syukur
Syukur kepada nikmat Allah yang tiada terputus dan pemberian-
Nya yang tak pernah berhenti memiliki keutamaan dan kedudukan yang
tinggi. Allah sendiri yang telah memerintahkan syukur ini di dalam kitab-
Nya dan melarang perilaku kufur yang menjadi lawannya, memuji para
pelakunya, dan menyandangkannya kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Allah juga menjadikan syukur sebagai tujuan penciptaan makhluk dan
puncak dari perintah-Nya. Dia telah menjanjikan pahala yang besar bagi
pelakunya dan menjadikannya sebagai sebab bertambahnya nikmat dan
karunia-Nya, serta menjadikannya sebagai penjaga dan pelanggeng nikmat
tersebut.
Allah telah memerintahkan syukur di beberapa tempat dalam Al
Qur'an. Seperti dalam firman-Nya;
-
“Dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah.” (QS. An Nahl [16]: 114)
-
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152)
-
“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan
bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu akan
dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 17)
Allah telah menggabungkan syukur dengan iman. Dia
mengabarkan tidak ada alasan untuk mengadzab hamba-Nya jika mereka
bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
-
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?
Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An
Nisa' [4]: 147)
Maksudnya: jika kalian melaksanakan dan memenuhi tujuan
diciptakannya kalian, yaitu syukur dan iman, bagaimana Aku (Allah) akan
menyiksamu. Allah SWT mengabarkan bahwa orang-orang yang
bersyukur adalah orang yang sukses di antara hamba-hamba-Nya dalam
menghadapi ujian Allah.
-
“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang
kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-
orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita
yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Allah berfirman):
"Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur
(kepada-Nya)?” (QS. Al An'am [6]: 53)
Allah juga mengaitkan tambahan nikmat dengan syukur.
Tambahan nikmat ini tiada terbatas sebagaimana tak terbatasnya rasa
syukur kepada-Nya.
-
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat
pedih.” (QS. Ibrahim [14 ]: 7)
G. Muraqabah
Kata muraqabah berasal dari kata َ َ َ‫ً ةَ بَ اق‬- ‫ حِ ب اقَ ر ح ي‬- ‫ب اقَ ر‬
‫ ر ح م‬yang berarti menjaga, menyertai dan mengawasi. (Ahmad Warson
Munawwir, 1997: 519) Dalam Al-Qur`an, Allah menegaskan, “Dan Allah
Maha Mengawasi segala sesuatu” (QS. Al-Ahzab [33]: 52). Adapun dari
segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang
bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya,
dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu,
setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun. Muraqabah di
kalangan para sufi diartikan sebagai mawas diri. Artinya meneliti dan
merenungi apakah tindak-tanduk setiap harinya telah sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh Allah atau bahkan menyimpang dari yang
dikehendaki-Nya. (Mustafa Zuhri, 1998: 218)
Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh
seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang akan selalu
merasa bahwa diriinya berada dalam pengawan Allah SWT. Kesadaran itu
lahir dari keimanannya bahwa Allah SWT dengan sifat ilmu, basar, dan
sama‟ (mengetahui, melihat, dan mendengar) Nya mengetahui apa saja
yang dia lakukan kapan dan di mana saja. Dia mengetahui apa yang di
fikirkan dan rasakan. Tidak ada satupun yang luput dari pengawasan-Nya.
Dan dengan muraqabah seseorang dapat menjalankan ketaatan kepada
Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada
derajat seorang mukmin sejati. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya
sikap seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan
kepada Allah SWT kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya.
Jika diperhatikan dalam Al-Qur‟an dan hadits akan dijumpai
banyak sekali penjelasan yang menggambarkan mengenai sikap
muraqabah ini, dalam artian bahwa Allah senantiasa mengetahui segala
gerak-gerik, tingkah laku, guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya.
Sehingga benar-benar tiada tempat untuk berlari dari pengetahuan dan
pengawasan Allah SWT.
1. Muraqabah dalam Al-Qur’an
a. Pengetahuan Allah tentang apa yang ada di dalam hati (QS. Al-
Baqarah [2]: 284):

-
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam
hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.
Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 284)
Dalam ayat lain, Allah SWT mengatakan:
-
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam
hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya."
Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada
di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali
„Imron [3]: 29)
b. Pengetahuan Allah tentang setiap gerak-gerik seseorang, hingga
dalam sujud sekalipun-
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan
(melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang
yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Asy-Syu‟ara‟ [26]: 218-220)
Dalam ayat lain Allah SWT mengatakan:
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu‟minun [40]: 19)
c. Kebersamaan Allah dengan diri kita
-
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid [57]: 4)
d. Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui
makhluknya Allah SWT berfirman:
-
“Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
e. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan
manusia maupun dibelakangnya Allah berfirman:
-
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]:
255)
2. Muraqabah dalam Hadits
a. Sikap muraqabatullah membawa seorang insan memiliki derajat
ihsan. Sedangkan derajat ihsan merupakan derajat yang tinggi di
sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim, dalam Shahihnya:
-
“… Jibril bertanya, beritahukanlah kepadaku apa itu ihsan?‟
Rasulullah SAW menjawab, „Bahwa ihasan adalah engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranyapun
engkau tidak (dapat) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR. Muslim: 1)
b. Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk bertaqwa
kepada Allah SWT dimanapun kita berada. Sedangkan ketaqwaan
tidak akan lahir tanpa adanya muraqabatullah. Rasulullah SAW
mengatakan:
-
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan
perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan
yang baik.” (HR. Tirmidzi: 333)
c. Tanpa adanya muraqabah, seseorang memiliki prosentase jatuh
pada kemaksiatan lebih besar. Padahal jika seseorang berbua
maksiat, Allah sangat cemburu padanya. Dalam sebuah hadits
digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
-
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; „sesungguhnya
Allah SWT cemburu. Dan kecemburuan Allah terjadi jika seorang
hamba mendatangi (melakukan) sesuatu yang telah diharamkan
baginya.” (HR. Bukhari: 5223)
d. Dengan muraqabah seseorang akan sadar untuk beramal guna
kehidupan akhiratnya. Dan hal seperti ini dikatakan oleh
Rasulullah SAW sebagai seseorang yang memiliki akal yang
sempurna (cerdas). Dalam hadits dikatakan:
-
“Orang yang sempurna akalnya adalah yang mennudukkan jiwanya
dan beramal untuk bekal kehidupan setelah kematian. Sedangkan
orang yang lemah (akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa
nafsunya, di samping itu ia mengharapkan anganangan kepada
Allah SWT.” (HR. Tirmidzi: 2459)
e. Muraqabah juga akan membawa seseorang untuk meninggalkan
suatu perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW mengatakan :
-
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, „diantara
kesempurnaan iman seseorang adalah, meninggalkan suatu
pekerjaan yang tidak menjadi kepentingannya.” (HR. Tirmidzi:
2459)
H. Muhasabah
Pengertian muhasabah secara etimologis berasal dari kata َ َ- ‫بَ س ح‬
‫ اَ سِ ح‬- ‫ )حْ ِس بً بَُ ي‬menghitung) kemudian berderivasi menjadi َ َ- ‫ب اسَ ح‬
‫ً ةَ بَ اسَ َم ح‬- ‫ ح اِس بَ ُحي‬yang berarti membuat perhitungan atau evaluasi
diri sendiri. (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 261) Sehingga penjabaran
makna arti muhasabah adalah bahwasannya muhasabah berasal dari kata
hasibah yang artinya adalah menghisab atau pun menghitung. Dalam
penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri
atau mengevaluasi, atau pun introspeksi diri.
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal
yang telah dilakukan dari masa-masa yang telah lalu. Manusia yang
beruntung adalah manusia yang tahu akan dirinya sendiri. Dan manusia
beruntung akan selalu mempersiapkan dirinya untuk kehidupan kelak yang
abadi di yaumul akhir di akhirat yang pasti adanya. Dengan
melakasanakan muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan
setiap waktu dari detik, menit, jam dan harinya serta keseluruhan jatah
hidupnya dengan sebaik-baiknya demi meraih keridhoan Allah Ta'ala.
Dengan melakukan penuh akan perhitungan baik itu dalam hal amal
ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat
dan kehidupannya sebagai seorang hamba kepada Allah Sang Khalik.
Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya
dengan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Ada beberapa manfaat dan keutamaan muhasabah bagi setiap
orang yang beriman yaitu:
1. Dengan bermuhasabah diri, maka diri setiap muslim akan bisa
mengetahui akan aib serta kekurangan dirinya sendiri. Baik itu dalam
hal amalan ibadah, kegiatan yang memberikan manfaat untuk banyak
manusia. Sehingga dengan demikian akan bisa memperbaiki diri apa-
apa yang dirasa kurang pada dirinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW
menjelaskan bahwa orang yang pandai adalah orang yang pandai
menghisab dirinya sabaliknya orang yang lemah adalah orang yang
tidak biasa muhasabah dirinya sendiri. Sebagaiman nabi Muhammad
SAW bersabda:
-
“Orang pandai adalah orang yang pandai menghisab (mengevaluasi)
dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.
Sedang orang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan
serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Tirmidzi: 5459)
2. Dalam hal ibadah, kita akan semakin tahu akan hak kewajiban kita
sebagai seorang hambaNya dan terus memperbaiki diri dan
mengetahui hakekat ibadah bahwasannya manfaat hikmah ibadah
adalah demi kepentingan diri kita sendiri. Bukan demi kepentingan
Allah Ta'ala. Karena kita lah manusia yang lemah dan penuh dosa
yang memerlukan akan pengampunan dosa-dosa kita yang banyak.
3. Mengetahui akan segala sesuatu baik itu kecil maupun besar atas apa
yang kita lakukan di dunia ini, akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak di akherat. Inilah salah satu hikmah muhasabah dalam diri setiap
manusia.
4. Membenci hawa nafsu dan mewaspadainya. Dan senantiasa
melaksanakan amal ibadah serta ketaatan dan menjauhi segala hal yang
berbau kemaksiatan, agar menjadi ringan hisab di hari akhirat kelak.

Intropeksi diri dalam agama adalah bermakna evaluasi diri sebagai


salah satu pesan Rasulullah SAW, sangatlah penting dilakukan oleh setiap
diri orang Muslim. Dengan sering melakukan muhasabah yang
sesungguhnya, ia akan mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan dan
kesalahan yang ia lakukan. Dengan begitu ia bisa mengerti akan makna
hakekat sesungguhnya dalam bermuhasabah diri. Setiap diri akan
senantiasa memperbaiki kualitas hidupnya. Kualitas hidup kita dalam
bimbungan Islam yaitu Al-Qur'an dan Sunnah-sunnah Rasulullah SAW
akan semakin lebih baik dan akhlaknya akan semakin terpuji, dan akan
membuat dia menjadi semakin ikhlas, semakin rendah hati dan semakin
taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala.

I. Taubat
Kata Taubat berasal dari bahasa arab yang merupakan mashdar dari
dari kalimat ‫ً ةَ بْ َ و ت‬- ‫َ حو تَ ي‬- ‫ ”َب اْ حب ت‬taba-yatubu-taubatan” yang
artinya kembali. (Abudin Nata, 2010: 197) Dengan kata lain, taubat adalah
kembali dari meninggalkan segala perbuatan tercela (dosa) untuk
melakukan perbuatan yang terpuji di dalam syari’at.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa taubat adalah
amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau
dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada
ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala
larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak
akan mengulanginya lagi. Taubat merupakan suatu keniscayaan bagi
manusia, sebab tidak satu pun anak keturunan Adam AS di dunia ini yang
tidak luput dari berbuat dosa. Semua manusia, pasti pernah melakukan
berdosa. Hanya para nabi dan malaikat saja yang luput dari dosa dan
maksiyat. Manusia yang baik bukan orang yang tidak berdosa, melainkan
manusia yang jika berdosa dia melakukan taubat karena itu Rasulullah
SAW bersabda:
-
“Setiap manusia (dapat berbuat) salah. Dan sebaik-baik orang yang
bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi: 2499)
Dan juga dijelaskan dalam Al-Qur‟an bahwa Allah SWT senang
terhadap orang yang mau betaubat . Sebagaimana firman-Nya:
-
“Sesungguhnya Allah itu menyukai orang-orang yang tobat kepada-Nya
dan dia menyukai orang-orang yang membersihkan diri.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 222)
Dalam ajaran Islam orang yang benar-benar bertaubat itu disebut
taubat nasuha. Hukum taubat nasuha adalah wajib, baik dosa itu kepada
Allah SWT maupun dosa kepada sesama manusia. Jika dosa itu berkaitan
dngan manusia, hendaklah meminta maaf dari pada keslahan yang pernah
diperbuat kepada orang tersebut. Sekiranya dosa berkaitan dengan harta
benda, hendaklah dikembalikan harta tersebut kepada tuannya. Bertaubat
kepada Allah hendaklah dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan hati
yang ikhlas kerana taubat yang tiada keikhlasan tidak mendatangkan apa-
apa kesan terhadap individu tersebut. Taubat yang terbaik adalah taubat
yang penuh penyesalan, keinsafan dan rasa rendah diri kepada Allah SWT.
Karena itu orang yang taubat nasuha harus memenuhi lima syarat berikut:
1. Taubatnya tersebut dilakukannya dengan ikhlas semata karena Allah.
Jadi, faktor yang mendorongnya untuk bertaubat, bukanlah karena
riya‟, nama baik (prestise), takut kepada makhluk ataupun mengharap
suatu urusan duniawi yang ingin diraihnya. Bila dia telah berbuat
ikhlas dalam taubatnya kepada Allah dan faktor yang mendorongnya
adalah ketaqwaan kepada-Nya, takut akan siksaanNya serta mengharap
pahala-Nya, maka berarti dia telah berbuat ikhlas dalam hal tersebut.
2. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Yakni, seseorang
mendapati dirinya sangat menyesal dan bersedih atas perbuatan yang
telah lalu tersebut serta memandangnya sebagai perkara besar yang
wajib baginya untuk melepaskan diri darinya.
3. Berhenti total dari dosa tersebut dan keinginan untuk terus
melakukannya. Bila dosanya tersebut berupa tindakannya
meninggalkan hal yang wajib, maka setelah taubat dia harus
melakukannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk
membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa tindakannya
melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia harus cepat berhenti
total dan menjauhinya. Termasuk juga, bila dosa yang dilakukan
terkait dengan makhluk, maka dia harus memberikan hak-hak mereka
tersebut atau meminta dihalalkan darinya.
4. Bertekad untuk tidak lagi mengulanginya di masa yang akan datang.
Yakni, di dalam hatinya harus tertanam tekad yang bulat untuk tidak
lagi mengulangi perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya.
5. Taubat tersebut hendaklah terjadi pada waktu yang diperkenankan.
Jika terjadi setelah lewat waktu yang diperkenankan tersebut, maka ia
tidak diterima. Lewatnya waktu yang diperkenankan tersebut yaitu
sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika
dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima. Dalam
hal ini Allah SWT befirman:
-
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada
seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, „Sesungguhnya
saya bertaubat sekarang‟, Dan tidak (pula diterima taubat) orang-
orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran.” (QS. An-Nisa‟
[4]: 18)
-
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah
bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam
masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah oleh kalian sesungguhnya
kamipun menunggu (pula).” (QS. Al-An‟am [6]: 158)
Tidak Ada Istilah Terlambat untuk Bertaubat
Sebagai seorang yang beriman tidak boleh putus asa dari perbuatan
dosa yang telah diperbuatnya, ingatlah bahwa Allah SWT maha
penerima taubat. Betapapun besarnya dosa seorang mnusia, apabila dia
bertaubat, Allah pasti mengampuninya. Tidak ada istialh terlambat
untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalu nyawa sudah
berada di tenggorokan atau matahari terbit di barat, pintu taubat
memang sudah tertutup. (Yunahar Ilyas, 2007: 59-61). Rasulullah
SAW bersabda:
-
Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam
supaya bertaubat orang yang berbuat salah siang hari. Dan dia
membentangkan tangan-Nya pada siang hari, supaya bertaubat orang
yang berbuat salah malam hari. Keadaan ini tetap terus hingga
matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim: 6816)
-
“Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat seseorang hambaNya
selama nyawa masih belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi:
3537)
A. KESIMPULAN
Seorang muslim itu harus berahlak baik kepada Allah SWT.
Karena kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah SWT dan
untuk menyembah kepada Allah SWT sesuai dengan firman Allah
SWT yang artinya “dan tidaklah Kami (Allah) ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Dari uraian-uraian diatas dapat dipahami bahwa akhlak


terhadap Allah SWT, manusia seharusnya selalu mengabdikan diri
hanya kepada-Nya semata dengan penuh keikhlasan dan bersyukur
kepada-Nya, sehingga ibadah yang dilakukan ditujukan untuk
memperoleh keridhaan-Nya.
Dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh
Allah, terutama melaksanakan ibadah-ibadah pokok, seperti shalat,
zakat, puasa, haji, haruslah menjaga kebersihan badan dan pakaian,
lahir dan batin dengan penuh keikhlasan. Tentu yang tersebut
bersumber kepada Al-Qur'an yang harus dipelajari dan dipelihara
kemurniannya dan pelestariannya oleh umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai