Anda di halaman 1dari 12

Halaqah yang ke dua puluh satu dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-

Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan dan ini
dinamakan dengan haditsul wali. Di dalam hadits qudsi Allah Subhānahu wa Ta’āla
mengatakan,

ِ ْ‫َم ْن عَادَى لِي َولِيًّا فَقَ ْد آ َذ ْنتُهُ بِ ْال َحر‬


‫ب‬

“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku niscaya Aku akan mengumumkan peperangan


kepadanya.”
(Hadits riwayat Bukhari nomor 6021/6502)

Allah Subhānahu wa Ta’āla akan menolong walinya dan barangsiapa yang memusuhi
wali diantara wali-wali Allah, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla akan mengumumkan
peperangan kepadanya.
Kemudian Allah menyebutkan tentang sifat-sifat wali.

‫ت َعلَ ْي ِه‬ َّ َ‫َّب َع ْب ِدي بِ َش ْي ٍء َأ َحبَّ ِإل‬


ُ ْ‫ي ِم َّما ا ْفت ََرض‬ َ ‫َو َما تَقَر‬

“Dan tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya.”

Diantara sifat wali Allah adalah melakukan kewajiban-kewajiban yang telah


diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, mengerjakan shalat lima waktu, mengerjakan
puasa di bulan Ramadhan, dan juga mengerjakan kewajiban-kewajiban yang lain.
Dan kewajiban ini adalah sesuatu yang sangat dan paling dicintai oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Adapun seorang yang dianggap wali kemudian dia tidak melakukan shalat lima waktu,
ketika Ramadhan dia tidak berpuasa, maka ini bukan seorang wali.
Kemudian Allah mengatakan,

ُ‫ي بِالنَّ َوافِ ِل َحتَّى ُأ ِحبَّه‬


َّ َ‫َوال يَزَ ا ُل َع ْب ِدي يَتَقَرَّبُ ِإل‬

“Dan senantiasa hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan perkara-perkara yang


sunnah sehingga Aku mencintai dia.”

Diantara sifat-sifat wali Allah Subhānahu wa Ta’āla adalah mereka bertaqarrub kepada
Allah Subhānahu wa Ta’āla dengan sesuatu yang sunnah; shalat sunnah, puasa-puasa
sunnah, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

‫ص ُر بِ ِه َويَ َدهُ الَّتِي يَب ِْطشُ بِهَا َو ِرجْ لَهُ الَّتِي يَ ْم ِشي بِهَا‬
ِ ‫ص َرهُ الَّ ِذي يُ ْب‬ ُ ‫فَِإ َذا َأحْ بَ ْبتُهُ ُك ْن‬
َ َ‫ت َس ْم َعهُ الَّ ِذي يَ ْس َم ُع بِ ِه َوب‬
“Maka apabila Aku mencintai orang tersebut, (kata Allah Subhānahu wa Ta’āla) maka,

• Aku akan menjadi pendengarannya yang dia akan mendengar dengannya.


• Aku akan menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya.
• Aku akan menjadi tangannya yang dia akan memukul dengannya.
• Aku akan menjadi kakinya yang dia berjalan dengan kaki tersebut.

Maksudnya sebagaimana disebutkan oleh para ulama, dia akan diberikan taufiq untuk
meninggalkan kemaksiatan.

• Tidak mendengar kecuali yang diridhoi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.


• Tidak melihat kecuali yang diridhoi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
• Tidak memukul kecuali pada yang hak, pada tempatnya.
• Tidak berjalan ke sebuah tempat kecuali tempat yang diridhoi oleh Allah Subhānahu
wa Ta’āla.

Apabila Allah mencintai seseorang, maka dia akan diberikan taufiq untuk
meninggalkan kemaksiatan.
Dan ini adalah sifat diantara sifat-sifat wali Allah Subhānahu wa Ta’āla, orang yang
dicintai oleh Allah meninggalkan kemaksiatan.

Oleh karena itu bagaimana kita mengatakan bahwasanya orang yang minum minuman
keras, berzina, melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, akan tetapi dia memakai pakaian
seorang ulama, kemudian kita katakan bahwasanya dia adalah seorang wali diantara
wali-wali Allah.
Seorang wali adalah orang yang meninggalkan kemaksiatan.

Hُ‫َوِإ ْن َسَألَنِي ُأَل ْع ِطيَنَّهُ َولَِئ ْن ا ْستَ َعا َذنِي ُأَل ِعي َذنَّه‬

“Apabila dia meminta kepada-Ku (kata Allah), niscaya Aku akan memberikan dan
apabila dia memohon perlindungan niscaya Aku akan melindungi orang tersebut.”

Halaqah yang ke dua puluh dua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Beliau mengatakan,
:‫ِي‬َ ‫باع اآلرا ِء َواَألهْ وا ِء ال ُم َت َفرِّ َق ِة الم ُْخ َتلِ َفةِ؛ َوه‬ َ ‫ َر ُّد ال ُّش ْب َه ِة الَّتِي َو‬: ُ‫اَألصْ ُل السَّادِس‬
ِ ْ‫ض َعها ال َّشيْطانُ في َترْ كِ ْالقُر‬
ِ ‫ َوا ِّت‬،ِ‫آن َوال ُّس َّنة‬
‫َأ‬ ً
‫وج ُد َتامَّة في بي‬ ُ َّ َ ً ‫َأ‬ ُ َ ْ
َ ‫ ْوصافا ل َعلها ال ت‬- ‫ والمجتهد هو الـ َم ْوصُوفُ ِب َكذا َو َكذا‬،‫آن َوال ُّس َّن َة ال َيعْ ِرفُهُما ِإال ْالـمُجْ َت ِه ُد الـمُطلق‬
ْ َ ْ‫َأنَّ ْالقُر‬
‫َب ْك ٍر َو ُع َم َر‬

Pokok perkara yang ke enam:


“Adalah membantah kerancuan yang telah diletakkan oleh syaithan untuk
meninggalkan Al Qur’an dan juga Sunnah, dan supaya mengikuti pendapat-pendapat
dan hawa-hawa yang saling berbeda dan saling berpecah belah.
Dan syubhat (kerancuan) tersebut bahwasanya Al Qur’an dan juga Sunnah tidak
dipahami kecuali oleh seorang yang mujtahid mutlaq.
Dan mujtahid menurut mereka adalah seseorang yang memiliki sifat ini dan ini, sifat-
sifat yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abu Bakar dan Umar.”

Ini adalah pokok perkara yang ke enam yang ingin beliau sampaikan, yaitu ingin
membantah kerancuan (syubhat) yang telah diletakkan oleh syaithan di dalam
mengajak manusia meninggalkan Al Qur’an, meninggal As Sunnah, dan mengajak
manusia untuk mengikuti pendapat-pendapat dan mengikuti hawa nafsu. Dan ini
adalah syubhat yang terkadang masih ada diantara kita yang mengamalkannya,
mengikutinya.

Syaithan berusaha untuk menjauhkan manusia dari petunjuk Allah Subhānahu wa


Ta’āla.
Allah Subhānahu wa Ta’āla ketika melaknat syaithan dan mengeluarkan dari surga,
demikian pula menurunkan nabi Adam alayhissallam, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla
juga menurunkan petunjuk yang barangsiapa mengikuti petunjuk tersebut maka dia
akan selamat di dunia dan juga di akhirat.
Namun barangsiapa yang berpaling dari petunjuk yang sudah Allah turunkan, maka
dia akan celaka.

َ َ‫طو ْا م ِۡن َها َجم ِٗيع ۖا َفِإمَّا َي ۡأ ِت َي َّن ُكم ِّم ِّني ه ُٗدى َف َمن َت ِب َع هُد‬
َ ‫اي َفاَل َخ ۡوفٌ َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل هُمۡ َي ۡح َز ُن‬
‫ون‬ ُ ‫قُ ۡل َنا ۡٱه ِب‬

Kami katakan, “Hendaklah kalian turun semuanya (baik nabi Adam alayhissallam
maupun syaithan). Apabila telah datang kepada kalian petunjuk dari Allah Subhānahu
wa Ta’āla, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukku yang telah diturunkan Allah
Subhānahu wa Ta’āla, maka tidak ada ketakutan baginya dan mereka tidak akan
bersedih.”

Dan syaithan ketika melihat bahwasanya ini adalah petunjuk Allah Subhānahu wa
Ta’āla yang apabila diikuti seseorang akan selamat (mendapat petunjuk), maka dia
berusaha untuk menjauhkan manusia dari memahami petunjuk Allah, mengilmui,
apalagi mengamalkan petunjuk Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Diantara caranya seperti yang disebutkan oleh pengarang di sini. Syubhat (kerancuan)
yang diletakkan oleh syaithan supaya manusia meninggal Al Qur’an dan Sunnah dan
supaya mereka hanya mengikuti pendapat-pendapat manusia dan hawa nafsu
mereka.
Apa kerancuan tersebut?
Syaithan membisikan, mengajarkan bahwanya Al Qur’an dan Sunnah tidak dipahami
kecuali oleh seseorang yang merupakan mujtahid mutlaq.
Ini adalah kerancuan yang dibuat oleh syaithan, membisikan kepada manusia
bahwasanya Al Qur’an ini yang telah diturunkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla dan
bahwasanya hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ini tidak dipahami dan
tidak dimengerti kecuali apabila seseorang sudah sampai derajatnya sebagai seorang
mujtahid, seorang mujtahid yang mutlaq.

Dengan maksud apa?


Dengan maksud supaya kita orang yang awam, orang yang tidak sampai derajatnya
sebagai seorang mujtahid mutlaq, supaya kita tidak mau memahami Al Qur’an, supaya
kita malas untuk memikirkan, mentaddaburi, memahami petunjuk yang datang di
dalam Al Qur’an maupun sunnah-sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Apabila seseorang sudah jauh dari Al Qur’an, jauh dari As Sunnah, tidak mau
memahami Al Qur’an dan juga Sunnah, maka dia akan jauh dari petunjuk Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Inilah maksud dari syaithan menyampaikan kerancuan ini kepada manusia.


Dan yang dimaksud dengan al mujtahid al mutlaq (mujtahid mutlaq) adalah mujtahid
yang memiliki syarat-syarat sebagaimana disebutkan oleh para ulama, yang mereka
menguasai bahasa Arab, menguasai ushul fiqih, ushul hadits, ushul tafsir, mengenal
sebagian besar dari ayat-ayat Allah Subhānahu wa Ta’āla dan memahaminya dan
menghapalnya, memahami dan menghapal sebagian besar dari hadits-hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan juga syarat-syarat yang lain yang disebutkan oleh
para ulama.

Halaqah yang ke dua puluh tiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Apa itu mujtahid?


Mereka mengatakan yang dimaksud dengan mujtahid adalah yang memiliki sifat ini
dan itu, sifat-sifat yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abu Bakar dan
Umar.
Sebagian mereka mengatakan seorang mujtahid yang boleh memahami Al Qur’an,
yang boleh memahami hadits, maka dia harus menghapal seluruh hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dan ini belum tentu dimiliki oleh seseorang yang paling afdhal diantara kaum
muslimin seperti Abu Bakar dan Umar, kata beliau.

Karena seperti Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu, tidak semua hadits Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam sampai kepada beliau radhiyallāhu ‘anhu. Di sana ada beberapa
hadits yang tidak sampai kepada Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu, seperti ketika beliau
didatangi oleh seorang nenek yang bertanya tentang bagiannya dari harta warisan.

Dan ketika ditanya, maka Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu tidak mengetahui tentang
bagian seorang nenek dari harta warisan.
Kemudian sebagian sahabat mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi
wa sallam memberi seorang nenek 1/6 dari harta warisan.
Menunjukkan bahwasanya tidak semua hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam
sampai kepada Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu.

Demikian pula Umar, ada beberapa hadits yang tidak sampai kepada beliau,
sebagaimana ketika sebagian sahabat mengabarkan tentang haditsul isti’dzan.
Hadits yang isinya adalah diantara adab meminta izin ketika bertamu, apabila
seseorang mengetuk pintu 3 kali maka hendaklah dia meninggalkan rumah tersebut.
Dan ini tidak diketahui oleh Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu. Menunjukkan
bahwasanya ada beberapa hadits yang tidak sampai kepada Umar.

Demikian pula ketika beliau radhiyallāhu ‘anhu bersama sebagian sahabat radhiyallāhu
‘anhum, ketika mereka akan memasuki kota Syam, di zaman kekhalifahan Umar bin
Khatab.
Namun ternyata di sana ada tha’un (tersebar wabah penyakit) sehingga saat itu para
sahabat radhiyallāhu ‘anhum diajak bermusyawah oleh Umar bin Khatab radhiyallāhu
‘anhu,
“Apakah kita akan pulang kembali ke kota Madinah atau kita terus akan memasuki
kota Syam yang di situ sedang tersebar wabah penyakit (sedang tersebar tha’un)”.

Para sahabat saling bermusyawarah, kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin
Auf, mengabarkan kepada Umar bin Khatab bahwasanya saya punya ilmu di dalam
masalah ini.
Saya mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mendengar atau barangsiapa yang berada di dalam sebuah kota
yang di dalamnya ada tha’un, maka janganlah dia keluar dari kota tersebut, dan
apabila dia berada di luar maka janganlah dia memasuki kota tersebut.”
Demikianlah makna dari hadits yang disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf.
Dan ini sesuai dengan ijtihad Umar saat itu yang memang setelah bermusyawarah
beliau mengambil pendapat dan menguatkan pendapat untuk kembali ke kota
Madinah.
Ini menunjukkan bahwasanya ada sebagian hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam
yang tidak sampai kepada Abu Bakar dan juga Umar radhiyallāhu ‘anhumā tetapi
diketahui dan sampai kepada sahabat yang lain.

Dan ini sebagian orang mengatakan bahwasanya seorang mujtahid harus menghapal
seluruh hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang ini kata beliau mungkin tidak
didapatkan secara sempurna pada seseorang seperti Abu Bakar dan Umar.

Dan tujuan ucapan ini adalah:


• Untuk memalingkan manusia dari Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam.
• Supaya mereka tidak mau memahami Al Qur’an dan hadits.
• Supaya mereka di dalam agamanya hanya melakukan taqlid buta yang tercela.

Kemudian beliau mengatakan,

َّ ‫ك َف ْليُعْ ِرضْ َع ْن ُه َما َفرْ ضً ا َح ْتمًا اَل َش‬


‫ك َواَل ِإ ْش َكا َل فِ ْي ِه‬ َ ِ‫َفِإنْ لَ ْم َي ُكنْ اِإْل ْن َسانُ َك َذل‬

“(Kemudian dia mengatakan) apabila seseorang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka
hendaklah dia berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah tersebut. Dan ini adalah wajib,
yang tidak ada keraguan di dalamnya dan tidak ada masalah di dalamnya.”

Ini adalah ucapan sebagian orang, apabila seseorang tidak memiliki syarat-syarat
tersebut, sifat-sifat tersebut, maka hendaklah dia berpaling dari Al Qur’an dan juga
hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan ini menurut mereka adalah
kewajiban.

Halaqah yang ke dua puluh empat dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu
As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Kemudian mereka mengatakan,

‫َألجْ ِل صُعو َب ِة َف ْهم ِِهما‬- ٌ‫ـ َوِإمَّا َمجْ نون‬،‫ِيق‬


ٌ ‫ ِإمَّا ِز ْند‬:‫ب ْالـ ُه َدى ِم ْنهُما؛ َفه َُو‬
َ َ‫َو َمنْ َطل‬

“Dan barangsiapa yang berusaha untuk mencari petunjuk dari Al Qur’an dan juga
hadits, maka kata mereka dia adalah seorang yang zindiq (pendusta) atau dia adalah
seorang yang gila (karena susahnya).”
Kenapa demikian?
Mereka mengatakan karena susahnya memahami Al Qur’an dan juga hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Ini adalah ucapan sebagian manusia yang ingin memalingkan kaum muslimin dari Al
Qur’an dan juga Sunnah.

Kemudian beliau (muallif) mengatakan,

‫ت ِإلى‬ْ ‫ في َر ِّد َه ِذ ِه ال ُّش ْب َه ِة الـ َم ْلعُو َن ِة مِنْ وُ جو ٍه َش َّتى َبلَ َغ‬-‫ َخ ْل ًقا َوَأ ْمرً ا‬،‫ َشرْ عً ا َو َق َدرً ا‬- ‫هللا َو ِب َح ْم ِد ِه! َك ْم َبي ََّن هللاُ ُسب َْحا َن ُه‬ َ ‫َف ُسب‬
ِ ‫ْحان‬
َ
َ ‫اس ال َيعْ لم‬
‫ُون‬ َّ َ ْ ‫َأ‬ َ
ِ ‫ َولكِنَّ كث َر الن‬،ِ‫ت ال َعا َّمة‬ ْ ِ ‫ُوريَّا‬ َّ ‫َح ِّد ال‬
ِ ‫ضر‬

“Maka Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Betapa banyak dan betapa sering
Allah Subhānahu wa Ta’āla menjelaskan baik secara syari’at di dalam Al Qur’an
maupun hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, atau secara takdir, khalqan
dan amran (maknanya hampir sama), betapa banyak Allah menjelaskan dan
membantah kerancuan yang mal’unah, yang terlaknat ini, dengan berbagai cara
dengan berbagai ushlub dengan berbagai metode sehingga metode-metode tersebut
sampai pada batas yang dhoruri, akan tetapi sebagian besar manusia tidak
mengetahui.”

Jadi muallif (pengarang) di sini ingin menjelaskan kepada kita bahwasanya Allah telah
menjelaskan di dalam Al Qur’an hal yang membantah kerancuan tadi.
Mereka mengatakan bahwasanya Al Qur’an dan Sunnah tidak dipahami kecuali oleh
seorang yang mujtahid mutlaq, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak menerangkan
demikian.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an,

‫ان ل ِِّلذ ْك ِر َف َه ْل مِن ُّم َّدك ۢ ٍِر‬


َ ‫َولَ َق ْد َيسَّرْ َنا ْٱلقُرْ َء‬

“Dan sungguh Kami telah mudahkan Al Qur’an untuk dzikir (untuk mengingat Allah
Subhānahu wa Ta’āla), apakah ada orang yang mau mengingat?”
(QS. Al Qamar: 17, 22, 32, 40)

Allah mengatakan di sini, ‫( َولَ َق ْد َيسَّرْ َنا‬dan sungguh kami telah mudahkan), Allah telah
turunkan Al Qur’an dan Allah telah mudahkan kalimat-kalimatnya, makna-maknanya,
supaya kita bisa berdzikir dengan Al Qur’an tersebut (mengingat Allah dengan Al
Qur’an tersebut).

Berbeda dengan ucapan mereka yang mengatakan bahwasanya sangat sulit dan susah
untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Allah mengatakan ‫ َولَ َق ْد َيسَّرْ َنا‬dan mereka mengatakan susah untuk memahami Al Qur’an
dan Sunnah.
Demikian pula Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ب َأ ْق َفالُ َهٓا‬
ٍ ‫ان َأ ْم َعلَ ٰى قُلُو‬ َ ‫َأ َفاَل َي َت َد َّبر‬
َ ‫ُون ْٱلقُرْ َء‬

“Apakah mereka tidak mentadaburi Al Qur’an ataukah di dalam hati-hati ada kunci-
kuncinya?”
(QS. Muhammad: 24)

Ini adalah anjuran dan dorongan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla, supaya kita mau
mentadaburi apa yang datang dari Allah berupa Al Qur’an.
Dan seseorang tidak mungkin bisa mentadaburi kecuali apabila dia memahami apa
yang ada di dalam Al Qur’an tersebut.

Seandainya Al Qur’an tidak bisa dipahami kecuali oleh seseorang yang mujtahid yang
mutlaq, niscaya Allah tidak akan mendorong kita untuk mentadaburi Al Qur’an. Tapi
ternyata Allah menyuruh kita, mendorong kita, mengajak kita, untuk mentadaburi Al
Qur’an.
Menunjukkan bahwasanya Al Qur’an bisa dipahami oleh seorang yang awam, seorang
tholabul ilmi (penuntut ilmu), demikian pula oleh para ulama.

Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

‫ب‬ ۟ ُ‫ك لِّ َي َّد َّبر ُٓو ۟ا َءا َي ٰـ ِتهِۦ َولِ َي َت َذ َّكرَ ُأ ۟ول‬
ِ ‫وا ٱَأْل ْل َب ٰـ‬ َ ‫ِك َت ٰـبٌ َأ‬
َ ‫نز ْل َن ٰـ ُه ِإلَي‬
ٌ ۭ ‫ْك ُم َب ٰـ َر‬

“Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu (Wahai Muhammad), yang penuh
dengan barokah (yang pertama) adalah supaya manusia mau mentadaburi ayat-ayat-
Nya dan supaya orang-orang yang memiliki akal mau berdzikir dengan Al Qur’an
tersebut (mengingat Allah dengan Al Qur’an tersebut).”
(QS. Shad: 29)

Allah turunkan Al Qur’an kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita
mau mentadaburi, bukan hanya sekedar dibaca tetapi tidak dipahami maknanya.
Membaca Al Qur’an adalah amal shalih dan seseorang mendapat pahala dari membaca
Al Qur’an sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Satu huruf yang kita baca, kita mendapatkan 10 kebaikan.

Namun tidak cukup dengan hanya membaca dengan baik, dengan tahsin dengan
tajwid, kemudian seseorang meninggalkan memahami Al Qur’an. Karena justru tujuan
utama diturunkannya Al Qur’an adalah supaya kita memahami Al Qur’an tersebut
kemudian setelah itu kita amalkan Al Qur’an tersebut.

Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla supaya kita mentadaburi Al Qur’an,


menunjukkan bahwasanya Al Qur’an adalah kitabullah yang bisa dipahami oleh semua
kaum muslimin, baik yang awam, yang menuntut ilmu, maupun seorang ulama.
Tentunya dalam hal ini pemahaman antara seorang ulama dengan seorang penuntut
ilmu, dengan seorang yang awam, ini berbeda-beda.
Satu ayat dibaca oleh seorang ulama dan dibaca oleh seorang penuntut ilmu, dibaca
oleh seorang yang awam, tentunya pemahaman masing-masing berbeda-beda sesuai
dengan apa yang Allah berikan kepada mereka.

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah memudahkan Al Qur’an untuk dipahami dan Allah
memerintahkan untuk mentadaburinya.

Demikian pula firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,

َ ‫ِإ َّنٓا َأ‬


َ ُ‫نز ْل َن ٰـ ُه قُرْ ٰ َء ًنا َع َر ِب ۭ ًّيا لَّ َعلَّ ُك ْم َتعْ قِل‬
‫ون‬

“Kami telah menurunkan Al Qur’an dengan berbahasa Arab yang jelas, supaya kalian
memahami apa yang ada di dalamnya.”
(QS. Yusuf: 2)

َ ُ‫ ) َتعْ قِل‬artinya supaya kita mengakali, memahami, mentadaburi.


Ta’qilun (‫ون‬

Inilah yang disampaikan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla bahwasanya Al Qur’an


mudah untuk dipahami.

Berbeda dengan yang diucapkan oleh sebagian manusia yang mereka mengatakan
bahwasanya Al Qur’an dan Sunnah hanya dimengerti dan dipahami oleh seorang yang
mujtahid mutlaq, yang memiliki sifat-sifat tertentu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
di sini, yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abu Bakar dan juga Umar
radhiyallāhu ‘anhuma.

Seorang tabi’in yang bernama Abu Abdirrahman As Sullami beliau mengatakan,

‫ َأ َّن ُه ْم َإذا‬: ‫ابن َمسْ عُو ٍد َوع ُْث َمانُ بْنُ عفان َو َغ ْي ُر ُه َما‬ِ ‫هللا‬ ِ ‫هللا صلى هللا عليه وسلم َك َعب ِـد‬ ِ ‫ُول‬
ِ ‫ب َرس‬ َ ‫ِين ُي ْق ِرُئو َن َنا مِن َأ‬
ِ ‫صحا‬ َ ‫َح َّد َث َنا الَّذ‬
ْ ْ ْ َّ َّ
‫اوزو َها َحتى َي َت َعلمُوا َما فِي َها مِنْ العِل ِم َوال َع َم ِل‬ ُ َ
ِ ‫ت ل ْم ي َُج‬ ْ َّ َ ‫هَّللا‬
ٍ ‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم َعش َر آ َيا‬ َّ َّ َّ
َ ِّ‫َت َعلمُوا مِنْ الن ِبي‬

“Telah mengabarkan kepada kami orang-orang yang mengajarkan kepada kami Al


Qur’an dari kalangan sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam seperti Abdullah bin
Mas’ud, Ustman bin Affan, dan selain keduanya, bahwasanya mereka dahulu apabila
mempelajari 10 ayat dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka mereka tidak akan
berpindah dari 10 ayat tersebut, sampai mempelajari apa yang ada di dalam 10 ayat
tersebut baik ilmunya maupun amalnya.”

Artinya mereka berusaha untuk memahami 10 ayat yang mereka dapat dari Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan berusaha untuk mengamalkan 10 ayat tersebut.
Tidak berpindah kepada ayat yang lain kecuali setelah mereka memahami dan kecuali
setelah mereka mengamalkan 10 ayat tersebut.
Oleh karena itu apabila ada diantara sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang
menghapal sebuah surat, maka ketahuilah bahwasanya dia memahami ayat tersebut,
memahami surat tersebut dan juga mengamalkan apa yang ada di dalamnya.

Apabila ada seorang sahabat Nabi yang menghapal surat Al Baqarah atau menghapal
surat Ali Imran, maka berarti dia telah memahami isinya dan mengamalkan apa yang
ada di dalamnya.

Oleh karena itu orang yang menghapal surat Al Baqarah dan Ali Imran diantara
kalangan sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, itu menjadi orang yang memiliki
kedudukan yang tinggi di sisi para sahabat radhiyallāhu ‘anhum.
Karena mereka menghapal, bukan hanya menghapal. Mereka menghapal Al Qur’an,
memahami isinya, dan juga mengamalkan apa yang ada di dalamnya.

Halaqah yang ke dua puluh lima dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan (membawakan sebuah atau beberapa ayat dari Al


Qur’an) yang menunjukkan tentang akibat orang yang berpaling dari Al Qur’an dan
juga Sunnah.

Yaitu firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,

‫ُون ۞ َو َج َع ۡل َنا م ِۢن َب ۡي ِن‬


َ ‫ان َفهُم م ُّۡق َمح‬ ۡ ‫َأۡل‬ ٰ ٰ ۡ َ ‫لَ َق ۡد َح َّق ۡٱل َق ۡو ُل َعلَ ٰ ٓى َأ ۡك َث ِرهِمۡ َفهُمۡ اَل ي ُۡؤ ِم ُن‬
ِ ‫ون۞ ِإ َّنا َج َعل َنا ف ِٓي َأ ۡع َنق ِِهمۡ َأ ۡغلَاٗل َف ِه َي ِإلَى ٱ ذ َق‬
‫ون ۞ ِإ َّن َما ُتن ِذ ُر َم ِن‬ َ ‫۞و َس َوٓا ٌء َعلَ ۡي ِهمۡ َءَأ َنذ ۡر َتهُمۡ َأمۡ لَمۡ ُتنذ ِۡرهُمۡ اَل ي ُۡؤ ِم ُن‬
َ ‫ُون‬َ ‫ِيهمۡ َس ٗ ّدا َوم ِۡن َخ ۡلف ِِهمۡ َس ٗ ّدا َفَأ ۡغ َش ۡي ٰ َنهُمۡ َفهُمۡ اَل ي ُۡبصِ ر‬
ِ ‫َأ ۡيد‬
َ ۡ ‫َأ‬ ۡ ۡ
‫ب ف َبشرهُ ِب َمغف َِرةٖ َو ج ٖر ك ِر ٍيم‬ِّ َ ۖ ۡ ۡ ٰ ۡ َ ۡ ِّ
ِ ‫۞ ٱت َب َع ٱلذك َر َوخشِ َي ٱلرَّ ح َم َن ِبٱل َغي‬ َّ

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,


“Dan sungguh, telah tetap atas mereka ketetapan Allah Subhānahu wa Ta’āla atas
sebagian besar mereka, bahwasanya mereka tidak beriman.
Kami telah menjadikan pada leher-leher mereka belenggu-belenggu. Maka belenggu-
belenggu tersebut sampai dagu mereka sehingga mereka mengangkat kepalanya ke
atas.
Dan kami telah menjadikan dari depan mereka penutup dan dari belakang mereka
penutup, maka kami menutupi mereka sehingga mereka tidak bisa melihat.
Kemudian Allah mengatakan yang artinya:
“Dan sama saja apakah engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak
memberikan peringatan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan beriman.
Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, memberikan peringatan kepada orang yang
mengikuti Adz Dzikr (mengikuti Al Qur’an), dan dia takut kepada Allah dalam keadaan
ghaib, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan ampunan dan pahala yang
melimpah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.”

Ayat-ayat yang disebutkan oleh pengarang di sini adalah surat Yasin ayat ke-7 sampai
11.
Menunjukkan tentang bagaimana orang yang berpaling dari Adz Dzikr (Al Qur’an)
yang Allah turunkan. Dan bahwasanya mereka ditutupi dari arah depannya, dari arah
belakangnya, sehingga mereka tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar.

Kemudian Allah mengabarkan bahwasanya sama saja atasmu wahai Muhammad,


apabila seseorang sudah ditutupi dari hidayah Allah, sama saja apakah engkau
memberikan peringatan kepada mereka, atau tidak memberikan peringatan niscaya
mereka tidak akan beriman.

Dan Allah mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam hanya


memberikan peringatan dan akan bermanfaat peringatan Beliau bagi orang yang mau
mengikuti Adz Dzikr (mengikuti Al Qur’an), dan takut kepada Ar Rahman, yaitu Allah
Subhānahu wa Ta’āla dalam keadaan ghaib, yaitu dia takut kepada Allah padahal dia
tidak pernah melihat Allah, akan tetapi dia takut kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

‫َف َب ِّش ۡرهُ ِب َم ۡغف َِرةٖ َوَأ ۡج ٖر َك ِر ٍيم‬

“(Maka orang yang mau mengikuti Al Qur’an, (mengikuti Adz Dzikr) dan takut kepada
Allah padahal Allah adalah ghaib), maka kabarkanlah dia dengan ampunan dan pahala
yang besar (dari Allah Subhānahu wa Ta’āla).”

Itulah perkara yang ke enam yang ingin disampaikan oleh pengarang di sini. Semoga
bisa bermanfaat.

Kemudian beliau menutup kitab beliau dengan mengatakan,

‫ َو ْال َحمْ ُد هلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمي َْن‬، ُ‫آ ِخ ُره‬

“Terakhir kita mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil’alamīn.”

Kemudian beliau mengatakan,

ِ ‫صحْ ِب ِه َو َسلَّ َم َتسْ ليمًا َكثيرً ا ِإلى َي ْو ِم ال ِّد‬


‫ين‬ َ ‫ َو َعلى آلِ ِه َو‬،ٍ‫َوصلَّى هللاُ َعلى َس ِّيدِنا م َُح َّمد‬

“Semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla senantiasa memberikan shalawat kepada sayyid


kita, Muhammad (pemuka kita, Muhammad) dan kepada keluarganya, dan para
sahabatnya, dan semoga Allah memberikan salam dengan salam yang banyak kepada
Beliau sampai hari kiamat.”
Alhamdulillah.
Dengan demikian kita bisa menyelesaikan kitab yang ringkas dan bermanfaat ini yang
berisi tentang 6 enam perkara yang pokok yang hendaknya dipahami dan diamalkan
oleh seorang muslim.

Anda mungkin juga menyukai