Anda di halaman 1dari 5

Antara Ijtihadiyah dan Khilafiyah

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum..
Ustadz Farid, semoga Allaah senantiasa menjaga ustadz sekeluarga..
Ana mau tanya tentang apa yang dimaksud dengan perkara khilafiyah dan ijtihadiyah?
bagaimana sebaiknya seorang muslim menyikapi perbedaan diantara kedua hal
tersebut? maksudnya bagaimana cara menyikapi jika terjadi perbedaan di khilafiyah
dan bagaimana juga kalau di ijtihadiyah? apakah berbeda? (@anonim)
Jawaban:
Wa Alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash
shalatu was salamu ala raulillah wa al aalihi wa man waalah, wa bad:
Jazakallah khairan atas doanya, semoga Allah Azza wa Jalla menjaga dan melindungi
kita semua. Amin.
Selanjutnya ..
Tentang ijtihad, dia satu akar kata dengan jihad. Disebutkan dalam Lisanul Arab:


Dan Jahada yajhadu- jahdan- ijtihada, keduanya bermakna bersungguh-sungguh.
(Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, 3/133)
Jadi, upaya sungguh-sungguh dan serius dengan menggenapkan segenap potensi dan
kemampuan yang dilakukan seorang ulama atau sekelompok ulama untuk menggali
hakikat hukum dari suatu perkara, melalui sumber-sumber hukum Islam yang utama.
Itulah ijtihad.
Ijtihad hanya boleh terjadi pada perkara yang:
- Belum ada nashnya baik dalam Al Quran dan Al Hadits yang shahih, secara khusus
atau umum, tersurat atau tersirat.
- Ada nashnya secara jelas tetapi tidak shahih (tidak qathiy ats tsubut)
- Sudah ada nashnya secara shahih tetapi tidak sharih (jelas) alias tidak qatyiyud
dalalah dan multitafsir sehingga terjadi ruang untuk ijtihad
Sedangkan untuk masalah yang sudah ada nashnya, secara shahih dan jelas, maka tidak
boleh lagi diijtihadkan. Seperti kewajiban shalat lima waktu, kewajiban berpuasa
Ramadhan, kewajiban zakat, kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, dan perkara-

perkara lain yang termasuk Al Malum minad din bidh dharuri (perkara-perkara agama
yang telah diketahui dengan pasti). Nah, ini semua tidak lagi diijtihadkan karena sudah
jelas perkaranya.
Juga perkara yang jelas-jelas haramnya, seperti zina, khamr, babi, judi, riba,
membunuh dengan cara tidak haq, dan semisalnya, ini semua tidak ada ruang untuk
diijtihadkan lagi karena keharaman semuanya sudah jelas dan shahih dalam syariat.
Sikap kita dalam masalah yang masih diijtihadkan, lalu lahir perbedaan hasil ijtihad
para ulama, maka tidak boleh saling mengingkari dan memaksakan kehendak. Sebab
ada kaidah Al Ijtihad laa yanqudhu bil ijtihad (ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad
juga), juga kaidah Laa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak boleh mengingkari masalah
yang masih diijtihadkan). Sebab kedua belah pihak, atau beberapa pihak, sama-sama
beranjak dari dasar yang belum jelas. Maka, semuanya bisa berpotensi benar dan salah,
atau benar semua. Jika pun salah maka syariat telah menghargai dengan satu pahala.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Jika seorang hakim menetapkan hukum dan benar maka baginya dua pahala, dan jika
dia menetapkan hukum dan bersungguh-sungguh (ijtihad), kemudian salah maka
baginya satu pahala. (HR. Bukhari No. 6919, 7352, Muslim No. 1716, Abu
Daud No. 3574. Ibnu Majah No. 2314, An Nasai No. 5381, At Tirmidzi No.
1326, Ibnu Hibban No. 5060, Ahmad No.17774)
Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:



.
Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat
(konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih),
maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang
mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor)
mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah. (Dr.
Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 43.
Mauqi al Islam)
Adapun Khilafiyah diambil dari kata khaalafa yukhaalifu yang berarti menyelisihi dan
menyalahi. Khilafiyah merupakan salah satu eskses dari ijtihad, oleh karenanya sering
disebut khilafiyah ijtihadiyah (perselisihan dalam ijtihad). Berarti bisa juga hasil ijtihad
ada yang tidak diperselisihkan. Namun, yang diperselisihkan jauh lebih banyak. Hal itu
sangat dimungkinkan karena memang ruang untuk berbeda sangat terbuka jika sama-

sama beranjak dari dasar hukum yang belum jelas, atau malah belum dibahas sama
sekali, sementara kebutuhan dan permasalahan manusia terus berkembang dan
bertambah.
Ruang tersebut diisyaratkan oleh hadits:



Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang
Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk
yang dimaafkan. (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu
Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mujam Al Kabir No. 6124. Syaikh
Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No.
1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz
As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi Anhu, No. 1 )
Khilafiyah ada dua model:
1. Khilafiyah mutabarah, yaitu khilafiyah yang diakui keberadaannya
karena memang itu sangat dimungkinkan terjadi. Seperti masalah:
- Jarak dibolehkan untuk melakukan qashar shalat, Imam Ibnul Mundzir menyebut ada
dua puluh tempat. Perselisihan dalam hal ini diakui dan sangat mungkin terjadi karena
ada beragam riwayat yang menceritakan tentang qashar. Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam pernah qashar sejauh 3 farsakh (kira-kira 9 mil), pernah juga sejauh 1 Mil,
pernah juga ketika di Mekkah padahal Beliau tinggal di Mekkah, ada pun Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas baru berani mengqashar sejauh 4 burud (kira-kira 88Km).
- Isbal tanpa sombong, jika dengan sombong maka mereka sepakat keharamannya.
Perbedaan pendapat ini terjadi lantaran metodologi para ulama yang berbeda. Di antara
mereka ada yang mengatakan mubah, dengan alasan keharaman terjadi jika ada ilat
(sebab hukum) yaitu khuyala (sombong), inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam
Ahmad, Imam Ibnu Taimiyah, sebagaimana diceritakan oleh Imam Ibnu Muflih. Yang
lain mengatakan makruh, karena larangannya jelas, tetapi tidak sampai haram sebab
keharamannya jika karena sombong. Inilah pendapat Imam Syafii, Imam An Nawawi,
Imam Ibnu Abdil Bar, dan lainnya. Ulama lain menyatakan haram, sebab larangan
tersebut jelas dan beragam pada masing-masing dalil, jika isbal dengan tidak sombong
adalah haram, maka dengan sombong lebih haram lagi. Inilah pendapat Imam Ibnu
Hajar, Imam Ibnul Arabi, dan lainnya.
- Qunut subuh, yang dianggap sunah oleh Imam Syafii dan Imam Malik (bedanya
adalah Imam Malik menyunnahkannya ketika sebelum ruku dan tanpa mengangkat
kedua tangan). Diriwayatkan oleh Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, dari Al
Hazimi bahwa sebagaian sahabat, tabiin, dan muhaditsin pun berpendapat adanya
qunut subuh. Mereka beralasan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan

qunut subuh sampai faaraqad dunya (meninggalkan dunia). Ada pun Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan qunut subuh ghairu masyru (baca: bidah). Itu
hanya terjadi ketika nazilah saja, karena menurut mereka Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam hanya melakukan hanya ketika nazilah, dan meninggalkannya setelah itu. Ada
pun hadits tentang qunut terus menerus hingga wafat adalah dhaif.
Dan masih banyak contoh lainnya.
Sikap kita terhadap khilafiyah mutabarah adalah silahkan mengikuti pendapat yang
paling kuat dalilnya dan menjalankannya dengan konsisten, tanpa memaksakan
kehendak dengan pihak yang berbeda. Sebab masalah-masalah ini memang tidak ada
kata sepakat dan masih lingkup debatable para ulama. Inilah ikhtilaf tanawwu
(perbedaan variatif).
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

.

.
.
Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan
diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama.
Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam.
Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran
di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini
adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan
pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak
tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya. (Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 1/131. Mawqi Ruh Al Islam)
Imam As Suyuthi mengatakan dalam Al Asybah wan Nazhair:


Kaidah yang ke-35, Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih
diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang
bertentangan dengan ijma (kesepakatan) para ulama. (Imam As Suyuthi, Al
Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285.)
Imam Abu Nuaim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

:
.
Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan,
padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya. (Imam Abu
Nuaim Al Asbahany, Hilyatul Auliya, Juz. 3, hal. 133)
2. Khilafiyah ghair mutabarah, yaitu khilafiyah yang semestinya tidak
terjadi dan para ulama pun menganggap ini khilafiyah yang dibaikan
karena dasarnya lemah.
Misalnya:
- Tentang larangan nikah muthah, ada pihak membolehkannya -yakni syiah- dengan
dalil-dalil yang telah mansukh (telah diamandemen), yang kemudian sudah tegas dalil
pengharamannya sampai kiamat, maka ini khilafiyah yang tidak mutabar.
- Tentang tidak sahnya menikah tanpa wali, karena memang tegas pula hadits-hadits
shahih yang menerangkannya. Namun Imam Abu Hanifah membolehkan dan
menyatakan sah-nya nikah tanpa wali. Maka, ini khilafiyah yang tidak mutabar yang
mesti diabaikan, karena lemahnya pendapat tersebut dan bertentangan dengan nashnash syara.
- Tentang disyariatkannya aqiqah, Imam Abu Hanifah mengatakan ini adalah bidah
sebagaimana dikutip Imam An Nawawi dalam Majmu Syarh Al Muhadzdzab. Pendapat
Imam Abu Hanifah ini bertentangan dengan sedemikian banyaknya hadits yang
menyebutkan kesunahannya. Imam An Nawawi menganggap mungkin Imam Abu
Hanifah belum mendapatkan haditsnya. Ini khilafiyah yang lemah karena bertentangan
dengan dalil yang sangat terang benderang.
Sikap kita adalah boleh mengingkari khilafiyah jenis ini, lalu meluruskannya, karena
memang benar-benar telah berselisihan dengan nash-nash yang shahih dan jelas.
Pembahasan di atas adalah dalam masalah fiqih yang cabang. Ada pun perselisihan
dalam masalah aqidah termasuk kategori ikhtilaf tadhadh (perbedaan konradiktif), yang
mesti dingkari dan diluruskan, bahkan mesti bersikap tegas, seperti para pengusung ide
nabi baru, paham spilis, kemakhlukan Al Quran, dan perkara aqidah pokok lainnya.
Sekian. Wallahu Alam

Anda mungkin juga menyukai