01 Maret 2023
Penjelasan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah
sahabat dari kabilah Bani Daus, Yaman. Di masa jahiliyah ia bernama Abdu
Syams, lalu di masa Islam namanya adalah Abdurrahman bin Shakr.
Abu Hurairah masuk Islam melalui dakwah Thufail bin Amr Ad Dausi. Ia masuk
Islam saat muda dan pada usia 26 tahun, ia hijrah ke Madinah menyusul
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu Rasulullah telah memenangkan
Perang Khaibar.
Di Madinah, Abu Hurairah tinggal di Masjid Nabawi. Menjadi ahlus suffah. Tak
seperti mayoritas sahabat yang sehari-harinya bekerja, Abu Hurairah
memfokuskan diri untuk mulazamah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ia selalu hadir ketika Rasulullah mengajar di Masjid Nabawi. Dan ia
selalu mengikuti ke mana pun Rasulullah pergi.
Maka dalam waktu singkat, Abu Hurairah mendengar demikian banyak hadits
dari Rasulullah. Dengan keistimewaannya yang tak pernah lupa hadits sejak
didoakan Rasulullah, ia menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan
hadits. Meskipun hanya menjumpai Rasulullah 4 tahun, Abu Hurairah
meriwayatkan 5.347 hadits.
Abu Hurairah dikenal selalu menggunakan waktunya untuk hal-hal yang
bermanfaat. Menjauhi hal yang sia-sia. Sepeninggal Rasulullah, ia memiliki
rumah dan berkeluarga. Di sepertiga malam terakhir, ia membangunkan
keluarganya agar bisa sholat tahajud. Jadi, Abu Hurairah termasuk terdepan
dalam mengamalkan hadits yang ia riwayatkan ini.
Husn ( )حسنartinya adalah kebaikan. Bisa juga bermakna kesempurnaan. Laa
ya’niih ( )ال يعنيهartinya adalah tidak bermanfaat. Baik manfaat di dunia maupun
manfaat di akhirat. Bisa pula bermakna sia-sia.
Hadits ini pendek tetapi maknanya dalam dan mengandung pelajaran yang
sangat luas. Para ulama mengistilahkan dengan jawami’ul kalim ( )جوامع الكلمyakni
kalimat yang singkat dan padat. Bahwa di antara tanda kebaikan islam dan
kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan perkara yang sia-sia.
Perkara yang tidak bermanfaat baginya, baik di dunia maupun di akhirat.
5. Jalan Keselamatan
Tidaklah sebuah perkara akan berakibat mencelakakan manusia, kecuali Allah
haramkan perkara itu. Tidaklah suatu perbuatan menjerumuskan ke dalam
kehancuran, kecuali Allah larang perbuatan itu.
Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat adalah jalan keselamatan. Sebab
tidaklah seseorang bisa meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat kecuali ia
juga pasti bisa meninggalkan yang haram.
Dari Uqbah bin Amir, ia mengatakan, aku bertanya: Ya Rasulullah, apakah jalan
keselamatan itu? Beliau bersabda: “Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu
membuatmu merasa lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan
menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi)