Anda di halaman 1dari 4

Pengajaran Kemandirian Nabi Muhammad SAW

‫َا‬
‫ثن‬َ‫د‬ََّ َ َ
‫اَل ح‬ ‫ٍ ق‬‫ْر‬‫َي‬‫نم‬ُ ُ ‫بن‬ ْ‫َا‬ ‫ة و‬ ََ‫ْب‬‫ِي شَي‬ ‫َب‬‫ُ أ‬‫بن‬ ْ ِ ‫ْر‬‫بك‬َ ‫بو‬ َُ‫َا أ‬ ‫ثن‬َ‫د‬ََّ
‫ح‬
ْ ِ
ِ‫بن‬ ‫َّد‬
‫َم‬ ُ ْ
‫مح‬ ‫َن‬
‫ان ع‬َ َ ‫ْم‬‫ُث‬ ‫بنِ ع‬ ْ ‫ة‬ ََ‫ِيع‬ ‫ْ ر‬
‫َب‬ ‫َن‬‫ِيسَ ع‬ ‫در‬ِْ‫ُ إ‬‫بن‬ ْ ِ‫اَّلل‬
َّ ‫د‬ ُْ‫َب‬‫ع‬
ُ‫َسُو‬
‫ل‬ ‫ل ر‬ َ‫َا‬ ‫ ق‬:‫ل‬ َ‫َا‬‫ة ق‬ ََ‫ير‬َْ ‫هر‬ُ ‫ِي‬ َ
‫ْ أب‬ ‫َن‬‫ِ ع‬‫َج‬‫ْر‬ َْ ْ
‫اْلع‬ ‫َن‬ َ َّ
‫ان ع‬ ‫َب‬‫بنِ ح‬ ْ ‫َى‬ ‫ْي‬‫يح‬ َ
َّ ‫َِلى‬
ِ‫اَّلل‬ ‫ُّ إ‬‫َب‬ َ
‫َأح‬ ‫ٌ و‬‫ْر‬‫َي‬‫ِيُّ خ‬ ‫َو‬‫الق‬ْ ُ ‫ِن‬‫ْم‬‫ُؤ‬ ْ َ
‫الم‬ ََّ‫َس‬
‫لم‬ ‫ِ و‬ ‫ْه‬ ََ
‫لي‬ ‫اَّللُ ع‬
َّ ‫لى‬ ََّ َّ
‫اَّللِ ص‬
‫َع‬
َ‫ُك‬ ‫ْف‬‫ين‬َ ‫ما‬ َ ‫لى‬ ََ‫ِصْ ع‬ ‫ْر‬‫ٌ اح‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫ٍ خ‬ ‫ُل‬‫ِي ك‬ ‫َف‬‫ِيفِ و‬ ‫َّع‬
‫ِنِ الض‬ ‫ْم‬‫ُؤ‬‫الم‬ْ ْ ‫ِن‬‫م‬
‫ِي‬ َ
‫ْ أن‬ ‫ْ َلو‬‫ُل‬‫تق‬ ََ
َ ‫َل‬ ‫ء ف‬ ٌْ‫بكَ شَي‬ َ‫َا‬ َ
‫ن أص‬ ِْ
‫َإ‬‫ْ و‬ ‫ْج‬
‫َز‬ ‫تع‬َ ‫َل‬ََ َّ ‫ْ ب‬
‫ِاَّللِ و‬ ‫ِن‬‫َع‬‫َاسْت‬ ‫و‬
َّ‫إ‬
‫ن‬ َِ‫َ ف‬‫َل‬‫َع‬‫ء ف‬َ‫ما شَا‬ ََ َّ ُ
‫اَّللِ و‬ ََ
‫در‬‫ْ ق‬ ‫ُل‬‫ْ ق‬‫ِن‬‫ََلك‬‫ذا و‬ ََ‫َك‬‫ذا و‬ ََ ‫ان ك‬َ َ ‫ُ ك‬ ‫لت‬َْ‫َع‬ ‫ف‬
ِ‫َان‬ ‫ْط‬ ‫َ الشَّي‬ ‫َل‬‫َم‬‫ُ ع‬‫َح‬‫ْت‬‫تف‬َ ْ ‫َلو‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair mereka berdua
berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Idris dari Rabi'ah bin 'Utsman dari Muhammad bin
Yahya bin Habban dari Al A'raj dari Abu Hurairah dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: 'Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala daripada
orang mukmin yang lemah. Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-
sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla dan janganlah kamu
menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan;
'Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu'. Tetapi
katakanlah; 'lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena
sesungguhnya ungkapan kata “seandainya” akan membukakan jalan bagi godaan syetan.'"(HR. Muslim -
4816) :

Agama Islam sangat mendorong umatnya untuk mandiri. Kemandirian akan memberi peluang bagi
seseorang dapat berbuat lebih baik dan lebih banyak. Ketergantungan kepada orang/pihak lain, membuat
kehidupan tidak akan nyaman. Satu-satunya tempat bergantung hanya Allah SWT.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya mengingatkan umatnya untuk mandiri, tetapi juga
selalu mengaplikasikan kemandirian itu dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga mengajarkan umatnya untuk hidup mandiri. Kalau kita menelusuri jejak hidup beliau, akan kita temukan
betapa beliau seorang yang sangat mandiri. Beliau tak segan mengerjakan pekerjaan kasar sebagaimana
dikerjakan orang kebanyakan. Beliau sering menambal sendiri jubahnya, menjahit sepatunya, dan melakukan
setumpuk pekerjaan rumah. Bagi beliau, pekerjaan kasar tidak mengurangi sedikitpun kemuliaannya sebagai
Utusan Allah.
Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat melakukan sebuah perjalanan dan perlu
berkemah. Ketika hendak mengolah makanan, mereka berebut untuk ambil bagian. Salah seorang Sahabat
berkata:” Aku yang menyembelih kambingnya.” Yang lain menyahut:” Aku yang mengulitinya.” Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau kalah. Beliau berkata :” Aku yang mencari kayu bakarnya.” Mendengar
inisiatif Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, para Sahabat kemudian berkata:” Biarkan kami saja
yang mengerjakan semuanya. Lebih baik engkau beristirahat saja”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian bersabda:” Aku tahu, kalian pasti tidak menghendaki aku mengerjakan hal ini, tapi Allah tidak suka
melihatku mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini”. Setelah itu, beliau meninggalkan para Sahabat menuju
padang pasir untuk mengumpulkan kayu bakar.
Bagi sebagian pemimpin, mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencari kayu bakar akan dianggap hina,
atau setidaknya mengurangi gengsi. Akan tetapi bagi Rasulullah saw, pekerjaan apapun yang dikerjakan secara
jujur, profesional, dan bermanfaat untuk semua, maka pekerjaan itu adalah mulia. Kemuliaannya dan
kehormatannya tidak berkurang sedikitpun hanya karena beliau mengerjakan pekerjaan kasar. Sebaliknya, beliau
merasa bangga dan mulia jika bisa mengerjakan sendiri tugasnya, termasuk tugas kerumah-tanggaan.
Rasulullah saw juga pernah pergi ke pasar dan pulangnya membawa beberapa keranjang barang. Melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keberatan membawa barang-barangnya, para Sahabat berinisiatif
membawakannya. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menolaknya. Beliau bersabda:”
Kamilah pemilik barang ini, maka kamilah yang paling berhak membawanya.”
Kemandirian yang ditekankan syariat adalah kemauan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan
bekerja keras agar terhindar dari sikap meminta-minta. Dalam ajaran Islam, meminta-minta adalah pekerjaan
hina yang harus dijauhi, kecuali dalam keadaan sangat memaksa. Islam tidak melarang kaum Muslim menerima
pemberian orang lain, akan tetapi menjadi pemberi jauh lebih baik dan mulia. Kita semua dianjurkan untuk
memberi dan menjadi “tangan di atas”.
‫ اليد العليا خير من اليد السفلى‬: ‫اخرج البخري و مسلم عن ابن عمر قال رسو ل هللا صلى هللا عليه وسلم‬
”Diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari ibn Umar, Rasulullah s.a.w bersabda : “Tangan diatas
lebih baik dari pada tangan dibawah” .
Jika kita mau membaca biografi Rasulullah dengan teliti dan disertai perenungan, maka kita dapat menggali dan
memetik pelajaran di balik sejarah beliau, juga bisa merenungi setiap hadits yang kita dengar dari beliau. Juga
bagaimana pola pemikiran para Sahabat Beliau. Sebenarnya, olehnya secara hisrtoris telah diletakkan untuk kita
bagaimana tata cara bersikap dan berpikir (manhajiyyut tafkir).

Di antara contoh kaidah asas dalam berpikir dan bersikap yang biasanya dirumuskan dalam bentuk kata bijak
oleh para Sahabat Nabi adalah perkataan legendaris S. Ali, "undzur maa qol, wa laa tandzur man qol". Atau
dalam terma bahasa kekinian, "undzuril qoul wa laa tandzuril qo-il".

“Lihat apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan.”

Sungguh rumusan atau teori asas berpikir dan bersikap yang sangat sederhana, namun pada kenyataannya sangat
sedikit dari kita yang bisa mempraktekkannya.

Akibatnya--karena lebih melihat sosok--banyak di antara kita mengalami blindness (kekaburan) antara mana
yang baik dan mana yang benar. Sebab terlanjur fokus pada figur.

Gara-gara terlebih dulu melihat sosok, akibatnya kita serta merta menerima sebuah statemen hanya karena yang
mengatakannya, misalnya, adalah seorang syaikh dari Arab, padahal perkataannya salah. Atau sebaliknya, kita
serta merta menolak perkataan seseorang hanya sebab dia artis yang gaya hidupnya identik bergelimang maksiat
padahal ada kalimatnya yang benar.

Tentu saja cara berpikir yang kacau seperti ini akan membuat banyak hal menjadi tidak jelas status hukumnya
padahal aslinya jelas hanya gara-gara terpatok pada sosok.

Dan tentu saja akan membuat seseorang tidak akan bijaksana dalam bersikap. Rumusan cara berpikir yang
dikonsepkan Imam Ali ini bukan tanpa dasar, namun sangat berhubungan erat dengan Sabda Nabi, "Khudzil
hikmata min ayyi syai-in khorojat" (ambillah ilmu kebijaksanaan bersikap, dari manapun keluarnya).

Di sabda lain Nabi juga bertutur bahwa "al hikmatu dhollatul mu'mini, aina wajadaha fa huwa ahaqqu biha".
Ilmu kebijaksanaan itu seperti harta-barang orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka
dia berhak atasnya. (HR. Abu Daud).

Sekedar tamsil, tentu kita tahu kisah Ayat Kursi yang dianjurkan dibaca untuk melindungi diri dari gangguan
setan. Kegunaan Ayat itu Abu Hurairah menerimanya bukan dari Nabi, tetapi justru diajari sendiri oleh setan dan
dibenarkan oleh Nabi.

Maka, bahkan sebuah perkataan yang keluar dari mulut setan sekalipun jika itu mengandung unsur kebenaran
jangan lantas kita mengabaikannya.

Pada akhirnya, dalam tata cara memandang, kita harus memisahkan antara sosok orang, perkataannya, dan
perilakunya. Memang ketiganya menjadi satu dalam satu sosok, tetapi dalam menilainya harus dipisahkan.

Dalam melihat sosok orang, kita tak diperkenankan sekalipun membenci sosok, sebab membenci sosok artinya
membenci ciptaan Allah. Soal suka atau tidak kita hanya diperkenankan menerapkannya di ranah perilaku. Jadi
jika ada seseorang buruk moralnya, maka kita boleh tidak suka kelakuannya itu, namun kita tidak boleh boleh
benci orangnya. Begitu pula halnya dengan perkataan.
Kiranya, ada dua software yang perlu kita upgrade dan aktifkan dengan baik dalam diri kita: Pertama,
memandang sesuatu dengan positif (tidak tergesa negatif). Kedua, husnuddzon, positive thinking, kepada
sesama saudara muslim, apapun jenis ideologi dan pemikiran dia. Wallahu yatawalla hudaana.

#SudutPandang.

Kiranya, ada dua software yang perlu kita upgrade dan aktifkan dengan baik dalam diri kita: Pertama,
memandang sesuatu dengan positif (tidak tergesa negatif). Kedua, husnuddzon, positive thinking, kepada
sesama saudara muslim, apapun jenis ideologi dan pemikiran dia. Wallahu yatawalla hudaana.

Anda mungkin juga menyukai