Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Islam, hadis merupakan pentunjuk dan sumber hukum kedua

setelah al-Quran. Selain menjadi sumber hukum kedua, hadis mempunyai

kedudukan sebagai syarah dan bayân bagi al-Quran.1 Berbeda halnya dengan al-

Quran; yang diturunkan baik lafal maupun maknanya dari Allah Swt.

Hadis terbagi dua. Pertama, hadis yang maknanya dari Allah Swt.

sedangkan lafalnya dari Nabi Saw. hadis model ini dikenal dengan Hadits Qudsî.

Kedua, hadis yang makna dan lafalnya murni dari Nabi Saw. Hadis ini dikenal

dengan Hadits Nabawî. Selain itu, pola periwayatan dan pengodifikasian hadis

dan al-Quran berbeda. al-Quran disampaikan oleh Allah Swt. melalui perantara

malaikat Jibril kepada Nabi Saw. yang pelayanan dan perhatiannya sudah

dilakukan semasa Nabi Saw. masih hidup.2

Sedangkan hadis, penulisanya memang sudah ada pada masa awal Islam.

Hal itu terbukti dengan data yang berhasil dikumpulkan oleh M. Azami, bahwa

sedikitnya terdapat 52 orang sahabat yang memiliki tulisan hadis, meskipun ada

pelarangan dari Nabi Saw. pada masa awal untuk menuliskannya. Hal tersebut

sebagai bentuk kehati-hatian, bukan berarti tidak ada tulisan sama sekali dan

hanya terbatas pada skala kecil. Larangan Nabi Saw. tentang penulisan hadis.

1
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fî Rihȃbi al-Sunnah al-Kitȃb al-Shihȃhi al-Sittah, (Ttp,
1995), hlm. 9-11.

2
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits, (Bandung: al Ma‟arif, 1974), hlm. 46.

6
7

secara resmi itu lebih disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, Nabi

khawatir ada salah tulis ketika dibolehkan secara umum. Oleh karena itu, Nabi

hanya membolehkan sahabat tertentu. Kedua, sahabat lebih fokus pada penulisan

al-Quran, dan hadis sebatas dihapal dan melihat langsung praktik yang dilakukan

Nabi. Ketiga, adanya kekhawatiran terjadinya iltibas antara ayat al-Quran dan

hadis.3

Periwayatan hadis sangat berbeda dengan al-Quran. Baik itu Qudsî atau

Nabawî, pada hakikatnya Nabi Saw. sendirilah yang mempunyai otoritas untuk

menyusun lafalnya. Periwayatan hadis dari masa awal lebih banyak menggunakan

periwayatan secara oral, yaitu mengandalkan hafalan dan melihat praktik Nabi

Saw. sehingga sistem periwayatannya pun ada yang meriwayatkan dengan lafal

orsinil dari Nabi Saw. dan ada juga yang hanya meriwayatkan maknanya saja.

Sedangkan lafalnya periwayat sendiri yang menyusunnya dengan mengubah

redaksi atau menambahkan redaksi. Seperti pada contoh hadis berikut:

ِ ‫اق ْب ُن َه َّم ٍام َح َّدثَنَا َم ْع َم ُر ْب ُن َرا‬


‫ش ٍد ع َْن َه َّم ِام‬ ِ ‫الر َّز‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ َرافِ ٍع َح َّدثَنَا‬
َّ ‫ع ْب ُد‬

ِ‫َّللا‬ ُ ‫ب ْب ِن ُمنَ ِب ٍه قَا َل َهذَا َما َح َّدثَنَا أَبُو ُه َر ْي َرةَ ع َْن ُم َح َّم ٍد َر‬
َّ ‫سو ِل‬ ِ ‫ْب ِن ُمنَ ِب ٍه أ َ ِخي َو ْه‬

‫سلَّ َم َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ َ ‫سلَّ َم فَذَك ََر أ َ َحاد‬
ُ ‫ِيث ِم ْن َها َوقَا َل َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ

َ ‫ضأ‬ َ ‫ص ََلةُ أ َ َح ِد ُك ْم إِذَا أَحْ د‬


َّ ‫َث َحتَّى َيت َ َو‬ َ ‫ت ُ ْقبَ ُل‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi‟ telah menceritakan

kepada kami „Abdul Razaq bin Hammam telah menceritakan kepada kami

3
Umaiyatus Syarifah, “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikian Hadits (Counter
Atas Keritik Orientalis)” dalam Jurnal Ulul Albab, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Vol. 15
No. 2; 2014, hlm.. 225-226 (PDF).
8

Ma‟mar bin Rasyid dari Hammam bin Munabbih saudara Wahab bin Munabbih,

dia berkata, "Inilah sesuatu yang diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami,

dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak akan

diterima shalat seseorang yang berhadas sehingga dia berwudlu.”

‫اق قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر ع َْن‬


ِ ‫الر َّز‬ َ ‫ظ ِل ُّي قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا‬
َّ ‫ع ْب ُد‬ َ ‫ق ْب ُن ِإ ْب َرا ِهي َم ا ْل َح ْن‬ ْ ‫َح َّدثَنَا ِإ‬
ُ ‫س َحا‬

‫سلَّ َم َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ِم َع أَبَا ُه َر ْي َرةَ يَقُو ُل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َ ُ‫َه َّم ِام ْب ِن ُمنَ ِب ٍه أَنَّه‬

‫َث َيا أَ َبا‬ ْ ‫ضأ َ قَا َل َر ُج ٌل ِم ْن َح‬


ُ ‫ض َر َم ْوتَ َما ا ْل َحد‬ َ ‫ص ََلةُ َم ْن أَحْ د‬
َّ ‫َث َحتَّى َيت َ َو‬ َ ‫ت ُ ْق َب ُل‬

ٌ ‫سا ٌء أ َ ْو ض َُرا‬
‫ط‬ َ ُ‫ُه َر ْي َرةَ قَا َل ف‬
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali berkata, telah

mengabarkan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada kami

Ma'mar dari Hammam bin Munabbih bahwa ia mendengar Abu Hurairah

berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan

diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu.” Seorang laki-

laki dari Hadlramaut berkata, “Apa yang dimaksud dengan hadats wahai Abu

Hurairah?”Abu Hurairah menjawab, Kentut baik dengan suara atau tidak.”

‫اق أ َ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر ع َْن َه َّم ِام ْب ِن ُمنَ ِب ٍه ع َْن أ َ ِبي‬


ِ ‫الر َّز‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ْب ُن َح ْن َب ٍل َح َّدثَنَا‬
َّ ‫ع ْب ُد‬

َ ‫ص ََلةَ أ َ َح ِد ُك ْم ِإذَا أَحْ د‬


‫َث‬ َّ ‫سلَّ َم َل َي ْق َب ُل‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ُه َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬

َ ‫ضأ‬
َّ ‫َحتَّى يَت َ َو‬

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal telah menceritakan kepada

kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin

Munabbih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ,'alaihi


9

wasallam bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kalian

apabila dia berhadats hingga dia berwudhu terlebih dahulu.”

Setelah sekian lama tersebar, baru kemudian ada inisiatif dari khalifah

Bani Umaiyah yaitu Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan

mendewankan hadis. Salah satu motif utamanya adalah kekhawatiran akan

hilangnya dan lenyapnya hadis dari perbendaharaan masyarakat. Pada priode

pertama ini belum ada karya yang lebih spesifik dan penyeleksian yang mendalam

pada hadis, karena pada priode ini hanya terfokus pada pengumpulan. Setelah

priode tersebut, masuk kepada priode kedua, dengan mulai ada inisiatif untuk

mengklasifikasikan hadis kepada masalah-masalah yang lebih fokus. Di antaranya

kitab-kitab yang muncul pada priode ini, ialah: Muwatha‟ karya Imam Malik,

Musnad asy-Syafi‟î, dan Mukhtalif al-Hadîts karya Imam Syafi‟î. Kemudian

berlanjut pada priode penyaringan hadis dari fatwa-fatwa. Kitab yang muncul

pada permulaan abad ketiga ini ialah kitab Musnad yang salah satunya adalah

Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal. Terbitnya kitab Musnad dirasa

masih belum sempurna. Di dalamnya masih belum menyisihkan hadîts-hadîts

dha‟îf bahkan mawdhu‟. Untuk itu, pada pertengahan abad ketiga, para ulama

ahli hadis tergerak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk

menentukan apakah hadis itu shahîh atau dha‟îf. Pada pertengahan abad ketiga ini

mulai diterbitkan kitab Shahîh karya Imam Bukhari dan kitab Shahîh karya Imam

Muslim. Kedua kitab yang disebut terakhir menghimpun hadis yang dipandang

shahîh berdasarkan kaidah dan syarat yang telah dibuat. Di samping itu, masih

pada pertengah abad ketiga, selain terbit kitab Musnad dan Shahîh, muncul juga

kitab Sunan yang mencakup seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat dha‟îf dan
10

munkar. Di antaranya yang tergolong pada kitab Sunan ini ialah Abu Dawud, at-

Tirmidzi, an-Nasa‟i, dan Ibnu Majah.4

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, perjalanannya yang sangat

panjang dari periwayatan hingga pengodifikasian. Bagi sebuah hadis, ada dua

unsur penting yang menjadi pembentuk, sehingga dapat dikatakan hadis dan

dilacak kebenarannya sebagai sebuah hadis, yaitu: sanad dan matan. Sanad dan

matan bagi sebuah hadis, bagaikan batang dan buah bagi sebuah pohon. Batang

sebagai sanad yang didalamnya terdapat serangkaian periwayat (rawi) yang

menghantarkanya pada buah, yaitu matan sebagai isi dari suatu hadis. Baik itu

perkataan Nabi Saw. atau pemberitaan terhadap perbuatan, persetujuan, atau sifat

Nabi Saw. Dengan demikian, dalam penelitian hadis terdapat dua unsur yang

harus diteliti, yaitu sanad dan matan, meskipun pada kenyataanya penelitian

terhadap sanad lebih didahulukan daripada matan. Penelitian terhadap matan akan

berarti ketika sanadnya memang sudah terbukti shahîh. 5 Inti dari penelitian hadis,

baik dari segi sanad maupun matan, adalah untuk memberikan penilaian terhadap

kualitas hadis yang diteliti. Kualitas suatu hadis dalam hubungannya dengan

kehujahan merupakan hal yang sangat penting. Melalui kualitas, sebuah hadis

dapat diketahui apakah hadis itu shahîh, hasan, dha‟îf, atau bahkan mawdhu‟.

Penelitian hadis sangat erat kaitanya dengan takhrîj. Takhrîj merupakan

langkah awal dalam penelitian hadis, karena dengan takhrîj. Pertama, kita dapat

mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kedua, mengetahui seluruh

riwayat hadis yang akan diteliti. Ketiga, untuk mengetahui ada tidaknya syahid

4
Fatchur Rahman, Ikhtisar, op.cit, hlm. 52-58.

5
M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.
122.
11

dan mutabi di dalam sanad yang diteliti. Hal ini sangat erat sekali kaitanya dengan

penentuan kualitas sebuah hadis.6Meskipun kualitas suatu hadis dalam

hubungannya dengan kehujahan merupakan hal yang sangat penting, pada

kenyataanya masih terdapat kitab-kitab yang mengutip hadis sebagai sumber

kehujahan seseorang tanpa disertakan kedua unsur tersebut. Salah satunya, seperti

yang terdapat dalam kitab Dalail khairat karya Muhammad bin Sulaiman Al-

Jazuli. Dalam kitab tersebut, menurut pengkajian awal penulis, ia hanya mengutip

matan dari sebuah hadis, bahkan penggalan matan-nya saja, tanpa menyertakan

sanad-nya. Ia hanya menyebutkan “Qȃla Rasûlullȃh Saw”.7

Pondok Pesantren Al-Arfiyyah mojoduwur Ngetos Nganjuk adalah salah satu

pondok pesantren salaf yang terletak di daerah ngetos nganjuk dan didirikan oleh

Syeikh Al-Arfiyah. Tidak jauh beda dengan pesantren lain, ciri-ciri utama

pesantren salaf adalah pengajaran kitab-kitab islam klasik8 sebagai inti

6
Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadits, (Bandung; Tafakur, 2012), hlm. 3-4.

7
Hadits yang terdapat dalam Dhalail Khoirat tanpa disertai sanad, seperti contoh pada pasal
pertama tentang “keutamaan sholawat”, haditsnya hanya disebutkan ‫لٌ زس قال‬

‫ هللا‬. lihat Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli, Dhalail Khoirat,(Semarang; Karya Putra,) hlm. 8.
8
Kitab-kitab berbahasa arab yang ditulis oleh para ulama’ abad petengahan yang di istilahkan
dengan kitab “kitab kuning”. Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES,1986), hal.18-43, Kitab Kuning dalam sruktur keilmuan pesantren ditempatkan
pada posisi istimewa. Kitab kuning yang di ajarkan berasal dari kitab-kitab Islam klasik yang
ditulis dalam Bahasa Arab., baik karya para tokoh muslim Arab maupun para pakar pemikir
muslim Indonesia. Muhamad ESA, “Mengukuhkan struktur keilmuan pesantren dan kurikulum
integral pesantren al-qur’an babussalam”, http://rumahsantri.multiply.com/journal /item
/10/Mengukuhkan_Struktur_Keilmuan_Pesantren.
12

pendidikannya, baik menggunakan sistem sorogan, bandongan maupun wetonan9

Keseluruhan kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren dapat dikelompokkan

menjadi delapan: nahwu, sarf, fiqh, ushu fiqh, tafsir10, tajwid, hadist, tasawuf dan

etika serta cabang-cabang ilmu-ilmu lainnya, seperti tarikh dan balaghat. Salah

satu kitab yang di ajarkan di Pondok Pesantren Al-Arfiyyah adalah kitab Dalail

khairat karangan Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli.

Ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kitab Dalail

Khairat karya Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli, berawal dari penelitian skripsi

yang dilakukan oleh Mutholi‟ah ketika menyelesaikan studinya di IAIN Sunan

Ampel Surabaya pada 1997. Dalam penelitianya, ia hanya menelusuri sanad tiap

hadis yang digunakan dalam kitab itu. Langkah selanjutnya, ia hanya

menganalisis periwayatan secara lafal atau makna hadis yang digunakan dalam

kitab itu. Namun demikian, pada penelitian Mutholi‟ah masih terdapat hadis yang

belum diteliti, di antaranya hadist yang Ke tujuh pada kitab Dhalail Al-Khoirat”.

Matan hadis tersebut sebagai berikut:

ْ ‫صلَوةًٌٌا َ ْكث َ ُر ُكمٌا َ ْز َوا ًجا ِف‬


ٌ‫يٌال َجنَ ِة‬ َّ َ‫َوقَا َلٌصلىٌهللاٌعليهٌوسلمٌا َ ْكث َ ُر ُك ْمٌ َعل‬
َ ٌ‫ي‬
9
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren………., hal.41 dan 50-51
10
Kata tafsir yang terambil dari kata fasara (‫ )فسر‬mengandung makna kesungguhan membuka
atau keberulang-ulangan melakukan upaya membuka, sehingga itu berarti kesungguhan dan
berulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang tertutup atau menjelaskan apa yang musykil
atau sulit dari makna sesuatu, antara lain kosakata. Salah satu definisi singkat dari tafsir al-qur’an
tetapi mencakup adalah Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan
kemampuan manusia. Tafsir (penjelasan) itu lahir dai upaya sungguh-sungguh manusia untuk
beristinbath atau menarik dan menemukan makna-makna pada teks ayat-ayat al-qr’an serta
menjelaskan apa yang musykil atau samar dari ayat-ayat tersebut sesuai kemampuan dan
kecenderungan sang penafsir. M. Qurais Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan dan aturan yang
patut anda ketahui dalam memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Cetakan III (Tangerang: Penerbit
Lentera Hati, 2015), hal. 9
13

Ketertarikan peneliti selanjutnya untuk meneliti kitab Dalail khoirat karya

Muhamman bin Sulaiman Al-Jazuli. selain karena pengutipan hadis yang

dilakukan oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli. tanpa menyertakan sanad

sebagaimana dikatakan Mutholi‟ah11, bahwa hadis yang digunakan oleh

Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli dalam kitabnya itu, banyak hadis yang sanad-

nya tidak terdewankan (dibukukan).

Ketertarikan lainnya, pada kenyataannya, kitab Dalail khoirat sudah

menjadi bahan ajar di beberapa pesantren sebagai kitab tuntunan untuk para

pencari ilmu. Menyadari hal-hal tersebut, peneliti merasa perlu untuk melakukan

penelitian guna memberikan keterangan pada setiap hadis yang digunakan

Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli dalam kitab Dalail Khoirat. Untuk itu,

penelitian ini akan berusaha mengungkap segi periwayatan dan kualitas dari sanad

hadis-hadis yang digunakan pada kitab Dhalail Khairot. Sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya pada penelitian yang dilakukan Mutholi’ah, penelitian

yang sama akan dilakukan oleh peneliti pada salah satu hadist dari kitab Dhalail

Khoirat. Selain untuk memfokuskan penelitian ulang terhadap penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya, juga dilihat masih terdapat hadis yang belum dibahas

oleh Mutholi‟ah. Untuk keperluan itu, peneliti akan berusaha memformulasikan

penelitian ini dengan judul “TAKHRIJ HADIS DALAM KITAB DALAIL Al-

KHOIRAT KARYA MUHAMMAD BIN SULAIMAN AL-JAZULI (Telaah

salah satu hadist)”.

11
12Muthali‟ah, Takhrij Hadits dalam Kitab Ta‟lim Muta‟allim, Skripsi S1, IAIN Sunan Ampel,
Surabaya: 1997, hlm. 139.
14

B. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ragam redaksi

matan, sanad, dan kehujahan sanad hadis yang ia gunakan. Adapun tujuan khusus

dari penelitian ini adalah diketahuinya hal-hal sebagai berikut:

1. Periwayatan hadis-hadis yang digunakan dalam kitab Dhalail Khoirot.

2. Kualitas sanad hadis yang digunakan dalam kitab Dhalail Khoirat`

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memperjelas ragam redaksi matan, sanad,

dan kehujahan sanad hadis yang digunakan oleh Muhammad bin Sulaiman Al-

Jazuli.

C. Kerangka Teori

1. Pengertian takhrij hadis

Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling


mendekati disini adalah berasal dari Kharaja yang artinya nampak dari
tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-
ikhraj yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya, dan al-makhraj
artinya tempat keluar, dan akhraja al-hadits wa kharrajahu artinya
menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan
tempat keluarnya.12

Sedangkan hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Saw baik
berupa, perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum
kenabian atau sesudahnya.

Secara umum, Takhrij Hadits adalah segala yang menunjukkan tempat


hadits pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadits tersebut dengan
sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.

12
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar 2008), h. 189.
15

Al-Thahhan, di dalam kitabnya Ushul al-Takhrij, mendefinisikan takhrij


hadits adalah: “menunjukkan atau mengemukakan letak asal Hadits pada
sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan Hadits itu secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian manakala diperlukan,
dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan”.

Yang dimaksud dengan menunjukkan letak hadits dalam definisi di atas


adalah menyebutkan berbagai kitab yang didalamnya terdapat hadits tersebut.
Seperti hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Sahih-nya,
atau oleh al-Thabrani di dalam Mu’jam-nya, atau oleh al-Thabari di dalam
Tafsir-nya, atau kitab-kitab sejenis yang memuat hadits tersebut.

Sedangkan yang dimaksud “sumber-sumber hadits yang asli”, adalah


kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi Saw yang diperoleh oleh
penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya, sampai
kepada Nabi saw. kitab-kitab tersebut adalah seperti al-Kutub al-Sittah,
Muwaththa’ Malik, Musnad Imam Ahmad, dan Kitab Sunan al-Darimi.

Yang dimaksud dengan “menjelaskan status dan kualitas hadits tersebut


ketika dibutuhkan”, adalah menjelaskan kualitas hadits-hadits tersebut apakah
sahih, hasan, dan dha’if apabila hal tersebut diperlukan. Oleh karenanya,
menjelaskan status dan tingkatan hadits bukanlah sesuatu yang asasi di dalam
takhrij, namun hanyalah sebagai penyempurna yang akan dijelaskan manakala
diperlukan.

Dari definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij hadits adalah:
peneslusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab hadits sebagai
sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan
sanadnya13.

13
Nawir Yuslem, Sembilan Kitan Induk Hadis (Jakarta: Hijri, 2006) h. 153
16

2. Metode Takhrij Hadis

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan


sebagai pedoman, yaitu;

a. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis

Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Hadis-hadis
dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan
huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi;

‫ع ِة‬
َ ‫ص ْر‬
ُ ‫ش ِد ْي ُد ِبال‬ َ ‫لَ ْي‬
َّ ‫س ال‬

Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah


yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal
matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun
oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman
2014. Bearti, lafaz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah
diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;

‫ع ِة‬
َ ‫ص ْر‬
ُ ‫ش ِد ْي ُد ِباال‬ َ ‫ لَ ْي‬:‫سلَّ َم قَا َ َل‬
َّ ‫س ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى َّللا‬ ُ ‫ع َْن ا َ ِب ْي ُه َر ْيرةَ أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل َّللا‬
َ ‫ِي يَ ْم ِلكُ نَ ْف‬
ِ ‫سهُ ِع ْندَالغَ ْي‬
‫ب‬ ْ ‫ش ِد ْي ُد الَّذ‬
َ ‫اِنَّ َما ال‬

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat
(perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang
disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya
tatkala dia marah”.

Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan


yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari
dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila
terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, mak akan sulit
unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai contoh ;

َ ‫اِذاأَتَا ُك ْم َم ْن ت َ ْر‬
ُ‫ض ْو َن ِد ْي َنهُ َو ُخلُ َقهُ فَ َز ِو ُج ْوه‬
17

Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut adalah iza
atakum (ٌ‫)اِذا ٌاَت َا ُك ْم‬. Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz
pertamanya adalah law atakum (ٌ‫ )لَ ْو ٌاَتَا ٌ ُك ْم‬atau iza ja’akum (ٌ‫)اذا َجا َء ُك ْم‬, maka hal
tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadis yang sedang dicari,
karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut
mengandung arti yang sama.

b. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis

Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat
dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini
tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya
sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat.
Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian
hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.

Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam


Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis
yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih
Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan
Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.

Contohnya pencarian hadis berikut;

‫طعَ ِام ا ْل ُمتَبَ ِاريَ ْي ِن أ َ ْن يُ ْؤ َك َل‬


َ ‫سلَّ َم نَ َهى ع َْن‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫صلَّى َّللا‬
َ ‫ا َِّن النَّبِ َي‬

Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-
َ ), yu’kal (ٌ‫ )يُؤْ ك َْل‬al-mutabariyaini (ٌ‫ين‬
kata naha (‫ ) َن َهى‬ta’am ( ‫طعَام‬ ِ َ‫)ال ُمتَب‬. Akan tetapi
ِ َ‫اري‬
dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan
ِ ‫ )ال ُمتَ َب‬karena kata tersebut jarang adanya. Menurut
kata al-mutabariyaini (ٌ‫ار َيي ِْن‬
َ ‫ )ت َ َب‬di dalam kitab induk
penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara (‫ارى‬
hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.

Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan


dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
18

Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang


akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang
dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata
tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut
dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar
tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya secara
abjad (huruf hijaiyah).

Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang
terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah
kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk
potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut
dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm
bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat


pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja
yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa
kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata
sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.

c. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang


meriwayatkan hadis, lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam karya hadis yakni;

Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis


yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah
mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis
tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari
kumpulan musnad tersebut.

Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan


urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus
19

hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk


hadisnya.

Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan


musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus.
Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada
sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian
mengambil hadis secara lengkap.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek.


Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan
baik, apabila perawih yang hendak diteliti itu tidak diketahui.

d. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis

Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk
melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari
suatu hadis yang akan ditakhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu
pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis
memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang mekharrij
harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut.
Contoh :

‫َّللاِ َواِقَ ِام‬


َّ ‫س ْو ُل‬ َّ ُ‫ان لَاِلهَ اِلَّ َّللا‬
ُ ‫وان ُم َح َّمدا َر‬ َ ‫علَى َخ ْم ٍس‬
ْ ‫ش َها َد ِة‬ َ ‫سَلَ ُم‬ ْ ‫بُنِ َي ا ِل‬
َ ‫ع اِ َل ْي ِه‬
‫س ِب ْيَل‬ َ ‫طا‬َ َ ‫ست‬
ْ ‫ت َم ِن ا‬ِ ‫ان َو َحج ا ْل َب ْي‬
َ ‫ض‬ َ ‫الزكا َ ِة َو‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َّ ‫اء‬ِ َ ‫الصَلَ ِة َوا ْيت‬

Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat,
membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu.

Hadis diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat,
puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari
didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu
20

dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun
berdasarkan judul-judul pembahasan.

Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat
tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij
harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan
kajian fiqih secara khusus.

Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan


kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan
tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan
hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat
menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.

e. Takhrij Berdasarkan Status Hadis

Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para
ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan
statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian
hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan
lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti diatas dia
telah melakukan takhrij al hadis.

Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal
ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan
sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit.
Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang
dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari
metode ini.

Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.

Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani.


21

Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

D. Metode penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka) yaitu


seluruh sumber data penelitian berasal dari bahan-bahan tertulis yang dikaitkan
dengan tema yang dibahas. Topik pembahasan dalam penelitian ini adalah matan
hadis-hadis yang terdapat pada kitab Dalail Al-Khairat Karya Muhammad bin
Sulaiman Al Jazuli
2. Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian kritik sanad dan matan hadis atau takhrij
al-’Ahadis matnan wa sanadan. Karena penelitian ini berkenaan dengan Hadis
maka sumber data diambil dari buku-buku yang berkaitan dengan Hadis dan
mustalah al-Hadiṡ. Penelitian ini akan dilakukan dengan berpegang kepada
sumber rujukan, yaitu:
Sumber rujukan dalam penelitian ini berupa kitab-kitab induk
Hadis, terutama kitab Hadis yang termasuk dalam al-Kutub at-Tis‘ah
(Sembilan kitab induk Hadis), yaitu, Sahih al-Bukhari oleh ’Abu ‘Abdillah
Muhammad ibn ’Isma‘il ibn ’Ibrahim al-Bukhari (194-256 H), Sahih Muslim
oleh ’Abu Husain Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi
(206-261 H) , Sunan Abi Daud oleh Abu Daud Sulaiman ibn al-’Asy‘aṡ ibn
Ishaq as-Sijistani (202-275 H), Sunan at-Tirmiżi oleh Abu ‘Isa Muhammad ibn
‘Isa at-Tirmiżi (209-279 H), Sunan an-Nasa’i oleh ’Ahmad ibn Syu‘aib ibn
‘Ali ibn Sinan al-Khurasani an-Nasa’i (215-303 H), Sunan Ibn Majah oleh
’Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (209-273 H), Musnad
’Ahmad ibn Hanbal oleh ’Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (164-241 H),
Muwatta Malik oleh ’Abu ‘Abdillah Malik ibn ’Anas al-Asbahi (93-179 H) dan
Sunan ad-Darimi oleh ’Abu Muhammad ‘Abdillah ibn ‘Abd ar-Rahman ibn al-
Fadl ibn Bahram ad-Darimi (181-255 H).

Kitab-kitab yang dipergunakan untuk kegiatan takhrij Hadis, di


antaranya: al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadiṡ an-Nabawi oleh A.J
22

Wensinck dan Fu‘ad ‘Abd al-Baqi, Miftah Kunuz as-Sunnah A.J Wensinck
yang diterjemahkan oleh Fu‘ad ‘Abd al-Baqi, , Usul at-Takhrij wa Dirasat al-
Asanid oleh Mahmud at-Tahhan, Turuq Takhrij al-Hadis oleh Sa‘d ibn
‘Abdillah Al Hamid.
Dalam meneliti para perawi Hadis dipergunakan kitab-kitab
rujukan seperti al-Jarh wa at-Ta‘dil oleh Ibn Abi Hatim ar-Razi (240-327 H),
al-Isabah fi tamyiz as-Sahabah oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852
H), Tahżib at-Tahżib oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852 H), Tahżib
al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal oleh Jamal ad-Din al-Hajjaj Yusuf az-Mizzi (654-
742 H), Ikmal Tahżib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal oleh ‘Ala’ ad-Din Muglatai
ibn Qalij ibn ‘Abdillah al-Bakcari (689-762 H), al-Jarh wa at-Ta‘dil oleh
Syams ad-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Uṡman aż-żahabi (673-748 H),
Tażhib tahżib al-Kamal oleh Syams ad-Din Muhammad ibn Ahmad ibn
Uṡman aż-Żahabi (673-748), Mizan al-I‘tidal fi Naqd ar-Rijal oleh Syams ad-
Din Muhammad ibn Ahmad ibn Uṡman aż-Żahabi (673-748), Mausu‘ah rijal
al-Kutub at-Tis‘ah oleh ‘Abd al-Gaffar Sulaiman al-Bandari dan Sayyid
Kisrawi Hasan, al-Jarh wa at-Ta‘dil Ibrahim ibn Abdillah al-Lahim.

Pada penelitian matan digunakan kitab-kitab seperti, Maqayis


Naqd Mutun as-Sunnah oleh Musfir ‘Azmullah ad-Damini, Manhaj Naqd al-
Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadiṡ an-Nabawi oleh Salah ad-Din Ahmad al-Idlibi,
Usul Manhaj an-Naqd ‘inda ahl al-Hadiṡ oleh ‘Isam Ahmad al-Basyir.

3. Analisis Data

Secara operasional ada beberapa langkah atau tahapan yang

ditempuh dalam metode kegiatan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Takhrij al-Ahadis atau penelusuran sumber Hadis yaitu upaya untuk


menemukan hadis yang berkaitan dengan hadis yang terdapat dalam kitab
Dalail Al-Khairat pada kitab-kitab sumber Hadis atau kitab induk Hadis
yang memuat Hadis secara lengkap dengan sanad dan matannya serta
menjelaskan status dan kedudukan hadis tersebut.
23

b. Melakukan i`tibar, kata i`tibar merupakan masdar dari kata i`tabara –


ya`tabiru. Menurut bahasa arti i`tibar adalah peninjauan terhadap beberapa
hal yang bermaksud untuk mengetahui sesuatu yang sejenis. Menurut istilah
ilmu hadis i`tibar berarti menelusuri jalur-jalur yang hadis itu pada bagian
sanadnya tampak hanya terdapat satu periwayat saja agar dapat diketahui
apakah ada periwayat yang lain yang meriwayatkannya atau tidak.11 Dengan
melakukan i`tibar akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang
diteliti, nama para periwayatnya dan metode periwayatan yang dilakukan
oleh masing-masing periwayat.12 Untuk memperjelas dan mempermudah
proses i`tibar diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad hadis yang
diteliti.13 Kegiatan i`tibar juga bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak
mutabi` dan syahid terhadap sanad hadis yang diteliti. Hadis mutabi` adalah
Hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang periwayat baik dari segi
lafaz atau makna. Hadis mutabi` ada dua macam mutabi`tamm dan mutabi`
qasir. Mutabi` tamm adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
baik dari segi lafaz atau makna dengan rangkaian awal sanad yang sama
yang juga diriwayatkan oleh perawi lain, sedangkan mutabi` qasir adalah
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi baik dari segi lafaz atau
makna namun kesamaan hanya terletak pada pertengahan rangkaian sanad
hadis yang juga diriwayatkan oleh perawi lain. Syahid adalah sebuah Hadis
yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lain dengan lafaz atau makna yang
sama dengan perawi lain walaupun tidak memiliki persamaan pada susunan
lafaz sanad, dalam artian masing-masing perawi mengambil Hadis dari jalur
yang berbeda. Keberadaan sanad Hadis yang memiliki mutabi` atau syahid
yang kuat sanadnya dapat menjadi penguat dan pendukung sanad hadis yang
diteliti.
c. Menyimpulkan hasil penelitian
Setelah tahapan-tahapan di atas dilakukan, langkah terakhir yaitu
menyimpulkan hasil penelitian. Hasil penelitian berupa hadis makbul, atau
mardud, yaitu hadis yang dapat diterima dengan klasifikasi hadis sahih,
hasan, dan tidak dapat diterima yaitu daif. Adapun hasil penelitian matan
berupa sahih dan daif.
24

E. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab, dengan sistematika

sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang kerangka awal dalam penelitian ini,

seperti latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan

sitematika penulisan.

BAB II : Membahas tentang profil pondok pesantren Al-Arfiyyah mojoduwur

yang meliputi Wilayah, Sejarah, Struktur kepengurusan, dan Unit

Kegiatan.

BAB III : Pembahasan. Bab ini berisi tentang profil Muhammad bin Sulaiman Al-

Jazuli dan kitabnya yaitu Dhalail Khoirat, pengumpulan data, dan

Takhrîj. di dalamnya berisi biografi, kitab-kitab karya beliau, kajian

beliau di bidang hadis, latar belakang dan sistematika penyusunan kitab

dan penggunaan hadis dalam kitab tersebut, pengumpulan data hadis-

hadis yang akan di bahas, dan mentakhrîj hadyang dibahas dengan

pembahasan perhadis yang kemudian di skemakan sebagai hasil akhir

untuk memberikan kesimpulan tiap hadist.

BAB IV : Metodologi Penelitian Hadis, berisi tentang pengertian takhrîj, metode

takhrîj, dan jarh wa ta‟dîl.

BAB V : Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian secara

keseluruhan yang bertujuan menjawab pertanyaan dari tujuan penelitian,

dan saran-saran yang terkait dengan penelitian ini.


BAB II

PROFIL PONDOK PESANTREN AL-ARFIYYAH

A. Wilayah

Desa Mojoduwur terletak di kaki gunung Wilis di wilayah Kecamatan

Ngetos. Desa yang memiliki luas wilayah 362,2 ha dengan jumlah penduduk

sekitar 4762 jiwa dengan bidang pertanian menjadi sumber penghasilan utama

karena sekitar 90% penduduknya bermata pencarian sebagai petani dan didukung

dengan adanya empat aliran sungai besar yang sepanjang tahun airnya terus

mengalir dan ditunjang dengan sistem irigasi yang baik sehingga mempermudah

penduduk dalam bercocok tanam, kemudian juga karena konturtanahnya yang

subur karena berada di lereng gunung berapi, desa ini dibagi menjadi lima dusun

yaitu Mojoduwur, Kanigoro, Jatirejo, Sanan dan Jetis. Berbagai kegiatan

pemerintahan sebagai bagian dari kegiatan pelayanan publik di pusatkan di balai

desa setempat.

Desa yang terletak kurang lebih 15KM dari kota nganjuk kearah selatan

dengan jarak tempuh kurang lebih 30 menit menggunakan roda empat. Desa

mojoduwur berbatasan dengan Desa. Berbek Kec. Berbek di sebelah utara, di

sebelah selatan dengan desa suru kecamatan ngetos dan sebelah timur berbatasan

dengan Ds. Mlilir Kec. Berbek. Pemandangan menuju desa Mojoduwur juga

sangat indah, dengan berlatar belakang gunung wilis yang sedikit tertutup awan.

Kiri-kanan jalan terhampar luas sawah milik penduduk.

25
26

Kurang lebih 200m kearah selatan ada jalan menuju arah timur dan itulah

jalan menuju ke makam Syeh Arfiyah, seorang tokoh dan ulama Desa Mojoduwur

yang merupakan cikal bakal dan telah melahirkan tokoh-tokoh ulama besar di

JawaTimur.

Kemudian sekitar 300 m berikutnya di sebelah kanan jalan terdapat SDN

Mojoduwur I yang kalau dilihat dari bangunannya merupakan sekolahan besar

dengan memiliki ratusan murid. Hal ini menunjukkan bahwa semangat untuk

menuntut ilmu dan memperbaiki taraf hidup masyarakat mojoduwur sejak dahulu

memang tinggi.

Di sebelah kiri SD tersebut terdapat jembatan sungai Mundeng yang

cukup panjang dan dalam, namun lebarnya hanya bisa dilewati satu kendaraan

roda empat saja. Sebagaimana layaknya desa di wilayah Nganjuk, kehidupan

sosial masyarakatnya begitu khas dengan kegotong royongan dan tolong-

menolong.

B. Sejarah

1. Desa

Cikal bakal dari Desa Mojoduwur sendiri ditandai dengan ditemukannya

sebuah peninggalan sejarah berupa arca, kalau dilihat dari bentuk dan bahan

pembuatan arca tersebut memiliki kemiripan dengan arca-arca peninggalan

kerajaan Majapahit dan juga sering ditemukan peninggalan pada zaman kerajaan

Majapahit di sekitar lokasi berupa batu-bata, patung, umpa dan barang berharga

berupa emas dan tembaga. Sebagian besar Desa Mojoduwur berada dalam
27

kekuasaan Majapahit dan sebagian kecil menjadi kekuasaan KerajaanWengker

yang ada di Candi Ngetos pada jaman dahulu.

Kemudian menurut keterangan Bapak Supriyadi yang juga merupakan

Kamituwo Desa Mojoduwur bahwa keberadaan arca yang berada di Dusun

Kanigoro tersebut sudah ada jauh sebelum terbentuknya Desa Tlukurejo yang

sekarang lebih di kenal dengan Desa Mojoduwur, sedangkan desa tlukurejo sudah

ada sebelum kedatangan syeh Arfiyah dari Grobogan Jawa Tengah. Syeh Arfiyah

tidak sendirian kala pertama datang di Desa Tlukurejo (Mojoduwur), beliau

bersama Kromo Suto, Kromo Suwito, dan Kromo Ngarsoyang pada awalnya

bermukim di sekitar Desa Kuncir, namun dikarenakan pada waktu itu di daerah

tersebut sering terjadi banjir maka mereka memutuskan pindah ke daerah lain

yang sekiranya jarang atau tidak pernah terserang banjir, jadilah mereka pindah

kedaerah Kepuh Tulis yang masih terletak di wilayah Ngetos, setelah pindah ke

daerah tersebut bukan berarti persoalan sudah selesai, malah di daerah tersebut

malah kesulitan mendapatkan air bersih, mereka memutuskan untuk pindah lagi

ke daerah yang sekarang dinamakan Dusun Kanigoro yang termasuk kedalam

wilayah Desa Mojoduwur Kecamatan Ngetos.

2. Pondok

Sejarah pondok pesantren Al-Arfiyyah Mojoduwur tak luput dari riwayat

Syeh Al-Arfiyah itu sendiri. Keberadaan Syeh Arfiyah di Desa Mojoduwur

tercatat sekitar tahun 1726 dimana kondisi dari desa Mojoduwur masih berupa

hutan belantara, beliau merupakan orang pertama kali yang menyiarkan agama di

wilayah tersebut.
28

Menurut keterangan dari bapak Kyai Ibnu Suud Faisol pengasuh Pondok

pesantren “Al-Arfiyyah” Mojoduwur, Sebenarnya Syeh Arfiyah bukan orang asli

Nganjuk, beliau berasal dari daerah Lasem Rembang Jawa Tengah.

Beliau terlahir dalam keluarga besar yang memiliki sembilan orang saudara

dari ayah yang bernama Kyai Jumali Tuyuhan, diantara sembilan orang saudara

beliau hanya empat orang saja yang baru diketahui yakni: Kyai Salim, Nyai

Mardiyah, Kyai Komarudin, Kyai Waro’i Padangan.

Syeh Arfiyah pernah mondok di Pondok Pesantren daerah Sewulan Madiun

Jawa Timur yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Imam yang pada akhirnya

menjadi bapak mertua Syeh Arfiyah, setelah beberapa lama menimba ilmu di

pondok, beliau dinikahkan dengan salah satu putrid Kyai Imam yang bernama

Nyai Arfiyah.

Setelah mengarungi kehidupan berumah tangga dengan Syeh Arfiyah

pindah ke Mojoduwur tanpa ditemani Nyai Arfiyah, dikarenakan saudara ipar

Syeh Arfiyah kurang suka dengan sifat beliau yang malas-malasan.

Tidak lama setelah Syeh Arfiyah pergi dari Madiun, Kyai Imam

membujuk beliau supaya beliau bersedia kembali dan tinggal bersama sang istri di

Madiun, namun Syeh Arfiyah menolak semua ajakan Kyai Imam tersebut dan

pada akhirnya Kyai Imam mengutus putrinya (NyaiArfiyah) untuk menyusul sang

suami dan tinggal bersama di Desa Mojoduwur.

Syeh Arfiyah dikaruniai enam orang anak yang terdiri dari lima orang anak

perempuan dan satu anak laki-laki, berikut adalah putra dan putrid Syeh Arfiyah

berdasarkan urutan dan tempat tinggalnya:

1. Nyai Mansur Sani (Tulungagung)


29

2. Nyi Tasmin (Beru, Nganjuk)

3. Nyai Salimin (Bendungrejo, Nganjuk)

4. Nyai Fatkhurrohman (Mojoduwur, Nganjuk)

5. Nyai Abdullah (Jogoroto, Jombang)

6. Kyai Arfiyah Sani

Ada beberapa peninggalan Syeh Arfiyah yang masih tersisa hingga saat

ini, yang pertama Masjid “Al-Arfiyyah” (nama masjid diberi nama berdasarkan

pendirinya). Masjid yang didirikan sekitar tahun 1726 ini mula-mula terdiri dari

bangunan induk dan serambi dengan luas ± 220m², beratap sirap dengan pola atap

tumpang.

Masjid ini telah mengalami beberapa perbaikan dan perluasan, yang pertama

pada tahun 1926 perlebaran serambi dan peninggian masjid. Kemudian perluasan

yang kedua sekitar tahun 1995 serambi masjid diperluas lagi hingga 3m pada

jaman Kyai Ahmad Zaini. Kemudian yang ketika dilakukan lagi perluasan

samping kanan untuk jama’ah sholat putri dan sekalian di tingkat.

Untuk Pondok Pesantrennya sendiri berada di sebelah kiri masjid, Ponpes

diresmikan pada tahun 1987 oleh Bupati Nganjuk pada saat itu Ibnu Salam.

Pondok pesantren Al-Arfiyyah mengalami masa kejayaan pada periode tahun

1998 sampai 2001 dengan jumlah santri putra/putrid hingga duaratusan orang,

para santri kebanyakan berasal dari daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan juga

Jawa Timur. Sistem pesantren Al-Arfiyah adalah Salafi dan Kitab Kuning adalah

pelajaran yang diutamakan.

Untuk peninggalan yang kedua adalah sumur tua yang masih berfungsi dan

berada 50m ke arah utara dimana lokasi yang dulunya merupakan rumah dari
30

Syeh Arfiyah dan sekarang direncanakan untukk dibangun pondok pesantren

bertingkat tiga.

3. Struktur Kepengurusan

1. Pelindung : Kades Mojoduwur

2. Penasehat : H.A. Yahya Hs.

3. Ketua : KH. Ibnu Su’ud Faishol

4. Sekretaris : M. Subhan Mufid

5. Bidang Imaroh : K. Imam Fudloli

6. Bidang Riayah : A. Sayuti

7. Bendahara : Ali Muntaha

8. Bidang Perencanaan : sahlan

9. Organisasi : M. Taslam

10. Pengendalian : M. Sholeh

11. Administrasi : M. Ali Maghfur

12. Pengawasan : A. Sayuti

13. Peribadatan : KH. Ibnu Su’ud Faishol

14. Pendidikan : Samigin

15. Sosial : Jamari

16. PHBI : A.Sofwan

17. Pemeliharaan : A. Muzayyin

18. Pembangunan : A.Sayuti

19. Humas : M. Harun


31

4. Unit Kegiatan

No Hari Kegiatan

1. Ahad  Mengajar TPQ

 Mengaji Jurumiyah

 Mengaji Al-Quran

 Mengaji kitab Ta’lim Mutaalim

 Mengaji Kitab Dalail Khairat

2. Senin  Mengajar TPQ

 Mengaji Jurumiyah

 Mengaji Al-Quran

 AL-berjanji

 Mengaji kitab Ta’lim Mutaalim

 Mengaji Kitab Dalail Khairat

3. Selasa  Mengajar TPQ

 Mengaji Jurumiyah

 Mengaji Al-Quran

 AL-berjanji

 Ziarah makam syech al-arfiyah

 Mengaji Kitab Dalail Khairat


32

4. Rabu  Mengajar TPQ

 Mengaji Jurumiyah

 Mengaji Al-Quran

 AL-berjanji

 Mengaji kitab Sulam taufiq

 Mengaji Kitab Dalail Khairat

5. Kamis  Mengajar TPQ

 Mengaji Jurumiyah

 Mengaji Al-Quran

 AL-berjanji

 Ziarah Makam Syech Al-Arfiyah

 Mengaji Kitab Dalail Khairat

6. Jum’at  Kh Mengajar TPQ

 AL-berjanji

 Shalawat nariyah

 Mengaji kitab Sulam Taufiq

 Mengaji Kitab Dalail Khairat

7. Sabtu  Mengajar TPQ

 Mengaji Al-Quran

 AL-berjanji

 Mengaji kitab Ta’lim Mutaalim

 Mengaji Kitab Dalail Al Khairat


BAB III

Kitab Dalail Al Khairat Dan Pengarangnya

A. Kitab Dalail Al Khairat

1. Biografi Kitab Dalail Al Khairat

Kitab Shalawat Dalail Al Khairat disusun oleh Imam al-Jazuliy. Nama

lengkap Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy al-Simlaliy

al-Syarif al-Hasani. Beliau dilahirkan di Jazulah yaitu di Maroko, negeri Afrika.

Imam al-Jazuliy belajar di kota Fas yaitu sebuah kota yang cukup ramai yang

terletak tak jauh dari Mesir. Beliau belajar hingga menjadi sangat banyak menguasai

ilmu yang bermacam-macam sehingga namanya tersohor, kemudian Beliau menulis

kitab yang berisi tentang shalawat Dalail al-Khairat. Beliau wafat waktu

melaksanakan shalat subuh pada sujud yang pertama (atau pada sujud yang kedua

menurut satu riwayat), tanggal 16 Rabiul Awal tahun 870 Hijriyah.14

2. Sejarah Sigkat Dalail Al Khairat

Suatu hari Beliau (Imam al-Jazuliy) akan mengambil air wudhu, namun tali

timbanya putus, akhirnya Beliau berusaha untuk mencari tali pengganti. Karena

begitu dalamnya sumur setiap tali yang ia masukan ke dalam sumur, tali itu tidak

pernah sampai, sehingga membuatnya bingung.

Namun tiba-tiba ada seseorang yang datang kemudian meludah di sumur itu

dan begitu mudahnya orang itu mengambil air dengan tangannya sendiri, karena

setelah sumur itu ia ludahi seketika air yang ada di dalam sumur itu naik ke atas

dengan sendirinya. Kemudian Syekh Jazuliy bertanya, ”Dengan apakah engkau

memperoleh karomah ini?”, jawabannya; "Karena saya memperbanyak Membaca

14
Riwayat Imam al-Tirmidziy dalam kitab Sunannya hadis no: 446

33
Sholawat Kepada Nabi Muhammad SAW. .

33
34

Kemudian Syekh Jazuliy bersumpah akan menyusun sebuah kitab yang berisi

tentang shalawat. Akhirn ya setelah Beliau melakukan Riyadhoh dan Uzlah selama

41 tahun, maka Beliau dapat menyusun kitab Dalail Al Khairat ini.

B. Biografi Imam Muhammad Ibn Sulaiman Al-Jazuli

1. Riwayat Hidup

Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy al-

Simlaliy al-Syarif al-Hasaniy. Beliau dilahirkan di Jazulah yaitu disebuah kabilah

dan Barbar di pantai negeri Maghrib, Maroko, Afrika. Bahwa bumi Maroko adalah

gudang ulama dan wali, bahkan di kota Fas Maroko saja terdapat jutaan ulama yang

lahir dan dikuburkan di kota tersebut, yang dikenal melalui berbagai kitab karyanya

yang beredar di berbagai penjuru dunia.

Imam al-Jazuliy belajar di Fas yaitu sebuah kota yang cukup ramai yang

terletak tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Mesir. Jarak antara Fas dan

Mesir kira-kira 36 derajat 17 daqiqah atau sekitar 4.064 km. Dikota Fas beliau

belajar hingga menjadi sangat banyak menguasai ilmu yang bermacam-macam

sehingga namanya tersohor, kemudian beliau mengarang kitab “Dalail al Khairat”.

Kronologi Imam Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy mengarang kitab

shalawat Dalail Khairat, suatu ketika tengah berjalan-jalan di padang pasir. Ketika

waktu shalat tiba, beliau berusaha mencari sumber air untuk berwudhu dan

melepaskan dahaganya. Setelah beberapa saat menyusuri padang pasir, beliau

menemukan sebuah sumur yang sangat dalam. Sumur itu masih menyimpan air, tapi

sayang Imam al-Jazuliy tak menemukan alat untuk mengambil air dari sumur.

Ketika beliau tengah kebingungan mencari alat untuk mengambil air, tiba-

tiba beliau melihat seorang anak perempuan kecil menghampiri beliau dari tempat
35

ketinggian. Anak kecil itu bertanya, “Siapakah anda tuan, mengapa anda berada di

tempat yang sesunyi ini?”

Imam al-Jazuliy lantas menjelaskan hal ihwal beliau dan kesulitan yang

tengah menimpanya. “Anda adalah seseorang yang terpuji yang terkenal karena

keshalehan Anda!” seru anak kecil itu. Anak kecil perempuan melihat Imam al-

Jazuliy tampak kebingungan mencarikan alat untuk mengeluarkan air dari dalam

sumur. Setelah agak lama mencari namun tak juga menemukan, si anak lalu

mendekat ke bibir sumur dan meludah ke dalamnya. Ajaib, air sumur tiba-tiba

meluap sampai ke atas permukaan tanah!

Setelah minum dan merampungkan wudhunya, Imam al-Jazuliy lantas

berkata, “Wahai anak kecil, sungguh aku kagum kepadamu! Dengan amal apakah

engkau dapat meraih kedudukan setinggi ini?” Anak perempuan kecil itu menjawab,

“Dengan memperbanyak membaca shalawat kepada orang yang apabila ia (Nabi

Muhammad) berjalan di padang belantara, binatang-binatang buas akan mengibas-

ngibaskan ekornya (menjadi jinak).”

Setelah mendengar penuturan anak kecil itu, Imam Al Jazuliy lantas

bernadzar untuk menyusun sebuah kitab yang membahas tentang shalawat untuk

Nabi Muhammad. Kelak, setelah kitab tersebut selesai ditulisnya, kitab itu

dinamainya Dalailul Khairat. Sebuah kitab yang masih terus dibaca hingga kini

karena keberkahannya yang luar biasa. Dikemudian hari, Syaikh Uwais Ibn Abdullah

al-Mujtabi al-Husainiy membuat Mukhtashar (ringkasan) kitab Dalail al-Khairat

dengan nama al-Budur al-Nayyirat Fi Ikhtishar Dalail al-Khairat.

Dan sebelum beliau mensosialisasikan kitab itu, Imam al-Jazuliy mendapat

ilham untuk pulang kembali ke tanah kelahirannya. Maka beliau kembali dan Fas ke
36

desa beliau ditepi daerah Jazulah. Kemudian beliau dengan kesendiriannya itu

bertemu Syaikh Abu Abdilah Muhammad Ibn Abdullah al-Shaghir seorang

penduduk di pinggiran desa dan beliau berguru Dalail kepadanya. Kemudian Imam

al-Jazuliy melaksanakan khalwat untuk beribadah selama 14 tahun dan kemudian

keluar dan khalwatnya untuk mengabdikan diri dan menyempurnakan pentashihan

(pembetulan) kitab “Dalail Khairat” pada hari jum’at, 6 Rabi’ul Awwal 862 H.

delapan tahun sebelum hari wafatnya.

Beliau wafat waktu melaksanakan shalat subuh pada sujud yang pertama

(atau pada sujud yang kedua menurut satu riwayat) tanggal 16 Rabi’ul Awwal 870 H.

Beliau dimakamkan setelah waktu shalat Dzuhur pada hari itu juga di tengah masjid

yang beliau bangun. Beliau tidak memiliki putra lelaki sehingga kekhalifahan beliau

dilanjutkan oleh para murid-murid beliau diantaranya adalah: Syaikh Muhammad al-

Shaghir al-Sahaliy dan Syaikh Muhammad Abdul Karim al-Mundziriy.

Sebagian karamah Imam al-Jazuliy adalah setelah 77 tahun dari wafat beliau,

makam beliau dipindahkan dari kota Sus ke kota Marakisy, dan ternyata ketika

jenazah beliau dikeluarkan dari kubur, keadaan jenazah itu masih utuh seperti ketika

beliau dimakamkan. Rambut dan jenggot beliau masih nampak bersih dan jelas

seperti pada hari beliau dimakamkan. Makam beliau di Marakisy sering diziarahi

oleh banyak orang.

Sebagian besar dan peziarah itu membaca kitab Dalail al-Khairat di sana,

sehingga dijumpai di makam itu bau semerbak minyak misik yang amat harum

karena begitu banyak dibacakan shalawat salam kepada Nabi Muhammad, para

sahabat dan keluarga beliau. kisah wangi semerbak itu adalah sebagian dari sejarah
37

yang lain tentang beliau bahwa para orang sholeh dari berbagai penjuru dari masa ke

masa senantiasa membaca dan mengamalkan kitab beliau yaitu Dalail al-Khairat.15

Berikut silsilah shalawat tersebut secara mutawatir tersebut:

1. Allah Rabbul Izzati Swt.. (1). Allah Rabbul Izzati Swt.

2. Sayyidina Jibril As. (2). Sayyidina Jibril As.

3. Nabi Muhammad Saw. (3). Nabi Muhammad Saw.

4. Sayyidina Ali bin Abu Thalib Ra. (4). Sayyidina Ali Bin Abu Thalib Ra.

5. Syaikh Hasan Al-Basri Ra. (5). Syaikh Hasan bin Ali Ra.

6. Syaikh Habib Al-Ajami Ra. (6). Syaikh Abu Muhammad Jabir Ra.

7. Syaikh Daud At-Th’ai Ra. (7). Syaikh Muhammad Said Al- Ghozwaniy Ra

8. Syaikh Ma’ruf Al-Kharkhi Ra. (8). Syaikh Fathus Su’ud Ra.

9. Syaikh Sari As-Saqati Ra. (9). Syaikh Sa’ad Ra.

10. Syaikh Junaidi Al- Baghdadi Ra. (10). Syaikh Abu Muhammad Said Ra

11. Syaikh Abu Bakar Asy-Shibli Ra. (11). Syaikh Abil Qosim Ahmad al Marwani

Ra

12. Syaikh Abdul Wahid At- Tamimi Ra. (12). Syaikh Abi Ishaq Ibrahim al Bashri

Ra

13. Syaikh Abul Faroj At-Turtusi Ra. (13). Syaikh Zainuddin Al- Qozwiniy Ra

14. Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hukkari Ra. (14). Syaikh Muhammad Syamsuddin

Ra

15. Syaikh Abu Said Mubarak Al- Mahzumi RA. (15). Syaikh Muhammad

Tajuddin RA

16. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Ra. (16). Syaikh Nuruddin Abil Hasan Ali Ra

15
Syaikh Muhammad al-Mahdi Ibn Ahmad al-Fasiy, Mathali’ al-Masarrat Bi Jala Dalail al-Khairat
(Jedah: al-Haramain) h. 3-4; Syaikh Abdul Majid al-Syarnubi, Syarh Dalail al-Khairat (Kairo:
Maktabah al-Adab) h. 4-5
38

17. Syaikh Abu Madyan Syu’aib Ra. (17). Syaikh Fakhruddin Ra

18. Syaikh Muhammad Shalih Ra. (18). Syaikh Taqiyyuddin Al- Fuqoyr Ra.

19. Syaikh Muhammad bin Harazim Ra. (19). Syaikh Abdurrahman Al- Aththor Az-

Zayyat Ra.

20. Syaikh Abdus Salam Bin Masyish Ra. (20). Syaikh Abdus Salam Bin Masyish

Ra. (Disinilah pertemuan kedua silsilah keilmuan diatas bertemu).

21. Syaikh Abul Hasan Ali Bin Abdul Jabbar As- Syadzili Ra

22. Syaikh Abu Abdillah Al- Maghrobi Ra

23. Syaikh Anusi Uwais Zamanihi Al- Badawi Ra

24. Syaikh Abul Fadl Al- Hindi Ra

25. Syaik Abu Zaid Abdurrahman Az- Zajroji Ra

26. Syaikh Abu Ustman Sa’id Al- Hartani Ra

27. Syaikh Abu Abdillah Muhammad Al- Amghori Ra

28. Syaikh Abu Abdillah Muhammad Bin Sulaiman Al- Jazuli Ra (Muallif

Shalawat Dala’ilul Khairat)

Jalur pertama:

29. Syaikh Ahmad Al- Maknasi Ra

30. Syaikh Muhammad Ra

31. Syaikh Ahmad Ra

32. Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Al- Husaini Al-

Maghrobi Al- Maknasi Ra

33. Syaikh Muhammad Bin Abdullah Ra

34. Syaikh Muhammad Bin Sannah Al- Umari Ra

35. Syaikh Abdurrahman Bin Sulaiman Al- Akhdal Ra


39

36. Syaikh Husain Bin Muhammad Al- Habsy Ra

37. Syaikh Muhammad Bin Husain Al- Habsy Ra

38. Syaikh Abdullah Bin Jamid As- Shafi Ra

39. Syaikh Al- Allamah Kamil Abdullah Sholah Ra

40. Syaikh Salim Bin Abdullah Bin Umar As- Syathiri Ra

41. Syaikh Muhammad Azizi Hasbullah Ra 16[2]

42. Al- Faqir Abu Naufal Arif Bin Tamam Az-Zamzami As-Sakardangani

Jalur kedua:

29. Syaikh Ahmad Al- Maknasi Ra

30. Syaikh Muhammad Ra

31. Syaikh Ahmad Ra

32. Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Al- Husaini Al-

Maghrobi Al- Maknasi Ra

33. Syaikh Al- Allamah Ahmad Bin Muhammad An- Nakhli Al- Makky Ra

34. Syaikh Muhammad Tajuddin Abdul Muhsin Bin Salim Al- Qala’i dan Syaikh

Abdul Qadir Bin Abu Bakar As- Shiddiqi Ra

35. Syaikh Abdul Malik Bin Abdul Mun’im Al- Qala’i Al- Makky Ra

36. Syaikh Yahya Bin Abbas Bin Muhammad Bin Shiddiq Al- Makky Ra

37. Syaikh Abbas Bin Ja’far Bin Abbas Bin Muhammad Bin Shiddiq Al- Makky

Ra

38. Syaikh Ahmad Bin Abdullah As- Syammi Ra (Tsumma Al- Makky)

39. Syaikh Muhammad Yasin Bin Isa Al- Fadani Al- Makky Ra

40. Syaikh Abdul Aziz Bin Mansyur Ra 17[4]


40

41. Al- Faqir Abu Naufal Arif Bin Tamam Az-Zamzami As-Sakardangani

42. ………………………………………………..

Jalur ketiga:

29. Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Ra

30. Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Abdullah Al- Maghrobi Ra (Al- Ashlu

Al- Madani)

31. Syaikh Rofi’uddin Bin Syamsuddin Al- Amiri Al- Qandahari Ra

32. Syaikh Muhammad Shalih Bin Khairullah Ar- Radhawi Al- Bukhari Ra

33. Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Abi Khadir Ad- Dimyathi Ra (Tsumma Al-

Madani)

34. Syaikh Muhammad Amin Bin Ahmad bin Ridwan Ra (Syaikh Dala’il di Masjid

Nabawi)

35. Syaikh Abdul Muhsin Bin Muhammad Amin Ridwan Ra (Syaikh Dala’il di

Masjidil Haram)

36. Syaikh Muhammad Yasin Bin Isa Al- Fadani Al- Makky Ra

37. Syaikh Abdul Aziz Bin Mansyur Ra

38. Al- Faqir Abu Naufal Arif Bin Tamam Az-Zamzami As-Sakardangani

39. ……………………………………………………

Jalur keempat:

29. Syaikh Abdul Aziz At- Tiba’i Ra

30. Syaikh Ahmad Musa As- Simlali Ra

31. Syaikh Ahmad Bin Abbas As- Shum’i Ra

32. Syaikh Ahmad Al- Muqri Ra


41

33. Syaikh Abdul Qadir Al- Fasiy Ra

34. Syaikh Ahmad bin Al- Hajj Ra

35. Syaikh Muhammad Bin Ahmad Bin Ahmad Al- Mutsanna Ra

36. Syaikh Ali Bin Yusuf Al- Hariri Al- Madani Ra

37. Syaikh Muhammad Amin Bin Ahmad Ar- Ridwan Al- Madani Ra

38. Syaikh Abdul Muhsin Bin Muhammad Amin Ridwan Ra

39. Syaikh Mansyur As- Sanani Al- Gharbi Ra

40. Syaikh Sibawaih Al- Baghowi Ra

41. Syaikh Ahmad Imam Mahdi As- Shabiri Ra, dan Syaikh Nasruddin As- Shabiri

Ra, dan Syaikh Muhtar Fauzi As- Shabiri Ra (yang sanadnya juga dari Syaikh Umar

Ibnu Satha’ Al- Jawi Al- Wustha Ra) dan Syaikh Ali Amir Al- Mukmin Ra.1819

42. Al- Faqir Abu Naufal Arif Bin Tamam Az-Zamzami As-Sakardangani20

2. Pendidikan

Imam Al-jazuli belajar di daerah Fas yaitu sebuah kota yang cukup ramai dan

padat. Tempat ini tidak terlalu jauh dan juga tidak dekat dengan negri mesir. Jarak

antara fas dan mesir dapat dikatakan jaraknya kira-kira 36 derajat 17 daqiqah atau

sekitar 4.064 km. Dikota fas inilah beliau belajar hingga namanya tersohor keseluruh

dunia.

19
KH. Ahmad Imam Mahdi, KH. Nasruddin, Kyai Muhtar Fauzi, ketiganya dari Sekardangan,
Papungan, Kanigoro, Blitar. Kyai Ali Amir, pengasuh Pesantren Darussalam, Gaprang, Kanigoro,
Blitar.
20
Lembaran Sanad Ijazah Shalawat Dala’ilul Khairat, karya H. Muhammad Khairuddin Al-
Hajj,(Tulungagung) jalur Syaikh Ahmad Mahdi as- Shabiri Ra
42

Imam al-Jazuli juga banyak mengarang kitab, namun diantara kitab terkenal

beliau yang terkenal adalah kitab “Dalail Khairat”. Kitab ini berisi tentang kata-kata

mutiara, sejarah, dzikir dan ucapan pujian bagi Rasulullah SAW. Karena kitab inilah

nama Imam al-Jazuli mulai dikenal keseluruh dunia. Bukan hanya itu sebab atau

setting sosial terbentuknya kitab tersebut jugalah sangat unik.

Kronologinya adalah saat beliau disuatu ketika tengah berjalan-jalan di salah satu

wilayah padang pasir, saat itu waktu shalat telah tiba. Imam al-Jazuli mencari air

untuk berwudhu namun saat itu yang namanya padang pasir tentunya air sangatlah

sulit didapatkan. Namun saat beliau mencari air dan akhirnya menemukan sebuah

sumur beliau melihat bahwa air didalam sumur sangatlah sedikit sehingga perlu alat

untuk mendapatkannya, apalagi sumur yang dijumpai beliau sangatlah dalam.

Namun ketika beliau sibuk mencari alat untuk mengambil air tersebut, tiba-tiba

turunlah seorang anak yang sedang berlari dan menemui beliau. “Anda siapa,

mengapa anda ada ditempat sunyi ini ..?”, tanya anak tersebut. Imam Al-Jazuli pun

menjawab pertanyaan dengan mengenalkan nama beliau dan darimana beliau datang.

“Anda orang besar wahai guru, namun anda sedang apa disini ?”, anak tersebut

bertanya. “Saya sedang mencari alat untuk mengambil air didalam sumur itu wahai

anakku”, jawab Imam Al-Jazuli.

Saat beliau meninggalkan anak tersebut dan melanjutkan untuk mencari alat

mengambil air disumur, karena anak tersebut melihat Imam Al-Jazuli sangat sukar

mencari alat pengambil air, maka tiba-tiba anak itupun mendekati sumur dan

mengarahkan bibirnya kearahnya dan tiba-tiba air sumur pun meluap keatas, imam

al-jazuli melihat terkagum melihat peristiwa tersebut.


43

Sebagian karamah Imam al-Jazuliy adalah setelah 77 tahun dari wafat beliau,

makam beliau dipindahkan dari kota Sus ke kota Marakisy, dan ternyata ketika

jenazah beliau dikeluarkan dari kubur, keadaan jenazah itu masih utuh seperti ketika

beliau dimakamkan. Rambut dan jenggot beliau masih nampak bersih dan jelas

seperti pada hari beliau dimakamkan. Makam beliau di Marakisy sering diziarahi

oleh banyak orang.

Sebagian besar dan peziarah itu membaca kitab Dalail al-Khairat di sana,

sehingga dijumpai di makam itu bau semerbak minyak misik yang amat harum

karena begitu banyak dibacakan shalawat salam kepada Nabi Muhammad, para

sahabat dan keluarga beliau. kisah wangi semerbak itu adalah sebagian dari sejarah

yang lain tentang beliau bahwa para orang sholeh dari berbagai penjuru dari masa ke

masa senantiasa membaca dan mengamalkan kitab beliau yaitu Dalail al-Khairat.

Akhirnya beliau mendapat predikat sebagai seutama-utamanya orang yang

bersama Rasulullah kelak karena banyaknya pengikut beliau untuk membaca

shalawat, sebagai mana Rasulullah bersabda:

Setelah minum dan merampungkan wudhunya, Imam al-Jazuliy lantas berkata,

“Wahai anak kecil, sungguh aku kagum kepadamu! Dengan amal apakah engkau

dapat meraih kedudukan setinggi ini?” Anak perempuan kecil itu menjawab,

“Dengan memperbanyak membaca shalawat kepada orang yang apabila ia (Nabi

Muhammad) berjalan di padang belantara, binatang-binatang buas akan mengibas-

ngibaskan ekornya (menjadi jinak).”

Setelah mendengar penuturan anak kecil itu, Imam Al Jazuliy lantas

bernadzar untuk menyusun sebuah kitab yang membahas tentang shalawat untuk
44

Nabi Muhammad. Kelak, setelah kitab tersebut selesai ditulisnya, kitab itu

dinamainya Dalailul Khairat. Sebuah kitab yang masih terus dibaca hingga kini

karena keberkahannya yang luar biasa. Dikemudian hari, Syaikh Uwais Ibn Abdullah

al-Mujtabi al-Husainiy membuat Mukhtashar (ringkasan) kitab Dalail al-Khairat

dengan nama al-Budur al-Nayyirat Fi Ikhtishar Dalail al-Khairat.21

Akhirnya beliau mendapat predikat sebagai seutama-utamanya orang yang

bersama Rasulullah kelak karena banyaknya pengikut beliau untuk membaca

shalawat, sebagai mana Rasulullah bersabda:

ِ َّ‫سلَّ َم ِإنَّ أ َ ْولَى الن‬


‫اس ِبي يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع ْنهُ قَا َل قَا َل‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ُ‫سعُو ٍد َر ِض َي هللا‬
ْ ‫ع َِن اب ِْن َم‬

َ ‫ أ َ ْكث َ ُر ُه ْم‬.
َ ‫علَ َّي‬
‫صَلة‬

Artinya: “Manusia yang paling utama bersamaku pada hari kiamat adalah orang yang

paling banyak membaca Shalawat untukku

Adapun sanad yang muttashil kepada Imam al-Jazuliy, yang penulis dapatkan

sebagai berikut:

1. Dari Habib Salim Bin Abdullah as-Syathiriy Hafizhahullah:

‫الحاج رزقي ذو القرنين أصمت البتاوي عن الحبيب العَلمة سالم بن عبد هللا بن عمر‬

‫الشاطري عن العَلمة الجليل والفهامة النبيل كامل عبد هللا صَلح عن شيخه السيد عبد هللا بن‬

‫حامد الصافي رحمه هللا عن السيد محمد بن حسين بن محمد الحبشي عن والده السيد حسين‬

‫بن محمد عن السيد عبد الرحمن بن سليمان األهدل عن المعمر محمد بن سنا العمري الفَلني‬

‫عن الشريف محمد بن عبد هللا عن وجيه الدين السيد عبد الرحمن بن احمد بن محمد بن احمد‬

‫الحسيني المغربي المكناسي الشهير بالمحجوب عن ابيه السيد احمد عن جده السيد محمد عن‬
21
Ibid,h 9-12
‫‪45‬‬

‫ابي جده السيد احمد عن مؤلفها اإلمام الشيخ محمد بن سليمان الجزولي رحمه هللا تعالى‬

‫‪ .‬ورضي هللا عنه أمين‬

‫‪2. Dari sayyid Fawwaz Bin Bassyar Hafizhahullah:‬‬

‫الحاج رزقي ذو القرنين أصمت البتاوي عن السيد العَلمة فواز بن بشار بن سعيد محي الدين الطباع الحسني‬

‫عن فضيلة الشيخ المعمر يوسف محمود عمر العتوم عن محدث الديار الشامية الشيخ بدر الدين محمد بن‬

‫يوسف الحسني عن الشيخ اسماعيل بن زين العابدين البرزنجي المدني عن الشيخ محمد عابد السندي عن‬

‫السيد أحمد بن سليمان الهجام عن محمد ب عَلء المزجاجي عن أبي األسرار حسن العجيمي عن العَلمة عبد‬

‫القادر بن علي بن يوسف الفاسي عن عن الشيخ أحمد بن عباس الصمعي عن الشيخ أحمد بن موسى‬
‫تعالى‪22‬‬ ‫السمَللي عن الشيخ عبد العزيز السباع عن المام محمد سليمان الجزولي رحمه هللا‬

‫‪Syaikh Ahmad at-Tijani Radhiyallahu Anhu sangat senang membaca kitab‬‬

‫‪shalawat Dalailul Khairat, bahkan beliau pernah menulis ulang kitab Dalail Khairat‬‬

‫‪dengan tulisan tangan beliau. Hal demikian beliau lakukan lantaran semata-mata‬‬

‫‪bertabarruk kepada Rasulullah shallallahu alaihi Wa sallam.‬‬

‫‪Karya-karya Imam Jazuli‬‬

‫‪Sebagai seorang sufi besar dengan jumlah murid yang mencapai 12.265‬‬
‫‪murid seperti disebutkan oleh Sidi Al-Mahdi Al-Fasi dalam Mumatti’u Al Asma’,‬‬
‫‪Imam Jazuli tentu memiliki karya-karya yang menjadi bukti kebesarannya sebagai‬‬
‫‪sufi, juga kebesarannya sebagai salah satu ulama besar islam.‬‬

‫‪22‬‬
‫‪Penulis :‬‬
‫‪Tgk. Habibie M. Waly S.TH,Sumber kitab :‬‬
‫ذخيرة المحتاج في الصلوات على صاحب اللواء والتا‬
‫و‬
‫علَى النَّبِي ا ْل ُم ْختَار كتاب‬ ‫ج ا ْل ُه ُم ْو ِم َواْأل َ ْغيَار فِي َفضَائِل ِ ال َ‬
‫ص َل َوات َ‬ ‫فَا ِت ُح اْألَس َْر ِار َو ُمفَ ِر ُ‬
‫تأليف‬
‫الحاج رزقي ذو القرنين أصمت البتاوي األندونيسي‬
‫جلله هللا تعالى بمدد خاص قدسي‬
46

Di antara karya-karya Imam Jazuli selain Dalail Al-Khairat adalah Aqidatul

Jazuli, RIsalatu At Tauhid, Kitab Az Zuhd, Ajwibatun Fi Ad Dunya Wa Ad-Din, Min

Kalami Asy-Syaikh Al-Jazuli, Hizb Asy-Syaikh (Hizb Al-Kabir), Hizb Al-Falah (Hizb

Ash-Shaghir).

Selain karya-karya di atas, Imam Jazuli memiliki murid yang kelak juga menjadi

salah satu Sab’aturrijal Marrakech (wali tujuh kota Marrakech) yang bernama Sidi

Abdul Aziz At-Tabba’. Imam Jazuli wafat pada tahun 870 H di tempat kelahirannya

Jazulah, sampai kemudian dipindahkan ke Marrakech 70 tahun kemudian, tepatnya

di kawasan Riyadl Al ‘Arus. Sampai saat ini, makam beliau diziarahi oleh umat islam

dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

3. Kondidi Sosial dan Politik.

Adapun beberapa perkataan sebagian ulama yang mengamalkan Shalawat

Dala’ilul Khairat adalah sebagai berikut: Syaikh Dimyathi Al- Barani Ra 2324:

“Dala’il iku sing penting di amalne kanthi Istiqamah / ajeg”. (Dala’il itu yang

penting diamalkan secara istiqamah). Syaikh Abdul Aziz bin Mansyur Ra: “Maca

shalawat Dalailul Khairat iku yen iso saben dino khatam. Yen ora iso sedino khatam,

seminggu khatam. Yen ora iso seminggu khatam, sesasi khatam. Yen ora iso sesasi

khatam, setahun khatam. Yen ora iso setahun khatam, sak umur urip kaping pisan”.

(Membaca shalawat Dala’ilul Khairat itu kalau bisa sehari khatam. Kalau tidak bisa

senhari khatam, seminggu khatam. Kalau tidak bisa seminggu khatam, sebulan

khatam. Kalau tidak bisa sebulan khatam, setahun bisa khatam. Kalau tidak bisa

setahun khatam, seumur hidup membaca satu kali). Syaikh Mansyur As- Sanani Al-

24
KH. Dimyathi, Baran, Selopuro, Blitar yang terkenal Auliya’ putra dari KH. Hasbullah.
47

Gharbi Ra 2526: “Yen iso, ngamalne Dala’il iku sedina sak khataman, yen ora iso iyo

seminggu sak khataman, yen ora iso iyo sesasi sak khataman. Sing luwih apik sedina

sak khataman”. (Mengamalkan Dala’il itu kalau bisa sehari bisa khatam, kalau tidak

bisa seminggu bisa khatam, kalau tidak bisa sebulan bisa khatam. Yang paling baik

sehari bisa khatam). Syaikh Nasruddin As- Shabiri Ra 2728: “Mbah Mansyur iku

ngamalne Dala’il sedina iso khatam kaping pitu”. (Syaikh Mansyur itu mengamalkan

Dala’il sehari bisa khatam tujuh kali). Sebagian Syaikh Dala’ilul Khairat

mengatakan: “Sing penting panggah maca shalawat, ngagge shalawat sing cendek-

cendek iyo keno”. (Yang terpenting adalah tetap membaca shalawat,memakai

shalawat yang pendek-pendek juga bisa).

26
KH. Mansyur, Kalipucung, Sanankulon, Blitar putra KH. Abu Mansyur, Kuningan, Kanigoro,
Blitar.

28
KH. Nasruddin putra dari KH. Shobiri, pengasuh Pesantren Miftahul Huda, Sekardangan, Kanigoro,
Blitar. Penganut Thariqah Shalawat Wahidiyyah dan Shalawat Dala’ilul Khairat
48

BAB IV

Takhrij Hadis Kitab Dalail Al Khairat

A. Takhrij Hadis Kitab Dalail Al Khairat

Salawat yang disuguhkan dalam kitab Dalail merupakan rangkuman berbagai


macam redaksi salawat. Ada yang redaksinya dari penyusun sendiri, dan banyak pula
yang sebenarnya adalah salawat yang disusun oleh para sahabat, tabiin, dan ulama
salaf.
Sebagaimana diterangkan dalam mukadimah kitab, seperti halnya hadis-hadis
keutamaan salawat, beragam versi salawat itu dihadirkan tanpa menyebutkan
rangkaian sanad agar memudahkan pembaca mengamalkan atau menghapalkannya.
Seperti halnya salah satu hadis yang terdapat dalam kitab Dalail Al Khairat:

ٌ‫سولٌُصلىٌهللاٌعليه‬ َ ‫ٌَّللاٌُ َع ْنهٌُقَاٌ َلٌقَاٌ َل‬


ُ ‫ٌر‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ٌر‬
َ ‫ب‬ َ ٌ‫َو َع ْنٌ َع ِليٌِب ِْنٌا َ ِب ْي‬
ٍ ‫طا ِل‬
ٌ‫ٌو َم َعهٌُنُ ْورلَ ْوٌقُس َِم‬ ْ ‫ٌمائَةٌَ َم َّرةٌٍ َجا َءٌيَ ْو َم‬
َ ‫ٌال ِقيَ َم ِة‬ ْ ‫يٌيَ ْو َم‬
ِ ‫ٌال ُج ُم َع ِة‬ َّ َ‫صلَّىٌ َعل‬
َ ٌ‫وسلمٌ َم ْن‬
ِ ‫ٌالخٌَْل‬
ٌ‫قٌ ُك ِل ِه ْمٌلَ َو ِسعَ ُه ْم‬ ْ َ‫ذَ ِل َكٌالنُّ ْو ُربَيْن‬

Artinya; “Dari ali berkata bahwa nabi berkata barang siapa yg membaca sholawat
padaku dihari jum'at 100 kali maka akan datang dihari qiamat besertanya cahaya ,dan
seandainya cahaya itu dibagi diantara makhluk semuanya maka akan cukup untuk
semua makhluk”

ٌ‫)حديث ٌمن ٌصلى ٌعلي ٌفي ٌكل ٌيوم ٌجمعة ٌأربعين ٌمرة‬45(
ٌ‫محاٌهللاٌعنهٌذنوبٌأربعينٌسنةٌومنٌصلىٌعليٌمرةٌواحدة‬
ٌ‫فتقبلتٌمنهٌمحاٌهللاٌعنه ٌذنوبٌثمانينٌسنة ٌ(مى)ٌمنٌحديث‬
ٌ‫أنس ٌوفيه ٌمحمد ٌبن ٌرزام ٌ(قلت) ٌاقتصر ٌالعالمة ٌالشمس‬
ٌ‫السخاويٌفيٌالقولٌالبديعٌعلىٌتضعيفٌالحديثٌوألولهٌشاهد‬
ٌ‫من ٌحديث ٌأبي ٌهريرة ٌمرفوعا ٌمن ٌصلى ٌعلي ٌيوم ٌالجمعة‬
ٌ‫ٌله‬ ‫ٌهللا‬ ‫ٌغفر‬ ‫ٌمرة‬ ‫ثمانين‬

48
‫‪49‬‬

‫ذنوب ٌثمانين ٌسنة ٌقيل ٌيا ٌرسول ٌهللا ٌكيف ٌالصالة ٌعليك ٌقالٌ‬
‫تقول ٌاللهم ٌصل ٌعلى ٌمحمد ٌعبدك ٌونبيك ٌورسولك ٌالنبيٌ‬
‫األميٌوتعقدٌواحدةٌرواهٌالدارقطنيٌونقلٌ(‪ٌ)2‬عنٌأبيٌهريرةٌ‬
‫فيٌشرحٌالتنبيهٌعنٌاإلمامٌأبيٌعبدٌهللاٌبنٌالنعمانٌأنهٌقالٌفيهٌ‬
‫حديثٌحسنٌوٌهللاٌتعالىٌأعلم‬
‫‪Komentar Ulama’:‬‬
‫الكتاب ‪ :‬تنزيه الشريعة المرفوعة‬
‫المؤلف ‪ :‬أبو الحسن على بن محمد بن العراق الكناني‬
‫المحقق ‪ :‬عبد هللا بن محمد بن الصديق الغماري‬
‫الناشر ‪ :‬دار الكتب العلمية‬
‫الطبعة ‪ :‬الثانية ‪1981‬‬
‫عدد األجزاء ‪ٌ 2 :‬‬
‫‪Di dalam hadis di atas ditemukan bilangan 80 kali, dan tidak ditemukan bilangan 100‬‬
‫‪kali dengan permulaan redaksi hadis yang sama. Sedangkan redaksi yang sama‬‬
‫‪dengan penutup hadis di dalam kitab tersebut adalah:‬‬

‫عبَ ْيدٌٍ‬‫ظ‪َ ٌ،‬حدَّثَنِيٌ ُم َح َّمدٌُب ُْن ٌ ُ‬ ‫‪ٌ -ٌ 10004‬أ َ ْخبَ َرنَاٌأَبُوٌ َع ْب ِد ٌهللاٌِ ٌ ْال َحا ِف ُ‬
‫ظ‪َ ٌ،‬حدَّثَنِيٌ ُم َح َّمدٌُب ُْن ٌ َع ِلي ٌِب ِْن ٌ َح ْمزَ ةٌَ‬ ‫ٌال َحافِ ُ‬ ‫ْالفَ ِقيهُ‪ٌ،‬ثَنَاٌأَبُوٌقُ َري ٍْش ْ‬
‫ي‪ٌ ،‬ثَنَا ٌ َج ْعفَ ُر ٌب ُْنٌ‬ ‫سلَ ْي َمانَ َّ‬
‫ٌالر ِاز ُّ‬ ‫اق ٌب ُْن ٌ ُ‬ ‫ي‪ٌ ،‬ثَنَا ٌ ِإ ْس َح ُ‬ ‫ْال َم ْر َو ِز ُّ‬
‫س ِن‪َ ٌ ،‬ع ْن ٌأَبِي ٌ ُه َري َْرة َ‪ٌ،‬‬ ‫ُّوب‪َ ٌ ،‬ع ِن ْ‬
‫ٌال َح َ‬ ‫ي‪َ ٌ ،‬ع ْن ٌٌأ َي َ‬ ‫سلَ ْي َمانَ ٌال ُّ‬
‫ضبَ ِع ُّ‬ ‫ُ‬
‫وك ٌأ َ ْه ِل ْ‬
‫ٌال َجنَّ ِةٌ‬ ‫سلَّ َم ٌقَا َل‪ِ ٌ"ٌ:‬إ َّن ٌ§ ُملُ َ‬ ‫ٌو َ‬ ‫صلَّ َّ‬
‫ىٌَّللاُ ٌ َعلَ ْي ِه َ‬ ‫َع ِن ٌالنَّ ِبي ٌِ َ‬
‫اء ٌلَ ْمٌ‬ ‫ٌط ْم َري ِْن ٌ‪ِ ٌ ،‬إذَا ٌا ْستَأْذَنُوا ٌ َعلَى ْ‬
‫ٌاأل ُ َم َر ِ‬ ‫ث ٌأ َ ْغبَ َر ٌذِي ِ‬ ‫ُك ُّل ٌأ َ ْشعَ َ‬
‫ِيثٌلَ ْمٌ‬‫واٌال َحد َ‬ ‫سا َءٌلَ ْمٌيُ ْن َك ُحوا‪ٌ،‬أ َ ْوٌ ِإذَاٌقَالُ ْ‬ ‫طلَبُواٌالنِ َ‬ ‫‪ٌ،‬و ِإذَاٌ َ‬‫يُؤْ ذَ ْنٌلَ ُه ْم َ‬
‫ورهٌُ‬ ‫ص ْد ِر ِه‪ٌ،‬لَ ْوٌقُس ٌَِمٌنُ ُ‬ ‫تٌ ِلقَ ْو ِل ِه ْم‪َ ٌ،‬حا َجةٌُأ َ َح ِد ِه ْمٌيَت َ َج ْل َجلٌُفِيٌ َ‬ ‫ص ْ‬‫يُ ْن َ‬
‫ضٌلَ َو ِسعَ ُه ْمٌ"‬ ‫بَيْنَ ٌأ َ ْه ِل ْ‬
‫ٌاأل َ ْر ِ‬
‫‪Komentar Ulama’:‬‬
‫الكتاب ‪ :‬شعب اإليمان‬
‫المؤلف ‪ :‬أحمد بن الحسين بن علي بن موسى ال ُخ ْ‬
‫س َر ْو ِجردي الخراساني‪ ،‬أبو بكر‬
‫البيهقي (المتوفى ‪458 :‬هـ)‬
‫‪50‬‬

‫حققه وراجع نصوصه وخرج أحاديثه ‪ :‬الدكتور عبد العلي عبد الحميد حامد‬
‫أشرف على تحقيقه وتخريج أحاديثه ‪ :‬مختار أحمد الندوي ‪ ،‬صاحب الدار السلفية‬
‫ببومباي ‪ -‬الهند‬
‫الناشر ‪ :‬مكتبة الرشد للنشر والتوزيع بالرياض بالتعاون مع الدار السلفية‬
‫ببومباي بالهند‬
‫الطبعة ‪ :‬األولى ‪ 1423 ،‬هـ ‪ 2003 -‬م‬
‫عدد األجزاء ‪ ، 13 ( 14 :‬ومجلد للفهارس )‬
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salawat yang disuguhkan dalam kitab Dalail merupakan rangkuman berbagai
macam redaksi salawat. Ada yang redaksinya dari penyusun sendiri, dan banyak pula
yang sebenarnya adalah salawat yang disusun oleh para sahabat, tabiin, dan ulama
salaf.
Sebagaimana diterangkan dalam mukadimah kitab, seperti halnya hadis-hadis
keutamaan shalawat, beragam versi salawat itu dihadirkan tanpa menyebutkan
rangkaian sanad agar memudahkan pembaca mengamalkan atau menghapalkannya.
Maka dari sini penulis menyatakan bahwa hadis yang terdapat dalam kitab
Dalail Al khairot banyak hadis yang sangat lemah.
B. Saran
Penulis berharap Laporan ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya,
digunakan sebagai penambah wawasan ataupun hal-hal yang berguna
lainnya.Penulis menyadari bahwa Laporan ini jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis bersedia menerima segala bentuk kritikan.Penulis juga meminta maaf
apabila terjadi kesalahan dalam hal penulisan.

51

Anda mungkin juga menyukai