Anda di halaman 1dari 18

SISTEM PENGAJARAN AL-QUR’AN DI MASA NABI DAN SAHABAT

Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta

Rifqi Ardiansyah, Samsul Bahri & Husen Ghulam Al-Muntazor

Abstrak: Tulisan ini membahas tentang Sistem Pengajaran al-Qur’an Di Masa Nabi Dan Sahabat,
Metode penelitian ini bersifat kualitatif yang bersifat kepustakaan, Adapun hasil penelitian

bahwa system pengajaran al-Qur’an di masa Nabi dan Sahabat mentransmisikan al-Quran

dengan membacanya secara langsung kepada sahabat (musyafahah), sahabat pun demikian

dengan metode yang sama mengajarkan al-Quran antar sesama. Pada waktu itu, al-Quran yang

tertulis tidak mempunyai peranan yang signifikan pada proses pembelajaran al-Quran. Dar al-

Arqam dan rumah Nabi menjadi tempat pembelajaran al-Quran pada periode Mekkah,

sedangkan pada periode Madinah terdapat al-kuttab, shuffah, dar al-qurra’ dan masjid sebagai

pusat atau tempat mengaji al-Quran. Beberapa Sahabat ikut serta dan membantu Nabi dalam

tugas mengajarkan al-Quran.

Kata Kunci : Pengajaran, Al-Qur’an, Nabi, Sahabat

Abstract: This paper discusses the al-Qur'an Teaching System at the time of the Prophet and the
Companions, This research method is qualitative in nature, which is literature, The results of the
study are that the al-Qur'an teaching system in the time of the Prophet and Companions
transmitted the al-Quran by reading it directly to friends (musyafahah), friends are the same way
with the same method of teaching the the al-Qur'an among others. At that time, the written the
al-Qur'an did not have a significant role in the learning process of the the al-Qur'an. Dar al-
Arqam and the house of the Prophet became a place for learning the the al-Qur'an in the Mecca
period, while in the Medina period there were al-kuttab, shuffah, dar al-qurra 'and a mosque as a
center or place for reciting the the al-Qur'an. Several Companions participated and assisted the
Prophet in the task of teaching the the al-Qur'an.

Keywords: Teaching, Al-Qur'an, Prophet, Companions


1. PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam pertama dan utama menurut

keyakinan umat Islam dan diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah. Al-Qur’an adalah

kitab suci yang di dalamnya terdapat firman-firman (wahyu) Allah, yang disampaikan

oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah secara berangsur-

angsur yang bertujuan menjadi petunjuk bagi umat Islam dalam hidup dan

kehidupannya guna mendapatkan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.1

Penekanan materi pendidikan yang dipelajari dan didalami pada masa Nabi

Muhammad adalah Ilmu Alquran. Hal tersebut dapat dipahami karena merupakan tugas

Rasulullah untuk mengajarkan dan menanamkan pemahaman Alquran secara

mendalam kepada kaum muslimin semasa hidupnya. Nabi Muhammad mengajarkan

wahyu yang diterimanya sekaligus mencontohkannya sepanjang masa kenabiannya.

Namun demikian bukan berarti bahwa pengajaran selain Alquran tidak diperintahkan

atau tidak dianjurkan oleh Nabi kepada para pengikutnya.

Pengajaran membaca Alquran merupakan materi awal yang diajarkan kemudian

dilanjutkan dengan menghafalnya. Yang menjadi dasar dari pengajaran tersebut adalah

perintah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-

Alaq 1-5.

‫ي‬ َ ْ َ‫ق ۚ اِ ْق َرأْ َو َربُّك‬


ْ ‫اْل ْك َر ُم ۙ الَّ ِذ‬ ٍ َ‫عل‬ ِ ْ َ‫ي َخلَقَ ۚ َخلَق‬
َ ‫اْل ْن‬
َ ‫سانَ ِم ْن‬ ْ ‫اِ ْق َرأْ ِبا ْس ِم َر ِبكَ الَّ ِذ‬
‫سانَ َما لَ ْم يَ ْع َل ْم‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ۙ ‫علَّ َم ِب ْالقَلَ ِم‬
ِ ْ ‫علَّ َم‬ َ
”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan

manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang

mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak

1 Ajahari, Ulumul Qur’an, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo), Cetakan I 2018, hal. 1
diketahuinya”. Perintah itu bukan hanya jatuh kepada diri nabi Muhammad sendiri,

tetapi juga merupakan perintah Nabi kepada para sahabat dan pengikutnya.2

Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat utamanya untuk menuliskan

wahyu yang turun kepadanya. Merupakan kebanggaan bagi sahabat lainnya untuk ikut

menyalin tulisan ayat-ayat Alquran tersebut untuk selanjutnya dapat mereka hafalkan

dan ajarkan kepada sahabat lainnya. Berkaitan dengan penulisan wahyu Nabi

Muhammad bersabda kepada para sahabatnya: “Janganlah kamu tulis dari aku; barang

siapa menuliskan aku selain Qur'an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku,

dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan

menempati tempatnya di api neraka." (HR Muslim).

2. METODE PENELITIAN

Metode dan Jenis Penelitian Dalam meneliti dan mengkaji tentang system

pengajaran Al-Qur’an pada masa Nabi dan Sahabat, penulis akan menggunakan metode

kualitatif yang bersifat kepustakaan (Library Research). Yaitu dengan mengumpulkan

semua data yang berasal dari buku-buku, kamus, artikel-artikel terdahulu yang hasilnya

mendekati dengan penelitian ini, dan apabila memungkinkan sumber lain diperlukan,

penulis juga akan mengumpulkan dari beberapa jurnal.3

3. PEMBAHASAN

3.1 Sistem Pengajaran Al-Qur’an di Masa Nabi

Rasulullah SAW berdakwah menyebarkan Islam menerusi wahyu yang

diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibrail a.s. Al-Quran yang diturunkan dalam

tempoh 23 tahun seiring dengan perkembangan proses pengajaran dan pembelajaran al-

Quran yang menggunakan kaedah talaqqī musyāfahah. Semasa di Mekah Baginda mula

2 Bambang Triyoga & Anjar Sulistyan, “Alquran sebagai Materi Utama Pendidikan Pada Zaman
Rasulullah” dalam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Vol. 8 No. 5 2021, hal. 1464
3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011) hal. 78.
mengajarkan al-Quran di rumah Baginda dan kemudian di rumah sahabatnya iaitu al-

Arqām b. Abī al-Arqām.

Baginda meneruskan usaha mengajarkan al-Quran kepada sahabat bermula di

kediaman Baginda dan berterusan di Masjid Nabawi. Para sahabat belajar secara

berhadapan dengan Rasulullah SAW melalui kaedah talaqqī musyāfahah. Talaqqī

musyāfahah memberi arti perjumpaan secara berhadapan di antara murid dan gurunya

semasa pembelajaran al-Quran berlangsung. Murid akan memerhati setiap sebutan

huruf yang keluar dari mulut gurunya bagi mempastikan sebutannya betul dan tepat.

Hasil didikan daripada Baginda ramai sahabat yang belajar menghafaz al-Quran

sehingga lahir golongan ḥuffāẓ dikalangan sahabat. Antara mereka yang menghafaz al-

Quran ialah Abū Bakr, Uthmān b. ‘Affān, ‘Abd Allāh b. Mas‘ūd, ‘Ā’isyah dan Ḥafṣah.4

Secara ringkas terdapat empat langkah pengajaran al-Quran di zaman Rasulullah

s.a.w yaitu:

a. Membaca al-Quran dengan betul. Rasullullah s.a.w membaca al-Quran secara

talaqi-musyafahah dengan malaikat Jibrail a.s. Maka dengan cara inilah juga

Baginda s.a.w mengajarkannya kepada para sahabat.

b. Menerangkan maksud. Hal ini bertujuan untuk memahami apa yang terkandung

di sebalik ayat al-Quran yang dibaca.

c. Menghafaz. Selain ayat-ayat al-Quran ditulis di pelepah-pelepah tamar, tulang

dan kulit terdapat juga para sahabat yang menghafal ayat al-Quran.

d. Mengamalkan ajaran al-Quran berdasarkan ajaran yang difahami daripada ayat-

ayat yang dihafal.

Cara paling lazim dalam menjaga Al-Qur’an pada masa Nabi dan sahabat ialah

dengan hafalan (al-jam’fi al-shudru). Hal ini selain karena masih banyaknya sahabat

yang buta huruf (ummi), juga karena hafalan orang arab ketika itu terkenal kuat. Bisa

4Syakir & Farid, Kaedah Talaqqī Musyafahah Dalam Tilawah Al-Quran, Jurnal. Pulau Pinang: Universiti Sains
Malaysia. 2021, hal. 156-157
dimaklumi jika pencatatan Al-Qur’an belum merupakan alat pemeliharaan yang handal,

karena dari segi teknis, alat-alat tulis ketika itu masih sangat sederhana dan rawan

terhadap kerusakan. Bahan tempat menulis berasal dari pelepah korma dan tulang-

belulang yang gampang lapuk dan patah, tinta yang mudah luntur, dan kalam (alat

penulis) yang sangat sederhana.5

Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang

penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satunya yang diriwayatkan

oleh Utsman ibn Affan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Yang terbaik diantara

kamu adalah mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan kemudian mengajarkann ya”6

3.2 Pengajaran Al-Qur’an Periode Makkah

Berdasarkan nama tempat ini, dikenal sebuah istilah bagi periodesasi dakwah

Nabi yang pertama, yakni periode Makkah (al -fatrah almakkiyyah). Periode ini merujuk

kepada aktifitas Nabi Muhammad selama masih berada di Makkah (pra-hijrah) hingga

beliau melaksanakan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Periode ini merupakan masa

pembinaan dan pemantapan ke dalam serta penyusunan kekuatan dakwah. Oleh karena

itu, materi-materi dakwah pada periode ini lebih menitikberatkan kepada masalah

aqidah dan keimanan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa ayat-ayat al-Quran yang

diturunkan pada periode ini umumnya berkaitan dengan masalah tersebut .7

Dalam sejarah pendidikan Islam, sejak Rasulullah melaksanakan fungsi dakwah

secara aktif, di kota Mekkah telah didirikan lembaga pendidikan di mana Rasulullah

memberikan pelajaran tentang ajaran Islam secara menyeluruh di rumah–rumah dan

masjid–masjid. Salah satu rumah yang terkenal dijadikan tempat berlangsungnya

pendidikan Islam ialah Dar al-Arqam di Mekkah dan masjid yang terkenal dipergunakan

5 M Quraish Shihab, et.al., Sejarah & Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011, Cet. 5, Hal. 25.
6 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, dengan kata pengantar M. Quraish Shihab,
FKBA, Yogyakarta, 2001, hal. 129
7 Abdul Jalil, “Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an Di Masa Nabi Muhammad Saw”, Jurnal. Insania Vol. 68, hal. 2
untuk kegiatan belajar dan mengajar ialah yang sekarang terkenal dengan masjid al-

Haram di Mekkah dan Masjid an- Nabawi di Madinah al-Munawwarah.

Di dalam masjid–masjid inilah berlangsung proses belajar- mengajar berkelompok

dalam “Halaqah” dengan masing–masing gurunya terdiri dari para sahabat Nabi.

Kegiatan pembelajaran tersebut dapat berlangsung dengan baik, hingga pada akhirnya

setiap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dicatat dan dilafalkan oleh para

sahabat yang pandai membaca dan menulis.8

Karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab kepada Nabi pesuruh Allah

dari bangsa Arab juga, sekalipun bacaannya telah diperkenankan dengan tujuh macam

huruf, tetapi semuanya dengan lidah bangsa Arab yang fasih di kala itu, bahasa Arab

adalah yang paling baik. Bangsa Arab pada masa turunnya al- Qur’an mereka berada

dalam budaya Arab yang begitu tinggi dan ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya

cepat serta daya pikirnya yang begitu terbuka.

Sahabat ‘Abd Allah bin Mas‘ud termasuk orang-orang pertama yang mempelajari

atau membacakan al-Quran dari Rasulullah. Beliau juga adalah sahabat pertama yang

membacakan al-Quran dengan terang-terang di hadapan orang kafir Makkah. Bacaan al-

Quran telah menjadi kunci atau hal yang wajib yang dilakukan Nabi tiap saat, khususnya

untuk aktivitas dakwah. Banyak sahabat yang masuk Islam karena mendengar bacaan

al-Quran. Bahkan kaum kafir Quraisy yang tidak masuk Islam, dalam beberapa

kesempatan, mereka mendengarkan al-Quran dari Nabi dengan bersembunyi. Yang

pasti bahwa Nabi membacanya dari hafalan beliau, karena Nabi tidak atau belum bisa

membaca dan menulis.

Sahabat sangat jujur dan teliti dalam hal pembacaan atau pengajaran ayat-ayat al-

Quran, hal ini dapat ditemukan pada kisah Ibnu Mas‘ud. Suatu ketika ada kelompok

sahabat yang bertanya tentang surat asySyu‘ara’, Ibnu Mas‘ud menjawab “surat itu tidak

8 Zuhdi, Pengantar ulumul qur’an, Jakarta: Bina Ilmu, 1993, hal. 15


bersama saya (tidak menghafalnya), akan tetapi kalian harus mempelajarinya dari orang

yang mengambilnya dari Rasulullah yaitu Abi ‘Abd Allah Khabbab bin al-Artt (.al-

Asfahani, tt : 143).

Dari riwayat tersebut kita bisa mendapat gambaran tentang sistem transmisi dan

pembelajaran al-Quran, di mana Nabi dan para sahabat yang dijadikan sebagai rujukan

atau sumber utama al-Quran bukan catatan atau tulisan (baca: al-Qur’an al-maktub). Ada

kemungkinan bahwa ayat-ayat yang turun pra-hijrah lebih banyak dijaga dengan hafalan

dalam ingatan dibandingkan dalam catatan, karena kondisi muslimin yang tidak aman,

sering menghadapi banyak tantangan dan problem hingga mereka terpaksa untuk

meninggalkan tanah kelahiran mereka dua kali, ke Habasyah dan ke Madinah, walaupun

ada beberapa riwayat yang membuktikan bahwa kegiatan kitabah al-Qur’an sudah

dimulai di Makkah, seperti yang disebutkan dalam riwayat mengenai ‘Umar masuk

Islam. Orang pertama yang menulis untuk Nabi dari Quraisy adalah ‘Abd Allah bin Sa‘d

bin Abi as-Sarh (al-Balazuri, 2000 : 280), nama lain penulis wahyu periode Makkah adalah

Khalid bin Sa‘id bin al-‘Ash (al-A’zami, 2005 : 72).

Kegiatan pendidikan dan dakwah Nabi dan sahabat sebelum Nabi hijrah ke

Madinah pun membuahkan hasil. Yakni Alquran telah tersebar dan dihafal oleh

beberapa kabilah yang berasal dari dalam maupun luar kota Mekah. Fakta bahwa jumlah

surat-surat makkiyyah lebih banyak dari surat-surat madaniyyah memberi isyarat atau

menunjukan bahwa sejak periode Mekah sudah banyak sahabat yang memfokuskan

kegiatan belajarnya atau aktifitas sehari-harinya untuk mempelajari dan menghafalkan

ayat-ayat Alquran.

Keberhasilan itu bukan berarti bebas halangan. Nabi dan para sahabatnya sempat

merasa kesulitan tatkala menghadapi tekanan dan dari kaum Quraisy Mekah. Dan pada

akhirnya Allah swt. mengizinkan Rasul-Nya untuk melakukan hijrah ke Yatsrib


(Madinah), Nabi berhijrah bersama sahabat Abu Bakr dan tiba di Madinah pada tanggal

dua belas Rabi‘ al-Awwal 622 M.

Maka hal ini ada kaitannya yang besar dari para sahabat penghafal al-Qur’an

ketika pemberian metode pembelajaran alQur’an pada zaman Rasulullah. jika ditinjau

dari persepsi hadits, ada berbagai nama-nama sahabat penghafal al-Qur’an yang paling

disebut adalah: Ubay ibn Ka’ab (w.642 H), Mu’adz ibn Jabal (w.639 H), Zayd ibn Tsabit

dan Abu Zayd al-Anshari (w.15 H). Disebutkan pula tujuh nama pengumpul al-Qur’an,

tiga diantaranya sama dengan tiga nama pertama dalam riwayat sebelumnya dan empat

lainnya adalah: Ali ibn Abi Thalib, Sa’ad ibn Ubayd (w.637 H), Abu alDarda (w.652 H),

dan Ubayd ibn Mu’awiyah. Nama-nama lain yang sering muncul dalam riwayat adalah:

Utsman ibn Affan, Tamim alDari (w.660 H), Abdullah ibn Mas’ud (w.625 H), Salim ibn

Ma’qil (w.633 H), Ubadah ibn Shamit, Abu Ayyub (w.672 H) dan Mujammi’ ibn Jariyah.

Pada titik ini, timbul permasalahan apakah tiap-tiap pengumpul al-Qur’an itu

menyimpan dalam ingatannya keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Nabi

Muhammad atau hanya sebagian besar darinya.

Jika dilihat dari peran tulisan ketika itu, dapat dikemukakan bahwa menghafal al-

Qur’an merupakan tujuan utama yang terpenting, bahkan sepanjang sejarah Islam.

Sementara perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat

untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi, dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun unit

wahyu yang tidak tersimpan dalam dada atau ingatan para pengumpul al-Qur’an pada

saat itu.

Cara kedua yang dilakukan dalam pembelajaran serta pemeliharaannya al-Qur’an

di masa Rasulullah adalah perekaman dalam bentuk tertulis unit-unit wahyu yang

diterima Rasulullah.
Laporan paling awal tentang penyalinan al-Qur’an secara tertulis bisa ditemukan

dalam kisah Umar ibn Khaththab ketika masuk Islam, empat tahun menjelang hijrahnya

Nabi ke Madinah.

3.3 Pengajaran Al-Qur’an Periode Madinah

Periode Madinah (pasca-hijrah) merupakan periode pembentukan masyarakat

Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan ajaran-ajaran dan sistem Islam, walaupun di

antara warganya terdapat orang-orang yang bukan Muslim. Meskipun antara periode

Makkah dan Madinah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan,

namun suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa periode Madinah yang masanya

lebih pendek dari pada periode Makkah itu memberikan hasil yang lebih gemilang

dibandingkan dengan periode Makkah (Yaqub, 2000 : 25).

Berbeda dengan periode Makkah, pembelajaran Alquran di periode Madinah

lebih efektif dan terorganisir. Hal ini disebabkan karena kondisi di Madinah lebih stabil

dibandingkan ketika Nabi berada di Makkah. Ketika Rasulullah sampai di Madinah,

kebijakan pertama yang beliau ambil adalah mendirikan Masjid. Masjid inilah yang

nantinya menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Alquran.

Musthafa al-Azami, dalam bukunya yang berjudul The History of The Qur’anic

Text membagi pengajaran Alquran periode Madinah menjadi tiga bagian sebagai

berikut:

Pertama, The Prophet as a Teacher. Nabi Muhammad saw. sebagai al-mu’allim al-

awwal (pengajar pertama) selalu berusaha untuk mengajarkan Alquran kepada sahabat,

masyarakat Madinah, dan orang-orang dari luar daerah. Setiap menerima ayat baru,

beliau segera membacakannya kepada semua sahabat.

Kedua, Dialects Used by the Prophet for Teaching in Madina. Seperti yang telah

diketahui bahwa setiap daerah memiliki dialek yang berbeda-beda, begitu juga di kota

Madinah. Karena dialek yang mereka pakai sudah menjadi kebiasaan dan sulit dirubah,

maka untuk mempermudah adalah dengan membaca Alquran sesuai dengan dialek
masing-masing dengan catatan ada pengklarifikasian dan pembenaran dari Nabi

mengenai bacaan dialeknya. Dialek-dialek yang berbeda inilah yang menjadikan cara

baca Alquran beragam. Ini yang selanjutnya menjadi cikal bakal Ilmu Qiraat.

Ketiga, The Companions as Teacher, dalam mengajarkan Alquran, Nabi Muhammad

dibantu oleh para sahabat. Para sahabat berperan penting dalam pengajaran Alquran.

Beberapa dari mereka dikirim keluar daerah untuk mengajarkan Alquran.

Pembelajaran al-Quran di Madinah masih didominasi oleh metode oral

(musyafahah), karena masyarakat Madinah yang menguasai bacatulis sangat sedikit

bahkan lebih sedikit dari masyarakat Makkah. Di antara mereka yang bisa menulis ketika

Nabi hijrah adalah Ubay bin Ka‘b, Zaid bin Tsabit, Sa‘d bin ‘Ubadah, Rafi‘ bin Malik.

Orang pertama yang menulis untuk Nabi di Madinah adalah Ubay, ketika Ubay tidak

ada atau berhalangan maka Nabi mengundang Zaid. Selain itu, karena Nabi sendiri tidak

bisa menulis dan sahabat yang mampu menulis pada masa awal Islam hanya berjumlah

sedikit, maka Nabi pun memanfaatkan semua potensi baca-tulis yang mereka miliki

untuk mencatat al-Quran dan hal-hal lain seperti penulisan surat-surat kepada para raja,

dan berbagai perjanjian dan urusan.

3.4 Lokasi Pengajaran

Ada beberapa tempat yang dijadikan sebagai tempat pembelajaran Alquran di

kota Madinah;

Pertama, Shuffah. Shuffah merupakan tempat yang digunakan untuk berbagai aktifitas

pendidikan. Biasanya Shuffah juga disediakan sebagai tempat tinggal bagi pendatang

yang membutuhkan. Di sana para sahabat diajarkan cara membaca dan menghafal

Alquran secara benar.

Kedua adalah Darr al-Qurra. Dar al-Qurra secara istilah berarti rumah para pembaca

Alquran. Awalnya Dar al-Qurra ini merupakan rumah milik Makhramah bin Naufal,

kemudian dijadikan tempat pengajaran Alquran.


Ketiga adalah Kuttab yang merupakan tempat belajar atau tempat kegiatan tulis-menulis

dilangsungkan. Awalnya Kuttab ini dikhususkan sebagai tempat pendidikan bagi anak-

anak. Ahmad Syalabi kemudian membedakan antara Kuttab yang khusus untuk mengaji

Alquran dan dasar-dasar agama dengan Kuttab yang digunakan untuk mengajar anak-

anak baca tulis.

Keempat adalah masjid. Pada zaman Nabi, masjid sudah menjadi pusat kegiatan dan

informasi berbagai masalah kaum muslimin. Salah satu peranan penting masjid pada

waktu itu adalah sebagai lembaga pendidikan. Ketika ayat Alquran turun, Nabi segera

menuju ke masjid dan membacakannya kepada para sahabat.

Kelima adalah rumah para sahabat. Rumah para sahabat terkadang juga digunakan

sebagai tempat belajar dan mengajar. Ketika Nabi kedatangan tamu-tamu dari daerah

sekitar Madinah, mereka menginap di rumah para sahabat. Seraya menginap, mereka

belajar Alquran dan ajaran Islam dari Nabi atau sahabat pemilik rumah.9

3.5 Sistem Pengajaran Al-Qur’an di Masa Sahabat

Setelah Rasulullah wafat dan Islam berkembang secara luas serta diterima oleh

bangsa-banga di luar Arab, maka kondisi bangsa Arab (Islam) berubah total. Sumber

pengajaran al-Qur’an pada waktu itu adalah para Sahabat dan mereka pula yang

bertanggung jawab untuk mengajarkannya, memberi penjelasan serta pengertian

tentang kandungan ayat-ayat al-Qur’an kepada orang-orang yang baru masuk Islam.

Al-Qur’an secara lengkap dan sempurna umumnya telah dipelajari dan dihafal

oleh para Sahabat. Disamping itu, Al-Qur’an masih dalam bentuk tulisan yang

berserakan yang ditulis oleh para Sahabat atas perintah Rasulullah selama masa

penurunan Al-Qur’an, jadi belum berupa Mushaf.10

9 Hayyun Millata Husna https://tafsiralquran.id/metode-pembelajaran-alquran-pada-zaman-rasulullah/

10 Zuhairini, Sejarah pendidikan islam. Jakarta: Proyek IAIN, 1994, hal. 76


Pada mulanya Sahabat Nabi mempelajari Al-Qur’an secara sembunyi- sembunyi.

Mereka duduk dan berkumpul di rumah Sahabat al-Arqam bin Abi Arqam. Mereka

berkumpul untuk membaca Al-Qur’an, memahami kandungan tiap ayat yang

diturunkan Allah dengan jalan mudarrasah (belajar bersama).

Sebenarnya para Sahabat memiliki cara tersendiri dalam mempelajari Al-Qur’an

dan mengajarkannya. Setelah mereka mempelajari ayat, biasanya mereka tidak

melanjutkan pada ayat selanjutnya sehingga mereka mengamalkannya.

“Apabila kami mempelajari sepuluh (10) ayat Al-Qur'an dari Nabi saw, kami tidak

melanjutkannya dengan ayat setelahnya sehingga kami mengamalkannya”.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami. Ia

berkata, Kami berbicara dengan orang yang membacakan kepada kami dari sahabat

Nabi saw, mereka biasa membacakan sepuluh (10) ayat lainnya sampai mereka tahu ilmu

dan pengamalannya”.

Di kala ummat Islam telah berhijrah ke Madinah, saat Islam telah tersebar ke

kabilah-kabilah ‘Arab, mulailah Sahabat yang dapat menghafal Al-Qur’an pergi ke

kampung-kampung, ke dusun-dusun, menemui qabilah-qabilah yang telah Islam untuk

mengajarkan Al-Qur’an. Kemudian kepada tiap-tiap mereka yang telah mempelajari,

diminta mengajari teman-temannya yang belum mengetahui. Sahabat-sahabat yang

mengajarkan itu pergi ke qabilah-qabilah yang lain untuk menebarkan Al-Qur’an

seterusnya.

Para sahabat selalu bersegera dalam kebaikan dengan belajar Al-Qur'an dan

mengajarkan serta membacakannya kepada manusia. Mereka menjadikan pedoman

kebaikan yang digariskan Rasulullah saw. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Abi

Umamah r.a. bahwa seseorang datang kepada Nabi saw. Dan berkata,

“Aku membeli sesuatu dari Bani Fulan dan aku mendapat untung yang banyak.”

Beliaupun bersabda, “Maukah kutunjukkan keuntungan yang lebih banyak?” Ia menjawab,

“benarkah?” beliau bersabda, “yaitu orang yang belajar sepuluh (10) ayat Al-Qur'an.” Maka ia
pun lantas bersegera mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an. Lalu datang lagi kepada Nabi saw.

Untuk menceritakannya.” (HR. Ath-Thabrani )11

Demikian cara para Sahabat mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an di kala Nabi

masih hidup dan setelah wafat. Guru-guru al-Qur’an di masa itu dinamai Qurra (jamak

Qari‟ artinya ahli baca dan ahli faham, pandai menyebut lafadz, cakap menerangkan

makna dan pengertian).

Setelah Umar ibn Khattab menjadi pengikut Nabi Muhammad, maka mereka

dengan bebas membaca dan mempelajarinya al-Qur’an dan Nabi memerintahkan

kepada para Sahabat untuk selalu membacanya dan menghafal setiap ayat yang baru

diturunkan dan memerintahkannya kepada para Sahabat yang bisa menulis untuk

menulis ayat-ayat tersebut.12

Pada masa Rasulullah dan para Sahabat masih hidup pengajaran al-Qur’an

dengan cara hafalan dan tidak dengan membaca dan menulis. Hal ini disebabkan karena

mempunyai daya hafalan yang kuat, di samping karena alat-alat tulis waktu itu belum

ada bahkan ketika pemerintahan Islam dipegang oleh Khalifah Umar Ibn Khattab beliau

sangat mengutamakan hafalan ayat-ayat al-Qur’an, bukan membaca dari tulisan

lembaran-lembaran al-Qur’an, sebagaimana ungkapan Hasbi ash-Shiddieqy bahwa

Beliau itu selalu mengumpulkan kabilah-kabilah Arab untuk diperiksa hafalannya, siapa

saja yang tidak menghafal barang sedikit dari padanya akan didera.13

Abu Darda’ pada tiap-tiap shalat subuh di masjid Jami’ Bani Umayyah di

Damaskus, berkerumun (berkumpul) manusia di sekelilingnya untuk mempelajari al-

Qur’an. Mereka disuruh duduk bershaf-shaf, tiap satu shaf terdiri dari sepuluh orang,

dipimpin oleh seorang „Arif (pemimpin shaf). sedangkan Abu Darda’ berdiri tegak di

11 Lihat Majma’uz Zawaid VII: 65, dalam Akhmad Khalil Jum’ah, Al-Qur'an Dalam Pandangan Sahabat
Nabi, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal. 39-40
12 Ahmad Khalil Jum’ah, sss, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hal. 39-40

13 Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000,

hal. 53
mihrab memperhatikan bacaan-bacaan tersebut. Bila seseorang di antara pelajar-pelajar

tiada mengetahui lagi, bertanyalah ia kepada pemimpin shafnya. Jika pemimpin tiada

mengetahui barulah Abu Darda’ menjelaskannya. Pada suatu hari Abu Darda’

menghitung jumlah muridnya, ternyata berjumlah 1600 orang lebih.14

Pada masa Khalifah Utsman ketika Islam semakin luas ke seluruh penjuru bumi,

terjadi perbedaan dalam pembacaan al-Qur’an. Karena adanya perbedaan Lahjah

(dialek) orang-orang Arab. Orang Arab yang mula-mula menaruh perhatian terhadap

hal ini ialah seorang Sahabat yang bernama Hudzaifah bin Yaman. Ketika beliau ikut

dalam pertempuran menaklukkan Armenia dan Azerbaijan, maka selama dalam

perjalanan, beliau pernah mendengar perbedaan kaum Muslimin tentang bacaan

beberapa ayat al-Qur’an, dan pernah juga mendengar perkataan seorang Muslim kepada

temannya: “Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu.”

Keadaan ini mengagetkan Hudzaifah, maka pada waktu dia telah ke Madinah,

segera ditemuinya Utsman ibn Affan dan kepada beliau diceritakan apa yang dilihatnya

mengenai perbedaan kaum Muslimin tentang bacaan al-Qur’an itu, seraya berkata:

“Susunlah Umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab, sebagaimana

perselisihan Yahudi dan Nasrani.”

Selanjutnya khalifah Utsman ibn Affan meminta kepada Hafsah binti Umar

lembaran-lembaran al-Qur’an yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar dahulu yang

disimpan oleh Hafsah untuk disalin dan khalifah Utsman pun membentuk suatu panitia,

terdiri dari Zaid ibn Tsabit, sebagai ketua, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn „Ash dan

Abdur Rahman ibn Harits ibn Hisyam.

Tugas panitia ini ialah untuk membukukan al-Qur’an, yakni menyalin dari

lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Khalifah

Utsman ibn Affan memberi nasehat agar:

14 Ibid, hal. 76
a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal alQur’an.

b. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah

dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab alQur’an itu diturunkan menurut

dialek mereka.

Maka dikerjakanlah oleh panitia sebagaimana yang ditugaskan kepada mereka

dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran al-Qur’an yang dipinjam dari

Hafsah itu dikembalikan kepadanya.

Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan al-Mushaf dan oleh panitia

ditulis lima buah al-Mushaf. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah,

Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula dari masing-masing Mushaf tersebut dan

satu buah ditinggal di Madinah untuk Khalifah Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai

dengan Mushaf al-Imam

Dengan demikian, maka pembukuan al-Qur’an di masa khalifah Utsman bin

Affan itu faedahnya yang terutama adalah :

1) Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan

tulisannya.

2) Menyatukan bacaan meskipun masih ada berlainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak

berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan

yang tidak sesuai dengan ejaan mushaf-mushaf Utsman tidak diperbolehkan lagi.

3) Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang

kelihatan pada mushaf-mushaf yang sekarang

Karena al-Qur’an saat itu ditulis tanpa titik dan harakat, maka banyak orang yang

kesulitan dalam membacanya. Sehingga ketika Gubernur Basrah Ziad Ibn Sumaiyah

berkuasa, ia memerintahkan kepada Abu Aswad Ad-Dualy (Ahli Nahwu) agar

menciptakan suatu cara untuk menghindari suatu kesalahan dalam membacanya.

Pada mulanya Abu Aswad menolak, namun akhirnya menyanggupi dan hasilnya

lahirlah tanda-tanda A (fathah) dengan titik di atas huruf dan lain-lain. Kemudian tanda-
tanda itu dibubuhkan ke dalam teks al-Qur’an oleh kedua muridnya yakni Nashar ibn

„Ashim atas perintah al-Hallaj, yang kemudian disempurnakan oleh al-Khalil ibn

Ahmad

Al-Khalil mengubah sistem baris Abu Aswad dengan menjadikan alif yang

dibaringkan di atas huruf tanda baris di atas dan yang di bawah huruf tanda baris di

bawah, dan wawu tanpa baris di depan. Beliau jugalah yang membuat tanda mad

(panjang pembacaan) dan tasydid (tanda huruf ganda).

Sesudah itu, barulah penghafal al-Qur’an membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda

waqaf (berhenti) dan ibtida‟ (mulai) serta menerangkan di pangkal- pangkal surat nama

surat dan tempat-tempat turunnya, di Makkah atau di Madinah dan menyebut bilangan

ayatnya. Menurut sebagian riwayat menyebutkan bahwa pekerjaan-pekerjaan ini

dilakukan atas perintah khalifah al-Ma’mun.

Ada pula riwayat yang menceritakan bahwa yang mula-mula memberi titik dan

baris, ialah Hasan al-Bishry atas perintah khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Abdul

Malik ibn Marwan memerintahkan kepada al-Hallaj sewaktu berada di Wasith, lalu al-

Hallaj menyuruh Hasan dan Yahya ibn Ya’mura, murid Abu Aswad Ad-Dualy.

Demikianlah terus-menerus raja-raja Islam dan ulama- ulamanya memperbagus tulisan

al-Qur’an hingga sampailah kepada masa pencetakannya.

4. KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Quran yang merupakan

kalam Ilahy diwahyukan kepada Nabi Muhammad selama sekitar 23 tahun secara

berangsur-angsur. Mulai dari wahyu pertama di Makkah, Nabi telah berusaha dan

bersusah-payah untuk menjaga kemurnian teks al-Quran sehingga mengajarkan dan

menyampaikannya kepada sahabatnya dengan sempurna dan benar. Para sahabat juga

membantu dalam proses pembelajaran al-Quran kepada sahabat lain dengan berbagai
cara. Sedangkan tempat yang dijadikan sebagai tempat studi al-Quran dan dasar agama

Islam adalah rumah Nabi dan dar al-Arqam.

Dengan kondisi yang stabil dan aman, proses pembelajaran al-Quran di Madinah

berjalan dengan lancar. Shuffah, masjid dan tempat-tempat lain telah menjadi pusat

pendidikan al-Quran dan ilmu keislaman. Para sahabat senior ikut mengajar di sana dan

sebagian lagi dikirim ke beberapa kabilah sebagai da’i dan pengajar. Dengan berbagai

masalah dan terbatasnya sarana pada masa Nabi, mereka (Nabi dan sahabat) sukses

dalam tugas penjagaan dan pengajaran al-Quran.

Bentuk pengajaran Rasulullah saw ialah membaca al-quran karim kepada para

sahabat dan menerangi maksud ayatnya supaya dapat difahami dan di hayati serta

diamalkan pada saat itu, juga. Baginda Rasul juga menyuruh para sahabatnya

mengahafal setiap ayat yang telah diajar di samping Rasulullah saw menyeru para

sahabatnya untuk menulis agar dapt sentiasa diulang kaji pada masa yang lain. Adapun

cara pengajarannya sangat sederhana yaitu dengan bertatapan langsung antara pendidik

dan peserta didiknya atau secara berkelompok “Halaqoh”, sehingga pelajaran lebih cepat

dipahami.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jalil, Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an Di Masa Nabi Muhammad Saw, Jurnal. Insania Vol. 68

Ahmad Khalil Jum’ah, sss, Jakarta: Gema Insani Press, 1999

Ajahari, Ulumul Qur’an, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo), Cetakan I 2018
Bambang Triyoga & Anjar Sulistyan, Alquran sebagai Materi Utama Pendidikan Pada Zaman Rasulullah

dalam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Vol. 8 No. 5 2021

Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000,

hal

Hayyun Millata Husna https://tafsiralquran.id/metode-pembelajaran-alquran-pada-zaman-rasulullah/

M Quraish Shihab, et.al., Sejarah & Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 5 2011
Majma’uz Zawaid VII: 65, dalam Akhmad Khalil Jum’ah, Al-Qur'an Dalam Pandangan Sahabat

Nabi, Gema Insani Press, Jakarta, 1999

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011
Syakir & Farid, Kaedah Talaqqī Musyafahah Dalam Tilawah Al-Quran, Jurnal. Pulau Pinang: Universiti Sains

Malaysia. 2021

Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, dengan kata pengantar M. Quraish Shihab,

FKBA, Yogyakarta, 2001

Zuhairini, Sejarah pendidikan islam. Jakarta: Proyek IAIN, 1994, hal

Zuhdi, Pengantar ulumul qur’an, Jakarta: Bina Ilmu, 1993

Anda mungkin juga menyukai