Anda di halaman 1dari 10

B A B  

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Niat adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bahkan
dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan niat hukumnya fardhu bagi setiap
pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan seberapa penting arti menghadirkan niat dalam
setiap perbuatan. Niat juga mengan dung makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan.

Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa
yang dia niatkan.” Jadi pada intinya setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula
dan sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula.

Tetapi pada salah satu ibadah fardhu, yaitu salat. Masalah menghadirkan niat menjadi suatu objek
pertentangan di antara beberapa mahzab. Hal yang menjadi titik pusat permasalahan bukanlah harus
atau tidaknya niat itu dihadirkan. Karena memang niat itu harus dihadirkan pada setiap perbuata. Tapi
masalahnya terletak pada cara menghadirkan niat dalam salat. Apakah cukup dalam hati saja? Atau
harus diucapkan? Dan masih banyak masalah lainnya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atsa, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Apakah Definisi dan hakikat niat?

2. Apakah Hadits Tentang Niat dan Terjemahannya?

3. Bagaimanakah Pendapat Para Ulama tentang Niat?

4. Apakah Makna Kata dalam Hadits (mufrodat) tentang Niat? 

5. Bagaimanakah Asbabul Wurud Hadits tentang Niat?

6. Apakah Kedudukan Hadits tentang Niat?

7. Apakah Penjelasan (syarah) Hadits tentang Niat?


B A B  I I

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Hakikat Niat

Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi
syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan
atau meninggalkannya.

Niat termasuk perbuatan hati maka tempanya adalah didalam hati, bahkan semua perbuatan yang
hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam didalam hatinya.

Aspek niat itu ada 3 hal :

1. Diyakini dalam hati.

2. Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan
menjadi riya.

3. Dilakukan dengan amal perbuatan.

Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'bicara saja'
karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya
seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan
santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cermat. Karena
dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat
termasuk ciri-ciri orang yang munafik, Imam an-Nawawi berkata,

“Niat adalah fardhu, shalat tidak sah tanpanya”

Ibnul Mundzir , Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Qadhi Abu ath-Thayyib, dan Muhammad bin Yahya dan
lain-lainnya menukil ijma’ ulama bahwa “alat tidak sah tanpa niat.”

Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah, ijma’ ini berdasar kepada hadis yang
disampaikan oleh Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda :

“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan
sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya
maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia
peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia
tujukan/niatkan”.
B. Hadits Niat

‫ إِ َّن َما‬: ‫هللا ص لى هللا عليه وس لم َيقُ ْو ُل‬ ِ ‫ت َر ُس ْو َل‬ ُ ْ‫ َس مِع‬: ‫ب َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َق ا َل‬ ِ ‫ْن ْال َخ َّطا‬
ِ ‫ص ُع َم َر ب‬ ٍ ‫َعنْ أَ ِمي ِْر ْالم ُْؤ ِم ِني َْن أَ ِبيْ َح ْف‬
‫ت هِجْ َر ُت ُه‬ ِ ‫هللا َو َرس ُْولِ ِه َف ِهجْ َر ُت ُه إِلَى‬
ْ ‫ َو َمنْ َك ا َن‬،ِ‫هللا َو َرس ُْولِه‬ ِ ‫ت هِجْ َر ُت ُه إِلَى‬
ْ ‫ َف َمنْ َكا َن‬. ‫ئ َما َن َوى‬ ٍ ‫ت َوإِ َّن َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬ ِ ‫ْاألَعْ َما ُل ِبال ِّنيَّا‬
‫اج َر إِلَ ْي ِه (رواه إماما المحدثين أبو عبد هللا محمد بن إس ماعيل بن إب راهيم بن‬ َ ‫لِ ُد ْن َيا يُصِ ْي ُب َها أَ ْو ا ْم َرأَ ٍة َي ْن ِك ُح َها َف ِهجْ َر ُت ُه إِلَى َما َه‬
‫المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيس ابوري في ص حيحيهما الل ذين هما أصح‬
‫الكتب المصنفة‬

Arti Hadis :

Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah
mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu
tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu,
barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’”

(Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh
bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di
dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits).

C. Pendapat Para Ulama

1. Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat
dalam menerimanya”.

2. Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang
disepakati akan keshohihannya dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya
faedahnya”.

3. Berkata Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam yang
lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya dibandingkan hadits ini”.

4. Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Sy afi’iy, Ahmad bin Hanbal,
‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa
hadist ini adalah sepertiga ilmu.

5. Hal ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal tersebut dikarenakan
sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya,
sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut” .

6. Abdurrahman bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab ilmu”. Sedangkan
Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa masuk ke dalam 70 bab fiqhi.
Tentang sabda Rasulullah, "semua amal itu tergantung niatnya" ada perbedaan pendapat para ulama
tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah
tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan
sempurna apabila ada niat.

Kedua : Kalimat "Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya" oleh Khathabi dijelaskan
bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah
tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat
menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah
Sholatnya, walahu a'lam Ketiga : Kalimat "Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya,
maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya" menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat
syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada' (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda,
sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara
bahasa atau syari'at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka
akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah
untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala
hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.

D. Makna Kata dalam Hadits (mufrodat)

ٍ ‫ أَ ِبيْ َح ْف‬: Bermakna Al-Asad (singa), sedang Abu Hafsh adalah julukan bagi ‘Umar bin Khathab.
1. ‫ص‬

2. ‫ إِ َّن َما‬:  (hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk
yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy (13/54) dan
Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin (1/168).

3. ‫ ْاألَعْ َما ُل‬: Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).

ِ ‫ ل ِّنيَّا‬: Merupakan jama’ dari kata niyat. Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak
4.‫ت ا‬

5. ‫ئ‬
ٍ ‫ امْ ِر‬: Artinya adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan
6. ‫ هِجْ َر ُت ُه‬: Secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun
secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk
menegakkan agama. Adapun hijrah dalam hadits ini adalah Hijrah dari Mekkah ke Madinah.

ِ ‫ إِلَى‬: Maksudnya adalah menuju keridhaan Allah, baik dalam niat atupun tujuan.
7. ‫هللا‬

8. ‫ لِ ُد ْن َيا يُصِ ْي ُب َها‬: Artinya adalah demi tujuan duniawi yang ingin dicapainya.
E. Asbabul Wurud Hadits

Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab
keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita
yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang
berhijrah karena Ummu Qois)”.

Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau
berkata :

ُ ُ
ٍ ‫ان ُي َقا ُل ُم َها ِج ُر أ ُّم َقي‬
‫ْس‬ ٍ ‫اج َر َر ُج ٌلُ لِ َي َت َز َّو َج ا ْم َرأَ ًة ُي َقا ُل لَ َها أ ُّم َقي‬
َ ‫ َف َك‬,‫ْس‬ َ ‫ َه‬,‫اج َر َي ْب َتغِي َش ْي ًئا َفإِ َّن َما لَ ُه َذل َِك‬
َ ‫َمنْ َه‬

”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya
sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka
diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”.

(HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-
Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata :”Sanadnya shohih”.Dan Al Hafizh
berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).

F. Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam
Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-
Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.

Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnyaghorib
karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada
yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan
hadits ini darinya kecuali Yahya.

G. Kedudukan Hadits

Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga
hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.”
Perkataan Imam

Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram
tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits
Aísyah).

H. Penjelasan (syarah) Hadits

Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-
Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :

‫صالَ ُح َو ْال َف َسا ُد ل ِْل َع َم ِل‬ ٌ ْ‫اَل ِّن َي ُة َشر‬


َّ ‫ط لِ َسائ ِِر ْال َع َم ِل فِ ْي َها ال‬

“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.

1. Fungsi Niat

Niat memiliki 3 fungsi:

a. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk
membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.

b. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk
membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.

c. Niat Merupakan pembeda antara ibadah dengan adat. Sebagai contoh mandi dapat dilakukan untuk
menghilangkan hadats, tetapi mandi juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan.

Menurut Hasbi AS-Shidiqi, niat itu terbagi 3 (tiga), yaitu :

a. Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara sangat sempurna, untuk menyatakan ketundukan
serta kehinaan.

b. Niat ta’at, yaitu melaksanakan apa yang Allah kehendaki.

c. Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.

2. Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah

Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:

a. Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.

b. Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.

Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh
terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:

a. Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.

b. Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:


Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.

Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya
batal.

c. Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal. Allah Swt.
Menggambarkan keikhlasan dalam beramal ini seperti dimuat keikhlasan dalam beramal ini seperti
dimuat dalam Al-Qur an Surat Al-Baqarah (2) ayat 265 sebagai berikut :

‫ْن َف إِنْ لَ ْم‬


ِ ‫ض عْ َفي‬ِ ‫ت أ ُ ُك َل َها‬ ْ ‫ص ا َب َها َو ِاب ٌل َف آ َت‬َ َ‫ضا ِة هَّللا ِ َو َت ْث ِبي ًتا مِنْ أَ ْنفُسِ ِه ْم َك َم َث ِل َج َّن ٍة ِب َر ْب َو ٍة أ‬
َ ْ‫ون أَ ْم َوالَ ُه ُم ا ْب ِت َغا َء َمر‬ َ ‫َو َم َث ُل الَّذ‬
َ ُ‫ِين ُي ْنفِق‬
‫ون بَصِ ي ٌر‬ َ ُ‫يُصِ ْب َها َو ِاب ٌل َف َط ٌّل َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬

Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan
Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang
disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”
(Q.S. Al-Baqarah : 265)

3. Hijrah

Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah
artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap
tuntunan Rasul-Nya.

Bentuk-bentuk Hijrah:

•Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.

•meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.

•Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.

Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.

4. Kandungan / Intisari Hadits

•Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan
mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).

•Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.

•Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan
ibadah.

•Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.

•Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah
maka dia akan bernilai ibadah.
•Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.

•Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan
hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati,
diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
B A B  I I I

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi seorang muslim
mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu
disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan
bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan. Disyaratkannya
niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat
maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau
shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu
puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.

Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik
tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan
yang bid`ah menjadi sunnah.

B.  Saran dan Kritik

Demikian dari makalah kami, kemudian kami mengharap kritik dan sara yang bersifat membangun
guna tercapainya makalah yang lebih baik lagi. Selanjutnya kami memohon maaf apabila dalam
pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan.  
D A F T A R  P U S T A K A

Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh. 2000. cetakan pertama.

Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama

Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi

Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-'Utsaimin.

Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais

Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani

Hadis Shahih Bukhari-Muslim.

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu

Ibnul Mundzir dalam kitabnya al-Asyraf dan kitab al-Ijma’

Syarh Arbain

Alqur’an Terjemah

Anda mungkin juga menyukai