Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERAN HMI, MEMPERKUAT NILAI KEBANGSAAN DAN TEKAN


RADIKALISME

Disusun:
Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK II)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Blang Pidie

Oleh :
Khairun Nisa

Oleh
Khairun Nisa

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


KOMISARIAT ILMU ADMINISTRASI
CABANG SIGLI
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan
rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sehingga kita dapat
menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi dan Rasul, Sang Revolusioner sejati, yakni Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan menuju kehidupan
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Peran HMI,
Memperkuat Nilai Kebangsaan Dan Tekan Radikalisme” ini untuk memenuhi
syarat mengikuti Intermediate Training (LK II) Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Blang Pidie.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kanda-kanda, ayunda-
ayunda, dan kawan-kawan yang telah memberikan dukungan moril dan materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, saran, koreksi, dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan dari kawan-kawan.
Meskipun makalah ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti
Intermediate Training (LK II), semoga makalah ini bermanfaat sebagai penambah
wawasan kita tentang peran kita sebagai kader HMI dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Sigli,30 Oktober 2021
Penulis

Khairun Nisa

i
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
2.1 Nilai Kebangsaan ........................................................................................... 3
2.2 Konsep Radikal .............................................................................................. 5
2.3 Peran Hmi Dalam Menekan Radikalisme ...................................................... 8
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 11
3.2 Saran ............................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Keberadaan HMI menempati peran yang sangat strategis dalam proses
pendidikan karakter mahasiswa dalam ruang lingkup kampus dan sekitarnya.
Organisasi dalam kapasitasnya sebagai wadah untuk berkreasi bagi mahasiswa
dapat berkembang secara maksimal jika dikawal dengan baik oleh pihak kampus
baik dalam hal strategi maupun peranannya dalam mengawal para mahasiswa serta
menghadapi berbagai persoalan yang sedang marak terjadi di kampus dan di
lingkungan masyarakat belakangan ini.
Salah satu yang menjadi persoalan yang cukup krusial di berbagai kampus
adalah merebaknya paham-paham radikal yang mulai menyasar mahasiswa di
kampus. Persoalan ini jika tidak dihadapi dengan serius dapat menjadi bom waktu
yang dapat meledak sewaktu-waktu dan menjadi boomerang bagi masyarakat itu
sendiri.
Seperti yang disampaikan oleh Saifuddin dalam penelitiannya yang berjudul
Radikalisme di kalangan mahasiswa di Jogjakarta menghasilkan narasi bahwa
perguruan tinggi umum lebih mudah dijadikan sebagai tempat rekrutmen gerakan
radikal, sementara perguruan tinggi yang berbasis keagamaan lebih sulit dalam
upaya radikalisasi. Jika ternyata fakta menunjukkan bahwa gerakan radikal juga
sudah marak dan tumbuh subur di kampus berbasis keagamaan, maka ini
membuktikan dua hal. Pertama, terjadi perubahan di dalam masyarakat berbasis
keagamaan itu sendiri. Kedua, adanya metamorfosa bentuk serta strategi gerakan
di internal gerakan-gerakan radikal itu sendiri (Saifuddin, 2011).
Data-data ini menjadi penting bahwa kampus-kampus keagamaan-pun tidak
lepas dari sasaran paham-paham radikal yang sekarang sudah mulai merambah
dunia kampus. Dalam konteks ini, kehadiran organisasi-organisasi di kampus
idealnya turut berkontribusi sesuai dengan perannya dalam menangkal paham-
paham radikal yang secara sengaja disusupkan dalam berbagai materi keagamaan

1
yang diajarkan secara terstruktur di dalam maupun di luar kampus. Namun, jika
tidak diperhatikan dengan serius, organisasi- organisai yang berkembang bisa saja
juga ikut disusupi paham-paham radikal dan menjadi senjata ampuh dalam
penyebaran paham-paham radikal (Abdullah, 2019).
Dari uraian serta data-data di atas, maka makalah ini akan memfokuskan
pada tema Revitalisasi Peran HMI, Memperkuat Nilai Kebangsaan Dan
Tekan Radikalisme.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud nilai kebangsaan ?
2. Bagaimana menekan radikalisme ?
3. Bagaimana peran hmi dalam menekan radikalisme ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui nilai kebangsaan.
2. Untuk mengetahui menekan radikalisme.
3. Untuk mengetahui relevansi peran hmi dalam menekan radikalisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Nilai Kebangsaan


Dalam konteks Indonesia, banyak pendapat berbeda ketika ditanyakan apa
yang menjadi nilai kebangsaan Indonesia. Soekarno pernah menyebut gotong
royong adalah nilai kebangsaan Indonesia. Pancasila sebagai kesepakatan bersama
oleh Panitia Sembilan yang kemudian disebut groundnorm belum bisa secara
kongkret menjabarkan tentang nilai-nilai kebangsaan. Nilai-nilai tersebut haruslah
digali lebih mendalam untuk dapat mengetahuinya secara kongkret dan spesifik.
Saat ini hampir semua pihak sepakat bahwa Pancasila adalah dasar negara
yang tidak bisa diperdebatkan lagi. Akan tetapi sejak kelahirannya pada tanggal 1
Juni 1945, Pancasila menjadi objek bunglon yang multitafsir dan sulit dipahami
bahkan oleh pakarnya sekalipun. Karena itulah tahun berganti tahun, rezim
berganti rezim, negeri ini masih berusaha menemukan nilai-nilai kongkret yang
relevan untuk memaknai esensi Pancasila.
Nilai kebangsaan vital diperlukan sebagai basic guidelines untuk
memahami mau dibawa kemana bangsa ini. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi mempunyai peran penting dalam hal ini, yaitu sebagai
leading sector untuk merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Ada pun nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila adalah sebagai
berikut;
1. Nilai Ketuhanan
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti adanya pengakuan
dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan pencipta alam semesta.
Dengan nilai ini menyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
religius bukan bangsa atheis. Nilai ketuhanan juga memiliki arti
adanya pengakuan akan kebebasan memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku
diskriminatif antar umat beragama.

3
2. Nilai Kemanusiaan
Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memiliki arti kesadaran
sikap dan perilaku sesuai dengan nilai moral-moral dalam hidup
bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu
hal sebagaimana mestinya.
3. Nilai Persatuan
Nilai Persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu
dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus
mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman
yang dimiliki bangsa Indonesia.
4. Nilai Kerakyatan
Nilai Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah
mufakat melaluilembaga-lembaga perwakilan.
5. Nilai Keadilan
Nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung
makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat
Indonesia yang Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah.
Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya
abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat
bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai
instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya(Mansyur, 2015).

4
2.2 Konsep Radikal
Radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal,
bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras
untuk menuntut perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham
atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik
(Depdiknas, 2008).
Sementara Sartono Kartodirdjo mengungkapkan radikalisme sebagai
sebuah “gerakan sosial yang berfungsi menolak secara menyeluruh tertib sosial
yang sedang berlangsung yang ditandai oleh kejengkelan moral kuat dalam
menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan
berkuasa” (Junanto, 2013). Dengan demikian, radikalisme merupakan bagian dari
gejala umum yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan motif yang beragam,
baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan
kekerasan, ekstrim, serta anarkis sebagai perwujudan dari penolakan terhadap
gejala yang dihadapi.
Selain istilah radikal, sebutan lain yang dipakai untuk melabeli sebuah
gerakan yang cenderung anarkis ini yakni fundamentalis, Ekstrim, dan militan.
Keempat istilah tersebut pada dasarnya diarahkan pada seseorang atau sekelompok
orang dengan nada peyoratif, menghukum, menyudutkan, dan merendahkan
akibat perbuatannya yang radikal, eksklusif, tertutup, merasa benar sendiri, dan
absolut dalam menghadapi masalah tertentu. Sebab karena itu, jiksa ada kelompok
yang dijudge radikal, fundamentalis, ekstrim, atau militant, maka masyarakat pada
umumnya akan segera menjauhi atau mengucilkan. Pun, jika ditemukan kelompok
masyarakat yang memperlihatkan pola tingkah laku atau pandangan yang ganjil
dan aneh, yang kurang sesuai dengan perilaku masyarakat pada umumnya, maka
kelompok tersebut akan segera dicap radikal, fundamentalis, Ekstrim , atau
militant (Buchor, 1986: 59).
Persentuhan kalangan mahasiswa dengan radikalisme Islam tentu bukan
sesuatu yang muncul sendiri di tengah-tengah kampus. Radikalisme itu muncul

5
karena adanya proses komunikasi dengan jaringan- jaringan radikal di luar
kampus. Dengan demikian, gerakan-gerakan radikal yang selama ini telah ada
mencoba membuat metamorfosa dengan merekrut mahasiswa, sebagai kalangan
terdidik yang pastinya juga mempengaruhi masyarakat. Sesungguhnya,
kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme dalam
Islam terdapat dua faktor, yaitu:
1. Faktor internal
Dalam tataran internal gerakan fundamentalisme muncul karena adanya
legitimasi teks keagamaan. Kelempok tertentu dalam melakukan tindakan
“perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks secara formalitas (baik
teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. Kasus
gerakan “ekstrimisme Islam” yang merebak hampir di penjuru kawasan
negara- negara mayoritas Islam (termasuk Indonesia) juga menggunakan teks-
teks keIslaman (Al-Quran, hadits dan classical sources “kitab kuning”) sebagai
basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang
mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini (Al-Qurtuby,
2009: 49), seperti ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti;
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan
tunduk”(Q.S. Attaubah: 29).

Menurut gerakan kaum radikal, hal ini sebagai pelopor bentuk upaya
tindak kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at, bentuk memerangi
kepada setiap orang yang tidak beriman kepada Allah dan lainnya. Tidak sebatas
itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk radikal juga acap kali menafsirkan
teks-teks keIslaman menurut “cita rasa” mereka sendiri tanpa mempertimbangkan
kontekstualisasi dan aspek historisitas dari teks tersebut, dampaknya banyak fatwa
yang berlawanan dengan hak- hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan
dengan emansipatoris Islam sebagai agama pembebas manusia dari sebuah

6
belenggu hegemoni. Teks-teks keIslaman yang sering kali di tafsirkan secara bias
itu adalah tentang perbudakan, status non-muslim dan bagaimana eksistensi
perempuan.
2. Faktor eksternal

Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab diantaranya: pertama, dari


aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang cenderung
menyeleweng dari nilai-nilai luhur fundamental Islam. Itu artinya, rezim di negara-
negara berpenduduk Islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik Islam. Rezim-
rezim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-
wenang bahkan menyengsarakan rakyat. Penjajahan Barat yang serakah,
menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide
kapitalisme global dan neokapitalisme muncul dan menjadi pemenang. Satu
ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”.
Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara
berperang inilah yang sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme Islam. Karena itu, fundamentalisme dalam Islam bukan lahir
karena romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme teks (seperti kaum
bibliolatery), maupun melawan industrialisasi (seperti kristen eropa).
Selebihnya, ia hadir karena kesadaran akan pentingnya realisasi pesan-pesan
idealistik Islam yang tak dijalankan oleh para rejim-rejim penguasa dan baru
berkelindan dengan faktor-faktor eksternal yaitu ketidakadilan global (Haryono,
2006: 102).
Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang
mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai
musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi. Ketiga, faktor sosial politik,
pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga
dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan
umat Islam (Al-Qurtuby, 2009).
Radikalisme dapat dilahirkan dari penganut agama apa saja dan di mana
saja. Hal ini tidak berarti setiap agama mengajarkan kekerasan. Justru sebaliknya,
setiap agama diyakini oleh pemeluknya mengajarkan sebuah kedamaian,

7
toleransi, dan kasih sayang. Dalam Islam misalnya, dilarang keras untuk bersikap
ekstrim (ghuluuw), menindas (djalim), sewenang-wenang dan melampaui batas.
Sebaliknya Islam mengajak kepada umatnya untuk berlaku santun, toleransi, saling
memaafkan, dan kasih sayang. Bahkan di antara agama-agama samawi yang ada,
ajaran Islam merupakan jalan tengah (Al-Qurtuby, 2009).
2.3 Peran Hmi Dalam Menekan Radikalisme

HMI adalah organisasi yang berperan sebagai organisasi perjuangan.


Dalam perjalanan sejarah, banyak gerakan mahasiswa tumbuh di negeri ini
termasuk diantaranya gerakan gerakan mahasiswa. Hal ini menjadi bukti
sejarahbahwasanya pergerakan mahasiswa Islam tidak dapat dipandang sebelah
mata dalam mengawal perjalanan bangsa kita. Dan juga, dapat dikatakan gerakan
mahasiswa islam menjadi energi yang konsisten dalam pergerakan mahasiswa di
Indonesia. Terdapat beberapa organisasi mahasiswa Islam yang menonjol di
kalangan akademisi kampus diantaranya HMI.
Tuntutan pengembangan kualitas sumber daya manusia, dalam hal ini
mahasiswa menjadi salah satu prioritas dalam penyelenggraan pendidikan dewasa
ini. Pengembangan pendidikan pergururan tinggi tidak bisa dilepaskan dengan
prediksi perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial humaniora,
teknologi, seni budaya dan ekonomi budaya. Mahasiswa sangat dituntut berperan
dalam membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik serta dituntut untuk
siap berkontribusi bagi masyarakat.
HMI menjadi lahan produktif dalam mencetak kader yang mampu
menyokong visi gerakan mahasiswa. Lebih dari itu, Organisasi HMI secara
strategis juga mengendalikan arah gerakan mahasiswa dalam proses-proses
demokrasi di kampus. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagian orang,
mahasiswa yang aktif di luar kampus ada kecenderungan selain memiliki
kemampuan dalam hal kebangsaan juga mendapatkan ideologi yang tidak
menutup kemungkinan mengarah pada tindakan radikal.
Memperhatikan peran dan posisi HMI yang sangat dominan dalam
kampus. HMI juga dapat dianggap lahan yang sangat produktif tidak hanya dalam
mencetak kader organisasi yang militan dan mampu menyokong ideologi

8
organisasi. Lebih dari itu, HMImerupakan sirkuit Isu, pemikiran, dan kepentingan
dari berbagai kekuatan di luar kampus. Sirkulasi Isu, pemikiran, dan kepentingan
tersebut diduga memiliki kontribusi yang sangat besar.
Dalam perkembangannaya ada beberapa strategi yang dilakukan
organisasi mahasiswa Muslim kampus dalam kaitannya menangkal radikalisme
di kalngan mahasiswa, diantaranya :
1. Secara interal

Pada konsep ini dapat ditempuh melalui beberapa hal yaitu :

a. Materi pendidikan deradikalisasi. Materi- materi yang dimaksud dapat


diterapkan pada seluruh kegiatan- kegiatan kaderisasi baik formal
maupun informal. Tindakan paling solutif sesungguhnya adalah
mengadakan materi pendidikan deradikalisasi secara mandiri. Tidak
hanya diselipkan pada materi-materi kaderisasi yang lain. Sehingga
secara epistimologis , konsep pemikiran dan aplikasi wawasan tangkal
radikalisme dapat tertanam secara komprehensif.

b. Pendidikan pancasila dan Pendidikan Agama. Bahwa yang telah


berjalan selama ini juga tetap penting untuk dipertahankan yakni
materi pendidikan pancasila dan pendidikan agama yang santun.
c. Mengembangkan materi diskusi kader yang berkaitan dengan cross-
cultural undestanding (ccu). Menyusun kurikulum kaderisasi yang
berpendakatan lintas budaya juga perlu dipertimbangkan. Sehingga
pemahaman mahasiswa tidak cenderung primordial dan
sektoral. Dengan pembelajaran yang mengarah pada tujuan untuk
menghasilkan warga negara yang mempunyai sikap inklusif dan toleran
terhadap kemajemukan masyarakat. Dalam praktiknya, pembelajaran
dapat melibatkan non- Muslim supaya terjadi proses penanaman nilai-
nilai pluralisme dan anti radikal di kalangan mahasiswa.

d. Mentradisikan dialog. Konsep ini yang juga perlu terintegrasi dalam


upaya menangkal radikalisme. Dialog atau sharing pemahaman dan
pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang

9
lain untuk bersama mengembangkan misi menciptakan perdamaian
dan persaudaraan terutama di kalangan para pemeluk agama.
Pendidikan ini tentunya sesuai dengan misi agama Islam yaitu
rahmatan li al-‘alamin, menebarkan berkah bagi seluruh masyarakat.
Hasilnya tentu dapat meredam ketegangan-ketegangan yang seringkali
muncul karena kesalah pahaman.

2. Secara eksternal

Sosialisasi nilai-nilai Islam ramah dan santun juga harus menjadi


kampanyekan yang penting untuk dilakukan. Selain dengan konsep kurikulum
kaderisasi seperti diatas juga perlu dibangun kesadaran bersama dari
seluruh kader HMI. Membangun kesadaran perlu berangkat dari
pemahaman keagamaan yang moderat dan kokoh. Hal inilah yang menjadi tugas
kolektif institusional dan personal dalam membangun self awareness menuju
collective awareness. Sehingga upaya penyadaran justru dapat dimulai dari gress
root.

Media-media yang dapat digunakan untuk mengkampanyekan Islam ramah


begitu melimpah. Selain melalui agenda diskusi-diskusi mingguan hingga
bulanan, seminar- seminar dan dialog, juga dapat dilakukan melalui khotbah atau
ceramah-ceramah seminar ilmiah. Maksimalisasi peran senior sebagai model juga
penting untuk diperhatikan. Senior tidak hanya bertindak memberi mauidhoh
hasanah, melainkan uswatun hasanah(Abdullah, 2019).

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Nilai kebangsaan vital diperlukan sebagai basic guidelines untuk
memahami mau dibawa kemana bangsa ini. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi mempunyai peran penting dalam hal ini, yaitu sebagai
leading sector untuk merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Radikalisme sebagai sebuah gerakan sosial yang berfungsi menolak secara
menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung yang ditandai oleh kejengkelan
moral kuat dalam menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-
hak istimewa dan berkuasa.
HMI memiliki status sebagai organisasi terbesar dan terkuat di Indonesia,
Ditambah memiliki peran de jure sebagai organisasi perjuangan menurut
Anggaran Dasar-nya, HMI menjadi organisasi mahasiswa yang harus mengambil
porsi besar dalam upaya menekan potensi radikalisme.
Upaya menekan potensi radikalisme tersebut, dapat dilakukan HMI dengan cara
memperkuat nilai kebangsaan di kalangan mahasiswa. Namun sebelum masuk ke
dalam tahap itu, HMI terlebih dahulu harus mempersiapkan diri agar lebih kuat
sebab radikalisme juga sangat kuat dalam mengejewantahkan pengaruhnya.
Persiapan HMI yang dimaksud, adalah merevitalisasi peran HMI sebagai
organisasi perjuangan. Jika HMI secara lembaga, kemudian diikuti oleh seluruh
kadernya yang tersebar di seluruh Indonesia, maka perjuangan HMI dalam
memperkuat nilai kebangsaan mahasiswa dan menekan radikalisme akan semakin
terstruktur, sistematis, dan massif.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), adalah salah satu diantara banyak
organisasi kemahasiswaan yang sangat berkomitmen menjadikan perjuangan
sebagai basis gerakannya. Komitmen tersebut ditunjukkan HMI dengan
menjadikan perjuangan sebagai peran organisasi dalam Anggaran Dasar.

11
3.2 Saran

Setiap kader HMI hendaknya menyadari peran penting sebagai organoisasi


perjuangan terlebih dalam menekan radikalisme dikalangan masyarakat dalam
meningkatkan nilai-nilai kebangsaan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurtuby, Sumanto. 2009: Jihad Melawan Ekstremis Agama, Semarang:


Borobudur Indonesia Publishing.
Buchor, Muchtar. 1986: Radikalisme Agama; Sebuah Catatan Awal. Jurnal
Pesantren.
Depdiknas RI, Pusat Bahasa. 2008: Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa Depdiknas.
Haziq, Abdullah. 2019 :" Nasionalisme Organisasi Mahasiswa Islam dalam
MenangkalRadikalisme di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta."
Jurnal Universitas. Surakarta.
Juhanto, Subar. 2013: Civic Education. Surakarta. Fatba Pers
Mansyur. 2015 : Menelusuri Jejak Masalalu Indonesia.Banjarmasin. Banjarmasin
Pers.
Saifuddin. 2011: “penelitiannya yang berjudul Radikalisme di kalangan
mahasiswa di Jogjakarta”. Jurnal Ilniah. Jogjakarta.
DATA DIRI (CURRICULUM VITAE)

KOMISARIAT : ILMU ADMINISTRASI


CABANG : SIGLI
BADKO : ACEH

I. DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Khairun Nisa
Tempat/Tanggal Lahir : Teubeng Tanjong, 28 April 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Teubeng Tanjong Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie
HandPhone/WA : 0853 6266 7468
Sosial Media : IG ; khai_nis4
Email : nisa.rj2804@gmail.com
Masuk HMI : 2018
II. DATA TENTANG ORGANISASI
A. Pengalaman Organisasi di HMI
1. Jabatan Ketua Kohati Komisariat.
B. Pengalaman Organisasi Diluar HMI
1. Jabatan Sekretaris Komisi Legislasi Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM) Universitas Jabal
Ghafur.
2. Jabatan Wakil Bendahara Umum FORMASI Pidie.
III. DATA TENTANG KE ILMUAN
A. Forum Ilmiah yang PernahDiikuti
1. LKK Cabang Lhaokseumawe.
2. Pelatihan karya ilmiah Universitas Jabal Ghafur.

B. Karya Ilmiah/ Essay/ Opini Yang PernahDihasilkan


1. Melihat Produksi Emping Melinjo, Oleh-oleh Khas Pidie.
2. Turunnya Harga Gabah di Pidie.

Sigli, 3 Oktober 2021

KHAIRUN NISA

Anda mungkin juga menyukai