Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN SOSIAL EKONOMI

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Kemuhammadiyaan

Dosen : Alamsyah S.Pd.,M.Pd

OLEH

MUH. TEGAR ALI SIMRAN

NURYANTI

FIZA FIRNANDA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang 
masi memberikan napas kehidupan, sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah,tentang perananan Muhammadiyah di berbagai macam
bidang, salah satunya di bidang sosial.

Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dari mata kuliah
Kemuhammadiyahan. Di dalam makalah ini, dijelaskan banyak pokok bahasan
mengenai peranan Muhammadiyah di Tanah Air, yang lebih spesifik lagi di
bidang sosial. Perlu diketahui, kemaslahatan umat memang menjadi salah satu
aspek penting di dalam kehidupan sosial-kemanusiaan, yang mana esensinya
"manusia sebagai makhluk sosial". Sehingga, manusia tentu tak bisa hidup tanpa
manusia lain, dan saling membutuhkan satu sama lainnya.

Peran Muhammadiyah di sini ialah membantu mewujudkan cita-cita dan


tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Kami sampaikan banyak terima kasih atas segala bentuk perhatiannya


terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini mampu
memberikan manfaat yang lebih banyak lagi bagi diri penulis sendiri, dan
khususnya bagi para pembaca pada umumnya.Tak ada gading yang tak retak, hal
ini tentu senada dengan makalah ini.

Dengan segala bentuk kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif,
tentu sangat kami harapkan dari para pembaca, dalam upaya meningkatkan
penyusunan makalah yang lebih baik lagi diwaktu yang akan datang.

Makassar, 20 oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A.    Latar belakang........................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................2
C.    Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Pengertian Gerakan Sosial......................................................................................3
B.     Konsep Gerakan Sosial..........................................................................................3
D.    Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah......................13
BAB III..................................................................................................................27
PENUTUP..............................................................................................................27
A.    Kesimpulan..........................................................................................................27
B.     Saran....................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
         Muhammadiyah merupakan suatu organisasi sosial keagamaan, artinya
Muhammadiyah bergerak dalam ranah sosial dan agama. Mengapa demikian?
Inilah yang sering menjadi pertanyaan kita. Jawabannya sudah pasti ada pada
zaman dulu  ketika KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah untuk
pertama kalinya. Bagaimana kemudian kita ketahui bersama kondisi geografis dan
sosial yang ada di Yogyakarta saat itu, Sebagian besar masyarakat masih
menganut faham kejawen.Njawani itu bagus, tapi menganut kejawen itu yang
kurang bagus. Karena dalam fahamkejawen terdapat ritual-ritual sama persis
seperti yang dilakukan umat hindu. Penyembahan terhadap makhluk hidup sering
dilakukan. Hal inilah yang kemudian membuat Darwis menjadi miris dan serasa
tersayat. Bagaimana bisa di Yogyakarta masih ada masyarakat yang menyembah
pohon, dan menaruh sesaji dibawahnya. Kalau bahasa anak sekarang
mungkin, “ndak habis fikir, kok sek usu ?”.
             "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang
menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya.orang-orang yang berbuat riya.dan enggan (menolong
dengan) barang berguna." (QS. Al-Ma’un: 1-7).
Ayat di atas merupakan basis ideologi perjuangan Muhammadiyah yang
memberikan landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhu’afa’) dan kaum
teraniaya (mustadh’afin). Semangat Al-Ma’un merupakan dasar pijakan  dalam
pengembangan awal gerakan “PRO-Penolong Kesengsaraan Oemoem” dengan
tokoh Kyai Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Penerjemahan
tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan
masyarakat sipil atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab.
Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka
dan bermartabat.

iv
Muhammadiyah mempunyai cita-cita sosial, yakni “kesejahteraan, dan
kemakmuran masyarakat yang diridhai Allah”. Dari sini kita ketahui bahwa
Muhammadiyah menghendaki terciptanya negara yang baik dan penuh akan
ampunan Allah. Inilah interpretasi dari ungkapan Islam adalah agama rahmatan
lil ‘alamin. Bagaimana kita lihat kemudian Muhammadiyah sejak didirikan oleh
Kyai Dahlan, sampai kepemimpinan yang sekarang masih berusaha untuk
menjalin komunikasi yang baik, dan memberikan pelayanan sosial terhadap
masyarakat. Hal inilah yang menjadi penting dalam perkembangan
Muhammadiyah.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat di tarik dari penjelasan latar belakang
adalah, sebagai berikut :
1..   Apakah yang dimaksud Gerakan Sosial ?
2.      Konsep Gerakan Sosial ?
3. Nilai-nilai dan Ajaran Sosial Kemanusiaan Keagamaan dalam Perspektif
Muhammadiyah (Teologi al-Maun)
4. Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah
5. .     Makna Muhammadiyah Dalam Gerakan Sosial Amal sosial kesehatan
Muhammadiyah

C.    Tujuan Penulisan
            Tujuan dari pembahasan ini adalah dapat menjelaskan dan memahami
bagaimana bentuk Nilai-Nilai dan ajaran sosial-kegamaan Muhammadiyah
(Teologi Al Maun) serta  Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan
Muhammadiyah.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gerakan Sosial


Mansoer Fakih menyatakan bahwa Gerakan Sosial dapat diartikan sebagai
kelompok yang terorganisir secara tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama
dalam usaha merubah struktur maupun nilai sosial.
Dan gerakan sosial menurut Sosiologi sendiri adalah aktifitas sosial
berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal
yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik
berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak,
atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana  yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat  yang
disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai
gerakan perlawanan untuk melestarikan  pola-pola  dan  lembaga masyarakat yang
ada.
 
Gerakan sosial adalah gerakan suatu organisasi atau kelompok orang yang
bermaksud mengadakan perubahan terhadap struktur sosial yang ada, serta untuk
membangun kehidupan baru yang lebih baik.

B.     Konsep Gerakan Sosial


Menurut Cook (1995), gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yaitu
berorientasi perubahan (change oroented goals), tingkat organisasi (some degree
of organization), tingkat kontinyuitas yang sifatnya temporal (degree of temproral
continuity), dan aksi kolektif di luar lembaga (aksi jalanan) dan di dalam
lembaga/lobi politik (some extrainstitutional and institutional).

vi
C.    Nilai-nilai dan Ajaran Sosial Kemanusiaan Keagamaan dalam Perspektif
Muhammadiyah (Teologi al-Maun)
1.      Nilai Kemanusiaan
Dalam salah satu tulisannya, Abdul Munir Mulkhan (2010: 43)
mengatakan, inti visi kemanusiaan agama-agama adalah cinta kasih. Paus Johanes
Paulus II dan Benediktus XVI adalah tokoh agama yang dikenal sangat gigih
memperjuangkan nilai kemanusiaan. Tulisan Munir Mulkhan tersebut dapat
dipahami bahwa KH. Ahmad Dahlan tidak ketinggalan jika di banding dengan
Paus Johanes Paulus II dan Benediktus XVI. KH.Ahmad Dahlan tampaknya
menjadi tokoh pencari identitas kebenaran etos kemanusiaan global. Berangkat
dari gagasan mulia itu, lahirlah berbagai rumah sakit, rumah bersalin, sekolah
mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dari diploma sampai 
doktoral, panti asuhan yatim piatu, rumah miskin dan kepanduan.
Selanjutnya, Munir Mulkhan (2010:80) mengutip hasil penelitian Alfian
dan Nakamura yang memiliki kesimpulan bahwa paham keislaman KH. Ahmad
Dahlan mengedepankan penafsiran pragmatis yang oleh Nakamura disebut
sebagai bermuka dua. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa amalan lahiriah adalah bekas
dan hasil dari daya ruh agama. Agama mengandung ajaran yang dapat menjadi
dasar pembentukan nilai-nilai sosial dan perilaku sosial.
Menurut Muhammadiyah, gerakan sosial termasuk dalam
urusan Muamalah al-duniawiyah. Manusia mempunyai nilai universal tanpa
dibatasi oleh keyakinan, wilayah, etnis dan jenis kelamin. Nilai itu adalah nilai
kemuliaan yang disandang oleh setiap anak cucu Adam. Di dalam Al-Qur’an surat
al-israa’ ayat 70 secara deskriptif telah dijelaskan bahwa:
Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan”  (QS. Al-Israa’:70)
Secara kultural, kemuliaan dapat diperoleh melalui banyak cara,
diantaranya: manusia dapat dianggap mulia karena ilmunya, itulah sebabnya
orang yang berilmu biasa disebut al-mukarram. Manusia dapat dianggap mulia

vii
karena hartanya itulah sebabnya orang kaya dihormati. Manusia dapat dianggap
mulia karena jabatannya, itulah sebabnya pejabat biasa dihormati. Tetapi,
kemiliaan tersebut bukanlah kemuliaan yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an.
Kemuliaan tersebut dapat membawa nilai apabila diikuti dengan sifat lain
misalnya: ilmuwan mempunyai nilai apabila ia mengajarkan dan mengamalkan
ilmunya. Orang kaya dianggap mempunyai nilai apabila ia menjadi dermawan.
Pejabat dianggap mempunyai nilai apabila ia menjalankan kepemimpinan dengan
adil.
Secara subtansial, kemuliaan manusia itu melekat pada fitrah. Itulah
sebabnya pada ayat lain dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 disebutkan
bahwa:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbanga-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang
paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya, Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”  (QS. Al-
Hujuurat: 13).
Bentuk kemuliaan itu direspon dalam al-Qur’an dengan janji antara
lain: mudkhalan kariman (dimasukkan ke tempat yang mulia atau surga) (QS. An-
Nisa’: 31) maghfirah wa rizkun karim memperoleh maghfirah dan nikmat yang
mulia) (QS. Al al Anfal: 4), maqaam karim (tempat yang mulia) (QS. Asy-Syuara:
58). Potensi untuk meraih kemuliaan itu disebut sebagai sebaik-baik makhluk.
Dimana makhluk yang diberi potensi tersebut adalah manusia. Inilah yang
disinggung dlam al-Qur’an surat al-Thin ayat 4 bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya” (QS. al-Tin: 4)
Melihat deskripsi tersebut bahwa manusia merupakan makhluk yang
sangat mulia, indikator kemuliaan seseorang dapat dilihat dari lima aspek antara
lain:
a.       Hubungan dirinya dengan Tuhan
Hubungan manusia dengan Tuhan di atur dalam aqidah dan ibadah.
Aqidah menjadi inti kehidupan beragama. Jantung Islam adalah penyaksian

viii
keesaan Allah, kemutlakan untuk tunduk pada kehendak Tuhan. Dua kalimat
syahadat merupakan suatu pernyataan pokok yang mengandung makna
pembebasan diri dari berbagai bentuk ikatan kecuali ikatan terhadap Allah SWT.
Pernyataan kehambaan menegaskan bahwa tidak ada tempat menghambakan diri
kecuali hanya kepada Allah SWT. Iman adalah percaya dengan penuh tanggung
jawab; kepercayaan kepada Tuhan merupakan masalah personal, berada dalam
hati. Orang bebas menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Nabi Muhammad
Saw, bukan dalam kapasitas melaksanakan keimanan, sebagaimana disebtukan
dalam al_Qur’an bahwa: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (QS.
Al-Ghasiyah:22). Pada ayat lain dikatakan juga, “Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumu seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya?” (QS. Yusuf:99)
b.      Hubungan dirinya dengan alam
Tujuan utama diciptakan manusia adalah untuk menjadi khalifah yang
bertugas mengelola, merawat, menjaga, memakmurkan dan memelihara
kelestarian alam semesta dengan pengertian yang seluas-luasnya. Tugas tersebut
disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi” (QS. al-Baqarah:30)
Keseimbangan dan keramahan lingkungan kepada manusia tergantung
pada bagaimana manusia memperlakukan alam semesta. Al-Qur’an menyatakan
dengan tegas tentang bahaya dari ketidak ramahan manusia terhadap lingkungan.
Dalam al-Qur’an dikatakan, “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)” (QS. Ar-Rum:41)
c.       Hubungan dirinya dengan masyarakat
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk yang
cenderung hidup bermasyarakat, bersama, berkelompok-kelompok. Dan
berbangsa-bangsa Islam menekankan pada pentingnya menjaga akhlak dalam

ix
kehidupan bermasyarakat, misalnya menghormati tetangga atau menghormati
sejawat. Sebagaimana disebutkan misalnya dalam surat an-Nisa ayat 36 bahwa:
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya, Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri” (QS. An-Nisa:36)
Dalam surat yang lain, yaitu al-Qur’an surat Lukman ayat 18-19, juga
dijelaskan bahwa:
Artinya: :”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(Karen sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakanlah
suaramu. Sesungguhnya seburu-buruk suara ialah suara keledai” (QS.
Lukman:18-19)
Dua ayat tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa sifat sombong itu
dicela, dikecam dalam al-Qur’an. Sombong merupakan ungkapan, simbol dari
sikap individualism, sikap menang sendiri, sikap merendahkan orang lain.
Merendahkan orang termasuk salah satu penyakit masyarakat.
d.      Hubungan dirinya dengan keluarga
Dalam melaksanakan hubungan dengan keluarga, perinsip yang harus
dijaga adalah saling menghormati, perinsip ta’awun (tolong menolong), perinsip
saling menasehati dan perinsip musyawarah.
e.       Hubungan dengan dirinya sendiri
Menjaga diri dari hal-hal yang bisa merusak harkat dan martabat atau bisa
mengurangi derajat kemuliaan. Sebaliknya, harus memelihara diri dari sifat-sifat
yang wajib dimiliki seperti: ikhlas, sabar, jujur, istiqomah. Perlakukan terhadap
diri sendiri menjadi acuan untuk memperlakukan orang lain. Perlakuan orang lain
kepada diri merupakan refleksi dari perlakuan diri kepada orang lain.

x
2.      Ajaran Sosial Kemanusiaan dalam Muhammadiyah
Islam menetapkan dua pola hubungan yang permanen dalam kehidupan
beragama yakni: hubungan dengan Allah SWT, yang lazim disebut hablun
minallah dan hubungan dengan sesama manusia atau lazim disebut hablun
minannas. Hubungan dengan Allah dalam bentuk ibadah dibahas dalam ilmu
fiqih, sedangkan hubungan dengan sesama manusia dibahas dalam ilmu akhlak.
Baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan
akhlak, apabila disebutkan secara jelas dan tegas di dalam al-Qur’an atau al-
Hadist, itu disebut ajaran. Jadi, konsep ajaran Islam adalah ajaran yang terdapat di
dalam al-Qur’an atau al-Hadist. Berdasarkan konsep tersebut, dapat dinyatakan
bahwa: menyantuni anak yatim adalah ajaran Islam, memberi makan orang miskin
adalah ajaran Islam, mebantu kaum duafa adalah ajaran Islam, seperti halnya
shalat adalah ajaran Islam, dan zakat adalah ajaran Islam. Tiga bentuk ajaran
Islam yang awal disebut merupakan wajib kifayah dalam pandangan ulama fiqih,
sedangkan dua ajaran yang terakhir disebut termasuk kewajiban ‘ain (fardhu
‘ain). Dalam pandangan Muhammadiyah, kedua kewajiban tersebut sama nilainya
dan sama pentingnya. Tiga bentuk ajaran tersebut digolongkan dalam
kategori hablun minannas, sementara dua bentuk yang disebut terakhir
digolongkan dalam kategori hablun minallah.
Muhammadiyah menjadi pelopor gerakan filantropi atau pembelaan pada
kaum mustad’afin di Indonesia, sebuah entitas yang tetap menjadi ruh perjalanan
gerakan sepanjang masa. Dikisahkan bahwa pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad
Dahlan membina sebuah pengajian. “Materi pengajiannya, sudah beberapa bulan
membahas surat yang sama yaitu al-Maun. Sampai pada suatu hari, salah seorang
murid bertanya kepada Kiai Dahlan. “Pak Kiai, pengajiannya kok membahas al-
Maun terus, kapan mengaji surat lain?” Lantas, Kiai Dahlan pun balik bertanya.
“Sudahkah kamu mengamalkan surat ini?” Si murid menjawab. “Sudah. Kiai,
saya sudah menggunakan surat ini dalam shalat saya dan suka membacanya
berulang-ulang di rumah. “Bukan begitu ….,” kata Sang Kiai. “Sudahkah kamu
mengamalkan kandungan surat ini? “Sudahkah kamu peduli pada anak yatim di
sekitarmu? Sudahkah kamu memberi santunan terhadap orang miskin di
sekitarmu? Kalau belum, berarti kamu benar-benar mengamalkan surat ini.

xi
“Akhirnya, setelah itu, Sang Kiai dan para muridnya berbondong-bondong
mendatangi tempat-tempat dimana banyak orang-orang miskin dan anak-anak
yatim. Mereka kemudian membawa kaum duafa tersebut ke suraunya, memberi
mereka makan, memberi pakaian dan memberi pendidikan.
Cerita terkenal tentang pengajaran surat al-Maun oleh KH. Ahmad Dahlan
kepada murid-muridnya menjadi landasan kuat akan berkembangnya  perinsip
“beramal ilmiah, berilmu amaliah” dalam menjalankan gerak persyarikatan
Muhammadiyah. Tidak cukup hanya dengan mengaji dan mengkaji saja tentang
ajaran agama Islam, namun juga harus melakukan tindakan nyata di lapangan.
Harus beramal nyata, beramal yang dilandasi ilmu, dan ilmu yang mesti
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari perinsip inilah kemudian lahir dan
bertebaran lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, lembaga social, dan
sekian jumlah amal usaha Muhammadiyah di berbagai pelosok negeri
(Febriansyah, dkk., 2013:20-21).
Atas dasar spirit surat al-Maun, KH. Ahmad Dahlan memberi isyarat
bahwa Islam adalah agama yang menekankan bukan hanya aspek ritual dan
mengabaikan aspek sosial. Akan tetapi, seorang muslim dikatakan salih dalam
menjalankan ibadah ritual, apabila melahirkan akhlakul karimah dan kepekaan
sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan, orang yang melupakan tidak
perduli pada nasib anak yatim dan orang miskin digolongkan sebagai pendusta
agama.
Ajaran sosial kemanusiaan yang dipopulerkan dengan istilah teologi al-
Maun ini mengandung empat nilai, yakni:
a.       Nilai religi atau nilai iman
Iman adalah sesusuatu yang menjadi ruh semangat keberagamaan, sesuatu
yang menjadi sumber dan sekaligus motivasi atau penggerak amaliah. Dalam
pandangan Muhammadiyah, iman bukanlah barang yang pasif melainkan aktif.
Iman bukan sesuatu yang absolute dan tidak dapat diamati, tidak dapat diukur,
melainkan iman dapat diamati, diukur dan terlihat dalam interaksi sosial.
Di dalam al-Qur’an, banyak disinggung tentang iman dan amal social.
Keduanya harus aktif secara bersamaan. Iman disejajarkan dengan memberikan

xii
harta yang dicintai sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
177 bahwa:
Artinya: “Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,  nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musyafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”  (QS.
Al-Baqarah:177)
Ayat ini menyebutkan tujuh syarat perbuatan yang disejajarkan nilainya
dan menjadi syarat takwa, yakni: Beriman, Memberikan harta yang dicintainya,
Memerdekakan hamba sahaya, Mendirikan shalat, Menunaikan zakat, Menepati
janji, dan sabar. Tujuh item dari pesan ayat tersebut dapat diidentifikasi jadi dua
bagian. Bagian pertama terkait dengan hubungan kepada Tuhan: beriman dan
mendirikan shalat; bagian kedua menyangkut hubungan dengan sesama manusia:
memberikan harta yang dicintainya, memerdekakan hamba sahaya, menunaikan
zakat, menpati janji dan sabar. Hal ini berarti tanda-tanda taqwa lebih banyak
berdimensi kemanusiaan.
b.      Nilai belas kasih atau nilai al-rahmah
Nilai Al-Rahmah atau cinta kasih atau belas kasihan merupakan ajaran
dasar yang sangat prinsipil. Berbagai sifat yang berlawanan dengan sifat Al-
Rahmah adalah pemarah, sombong, dengki, dendam. Semua itu dikecam dalam
Al-Qur’an Dalam hadist nabi disebutkan bahwa cinta kasih merupakan indikator
iman seseorang sebagaimana dijelaskan dalam hadist dari Annas bin Malik,
Artinya;
Dari anas Ibn Malik ra, dari Nabi Saw bersabda, “Tidak beriman
seseorang diantara kamu sebelum ia mencintai saudaranya atau tetangganya,
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”  (HR. Muslim juz 1:49)

xiii
Rahmah adalah bagian dalam atau bagian dari aspek kejiwaan (psikologi)
yang menjadi dasar dari perasaan setiap orang. Perasaan tersebut menjadi identitas
diri kemanusiaan. Apabila perasaan tersebut hilang, identitas kemanusiaan juga
dapat dikatakan telah hilang. Istilah yang lebih ekstrim adalah perasaan telah mati.
Inilah yang dimaksud jiwa yang meninggal sementara jasad masih hidup.
Untuk memahami makna Al-Rahmah berikut sebuah riwayat yang
menceriterakan bahwa suatu ketika Nabi menggendong seorang anak yang sedang
menghadapi sakratulmaut, nafasnya tersenggal-senggal, menyaksikan situasi
tersebut air mata Nabi Muhammad Saw menetes membasahi pipinya. Sahabat
yang hadir pada waktu termasuk Thalhah merasa heran dan bertanya, ada apa
gerangan ya Rasulullah, Beliau menunjukkan kepada air mata yang ada di pipinya
sambil menjawab, “hadzihi al-rahmah” (ini adalah rahmah). Jadi, orang menangis
mengeluarkan air mata karena kesedihan atau perasaan belas kasihan itulah yang
disebut al-rahmah.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Nabi Saw, diminta
untuk mendoakan orang musyrik agar dilaknat oleh Allah SWT. Lalu, Nabi
menjawab sebagaimana disebutkan dalam hadist dari Abi Hurairah bahwa:
Artinya; “Dari Abi Hurairah, berkata, ya Rasulullah do’akan orang
musyrik supaya dilaknat, lalu Nabi menjawab, saya diutus bukan untuk melaknat
melainkan sebagai rahmat”  (HR. Muslim juz 8:24)
Al-Rahmah adalah bagian dari cinta kasih sebagaimana disinggung pada
awal tulisan dan merupakan landasan atau basis pendirian amal usaha di bidang
social yang dibina oleh Muhammadiyah. Amal usaha itu merupakan focus
gerakan Muhammadiyah. Menurut Amin Rais (1998:44-48), terdapat empat
doktrin Muhammadiyah, yakni: Pertama, doktrin pencerahan umat, sehingga amal
usaha yang pertama-tama dirintis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah adalah
mendirikan sekolah. Kedua, doktrin amal shalih; dalam Anggaran Rumah Tangga
Muhammadiyah telah ditetapkan bahwa syarat berdirinya suatu ranting adalah
wajib memiliki amal usaha minimal mendirikan taman kanak-
kanak. Ketiga, doktrin kerjasama untuk kebajikan; doktrin ini berlandaskan pada
QS. Al-Maidah 2, dan kempat, doktrin tidak berpolitik.
c.       Nilai syukur

xiv
Syukur adalah bentuk pernyataan terima kasih atas nikmat yang telah
diperoleh. Allah akan memberi balasan kepada hambanya yang suka bersyukur
(QS. Al-Qamar:35). Bentuk syukur yang diimplementasikan oleh Muhammadiyah
adalah kerja keras. Muhammadiyah memahami bahwa bekerja secara sungguh-
sungguh dalam mengelola lembaga pendidikan merupakan perwujudan bentuk
syukur (tafsir syukur). Pintu untuk meraih kebahagiaan adalah kerja keras
(syukur). Allah tidak akan membiarkan hambaNya dalam keadaan termarjinal,
dalam keadaan tertinggal untuk keluar dari kesulitan apabila si hamba beriman
dan bekerja keras (bersyukur) (QS. An-Nisa:147) Lebih tegas, dinyatakan bahwa
Allah pasti membalas orang-orang yang bekerja keras (syukur). Sebagaimana
yang telah disebutkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat tujuh bahwa:
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih”(QS. Ibrahim:7)
Pada ayat tersebut, terdapat dua istilah yang berlawanan, yakni
term”syukur/syakartum” dengan “kufr/kafartum”. Syukur adalah simbol dari
orang yang tahu berterima kasih kepada Tuhan, sedangkan kufr adalah symbol
dari orang yang tidak tahu berterima kasih. Bekerja keras untuk mengatasi
masalah kemiskinan atau bekerja keras untuk mengurusi anak yatim adalah sikap
dan perilaku orang yang tahu bersyukur.
d.       Nilai tolong-menolong
Tolong-menolong merupakan perinsip ajaran Islam dalam kehidupan
bermasyarakat. Tolong-menolong disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah
ayat 2 bahwa:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu, dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu

xv
dari  Mesjidil haram, medorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”  (QS. Al-Maidah:2)
Muhammadiyah menganut doktrin bahwa: hidup harus bermasyarakat. Di
dalamnya terkandung pengertian kerja sama, saling menghargai, dan juga saling
mengakui perbedaan. Idea tau cita-cita social Muhammadiyah berkisar pada:
ukhuwah, hurriyah, musawah, dan ‘adalah(persaudaraan, kemerdekaan,
persamaan dan keadilan) (Rais,1998:17). Hidup bermuhammadiyah berarti
memperbanyak kawan, dan berarti kita harus memelihara kesetiakawanan. Hidup
bermuhammadiyah berarti menghargai orang lain, menghargai organisasi lain, dan
menghargai agama lain.

D.    Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah


Ahmad Dahlan menerjemahkan teks-teks Al-Qur’an kedalam kegiatan
praksis social, amaliah, atau tindakan. Inilah yang menjadi pembeda dengan
tokoh-tokoh yang lain. Ia lebih menonjolkan aksi, bukan menonjolkan pemikiran,
tetapi tidak berarti Muhammadiyah mengabaikan pemikiran keagamaan.
Konsistensi di bidang gerakan social ini menjadi cirri khas, dan kemudian dikenal
istilah metode tafsir sosial dalam Muhammadiyah.
Teologi al-Ma’un diterjemahkan kedalam tiga pilar kerja atau tiga bentuk
pelayanan yakni; pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pelayanan
sosial. Tiga pilar tersebut secara praktis dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1.      Pelayanan Pendidikan
Seperti disebutkan pada uraian terdahulu, doktrin Muhammadiyah adalah
pencerahan dan doktrin amal salih. Konsekwensi dari doktrin ini adalah
Muhammadiyah mencurahkan segala kemampuannya untuk mendirikan sekolah-
sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak atau Pendidikan Usia Dini sampai ke
Perguruan Tinggi. Besarnya apresiasi sejarah terhadap organisasi Muhammadiyah
tidak bisa dilepaskan dari peranan Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan
di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu factor yang mendorong

xvi
KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah adalah keterbelakangan bangsa
Indonesia dari segi pendidikan. Tentu problem tersebut sekaligus mrnjadi problem
umat Islam (Hanzah,1985;120).
Dewasa ini, Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan sebanyak
1132 Sekolah Daasr, 1769 Madrasah Ibtidayah, 1184 Sekolah Menengah Pertama,
534 Madrasah Tsanawiyah, 511 Sekolah Menengah Atas, 263 Sekolah Menengah
Kejuruan, 172 Madrasah Aliyah, 67 Pondok Posantren, 55 Akademi, 4 Politeknik,
70 Sekolah Tinggi, dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia (Profil
Muhammadiyah, 2005). Namun sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 2015,
data tentang lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah sebagai berikut:
TK/TPQ: 4.623, SD/MI: 2.604, SMP/MTs: 1.772, SMA/SMK/MA: 1.143,
Pondok Posantren: 67,  dan Perguruan Tinggi: 172 (Profil Muhammadiyah, 2015).
Data tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah bekerja keras dalam
melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang pendidikan.
Usaha kerja keras tersebut dimaknai sebagai ibadah yang nilainya tidak kalah
mulia daripada ibadah mahdha.
2.      Pelayanan Kesehatan
Tahun 1918 telah berdiri Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yang pada
tahun 1921 menjadi bagian khusus dalam Muhammadiyah. Pada tahun 1926,
berdirilah klinik di Surabaya, malang dan Surakarta atau Solo, selain klinik yang
ada di Jokyakarta. Sekarang ini masalah pelayanan kesehatan diurus oleh suatu
majelis yang diberi nama Majelis Pembinaan kesehatan Umum. Dalam
mewujudkan visi muhammadiyah tahun 2025, salah satu usahanya adalah
meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sekarang,
Muhammadiyah mengelola Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP dan lain
sebagainya yang secara keseluruhan telah berjumlah 457 buah (lihat profil
Muhammadiyah, 2015). Semangat warga Muhammadiyah mendirikan amal usaha
dalam bidang kesehatan semakin tumbuh. Hal ini mungkin disebabkan oleh
banyaknya putra-putri Muhammadiyah yang kuliah di Fakultas Kedokteran
(Syamsuddin, 2014:63)
3.      Pelayanan Sosial

xvii
Dalam mewujudkan visi Muhammadiyah tahun 2025, usaha lainnya
adalah memajukan perekonomian dan kewirausahaan kearah perbaikan hidup
yang berkualitas. Selain masalah pendidikan yang menjadi alasan utama KH.
Ahmad Dahlan mendirikan muhammadiyah, masalah ekonomi umat juga menjadi
factor dominan pendorong lahirnya persyarikatan muhammadiyah. Jika usaha
pendidikan berusaha untuk mengubah situasi umat yang bodoh menjadi umat
yang cerdas, maka bidang ekonomi digarap dalam rangka mengubah keadaan
masyarakat yang miskin menjadi masyarakat yanga kaya atau paling tidak
menjadi masyarakat yang berkecukupan.
Amal usaha dalam bidang kesejahteraan/kesehatan meliputi pembinaan
anak yatim dan anak fakir miskin, pembinaan daerah kumuh, daerah tertinggal,
anak jalanan, pekerja anak, rumah sakit, rumah bersalin, balai kesehatan
masyarakat (Keputusan muktamar Muhammadiyah 43:162), Pemberdayaan
masyarakat, pendampingan usaha masyarakat tani dan nelayan.
Sampai tahun 2015, vamal usaha Muhammadiyah dalam bidang social
meliputi: Panti Asuhan, santunan, asuhan keluarga dan lain sebagainya
sebanyak318, panti jompo: 54, rehabilitasi cacat: 82, SLB: 71, Mesjid: 6.118.
Majelis-majelis yang terkait dengan urusan social adalah: Majelis Pelayanan
Sosial, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan, Majelis Pemberdayaan masyarakat.
Lembaga-lembaga yang terkait adalah: Lembaga Penanganan Bencana dan
Lembaga Zakat Infak dan Sedekah.
Muhammadiyah melalui MPM melaksanakan program pemberdayaan
petani, pendapingan kelompok-kelompok usaha micro, dan pemberdayaan
masyarakat miskin, yang dilakukan dalam berbagai usaha dan bentuk kegiatan,
antara lain:
a.       Pemberdayaan petani, yaitu pembinaan tata cara tanam yang menggunakan
pupuk organic, pelatihan dan penyediaan fasilitator pemberdayaan serta
penyadaran fungsi penting pupuk organic, dan lain-lain.
b.      Pemberdayaan kelompok usaha mikro: MPM melakukan pendampingan
terhadap kelompok usaha mikro, misalnya; kelompok perempuan petani
kakao, kelompok petani di Tasikmalaya dan kelompok industry rumah tangga
dan lain-lain.

xviii
c.       Pemberdayaan kelompok miskin kota: MPM membuat pilot proyek
pemberdayaan pengemudi becak, dan lain-lain.
d.      Dalam gerakan peduli pada anak yatim, Muhammadiyah aktif mendirikan
panti asuhan di berbagai daerah dan mervitalisasi panti asuhan dan lembaga-
lembaga lainnya guna meningkatkan pelayanan dan kepedulian pada anak
yatim. Kelahiran panti asuhan adalah buah pengamalan atas pemahaman KH.
Ahmad Dahlan mengenai pentingnya memperhatikan dan mrnyantuni anak-
anak yatim serta fakir miskin dan anak-anak terlantar, sebagaimana
terkandung dalam al-Qur’ansurat al-Ma’un tersebut (Febriansyah,
dkk.,2013:54-56-144).
e.       Gerakan Peduli Pada Fakir Miskin dan Anak Yatim
Istilah “fakir” dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai orang
yang sangat berkekurangan. Miskin diartikan sebagai tidak berharta benda,
serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Dalam bahasa Arab, kata “miskin”
berakar dari kata sa-ka-nayang berarti diam atau tenang. Kenapa orang miskin
disebut miskin, karena ia lebih banyak diam. Seperti halnya, kenapa keluarga
yang bahagia disebut keluarga sakinah, karena keduanya merasa tentram atau
tenang (diam) terhadap pasangannya; keduanya tidak kemana-mana. Tentang
kriteria kemiskinan, tidak dijelaskan di dalam al-Qur’an maupun al-Hadist.
Itulah sebabnya ulama berbeda pendapat tentang pengertian fakir dan miskin.
Al-Qur’an memuji kecukupan bahkan menganjurkan untuk meperoleh
kelebihan (Syihab, t.th:451). Ayat yang dijadikan rujukan adalah al-Qur’an
surat al-Jum’ah ayat 10 yang mengatakan:
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jum’ah:10)
Sedangkan dalam al-Qur’an di surat yang lain yaitu surat al-Dhuha
ayat 8 menerangkan bahwa:
Artinya: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu
Dia memberikan kecukupan” (QS. Al-Dhuha:8).
Bahkan ada ayat lain yaitu ayat dalam surat al-Baqarah ayat 198 yang juga
mendekripsikan bahwa:

xix
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dar’Arafat,
berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al-Baqarah:198)
Kedua ayat tersebut memberi kesan bahwa berkecukupan adalah sesuatu
yang mulia dan karenanya harus bekerja keras untuk meraih kecukupan tersebut.
Yang dilarang dan dicelah ialah rakus atau berkecukupan lalu kikir.
Muhammadiyah memahami bahwa tujuan yang hendak dicapai dan
diturunkannya agama di muka bumi ini adalah mengatur menyelamatkan, dan
membimbing manusia ke tujuan yang luhur (baldatun thayyibatun warabbun
ghafur), mencerahkan kehidupan, membebaskan manusia dari segala bentuk
perbudakan. Tidak ada penghambaan kecuali hanya menhambakan diri kepada
Allah SWT. Dalam konteks kehidupan sekarang, manusia harus dibebaskan
paling tidak dari tiga bentuk cengkeraman yakni: kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan.
Salah satu problematika nasional, khususnya problem umat islam saat ini,
adalah mengenai pengurangan kemiskinan. Kemiskinan merupakan bentuk
ketidak mampuan seseorang, satu keluarga, atau satu kelompok masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa kebutuhan pangan, atau kebutuhan
pendidikan dasar dan menengah, atau kebutuhan kesehatan. Ketidak mampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan
absolut.
Gerakan peduli fakir miskin diserukan oleh Nabi Muhammad Saw,
sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an. Tidak hanya memuat perintah untuk
menyantuni fakir miskin, tetapi al-Qur’an juga merkonstruksi perilaku masyarakat
Qurays. Tidak jarang al-Qur’an mengecam berbagai bentuk sikap mereka terkait
dengan harta, anak yatim dan fakir miskin. Kecaman tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Peringatan kepada orang yang suka menghimpin harta, suka bermewah-
mewah atau serakah (QS. Al-Takasur:1-2)
Mencintai harta secara berlebihan (QS. Al-Fajar:17-20)

xx
Menghardik anak yatim, tidak member makan orang miskin (QS. Al-
Fajar:17-20; al-Maun:1-6)
Dalam tafsir Bahr al-Ulum (t.th:juz.3,600)v disebutkan bahwa
pengertian yukazzibu biddin adalah orang-orang kafir; “Wahai Muhammad, inilah
orang-orang kafir”. Jadi, orang yang menghardik anak yatim adalah simbol dari
orang kafir yang berkebalikan dengan orang-orang yang menghargai dan
mengasihi anak yatim sebagai orang yang beriman. Ayat ini berbicara secara
simbolis antara orang beriman dan orang kafir. Surat sebelumnya yakni QS. Al-
Quraisy menegaskan, “Tuhanlah yang yang meberi makan dan minum kepada
kamu hai manusia, baik yang kaya maupun yang miskin.”Lalu, pada surat
sesudahnya, yakni surat al-Kautsar disebutkan, “Sesungguhnya, Tuhanlah yang
memberi nikmat kepada kamu, berkorbanlah dengan harta yang kamu miliki.”
Terdapat riwayat yang menceritakan bahwa pembesar suku Quraisy setiap
minggu menyembelih seekor unta. Namun, ketika anak yatim datang meminta
sedikit daging unta yang disembelih itu, para pembesar Quraisy tidak member
daging, bahkan mereka menghardik dan mengusir anak yatim tersebut. Realitas
sosial inilah yang menghidupkan spirit al-Maun dan memperkenalkan ide setral
tauhid dan kemanusiaan serta keadilan sosial ekonomi. Spirit al-Maun itulah yang
menggerakkan Muhammad Saw, dalam melakukan transformasi sosio moral
ekonomi masyarakat Arab (Rahman,2003:3).
Bahkan dalam al-Qur’an juga dieksplisitkan bahwa Allah memuji dan
menyejajarkan ibadah shalat dengan menginfaqkan sebagian harta. Hal ini
terekam dalam al-Qur’an surat al-Maarij ayat 19-25 yang menerangkan bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, mereka itu
tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya trsedia
bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS. Al-Maarij:19-25)
Ayat tersebut mempertentangkan antara orang kikir, keluh kesah disatu
sisi dan disisi lain orang shalat sekaligus dermawan, menyisihkan sebagian
hartanya untuk kepentingan orang yang membutuhkan. Dua macam sifat yang

xxi
bertentangan tersebut merupakan dua kutub yang saling berhadapan dan senatiasa
hadir pada setiap komunitas sepanjang waktu.
Sikap dan perilaku memuliakan anak yatim dan sikap member makan
orang miskin digambarkan sebagai suatu perbuatan yang amat susah bagi orang-
orang Quraisy, sehingga ayat menyebutnya sebagai jalan yang mendaki. Apa yang
dimaksud jalan mendaki (lihat QS. Al-Balad:11-16). Jalan ini cenderung dihindari
oleh manusia yang justru dikecam oleh al-Qur’an. Jalan yang mendaki adalah
membebaskan perbudakan, member bantuan kepada anak yatim dan orang miskin
yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Dalam keadaan situasi seperti
tersebut, manusia cenderung rakus, cinta harta berlebihan, tidak lagi memiliki
sikap kepedulian, suka menghardik, suka mencaci, membiarkan anak yatim dan
orang fakir miskin terloantar. Dalam kondisi seperti itulah al-Qur’an surat al-
Maun diturunkan.
Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang implikasi negatifnya
melibatkan berbagai aspek; terkait masalah-masalah kamanan, pendidikan, politik
dan kesehatan. Sebagian bentuk nyata dari problem kemiskinan adalah
pengangguran, busung lapar, gizi kurang, kriminalitas, dan bunuh diri.
Berdasarkan pemahaman tentang al-Qur’an dan realitas social, Muhammadiyah
menggiatkan urusan menyantuni orang miskin, fakir dan anak yatim dalam
bentuk; mendirikan rumah miskin dan panti asuhan. Sebagai upaya konsistensi
keberpihakan Muhammadiyah pada rakyat miskin, pada muktamar tahun 2000
dibentuklah Lembaga Buruh, Petani dan Nelayan, sedang pada muktamar 2005 di
Malang upaya ini lebih disempurnakan lagi dengan pembentukan Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM).

E.     Makna Muhammadiyah Dalam Gerakan Sosial Amal sosial kesehatan


Muhammadiyah
         Sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar, selain lembaga
pendidikan, Muhammadiyah juga mendirikan berbagai bentuk lembaga layanan
kesehatan yang bersifat modern, seperti rumah sakit (PKO), klinik dan balai-balai
pengobatan alternatif.[3] Lembaga kesehatan yang dibentuk oleh Muhammadiyah

xxii
sangat berkaitan dengan pandangan Muhammadiyah terhadap islam. Bahwa
didalam islam, upaya menciptakan kesejahteraan sosial, baik itu secara materi
maupun secara fisik bagi diri sendiri atau sesame oranglain merupakan suatu
kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu
Muhammadiyah sangat memerlukan lembaga kesehatan seperti rumah sakit dan
balai pengobatan sebagai tempat membantu kesehatan dan kesejahteraan umat,
terutama bagi mereka yang tidak mampu.[4]
        Dorongan utama bagi Muhammadiyah dalam mendirikan lembaga kesehatan
tersebut menjadi kebutuhan yang utama bagi umat, sebab ditengah-tengah
meluasnya kesengsaraan umat, baik itu akibat alam maupun akibat eksploitasi
pemerintahan asing terhadap bangsa Indonesia, mengakibatkan banyaknya para
korban dan orang-orang yang sakit namun tidak memiliki kemampuan secara
ekonomi unuk berobat. Sehingga sangat wajar saja pada saat itu, sebagian besar
masyarakat lebih cenderung berobat pada dukun-dukun sebagai tempat
pengobatan alternative bagi masyarakat.
         Dalam konteks sosial yang seperti inilah, Muhammadiyah kemudian
merespon problem tersebut secara nyata, dan dalam rangka membantu
kesengsaraa umat diatas, pada tahun 1918 secara independen, resmilah
Muhammadiyah mendirikan rumah sakit yang dikenal dengan sebutan PKO
(Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kini dirubah dengan sebutan PKU
(Penolong Kesejahteraan Umat). Kehadiran PKO Muhammadiyah sungguh
mendapat perhatian yang sangat luar biasa bagi warga masyarakat pada saat itu,
walaupun diawal berdirinya baru sebatas didaerah Yogyakarta, namun melihat
peran sosial yang diberikan Muhammadiyah melalui PKO tersebut membuat
problem kesehatan masyarakat mendapat kemudahan tersendiri.[5]Abdul Munir
Mulkhan menyebutkan daya tarik dari agenda sosial Muhammadiyah tersebut
mendorong orang sekelas dr. Soetomo, termasuk dokter dan negeri belanda, ikhlas
ekerja dalam Muhammadiyah untuk kemanusiaan .        
         Namun tanpa menutup mata, belakangan ini kelas-kelas elit itu memang
banyak yang aktif terlibat di Muhammadiyah, namun peristiwa kemanusiaan
seratus tahun lalu itu kini tinggal kenangan sejarah indah yang hamper mustahil
bisa ditemukan kembali. Kini Muhammadiyah melalui lembaga kesehatan

xxiii
tersebut menjadi kurang peduli lagi pada orang-orang miskin dan terlantar.
Rumah sakit Muhammadiyah lebih dinikmati oleh orang-orang kaya dan orang
kelas perkotaan semata. Hampir mustahil bagi rakyat kecil dan fakir miskin yang
sering sekali menderita sakit untuk berobat dilembaga kesehatan Muhammadiyah,
kecuali dengan sejumlah uang yang dimiliki dengan menggadaikan sawah, tanah
ataupun ternak mereka.
          Walaupun jumlahnya kini kian bertambah, namun biaya pengobatannya pun
tidak kalah jauh dengan biaya pengobatan di rumah-rumah sakit yang dikelola
Belanda tempo dulu. Sehingga yang bisa menikmati rumah-rumah sakit yang
lengkap dan mewah tersebut adalah mereka yang memiliki uang yang banyak.
Sementara bagi mereka yang miskin, cukup dengan merasakan penyakit yang
ditimpakan. Padahal sebelumnya, rumah sakit Muhammadiyah juga dirancang
untuk memfasilitasi kepentingan orang-orang miskin, dengan menerapkan sistem
subsidi silang orang-orang kaya membayar lebih mahal sedangkan orang-orang
miskin mendapat keringanan.
          Pembacaan atas surat Al-Maun yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan
secara berulang hingga dilasanakannya maksud dari pembacan ayat tersebut,
sekarang tidak lagi memiliki arti dan makna didalam tubuh Muhammadiyah,
karena amal sosial Muhammadiyah seperti lembaga kesehatan tersebut yang
senantiasanya diperankan oleh Muhammadiyah untuk membantu mereka
yang mustad’afin , kini seakan-akan hampir tidak peduli lagi dengan kelompok
sosial seperti itu. Apalagi banyak orang belakangan ini sering mengeluh dan
menggunjingi lembaga kesehatan tersebut yang kini memiliki biaya mahal serta
tidak ramah.
          Padahal saat perkembangan awal, Muhammadiyah selalu hadir dalam setiap
kebutuhan umat, terutama menyangkut pertolongan kesehatan. Ketika terjadi
bencana kebakaran atau alam, Muhammadiyah mesti berada dilingkungan
tersebut. Oleh karena demikian, masyarakat sangat meraskan betul kehadiran
Muhammadiyah sebagai solusi bagi kehidupan umat. Kini apapun yang dilakukan
oleh  Muhammadiyah seakan-akan tidak memiliki pengaruh yang signifikan lagi
terhadap masyarakat.

xxiv
Karena masyarakat sendiri secara tidak langsung juga merasa ditinggalkan dari
peran sosial Muhammadiyah saat sekarang. Sebab tiap periode kepemimpinan,
mesti Muhammadiyah mendirikan bangunan rumah sakit baru. Namun secara
peran sosial atas kepentingan kaum fakir miskin dan mustad’afin , malah tidak
lagi muncul dari organinsasi berlambang matahari ini.
          Padahal demi kesejahteraan dan kepentingan umat, para pendirinya rela
untuk bersusah payah, dengan menggadaikan berbagai hartanya dan rumahnya
untuk membantu amal Muhammadiyah, baik itu keperluan lembaga pendidikan
maupun untuk keperluan rumah sakit dan balai pengobatan.[6] Namun ketika
lembaga kesehatan Muhammadiyah kian besar, jerih payah pendirinya yang betul-
betul diorientasikan untuk kepentingan kaum miskin dan kaum yang marjinal kini
tidak lagi dirasakan. Lembaga kesehatan Muhammadiyah, kini tak ubahnya
sebagai amal bisnis bagi segelintir orang Muhammadiyah.
          Memang upaya mencari keuntungan dari lembaga kesehatan
Muhammadiyah tersebut bukanlah sesuatu yang salah, sebab lembaga kesehatan
Muhammadiyah pun membutuhkan biaya pembelian obat, gaji dokter dan
perawat, biaya pembangunan gedung serta biaya operasional lainnya. Hanya saja
yang perlu menjadi catatan adalah bahwa keberadaan lembaga kesehatan
Muhammadiyah juga berfungsi sebagai gerakan sosial untuk membela
kepentingan umat yang tidak mampu. Namun secara kasat mata sangat sedikit dari
lembaga kesehatan Muhammadiyah yang mampu menjalankan fungsinya sebagai
penolong bagi kesengsaraan dan kepentingan umat. Bahkan biaya untuk berobat
dirumah sakit Muhammadiyah saja harus menyediakan uang yang begitu besar.
Aspek ini belum lagi menyangkut sistem kelas yang terdapat dirumah sakit
tersebut. Didalam PKU misalnya, dibagi dengan berbagai kelas sesuai dengan
kategori ekonomi. Yang untuk keseluruhannya walaupun dibagi secara kelas
ekonomi (eksekutif, sedang dan rendah), namun semuanya sangat mustahil bagi
orang miskin untuk dapat memenuhinya.
           Jadi tidak salah jika muncul asumsi masyarakat, yang menganggap
Muhammadiyah lebih mengakomodasi kepentingan kelas sosial tinggi dan orang-
orang yang kaya, bahkan keluar plesetan bahwa PKU sama saja artinya dengan
“Pencekik Kehidupan Umat” (PKU). Sebab kita cukup sedih akhir-akhir ini

xxv
melihat tayangan televisi yang cukup sering mengiklankan kondisi sebuah
keluarga miskin yang melahirkan seorang bayi dalam kondisi cacat, sakit dan
kembar siam, dan bagi mereka yang tidak sanggup untuk mengobati lantaran tidak
adanya biaya pengobatan. Akhirnya para orangtua pun harus merelakan kepergian
anaknya daripada harus melihat rasa sakit yang ditanggung oleh anaknya dalam
waktu yang begitu lama. Padahal derita sakit yang dialami seseorang anak atau
ibu, tidak lepas dari rekayasa bioteknologi Negara-negara barat untuk
menyebarkan beragai virusnya ke Negara berkembang. Seperti yang terjadi
diteluk Buyat, mana mungkin beberapa orang anak yang lahir dalam kondisi
bersisik pada tubuhnya yang akhirnya harus meninggal dunia.
            Sementara Muhammadiyah yang memiliki puluhan rumah sakit yang
tersebar ditanah air ini, belum melihatkan peran nyata dalam menyelesaikan
problem kesehatan umat yang seperti demikian. Jika Muhammadiyah berani
mengambil peran tersebut, para bayi yang menjadi korban dan menderita sakit ini
dapat ditolong oleh lembaga kesehatan Muhammadiyah, baik itu secara financial
maupun secara pengobatan.  
            Begitu juga halnya ketika masyarakat kita dihebohkan dengan kedatangan
penyakit demam berdarah yang menimpa sebagian besar anak-anak. Jangankan
untuk memberikan dispensasi biaya pengobatan, untuk terjun kelapangan
memberikan sosialisasi kesehatan ataupun terlibat dalam pemberantasan
(penyemprotan) virus demam berdarah pun juga tidak kita lihat Muhammadiyah
mengambil peran disana. Padahal untuk satu hari saja, puluhan bahkan ratusan
anak-anak yang harus dievakuasi ke rumah sakit lantaran terserang penyakit
musiman demam berdarah tersebut.
           Saat sekarang, sangat jarang kita temui lagi lembaga kesehatan
Muhammadiyah untuk bisa terjun ke kampung-kampung memberikan penyuluhan
kesehatan ataupun pengobatan gratis.  Bahkan agenda-agenda seperti ini lebih
banyak dilakukan oleh orang-orang yang non Muhammadiyah atau non organisasi
sosial kemasyarakatan seperti Muhammadiyah. Lantas dimanakah public secara
luas nantiya bisa untuk meyakini dan mengatakan bahwa Muhammadiyah
merupakan organisasi islam yang llllllpeduli terhadap kehidupan kaum fakir
miskin dan kaum mustad’afin.

xxvi
           Memang untuk kemegahan, kemewahan serta kekayaan lembaga amal
sosial tersebut, Muhammadiyah bisa digolongkan sebagai organisasi islam
terdepan, akan tetapi jika persoalannya melihat pada peran sosial yang  tidak
mementingkan atau tidak memiliki kepedulian terhadap kaummustad’afin  asumsi
Muhammadiyah terdepan itu perlu untuk dipertimbangkan kembali. Sebab
keberhasilan Muhammadiyah bukanlah satu-satunya terletak pada keberadaan
gedung-gedung megah dan rumah sakit yang banyak. Namun  sejauh mana peran
sosial Muhammadiyah dapat dirasakan oleh kaummustad'afin sekaligus memiliki
efek dalam melakukan transformasi sosial umat.
           Sebab sebagaimana ungkapan Kuntowijoyo, bahwa Muhammadiyah
sebenarnya bukan saja sebagai organisasi yang bergerak pada ranah aqidah atau
yang bekerja semata-mata pemberantasan TBC itu, namun Muhammadiyah juga
memiliki orientasi transformasi yang bergerak dalam perubahan atau
pembaharuan struktur dan sistem sosial yang tidak memihak  pada kepentingan
kaum mustad’afin.[7]
          Demikianlah kemudian KH.Ahmad Dahlan sendiri mampu
mengkombinasikan arah geraknya dalam dua jalur tersebut. Untuk pandangan dan
gerak Muhammadiyah yang kedua ini merupakan perwujudan dari keimanan yang
memerlukan pengalaman religi moral yang terorganisir dengan dimensi
intelektual islam yang mempertimbangkan peranan ilmu pengetahuan sebagai alat
bantu.[8]
          Konsep pemikiran KH. Ahmad Dahlan ini sebenarnya jika ditilik dari
generasi sesudahnya juga tidak memiliki perbedaan yang jauh. Sebut saja masa
kepemimpinan H.M Yunus Anis, ia adalah tokoh dan pemimpin Muhammadiyah
yang sangat mampu mengambil pesan moral dari gerakan KH. Ahmad Dahlan,
sehingga usaha dan pemikirannya untuk menyantuni anak yatim dn fakir miskin
sebagaimana yang digariskan didalam Al-Qur’an tersebut, betul-betul menjadi
perhatian yang besar bagi HM. Yunus Anis.[9] Ia sangat menantang sekali
perilaku-perilaku umat yang selalu berusaha menumpuk kekayaan, namun
melupakan amanah dari harta yang diberikan kepadanya.
           Sayangnya belakangan ini, sebagian dari warga Muhammadiyah seakan-
akan melupakan jejak dan langkah para pemimpin sebelumnya. Sehingga amal

xxvii
Muhammadiyah seperti lembaga kesehatan Muhammadiyah pun juga tidak lepas
dari rekayasa-rekayasa tertentu untu kepentingan sendiri. Maka kaum fakir dan
miskin terlupakan begitu saja, yang sebenarnya juga memiliki hak dan
kepentingan dari amal kesehatan Muhammadiyah. Disinilah perlu kiranya kita
mempertanyakan kembali, untuk siapakah sebenarnya amal usaha
Muhammadiyah tersebut?
            Sebab kehadiran lembaga-lembaga amal sosial ini, bagi KH. Ahmad
Dahlan merupakan perjuangan yang panjang dan penuh tantangan yang harus
dihadapi. Bagaimana saat itu KH. Ahmad Dahlan harus berhadapan dengan
imperialisme Belanda, dan bagaimana pula KH. kAhmad Dahlan harus
berhadapan dengan kekuatan kultur lokal yang telah mengakar, serta berhadapan
dengan persoalan SDM dan SDA yang sangat minim. Gambaran ini menunjukkan
bahwa, perjuangan yang ditempuh KH.Ahmad Dahlan untuk melahirkan berbagai
karya kemanusiaannya berangkat dari modal sosial yang besar.
            Peran lembaga kesehatan Muhammadiyah ini dirasakan penting seiring
dengan berbagai ancaman dan dampak dari agenda kapitalisme global yang
ditandai dengan memburuknya kesehatan rakyat-rakyat miskin akibat ekspor virus
dan penyakit yang ditebarkan dari Negara-negara maju. Seperti rokok
umpamanya, fakta menunjukkan bahwa perusahaan rokok tembakau Eropa dan
Amerika Serikat menjual produk monoksida yang jauh lebih tinggi diatas batas
toleransi yang telah ditetapkan oleh dinas kesehatan Eropa dan AS.
Sehingga Negara-negara Eropa selalu mengkampanyekan untuk dalam negerinya
agar mengurangi konsumsi tembakau tersebut. Untuk kampanye anti tembakau
saja Amerika tiap tahunnya harus mengeluarkan 10 US$. Namun yang ironisnya
pemerintah AS dan Eropa malah mempromosikan dan mengekspor tembakau
tersebut ke berbagai Negara berkembang seperti Jepang, Taiwan, Thailand, Korea,
dll.
           Sementara peran-peran organisasi sosial yang sebenarnya juga memiliki
infrastruktur gerakan yang kuat, cenderung berdiam diri dalam menghadapi
persoalan ini. Disinilah bentuk lompatan besar yang dilakukan oleh organisasi
Muhammadiyah saat ini. Oleh sebab itu, peran lembaga kesehatan
Muhammadiyah dalam membantu kaum mustad’afin   dan miskin masih

xxviii
diperlukan. Apalagi sering sekali kaum miskin yang menjadi korban dari setiap
pembangunan bangsa ini. Baik seperti buangan limbah pabrik, sampah dan
kotoran-kotoran hewan, yang dampak dari produksi barang demi kepentingan
kelompok sosial yang kaya dan elit.
           Memang bagi lembaga kesehatan Muhammadiyah membutuhkan biaya dan
dana yang besar. Namun bukan berarti pembiayaan yang besar menutup
kemungkinan bagi Muhammadiyah untuk membantu masyarakat pedesaan atau
masyarakat yang tidak mampu. Muhammadiyah tentunya bisa membuat kebijakan
subsidi silang dengan memberikan harga yang besar bagi golongan mampu
sebagai subsidi bagi orang-orang yang tidak mampu untuk berobat di lembaga
kesehatan Muhammadiyah. Agar lembaga kesehatan Muhammadiyah juga
memperhatikan nasib kesehatan orang-orang miskin.
          Karena cukup banyak di negeri ini orang-orang miskin yang harus
menanggung sakit dalam waktu yang sekian lama lantaran tidak adanya biaya
kesehatan yang dimiliki. Sehingga sangat wajar Eko Prasetyo menulis
buku Orang Miskin Dilarang Sakit, lantaran sulitnya bagi orang miskin
mengakses kesehatan dan berobat ketika sakit. Fenomena seperti inilah yang juga
harus diperhatikan oleh lembaga kesehatan Muhammadiyah ke depannya.
                                                                

xxix
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Muhammadiyah sebagai Gerakan Sosial dan keagamaan dengan Konsep
Teologi  Al-Ma’un dalam Al-Qur’an sebagai dasar untuk berjalan pada ranah
sosial. Pembahasan mengenai Teologi Al-Ma’un pun sering digalakkan. Hal ini
sebagai telaah kritis terhadap gerakan sosial yang dilakukan Muhammadiyah. Dan
bisa kita lihat, bahwa saat ini Muhammadiyah banyak mempunyai amal usaha,
mulai dari pondok anak yatim, sekolah/lembaga pendidikan, sampai rumah sakit
pun ada. Ini sebagai pengejawantahan dari interpretasi terhadap surat Al-Ma’un.
Muhammadiyah mempunyai cita-cita sosial, yakni “kesejahteraan, dan
kemakmuran masyarakat yang diridhai Allah”. Dari sini kita ketahui bahwa
Muhammadiyah menghendaki terciptanya negara yang baik dan penuh akan
ampunan Allah. Inilah interpretasi dari ungkapan Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin. Bagaimana kita lihat kemudian Muhammadiyah sejak didirikan oleh
Kyai Dahlan, sampai kepemimpinan yang sekarang masih berusaha untuk
menjalin komunikasi yang baik, dan memberikan pelayanan sosial terhadap
masyarakat, fakir miskin dan yatim piatu. Hal inilah yang menjadi penting dalam
perkembangan Muhammadiyah.

B.     Saran
Tujuan dakwah Muhammadiyah adalah meningkatkan kualitas hidup
manusia. Seharusnya kita ikut berpartisipasi dalam dakwah tersebut. Karena
dengan dakwah tersebut menggerakkan dinamika kehidupan masyarakat Islam di
bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya.

xxx
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan,2000. Menggugat Muhammadiyah. Yogyakarta : Fajar


Pustaka Baru
Deni Al-Asy’ari, Selamatkan Muhammadiyah! Agenda Mendesak Warga
Muhammadiyah, Yogyakarta, 2010.
http://allinfoali.blogspot.co.id/2014/11/muhammadiyah-sebagai-gerakan-
islam.html
http://fitrafg.blogspot.in/2014/11/memahami-gerak

xxxi

Anda mungkin juga menyukai