“MASA ANAK-ANAK”
OLEH KELOMPOK 6:
1. AGUSTINA 105191114221
2. KASTIA 105191111321
3. MUH. TEGAR ALI SIMRAN 105191112921
KELAS 2E
1
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN TANGGAPAN
Mempelajari perkembangan tanggapan anak, tidak terlepas dengan mempelajari
teori-teori perkembangan pengamatan anak. Dalam polanya kedua aspek tersebut
memang berbeda tetapi antara keduanya saling terkait dan ada kesamaan yang
mendasar yakni, adanya proses belajar mengenal atau menguasai obyek, atas stimulus
yang datang kepadanya, dengan menggunakan potensi yang dimilikinya. Dan
dikatakan tanggapan itu terkait dengan pengamatan sebab tanggapan itu sendiri
merupakan hasil, kenangan dari adanya proses pengamatan. Beberapa teori tentang
tanggapan dan pengamatan:
1. Oswald Kroh:
a. Periode sintesa fantastis, 0;0 - 8;0, tahun = tanggapan anak masih merupakan
totalitas atau global, dan sifatnya masih samar-samar, kegiatan ini masih
dipengaruhi oleh fantasi anak, sebab saat itu sedang suka pada dongeng, cerita
hayal dan lain-lain.
b. Periode realisme naif, 8- 10 tahun anak sudah mulai dapat mem bedakan
bagian, bagian akan tetapi belum mampu mengembangkan antara satu dengan
lainnya dalam suatu totalitas. Unsur fantasi yang asalnya ikut berpengaruh
sudah diganti dengan pengamatan konkrit.
c. Periode realisme kritis, 10-12 pengamatan tanggapan anak bersifat kritis dan
realistis. Ia sudah dapat mengadakan sintesa logis, dan iapun telah mampu
menghubungkan bagian-bagian menjadi satu totalitas, hal tersebut dikarenakan
wawasan dan intelektual anak sudah mencapai taraf kematangan.
2
d. Fase subyektif, 12 - 14 tanggapan serta pengamatan anak saat ini masih banyak
dipengaruhi oleh emosi yang mendominir. Sehingga tanggapan anak cenderung
bersifat emosional. Hal ini dapat terjadi karena pada masa ini muncul gejala
trotzalter II.
2. William Stern & Clarn Stern
Ia membagi dengan stadium pula yaitu:
a. Stadium-keadaan = 0 - 8 tahun tanggapan anak masih dalam gambaran totalitas
yang samar-samar, serta anak sudah dapat dengan teliti mengamati obyek
pengamatan atau obyek tanggapan.
b. Stadium-perbuatan = 8 - 9 anak mengamati dan menaruh minat terhadap
pekerjaan serta perbuatan orang dewasa dan juga tingkah laku hewan.
c. Stadium hubungan: 9 - 10 anak mengamati relasi atau hubungan causal dari
benda-benda dan peristiwa.
d. Stadium sifat: 10-ke atas; anak mulai menganalisa hasil pengamatan atau
tanggapan dengan mengkonstatur ciri-ciri dan sifat-sifat dari benda sebagai
obyek pengamatannya.
3. Meuman:
a. Fase sintesa fantastif, 0- 8:0 semua tanggapan anak memberikan kesan total.
Dilengkapinya tanggapan tersebut dengan fantasinya.
b. Fase analisa; 8 - 12 tahun anak mulai mengamati ciri dan sifat dari bermacam-
macam benda. Bagian-bagian dari benda mulai diper hatikan, tetapi belum
mampu mengkaitkan dalam kerangka keseluruhan (totalitas, fantasi anak sudah
kurang berganti dengan pikirannya).
c. Fase sintesa logis ± 12 tahun ke atas anak sudah dapat menghayati benda-benda
dan peristiwa, dengan wawasan akal budinya (dari insight-nya). Bagian-bagian
mulai dikaitkannya dalam suatu totali tas.
3
1. Global Yaitu pengamatan dari tanggapan global atau totalitas.
2. Terurai Yaitu anak mulai dapat mengamati bagian-bagian, per hatiannya, menjadi
lebih terurai pada bagian-bagian obyek pengamatan, di sini anak semakin kritis
dan logis.
3. Sinthesa atau assimilasi yaitu anak sudah dapat membuat sintesa atau
mengasimilasi antara obyek total dan bagian iannya, demikian pula tentang
kousalitasnya. Sehingga anakpun telah dapat menghayati akan perbedaan atau
kesamaan, ciri dan sifat dari bermacam macam benda.
B. PERKEMBANGAN PIKIRAN
Perkembangan pikiran (intellect) anak itu pada dasarnya berhubungan erat dengan
perkembangan bahasa, keduanya merupakan faktor penentu bagi seorang dapat
menyampaikan gagasannya, keinginannya dalam mengadakan komunikasi dengan
lain.
4
2. Berpikir secara simbolis atau sistematis, yaitu anak berpikir dengan menggunakan
simbul-simbul (tanda-tanda), maka di sini sudah mulai kenal huruf angka, schema,
simbul-simbul tertentu dan sebagainya.
1. Mulai umur 1;6 tahun anak mampu mengungkapkan pendapat positif (mama
maka, adik menangis dan lain-lain).
2. Memulai umur 2:6 tahun anak dapat menyampaikan pendapat negatif, walaupun
sebenamya anak menemui kesulitan. Contoh: Amir tidak pergi, Ayah tidak makan
dan sebagainya.
3. Mulai umur ± 03:0, maka mulai mengkritik atau menilai sesuatu, mulai masa ini
anak mulai dapat menyusun keputusan.
4. ± 4.0 mulai muncul adanya keragu-raguan pada Giri anak yang diwujudkan dalam
pendapat. mungkin, barangkali, kira-kira. Sebenarnya keraguan anak itu ada jika
pengamatan-pengamatan anak tertib.
5. Pada ±5 tahun anak sudah mampu menyusun kesimpulan analogi yang sederhana,
contoh: ibu makan karena lapar, dan pada suatu saat melihat adiknya makan,
kesimpulan analogi yang diambil adalah Adik sedang lapar.
1. Pengertian yang dimiliki anak masih sangat sederhana (tetapi akan berkembang
pada masa sekolah).
2. Ia belum mengenal hubungan sebab akibat, kejadian-kejadian di dunia sekitamnya
masih samar-samar baginya. Maka iapun sering berbuat sesuai dengan
kemampuan penafsiran yang bersandar pada sifat-sifat yang dimiliki anak itu
sendiri, sebab menurut E. Hourlock bahwa: seorang anak dapat memahami sesuatu
secara terperinci (accurate) dari apa yang didengar dan dilihatnya, serta anak harus
5
berpikir secara kreatif. (Hal tersebut dapat dilakukan anak) sejak anak sudah tidak
lagi salah tafsir dari apa yang mereka amatinya.
D. PERKEMBANGAN BAHASA
Bilakah seorang anak senantiasa menunjukkan usaha untuk maju dengan sarana
organ pisik dan psikisnya, adalah jika adanya kecenderungan untuk menggunakan
semua kapasitas atau kemampuannya secara aktif.
Pada akhir tahun pertama kelahiran anak dan menjelang awal tahun kedua, ada
pertumbuhan dan perkembangan anak yang menonjol yakni mulai menunjukkan
6
kemampuannya untuk dapat berjalan sendiri dan kemampuan berbahasa atau
berbicara.
Awal perkembangan bahasa pada dasamya dapat diartikan sejak mulai adanya
tangis pertama bayi, sebab tangis bayi juga dapat dianggap sebagai bahasa bayi atau
anak. Dengan menangis bagi anak dapat juga merupakan sarana mengekspresikan
kehendak jiwanya.
Adapun penguasaan bahasa berikutnya seara berangsur anak akan mengikuti bakat
serta Ritme perkembangan yang dialami. Akan tetapi perkembangan tersebut akan
dipengaruhi oleh lingkungan serta ada beberapa pendapat tentang fungsi bahasa:
1. William Stern dan Clara Stern
Ia berpendapat ada 3 fungsi bahasa bagi seseorang:
a. Aspek Ekspresi menyatakan keinginan dan pengalaman jiwa.
b. Aspek sosial untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain.
c. Aspek Intensional bekerja untuk menunjukkan atau mem banggakan sesuatu.
2. Karl Buhler
Psikolog inipun berpendapat ada tiga fungsi bahasa:
a. Kundgabe(Pemberitahuan) dorongan untuk memberi tahukan orang lain.
b. Auslosung(Pelepasan) dorongan kuat dari anak untuk melepaskan kata-kata
sebagai hasil peniruannya dengan orang lain.
c. Darstellung(Mengungkapkan) anak ingin mengung kapkan segala sesuatu yang
menarik per hatiannya.
3. Jean Piaget
a. Bahasa Egosentris Melahirkan keinginan yang tertuju kepada dirinya sendiri.
b. Bahasa Sosial Untuk berhubungan dengan orang lain.
Di dalam praktek penggunaan atau fungsi bahasa tersebut tidak selamanya terpisah
sendiri-sendiri, malah terkadang ketiga fungsi tersebut berfungsi secara serempak.
Selanjutnya tentang tahap perkembangan bahasa anak William Stern dan istrinya,
membagi menjadi 5 (lima) tahap:
7
1. Prastadium (0:6 - 1;0), meraban atau keluar suara yang belum berarti, serta
tunggal, terutama huruf-huruf bibir.
2. Masa pertama (1;0- 1:6), penguasaan kata yang belum lengkap,(mem, mik, dan
lain-lain).
3. Masa kedua (1;6-2;0), adalah masa nama, maksudnya kedua mulai menyadari
segala sesuatu itu punya nama. Anak suka tanya nama. Mula-mula benda, dan
fungsinya, serta disusul dengan menanyakan sifat benda.
4. Masa ketiga (2;0-2;6), adalah stadium fleksi (flexio/menafsirkan) yakni anak mulai
dapat menggunakan kata-kata yang dapat di tafsirkan atau kata yang sudah
dirubah. Anak sudah mampu-mampu menyusun kalimat yang pendek, iapun
sudah dapat membandingkan, Contoh: Ia bertanya di mana? dari mana? dan lain-
lain.
5. Masa anak keempat (2;6- ke atas) = Stadium anak kalimat, maksudnya anak dapat
merangkaikan pokok kalimat dengan penjelasannya berupa anak kalimat. Anak
sudah mampu bertanya kasualitas atau sebab akibat. Contoh: mengapa? apa sebab?
dan lain-lain.
Untuk selanjutnya bahwa anak akan selalu berkembang sejajar dengan sejumlah
perbendaharaan bahasanya yang sesuai dengan lingkungannya, terutama yang
bersumber dari orang tuanya, sekolah serta lingkungan lainnya. Ada hal-hal yang
perlu diperhatikan antara lain:
Pada masa nama, biasanya anak akan bertanya tentang sesuatu dilihatnya atau
sesuatu yang menarik hatinya, ia tidak segan dan tidak bosan bertanya, maka bagi
orang yang lebih tua dari anak itu, hendaknya janganlah bersikap negatif (bosan,
dimarahi, dicegah dan lain-lain). Sebab pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan
pernyataan (exspressi) dari perkembangan psikis anak yang dinamis, ini sangat
penting bagi kesehatan dan kelancaran pertumbuhan dan perkembangannya.
8
Jika ada anak yang "gagap" dalam berbicara, hal ini umumnya karena anak terlalu
terburu-buru dalam mengekspresikan perasaannya dan pikirannya, tetapi
perkembangan mental anak sini lebih cepat daripada perkembangan bahasanya.
Karena itu janganlah diolok-olok, diketawakan, dihina atau sebab dapat menimbulkan
kesulitan atau gangguan emosional yang serius pada diri anak, yang mengakibatkan
terhambatnya perkembangan jiwa anak. Contoh: Rendah diri, ketakutan, ketakutan,
komplik batin dan lain-lain). Begitu juga terhadap anak yang belum mampu
mengucapkan huruf secara fasih (cedal/ jiwa). Anak ini harus dibimbing secara baik
dan benar.
E. PERKEMBANGAN PERASAAN
Bagi anak-anak perkembagan perasaan itu sangat cepat dan besar sekali, sehingga
umumnya anak-anak akan lebih emosional di bandingkan dengan orang dewasa.
Pandangan mereka selalu optimis, cepat merasa puas, (terutama pada anak sekolah
dasar) sehingga mereka akan mudah merasa senang, periang, kesedihan dan
kesusahan atau justru kesenggan orang lainpun belum mereka hayati dengan baik
baik. Kalbu pada saat tertentu anak tahu tentang kesusahan orang lain maka anak
berusaha menekannya atau menutupnya, karena ia takut atau. malu untuk ikut
merasakannya.
H. Birkenfeld dan Gazali membagi perasaan anak menjadi kuat katagon, dengan
uraian sebagai berikut:
1. Perasaan yang terdapat pada tingkat biologis (jasmaniah) yang meliputi:
a. Perasaan yang berhubungan dengan pencernaan makanan, pernapasan dan
peredaran darah, contoh: Lapar, lelah, kejang, dan sebagainya.
b. Perasaan yang berhubungan dengan instink. Contoh: takut, dan sebagainya.
c. Perasaan yang berhubungan dengan alat indria. Contohnya: dingin, panas, nyeri
dan sebagainya.
2. Perasaan Tingkat Rohaniah yang meliputi:
9
a. Perasaan intelct yaitu perasaan yang selalu menyertai kerja kerja intelek.
Contoh: Jika dapat menyelesaikan soal ujian dengan baik akan gembira jika
tidak bisa mengerjakan soal ujian maka ia kecewa.
b. Perasaan thestis yaitu suatu perasaan yang dialami pada waktu menganggap
sesuatu itu bagus/indah atau jelek. Untuk mengukur indah atau tidak yaitu harus
ada standarnya maka standamnya itu biasa disebut dengan cita rasa. Cita rasa
ini sering dipengaruhi oleh pembawaan, umur, lingkungan dan mode yang
sedang berlangsung. Dan sesuatu yang dapat menciptakan atau membangkitkan
keindahan itu dise butnya SENI.
c. Perasaan Ethis yaitu perasaan kesusilaan, hal ini ada sewaktu seseorang
menghayati sesuatu itu baik atau buruk. Standarisasi baik atau buruk yang ada
pada diri seseorang ditentukan atau dipengaruhi oleh kata hati. Meskipun
demikian, terbentuknya kata pada seseorang seringkali juga dipengaruhi, ialah
berbagai faktor antara lain: pembawaan, umur, lingkungan/ pendidikan, agama
serta pandangan hidup.
d. Perasaan Religius yaitu Perasaan yang menyertai penghayatan keagamaan
ukuran atau sumber perasaan ini adalah agama. Contoh: perasaan ini ihlas,
tawakal, perasaan aib dan lain-lain. Yang penting dilakukan untuk
mengembangkan perasaan ini adalah pembiasaan, motivasi, keteladanan, serta
penciptaan situ asi keagamaan. Pengalaman awal anak terhadap Tuhan biasanya
melalui bahasa, melalui tanggapan yang dialaminya. Semula anak mengenalnya
secara sederhana (diidentikannya dengan manusia dan sebagainya), tetapi
dalam proses berikutnya jika ada bimbingan yang benar anak akan mengenal
Tuhanpun dengan cara yang benar.
e. Perasaan Diri yaitu perasaan yang menyertai tanggapan tentang dirinya sendiri.
Perasaan diri dapat dibedakan menjadi perasaan diri yang positif (kemampuan
diri sendiri) dan perasaan yang negatif (ketidakmampuan penyesuaian dirinya).
Contoh: sombong, angkuh, rendah diri, malu dan lain-lain.
10
f. Perasaan Sosial yaitu suatu perasaan yang timbul karena pendapat dan
pengalaman seseorang dengan sesama manusia. Contoh: cinta, rindu, cemburu,
respect dan lain-lain.
F. PERKEMBANGAN FANTASI
11
Daya jiwa untuk menciptakan tanggapan-tanggapan baru atas bantuan tanggapan-
tanggapan yang telah ada (lama) dalam psikologi disebut fantasi. Fantasi biasanya
dibedakan menjadi dua macam:
1. Fantasi terpimpin (tuntunan) Yaitu timbulnya fantasi dikarenakan adanya kesan
setelah menanggapi hasil ciptaan orang lain, atau tuntutan oleh karya orang lain
tersebut.
2. Fantasi mencipta Yaitu timbulnya fantasi seseorang yang muncul karena kekuatan
(potensi) yang ada pada dirinya secara murni tanpa adanya tuntunan dari luar.
12
anak sudah mulai berkurang pengaruh fantasinya, sebab pengamatannya sudah
mulai tertib, ia sudah dapat membedakan antara yang khayal dan yang realistis.
Ada sesuatu hal yang erat hubungannya dengan fantasi anak yakni, bahwa anak-
anak sering melakukan dusta fantasi, Dusta Fantasi ini adalah dusta semua, ia berbuat
karena tidak disengaja. Anak tersebut belum tahu bahwa hal itu salah, atau ia berdusta
itu bukan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Hal tersebut dapat terjadi karena anak belum juga dapat membedakan antara
tanggapan ingatan dan tanggapan fantasi atau juga dapat disebabkan reaksi menolak,
takut, kurang kuat ingatannya, sugesti, malu dan lain-lain.
Dalam menanggapai masalah keberadaan dan perkembangan fantasi ada dua
psikolog yang kontradiksi yaitu Dr. Maria Montessori, dan Friedrich Wilhelm Agust
Frobel (Jerman 1782-1852).
Dengan melihat dua pendapat yang polair itu, maka kiranya dapat diambil jalan
yang paling moderat yakni; terhadap perkembang an fantasi anak, sebaiknya
diberikan kesempatan atau dilatih untuk dikembangkan. Dan agar anak tidak terlalu
terlena pada dunia khayal yang berlebih-lebihan, maka ada baiknya juga jika dalam
latihan pengembangan fantasi agak dibatasi, tetapi tidak perlu terlalu ketat.
13
Sehingga perkembangan fantasi anak akan tetap bebas leluasa tetapi terkendali
atau terarah.
Selanjutnya karena anak sudah mulai kaya akan pengalaman sosial, terkadang
timbul kesukaran bagi orang tua untuk mengatur. Anak sudah mulai dapat berontak,
melawan (pertikaian). Suatu ketika anak menjadi mudah keras kepala, cemburuan dan
14
lainnya, karena pada masa ini termasuk ada di dalamnya masa kegoncangan pertama
(footzalter I) pada diri anak, yakni pada umur 3;0/0;4 tahun.
Perkembangan sosial ini akan terus berlanjut sesuai dengan pengalamannya,
sehingga ia siap untuk bergaul dengan yang lain secara baik dan wajar.
Amold Gessell, mengungkapkan hasil penelitiannya dalam masalah ini antara lain:
H. PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Robert J. Havighurst, moral yang bersumber dan adanya suatu tata nilai
adalah "a value is an obyect estate or affair wich is desired" (tata nilai adalah suatu
obyek rohani atas suatu keadaan yang diinginkan).
Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-
hal yang baik, sesuai dengan nilai-nilai (value) yang diinginkan itu disebutnya
sebagai moral.
15
Dengan demikian perkembangan moral seseorang itu berkaitan erat dengan
perkembangan sosial anak, di samping pengaruh kuat dari perkembangan pikiran,
perasan serta kemauan atas hasil tanggapan dari anak.
Contoh: adanya kontak dengan orang lain, pada gilirannya akan muncul pula rasa
untuk saling menghargai, saling tolong menolong dan lain-lain.
Bagi seorang anak pengembangan moral itu akan dikembangkan melalui
pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologis), untuk selanjutnya
dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai
yang diberlakukannya. Maka disinilah sebenamya letak peranan utama bagi orang-
orang yang paling dekat atau akrab dengan anak (terutama ibu) dalam memberikan
dasar dasar pola perkembangan moral anak berikutnya.
Adapun nilai-nilai (selain nilai fisiologis) bagi seorang anak. perkembangan
berikutnya akan selalu berada sejajar dengan nilai-nilai yang mendasari tadi.
Tentang perkembangan moral anak yang disesuaikan dengan value/tata nilai yang
ada dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. 1:0-4:0 Ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang
dikatakan oleh orang tua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau
perbedaan antara yang baik dan yang buruk itu. Sebab saat itu anak belum
2. 4:08:0 juga mampu menguasai dirinya sendiri. Ukuran tata nilai bagi seorang anak
adalah dari yang lahir (realita). Anak belum dapat menafsirkan hal halnya yang
tersirat dari sebuah perbuatan, antara perbuatan disengaja atau tidak, anak belum
menge tahui, yang ia menilai hanyalah kenyataannya, (dari sebab perbuatan tadi).
Contoh: anak akan tetap menilai salah terhadap orang yang memecahkan gelas 20
buah (satu kodi), walaupun tidak disengaja.
Tetapi anak tadi akan memaklumi, terhadap seorang yang hanya memecahkan 1
(satu) gelas, walaupun disengaja.
3. 8;0-13;0 Anak sudah dapat mengenal ukuran baik, buruk secara batin (tak nyata)
meskipun masih terbatas, yaitu anak sudah dapat menghargai pendapat atau alasan
dari per buatan orang lain. Anak mulai dapat menghormati ter hadap orang lain
16
yang patuh, taat, atau sebaliknya. Di sini anak mulai dapat mengendalikan dirinya
sendiri,walaupun dalam keterbatasan juga.
4. 13;0-19;0 Seorang anak sudah mulai sadar betul tentang tata nilai kesusilaan
(value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan kefahamannya terhadap
konsep tata nilai yang diterima. Pada saat ini anak benar-benar berada pada
kondisi dapat mengendalikan dirinya sendiri.
I. MASALAH PERMAINAN
1. Pengertian Permainan
Permainan adalah suatu perbuatan yang mengandung keasyikan dan dilakukan
atas kehendak diri sendiri, bebas tanpa paksaan dengan bertujuan untuk
memperoleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut.
Permainan cukup penting bagi perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu perlu
kiranya bagi anak-anak untuk diberi kesempatan dan sarana di dalam kegiatan
permainannya. Secara fungsional kegiatan bermain dan bekerja mengandung
perbedaan cukup mendasar, sebab bekerja itu lebih diarahkan kepada hasil yang
akan dicapai, di samping adanya keterikatan yang lebih ketat daripada sebuah
permainan.
Dua hal kegiatan anak yakni bermain dan bekerja dapat dibe dakan sebagai
berikut:
Bermain :
Bekerja :
17
b. Berorientasi pada hasil (terutama kepuasan materi) gagal atau berhasilnya
menjadi masalah yang penting.
c. Hasilnya ada di luar kegiatan, yakni setelah kegiatan tersebut selesai.
d. Hakikatnya bagi orang dewasa.
Dalam perkembangan nanti, pada gilirannya permainan bagi seorang anak suatu
saat dapat berubah menjadi kegiatan bekerja (bagi orang dewasa), jika kegiatan
permainan tersebut sudah berubah orien tasinya, yakni berorientasi kepada
pencapaian hasil.
2. Macam Permainan.
Menurut sifatnya permainan dapat dibedakan:
a. Permainan gerak atau disebut juga permainan fungsi yakni: per mainan yang
dilaksanakan anak dengan gerakan-gerakan, dengan tujuan untuk melatih fungsi
organ tubuh melatih panca indera.
Contoh: Anak melempar-lemparkan benda menggerak-gerakan kaki meremas-
remas benda dan lain-lain.
b. Permainan fantasi atau peran, yakni seorang anak melakukan permainan karena
dipengaruhi oleh fantasinya. Ia memerankan suatu kegiatan, seolah-olah
sungguhan.
Contoh: Bermain mobil-mobilan dengan membalikkan kursi ber peran sebagai
ABRI. sebagai ayah, mantan dan lain-lain.
c. Permainan Receptif (menerima), yakni anak mengadakan permainan
berdasarkan atas ransangan yang diterima dari luar baik melalui cerita, atau
gambar serta kegiatan lain yang sangat dilihat anak.
Contoh: Asyik melihat gambar/TV, tidak mau mandi seperti cerita yang ia
terima, dan lain-lain.
d. Permainan bentuk yakni; anak mencoba membentuk (konstruksi) suatu karya
atau juga merusak (destruktif) suatu karya yang ada, karena ingin tahu atau
ingin merubahnya.
18
Permainan ini ada tingkatannya:
1) Membuat sesuatu, tetapi belum dapat memberi nama.
2) Membuat sesuatu, dan dapat memberi nama.
3) Menentukan dan membuat nama dulu, sebelum membuat sesuatu.
4) Membuat sesuatu, sudah lengkap agak mirip dengan kondisi bentuk
sebenarnya yang dikehendaki.
3. Teori-teori Permainan
a. Teori Atavistis (Keturunan). Diajukan oleh: Stanley Hall; bahwa permainan
yang dilakukan anak adalah warisan, dari kebiasaan nenek moyang yang
bersifat turun-temurun, dengan demikian ke giatan tersebut hanya merupakan
pengulangan kembali dari yang dilakukan nenek moyang sejak berabad-abad
lalu. Teori ini didasar kan pada teori Rekapitulasi.
b. Teori Pengosongan. Diajukan oleh Herbert Spancer-dikatakan bahwa kegiatan
bermain dilakukan karena anak memiliki kelebihan tenaga sebab jika tidak
dilepaskan atau dikosongkan adanya kele bihan tenaga itu, akan mengganggu
kejiwaan anak. Maka cara menghilangkannya dengan melalui bergerak dan
bermain-main.
c. Teori Pemulihan Tenaga (Recreasi). Dianjurkan oleh Schaller dar Lazarus
diungkapkannya bahwa setelah seseorang mengadakan kegiatan maka dia
merasa lelah banyak tenaga terbuang, kemudian membutuhkan tenaganya untuk
dipulihkan kembali melalui dua cara yaitu:
1) Cara pasif dengan tidur, istirahat.
2) Cara aktif dengan melakukan permainan.
d. Teori Persiapan. Disampaikan oleh Karl Groos didukung pula oleh Maria
Montessori, pendapat ini mengatakan Anak bermain itu suatu pendapat untuk
keperluan kehidupannya kelak.
e. Teori Menurut Ilmu Jiwa Dalam. Yang mengemukakan teori ini adalah S.
Freud dan Adler, dikatakannya bahwa permainan adalah merupakan dorongan
kejiwaan sebagai ekspresi dari keinginannya untuk menang dan berkuasa.
19
Sehingga permainan adalah sarana untuk menyalurkan kompleks-kompleks
terdesak yang ada pada bawah sadar dalam jiwa seseorang.
4. Tingkatan Permainan Anak
Secara garis besarnya permainan anak melalui tahapan:
a. Umur 0;0 - 1;0 Anak bermain dengan diri sendiri digunakannya kaki, tangan,
suara, kemudian alat mainan.
b. 1;0-2:0 Anak bermain dengan menirukan sesuatu.
c. 2;0 - 3:0 Bermain sendiri tetapi ada dorongan untuk ber sama orang lain.
d. 3:0-5:0 Bermain bersama orang lain, dalam status yang sama.
e. 5;0-6:0 Bermain bersama di bawah pimpinan seseorang di antara kawannya,
meskipun sering terjadi perselisihan.
f. 6;0-8:0 Anak dapat bersandiwara, dengan suatu cerita yang teratur, iapun
tunduk kepada pimpinannya.
g. 8;0-12:0 Anak sudah suka bermain yang mengandung ketelitian serta perlu
kecerdasan dan ketrampilan.
20
Oleh karena itu pengembangan perasaan ke-Tuhanan anak dapat dimulai sedini
mungkin melalui tanggapan, dan bahasa anak. Mula mula anak mungkin akan selalu
kagum terhadap orang tuanya yang selalu sayang dan lain-lain. Hal tersebut sangatlah
penting untuk pembinaan kejiwaan anak, untuk nantinya di bawah kepada pemaham
an, kekaguman terhadap yang lebih sayang lagi, Maha kasih, Maha Sayang yakni
Tuhan Allah SWT.
Pembinaan berikutnya anak harus dibiasakan untuk mengikuti melakukan kegiatan
keagamaan atau dibiasakan dalam suasana ke agamaan, yang sudah barang tentu
kesemuanya diiringi dengan contoh atau teladan yang baik. Pada tingkatan berikutnya
anak baru diberi pengertian tentang ajaran atau norma-norma keagamaan untuk dapat
dipatuhinya secara baik. Dalam hal yang berkaitan dengan ketaatan dan kepatuhan
seseorang terhadap suatu sistem nilai, termasuk nilai-nilai keagamaan. L. Kohlberg,
secara teoritis mengemukakan, bahwa sese orang dalam mengikuti tata nilai agar
menjadi insan kamil itu melalui 6 (enam) stadium (tingkatan) yaitu:
Stadium 2 Anak bersikap koformis untuk memperoleh hadiah agar dipandang orang
baik.
Stadium 3 Anak bersikap konfomis untuk menghindari celaan orang lain agar
disenanginya.
Stadium 4 Anak bersikap konforsis untuk menghindari hukuman yang diberikan bagi
beberapa tingkah laku tertentu dalam kehidupan bersama.
Stadium 6 Melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar,
melainkan karena keyakinan sendiri untuk melakukannya.
21
Dari teori tersebut dapat dipahami, jika ada seseorang anak taat beragama baru
sampai pada taraf karena takut pada orang tua, guru Agama, ingin penghargaan,
dipuji dan lain-lain. Tidak perlu terburu buru untuk dimarahi, atau dihina, tetapi
sebaiknya harus dibimbing terus agar sampai pada taraf kesadaran dirinya di dalam
melakukan kegiatan keagamaan.
22