Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

GAGAL JANTUNG KONGESTIF AKIBAT STENOSIS KATUP MITRAL


PEMBIMBING : dr. Abdul Halim Raynaldo, Sp.JP

PENYUSUN : M.KHAIRUNA SYAHPUTRA


(110100073)
ANDI ROY SITUMORANG
HEAN HOONG LIOW

(110100193)
(110100217)

KEPANITERAAN KLINIK RSUP HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

ii

LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan pada tanggal :
Nilai :

Desember 2015

(dr. Abdul Halim Raynaldo, Sp.JP)

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
GAGAL

JANTUNG

KONGESTIF

AKIBAT

STENOSIS

KATUP

MITRAL. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dokter
pembimbing, dr.

Abdul

Halim

Raynaldo,

Sp.JP, yang telah

iii

meluangkan waktunya untuk membimbing penyusunan laporan kasus ini,


sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini berguna bagi semua
pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 8 Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ vi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................... 2
BAB 2 STATUS PASIEN ..................................................................... 3
BAB 3 PEMBAHASAN DAN DISKUSI .............................................. 14
3.1 Congestive Heart Failure ....................................................... 14
3.1.1
Definisi ....................................................................... 14
3.1.2
Epidemiologi ............................................................... 14
3.1.3
Etiologi ....................................................................... 15
3.1.4
Patofisiologi ................................................................ 17
3.1.4.1 Mekanisme Kompensasi ............................... 18
3.1.5
Manifestasi Klinis, Diagnosa, dan Diagnosa Banding.. 20
3.1.5.1 Manifestasi Klinis ........................................ 20
3.1.5.2 Diagnosa ...................................................... 24

iv

3.1.5.3 Diagnosa Banding ........................................ 24


3.1.6
Penatalaksanaan ......................................................... 24
3.1.7
Prognosis .................................................................... 32
3.2 Penyakit Jantung Koroner .................................................... 33
3.2.1
Definisi ...................................................................... 33
3.2.2
Patogenesis aterosklerosis .......................................... 33
3.2.3
Manifestasi Klinis ...................................................... 34
3.2.4
Faktor Resiko ............................................................. 35
3.2.4.1 Hiperkolestrolemia ....................................... 35
3.2.4.2 Obesitas ........................................................ 35
3.2.4.3 DM ............................................................... 35
3.2.4.6 Hipertensi ..................................................... 36
3.2.4.5 Faktor Lain ................................................... 36
3.2.5
Diagnosa ..................................................................... 36
3.2.6
Penatalaksanaan .......................................................... 37
BAB 4 PEMBAHASAN ........................................................................ 39
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 42

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4

Manifestasi Klinis Gagal Jantung


Klasifikasi Gagal Jantung
Klasifikasi Berdasarkan Kelainan Struktural Jantung
Terapi Gagal Jantung Menurut Derajat Gagal Jantung

DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4

Etiologi Gagal Jantung


Mekanisme Kompensasi Neurohormonal
Algoritma Diagnostik Gagal Jantung
Strategi Pengobatan Pada Pasien Gagal Jantung

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan

struktural ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan


pengisian ventrikel dan ejeksi darah ke seluruh tubuh. Insiden gagal jantung dalam
setahun diperkirakan 2,3-3,7 per 1000 penderita per tahun. Gagal jantung susah
dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis, serta tidak spesifiknya
tanda-tanda

pada

tahap

awal

penyakit.

Perkembangan

diagnosis

terkini

memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini, serta perkembangan


pengobatan yang memperbaiki gejala klinis dan kualitas hidup akan memperlambat
progresivitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup.1
Sindroma gagal jantung bisa diakibatkan oleh berbagai macam penyakit jantung
yang mengurangi kemampuan memompa. Penyakit yang sering menyebabkan gagal
jantung diantaranya adalah penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, dan
penyakit jantung katup.2
Stenosis katup mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran
darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral
leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan
pengisian ventrikel kiri saat diastol. Demam rematik merupakan penyebab utama dari
kelainan katup ini. Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal
jantung kongestif di negara-negara berkembang.3 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di berbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki
urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit
jantung.4 Kelainan katup ini merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup
yang bersifat progresif dan terus-menerus. Biasanya perjalanan penyakit yang stabil
dan lambat pada awal tahun akan diikuti dengan percepatan yang progresif beberapa
tahun kemudian.
1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
pertanyaan dasar sebagai berikut: bagaimana patofisiologi, gambaran klinis, diagnosa
serta penatalaksanaan untuk gagal jantung kongestif dan stenosis katup mitral.
1.3

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah:
a. Memahami teori mengenai gagal jantung
b. Memahami teori mengenai stenosis katup mitral
c. Memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskuler RS Haji Adam Malik Medan.

1.4

Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini adalah:
a. Memperkuat landasan teori ilmu kedokteran di bidang ilmu kardiologi dan
kedokteran vaskuler, khususnya mengenai penyakit katup jantung yang
berujung pada gagal jantung.
b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami topik-topik
lebih lanjut yang berkaitan dengan gagal jantung

BAB 2
STATUS PASIEN
Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rekam Medik
No

: 00.66.07.61

Tanggal : 2 December 2015

Hari

: Rabu

Nama Pasien : Ruliah

Umur

: 64 tahun

Seks

Pekerjaan

Alamat

: Kabanjahe

Agama : Islam

: IRT

Keluhan utama
Anamnesa
-

: Perempuan

: Sesak Nafas
:

Hal ini sudah dialami os 3 bulan bersifat hilang timbul dan memberat dalam
2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas awalnya dirasakan pada saat
os melakukan aktivitas sedang seperti menyapu rumah. Namun

3 hari

sebelum masuk rumah sakit sesak nafas dirasakan semakin memberat bahkan
-

saat os beristirahat. PND (+), OP (+), DOE(+).


Riwayat bengkak pada kaki disangkal dan riwayat nyeri dada tidak dijumpai.
Mual (-), muntah (-), keringat malam (-). Riwayat hipertensi dan DM

disangkal. Riwayat merokok disangkal.


Os juga mengeluh demam hilang timbul selama 1 minggu sebelum masuk

rumah sakit dan hilang dengan obat penurun panas.


Riwayat batuk diikuti demam dialami 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
dan disertai nyeri di tenggorakan. Dahak (+), warna kehijauan dengan volume

5 cc. Riwayat nyeri sendi disangkal. Riwayat penurunan berat badan (+).
Sebelumnya os berobat ke RS Haji oleh Sp. JP dan didiagnosis dengan
penyakit katup jantung. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-).

Faktor risiko PJK


: Wanita, menopause (usia 69 tahun)
Riwayat penyakit terdahulu : Tidak jelas
Riwayat pemakian obat
: Tidak jelas
Status Presens:
KU: Lemah
RR: 28 x/m
Dispnoe:(+)

Kesadaran: Compos Mentis TD: 100/50 mmHg


Temp: 36,7C
Sianosis:(-)
Ikterus:(-)
Edema pretibial:(+)

Pemeriksaan Fisik :
Kepala : Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
: Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal
Leher : JVP : R+2 cmH2O

HR:82 x/m
Orthopnoe:(+)
Pucat:(-)

Dinding toraks : Inspeksi


Palpasi
Perkusi

: Simetris Fusiformis
: Stem Fremitus kiri = kanan, kesan normal
: Sonor pada kedua lapangan paru

Batas Jantung :
Atas
: ICS II sinistra
Bawah : Diafragma
Kiri
: ICS V, 1 cm medial LMCS
Kanan
: ICS V LPSD
Auskultasi
Jantung :S1 (N) S2 (N) S3 (-)
S4 (-)
Murmur : (+), tipe :MDM Grade: 2/4,
Puntum Maximum : apex
Paru
: Suara Pernafasan : Bronkial
Suara Tambahan : Ronki (+)
Abdomen: Soepel, H/L/R tidak teraba
Ekstremitas

: Superior : Sianosis (-)


Inferior : Edema (-)
Akral : Hangat

Elektrokardiogram

Interpretasi rekaman EKG :

Reguler/Irreguler
Radiasi:Wheezing : (-)

Asites : (-)
Clubbing (-)
Pulsasi arteri (+)

AF, QRS rate 140x/I, QRS axis RAD, QRS duration 0.06s, T inverted di II, III, avF,
V3-V6, Q patologis di V1, V2, LVH (-), VES (-)
Kesan EKG:
AF RVR + RAD + iskemik inferior anterolateral + omi septal
Foto Toraks

Interpretasi Foto Toraks (AP)


CTR 68%, segmen aorta normal, segmen pulmonal menonjol, pinggang jantung
menonjol, apex jantung downward, kongesti (-), infiltrat (+), sudut kostofrenikus
tumpul
Kesan :
Kardiomegali + efusi pleura + infiltrate

Echokardiografi

Interpretasi Echokardiografi
MS severe, MR moderate, AR mild, TR moderate, PR mild, penebalan dan kalsifikasi
AML dan PML
2D Doppler Cardiac valve : Mitral valve thickened, calcified PML & AML

Hasil Laboratorium:
Hemoglobin : 12.10g%
(11,7 16,1)
6
3
Eritrosit
: 4,23 x 10 /mm
(4,20 4,87)
Leukosit
: 23,65 x 103/mm3
(4,5 11,0)
Hematokrit : 38 %
(38 44)
Trombosit
: 101x 103/mm3
(150 450)
Hati
Biliburbin total:
Bilirubin direk :
SGOT
:
SGPT
:
Albumin
:
Globulin
:
Ginjal
Ureum
: 105mg/dL
(<71)
Kreatinin
: 1,92 mg/dL
( 0,70 1,20)
Elektrolit
Natrium (Na) : 137 mEq/dL
(131- 135)
Kalium (K) : 3.2 mEq/dL
(3,6 -5,5)
Klorida (Cl) : 101 mEq/dL
(96 100)
Analisa Gas Darah (AGDA)
pH
: 7.480 (7.35-7.45)
pCO2
: 31.0 mmHg (38-43)
pO2
: 198.0 mmHg (85-100)
Bikarbonat (HCO3) : 23.1 mmol/L (22-26)
Total CO2
: 24.1 mmol/L (19-25)
Kelebihan Basa
: 0.3{(-2)-(2)}
Saturasi O2
: 100.0 %
Kimia Klinik
Troponin T
: 0.2g/L (0.0-0.1)

EnzimJantung
CK-MB

: 126 U/L (7-25)

MetabolismeKarbohidrat
GlukosaDarahPuasa
: 141 mg/dL (76-110)
GlukosaDarah 2 Jam PP
: 153 mg/dL (76-140)
HbA1c
: 6.6 % (4.8-5.9)
Lemak
Kolesterol Total
: 142 mg/dL (<200)
Trigliserida
: 173 mg/dL (40-200)
Kolesterol HDL
: 33 mg/dL (>65)
Kolesterol LDL
: 74 mg/dL (<150)
Diagnosa kerja
1. Fungsional
2. Anatomi
3. Etiologi

: CHF fc IV ec MS + pneumonia dd TB paru + Hipoalbumin


+AKI dd CKD
: NYHA fc IV
: Katup mitral
: Stenosis mitral

Diferensial Diagnosa :
1. CHF ec AS
Pengobatan:
-

Tirah baring
O2 2-4 L/i via nasal kanul
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)
Inj. Furosemide 1x 40 mg
Spironolakton 1x 25 mg
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Nebule ventolin 2,5 mg/8 jam

- Captopril 3 x 6,25 mg
Rencana pemeriksaan lanjutan :
CRP
ASTO
Kultur dahak
Prognosis: Dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN

TGL
07/12/15

S
O
Sesak nafas Sens: CM
TD:110/70 mmHg
(+)
HR: 80 x/i
berkurang
RR: 26 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata: anemia (-/-), ikterik
(-/-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris
fusiformis

A
P
-CHF fc III ec Tirah Baring
02 2-4 L/i via nasal kanul
MS
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
-AF NVR

(mikro)
Inj.Furosemide 20 mg/ 8

-Suspek

jam
pneumonia dd Inj.Ceftriaxone 1 gr/ 12
TB paru
-AKI dd CKD

jam
Inj.Ciprofloxacin
200mg/12 jam
Drip Dobutamin
7mg/kbBB

Palpasi: sf ka=ki
Perkusi: sonor di kedua
lapangan paru
Auskulasi: S1(+) S2 (+)
S3 (-) S4(-) murmur (+)
tipe MDM grade 2/4
gallop (-)
Pulmo: SP:vesikuler,
ST: ronki basah basal (-)
Abdomen: soepel
Ekstremitas: akral hangat.

Nebule ventolin 2,5 mg/8


jam

10

TGL
08/11/15

O
nafas Sens: CM
TD:100/60 mmHg
(+) berkurang
HR: 82 x/i
RR: 24 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata: anemia (-/-), ikterik
Sesak

(-/-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sf ka=ki
Perkusi: sonor di kedua
lapangan paru
Auskulasi: S1(+) S2 (+) S3
(-) S4(-) murmur (+) tipe
MDM grade 2/4 gallop (-)
Pulmo: SP:vesikuler,
ST: ronki basah basal (-)
Abdomen: soepel
Ekstremitas: akral hangat.

A
P
-CHF fc III Tirah Baring
02 2-4 L/i via nasal kanul
ec MS
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
-AF NVR
-Suspek
pneumonia
dd TB paru

(mikro)
Inj. Furosemide 20 mg/
8 jam
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12
jam
Inj. Ciprofloxacin
200mg/12 jam
Drip Dobutamin
5mcg/kbBB
N-acetyl cystein 200mg
3x1
Rencana: Analisa cairan
pleura, mantoux test, dan
mikrobiologi cairan
pleura

11

TGL
09/12/15

S
Sesak nafas

O
Sens: CM
TD:100/60 mmHg
(+) berkurang
HR: 82 x/i
RR: 22 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata: anemia (-/-),
ikterik (-/-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris
fusiformis
Palpasi: sf ka=ki
Perkusi: sonor di kedua
lapangan paru
Auskulasi: S1(+) S2 (+)
S3 (-) S4(-) murmur (+)
tipe MDM grade 2/4
gallop (-)
Pulmo: SP:vesikuler,
ST: ronki basah basal (-)
Abdomen: soepel
Ekstremitas:akral hangat.

A
P
-CHF fc III ec Tirah Baring
02 2-4 L/i via nasal kanul
MS
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
-AF NVR

(mikro)
Inj. Furosemide 20 mg/

-Suspek

8 jam
pneumonia dd Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12
TB paru

jam
Inj. Ciprofloxacin
200mg/12 jam
Drip Dobutamin
5mcg/kbBB
N-acetyl cystein 200mg
3x1

12

TGL
10/12/15

S
Sesak nafas
(+)berkurang

O
Sens: CM
TD:90/60 mmHg
HR: 84 x/i
RR: 24 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata: anemia (-/-), ikterik
(-/-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O

A
-CHF fc III
ec MS
-AF NVR
-Pneumonia
+ efusi
pleura

Thoraks
Inspeksi: simetris
fusiformis
Palpasi: sf ka=ki
Perkusi: sonor di kedua

P
Tirah Baring
02 2-4 L/i via nasal kanul
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
(mikro)
Inj. Furosemide 20 mg/ 8
jam
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Inj. Ciprofloxacin 200mg/12
jam
Drip Dobutamin
5mcg/kbBB
N-acetyl cystein 200mg 3x1

lapangan paru
Auskulasi: S1(+) S2 (+)
S3 (-) S4(-) murmur (+)
tipe MDM grade 2/4
gallop (-)
Pulmo: SP:vesikuler,
ST: ronki basah basal (-)
Abdomen: soepel
Ekstremitas:akral hangat.
Hasil mantoux :
Undulasi: 0 mm, gatal (-),
hiperemis (-), kesan :
Mantoux test negatif
BAB 3
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
3.1 Congestive Heart Disease
3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis dimana jantung, melalui suatu
kelainan fungsi jantung (terdeteksi atau tidak), gagal untuk memompa darah pada
tingkat yang sepadan dengan kebutuhan jaringan metabolisme atau mampu
melakukannya hanya dengan tekanan diastolik tinggi. Banyak definisi tentang

13

gagal jantung telah dibuat, yang kesemuanya menitikberatkan pada satu atau
beberapa faktor tentang hemodinamik, konsumsi oksigen, dan kemampuan
melakukan aktivitas.4
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa:
1) Gejala gagal jantung: nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat
melakukan aktifitas, disertai/atau kelelahan.
2) Tanda-tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki.
3) Adanya bukti obeyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat.4
3.1.2 Epidemiologi
Diperkirakan 1-2% dari populasi dunia menderita penyakit gagal jantung
kongestif dengan prevalensi yang terus meningkat. Sekitar 5-10 orang diprediksi
menderita gagal jantung kongestif dari 1000 penduduk dunia.5
Di Amerika Serikat, insidensi gagal jantung kongestif ditemukan sebanyak
500.000 orang dan prevalensi gagal jantung kongestif sebanyak 5 juta orang setiap
tahun. Angka mortalitas akibat gagal jantung kongestif juga cukup tinggi, kurang
lebih 300.000 jiwa setiap tahun.5
Sedangkan di Jawa Timur, prevalensi pasien gagal jantung kongestif yang
menjalani rawat inap ulang dalam satu tahun sebesar 52.21% sementara yang
dirawat ulang lebih dari satu kali dalam waktu satu tahun sebesar 44.79%. Untuk
Indonesia sendiri belum ada gambaran yang jelas mengenai prevalensi kejadian
rawat inap ulang khususnya untuk kota Medan.6
3.1.3 Etiologi
Berbagai kondisi yang menuju ke perubahan struktur atau fungsi dari
ventrikel kiri dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gagal jantung pada
seorang pasien, meskipun etiologi gagal jantung pada pasien dengan Ejection
Fraction (EF) yang terpelihara berbeda dari gagal jantung dengan EF yang
terdepresi, banyak etiologi yang tumpang tindih dari kedua keadaan tersebut.
Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab yang dominan pada 60-75%
pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita di Negara-negara industri.
Hipertensi memberi kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada
75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi

14

memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada diabetes mellitus.7


Jantung memiliki mekanisme kompensasi di dalam mengatasi penurunan
fungsi pompa jantung, sehingga pada umumnya pasien gagal jantung akan tetap
asimtomatik, hingga adanya faktor presipitasi yang memperberat keadaan,
sehingga pada pasien mulai timbul gejala, faktor-faktor yang dapat bertindak
sebagai faktor presipitasi dalam gagal jantung adalah infeksi, aritmia, infark
jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, emosi atau konsumsi garam berlebih,
emboli paru, hipertensi, miokarditis, demam reumatik, dan endokarditis infektif.7
Infeksi dapat memperberat keadaan gagal jantung, karena pada infeksi
terdapat demam, takikardia, dan hipoksemia, yang kemudian akan meningkatkan
kebutuhan metabolik, dan berakibat pada perburukan dari gagal jantung. Lebih
jauh lagi, aritmia adalah salah satu faktor presipitat yang sering memperburuk
fungsi pompa jantung. Mekanisme yang terjadi antara lain melalui penurunan
waktu untuk pengisian ventrikel sehingga menyebabkan disfungsi miokardium
iskemik, peningkatan tekanan atrium, gangguan sinkronisasi pompa jantung, serta
penurunan curah jantung akibat penurunan dari kontraksi jantung.7
Emboli paru dapat mencetuskan gagal jantung, dikarenakan kemampuannya
untuk meningkatkan tekanan arteri pulmonalis. Anemia memperburuk gagal
jantung dikarenakan pada keadaan ini, jantung mengalami kegagalan untuk
mengkompensasi kebutuhan oksigen jaringan tubuh dengan jalan meningkatkan
curah jantung. Peningkatan cepat dari tekanan arterial sebagaimana terlihat pada
pasien hipertensi malignan, dapat menyebabkan dekompensasi. Penyakit jantung
reumatik dan miokarditis dapat menyebabkan infeksi dan inflamasi pada otot
jantung, yang kemudian dapat menyebabkan atau memperburuk gagal jantung.8
Berikut merupakan etiologi gagal jantung berdasarkan bagian jantung yang
terganggu:
Fungsi jantung yang terganggu
a. Penyakit miokardial
Kardiomiopati
Miokarditis
Insufisiensi koroner
Infark miokard
b. Penyakit katup jantung
Penyakit jantung stenosis

15

Penyakit jantung regurgitasi


c. Penyakit jantung bawaan
d. Perikarditis konstriktif
Kerja yang berlebih
a. Peningkatan kerja tekanan
Hipertensi sistemik
Hipertensi pulmonal
Koartasi aorta
b. Peningkatan kerja volum
AV shunt
Pemberian cairan IV berlebih
c. Peningkatan kerja perfusi
Tiroktoksikosis
Anemia
3.1.4 Patofisiologi
Gagal jantung

kronis

dapat

terjadi

kardiovaskular. Etiologinya dapat dikelompokkan

akibat

berbagai

gangguan

berdasarkan (1) gangguan

kontraktilitas ventrikel, (2) peningkatan after load, (3) gangguan relaksasi dan
pengisian ventrikel (gambar 3.1). Gagal jantung yang terjadi akibat abnormalitas
pengosongan ventrikel ( oleh karena gangguan kontraktilitas atau peningkatan
afterload) disebut sebagai disfungsi sistolik, selain itu gagal yang disebabkan oleh
abnormalitas relaksasi diastolic atau pengisian ventrikel disebut sebagai disfungsi
diastolik.

16

Gambar 3.1. Etiologi Gagal Jantung9


Beberapa kondisi Penyebab gagal jantug kongestif antara lain:10
1. Disfungsi Sistolik
2. Disfungsi Diastolik
3. Penyakit Katup Jantung
4. Penyakit Jantung Iskemik
5. Hipertensi
6. Aritmia
7. Miokarditis
8. Thyrotoxicosis
9. Physical, Dietary, Fluid and Environmental Factor
10. Anemia
11. Kehamilan
12. Emboli Paru
13.
Drug Induced
14. Tobacco Smoking
3.1.4.1 Mekanisme Kompensasi9

17

Karena terjadi penurunan cardiac output pada pasien gagal jantung maka
tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencegah penurunan cardiac
output dan membantu

menjaga tekanan darah untuk perfusi ke organ vital.

Kompensasi ini yaitu mekanisme Frank-Starling, perubahan neurohormonal,


perkembangan hipertrofi ventrikel dan remodeling.
Pada pasien gagal jantung yang mengalami penurunan volume sekuncup
maka lama kelamaan darah akan tertumpuk di ventrikel sehingga menyebabkan
otot-otot jantung semakin teregang. Otot jantung yang semakin teregang akan
mengaktifkan mekanisme frank-starling dimana akan menyebabkan kontraksi
otot jantung yang lebih kuat sehingga volume sekuncup menjadi besar. Akan
tetapi mekanisme ini mempunyai batasan, sehingga pada suatu saat darah akan
kembali tertumpuk hingga pada atrium kanan, vena pulmonaris dan kapiler paru
sehingga menyebabkan terjadinya kongesti paru dan edema paru.
Perubahan neurohormonal yang terjadi disebabkan oleh penurunan curah
jantung. Perubahan neurohormonal yang terjadi adalah peningkatan aktivitas saraf
simpatis, peningkatan sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan peningkatan
produksi hormon anti-diuretik (ADH). Cara kerja mekanisme kompensasi pada
perubahan hormonal dapat dilihat pada gambar 2. Mekanisme kompensasi
perubahan hormonal mempunyai efek yang baik pada keadaan akut,tetapi pada
keadaan yang kronik akan memperburuk keadaan gagal jantung. Hal ini
disebabkan oleh karena terjadinya remodelling dan hipertrofi pada ventrikel
sehingga ventrikel menjadi lebih kaku dan tidak dapat memompa secara
maksimal.

18

Gambar 3.2. Mekanisme Kompensasi Neurohormonal10


Selain

ketiga

mekanisme

tersebut

juga

terdapat

beberapa

peptida

menguntungkan yang disekresi pada pasien gagal jantung yaitu natriuretic


peptide yang dimana akan disekresikan apabila terjadi peningkatan tekanan
intrakardiak. Terdapat 2 jenis natriuretic peptide yang telah dipelajari dengan
baik yaitu atrial natriuretic peptide (ANP) dan b-type natriuretic peptide (BNP).
ANP akan disekresi apabila terjadi distensi pada atrium, sedangkan BNP disekresi
apabila terdapat stres hemodinamik pada otot-otot ventrikel seperti gagal jantung
atau pada saat infark miokard. Kedua peptida ini bekerja dengan cara
mengekskresi natrium dan air, vasodilatasi, menginhibisi sekresi renin dan
mengantagonis efek dari angiotensin II. Walaupun peptida ini menguntungkan
tetapi tidak cukup untuk mengantagonis efek vasokonstriksi dan efek penahanan
volume yang disebabkan oleh aktivasi hormonal lainnya.9
3.1.5 Manifestasi Klinis, Diagnosis dan Diagnosis Banding
3.1.5.1 Manifestasi Klinis
Tipikal
- Sesak nafas
- Ortopnoe

Spesifik
- Peningkatan JVP
- Refluks hepatojugular

19

- Paroxysmal nocturnal dyspnoe


- Toleransi aktifitas yang berkurang
- Cepat lelah
- Begkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal
- Batuk di malam / dini hari
- Mengi
- Berat badan bertambah >2 kg/minggu
- Berat badan turun (gagal jantung
stadium lanjut)
- Perasaan kembung/ begah
- Nafsu makan menurun
- Perasaan bingung (terutama pasien

- Suara jantung S3 (gallop)


- Apex jantung bergeser ke lateral
- Bising jantung
Kurang tipikal
- Edema perifer
- Krepitasi pulmonal
- Sura pekak di basal paru pada perkusi
- Takikardia
- Nadi ireguler
- Nafas cepat
- Hepatomegali
- Asites
- Kaheksia

usia lanjut)
- Depresi
- Berdebar
- Pingsan
Tabel 3.1. Manifestasi Klinis Gagal Jantung11
Klasifikasi fungsional penyakit gagal jantung menurut New York Heart
Association (NYHA):
Kelas
Kelas I

Keterangan
Tidak
terdapat

batasan

dalam

melakukan aktifitas fisik. Aktivitas fisik


sehari
Kelas II

hari

tidak

menimbulkan

kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas


Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, namun
aktivitas

fisik

sehari

hari

menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau


Kelas III

sesak nafas.
Terdapat batasan aktivitas bermakna.
Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi

aktivitas

fisik

ringan

menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau


sesak nafas

20

Kelas IV

Tidak dapat melakukan aktivitas fisik


tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
istirahat.

Keluhan

meningkat

saat

melakukan aktivitas
Tabel 3.2. Klasifikasi Gagal Jantung12
Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung:
Stadium
Stadium A

Keterangan
resiko
tinggi

Memiliki

untuk

berkembang menjadi gagal jantung.


Tidak terdapat gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda
Stadium B

atau gejala
Telah terbentuk
jantung

yang

penyakit

struktur

berhubungan

dengan

perkembangan gagal jantung, tidak


Stadium C

terdapat tanda atau gejala


Gagal jantung yang
berhubungan

Stadium D

simtomatik

dengan

penyakit

struktural jantung yang mendasari


penyakit jantung struktural lanjut serta
gejala

gagal

jantung

yang

sangat

bermakna saat istirahat walaupun sudah


mendapat

terapi

medis

maksimal

(refrakter)
Tabel 3.3. Klasifikasi Berdasarkan Kelainan Struktural Jantung13
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada
pasien dengan dugaan gagal jantung.Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik
normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45-50%).11

21

Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama,


dan konduksi jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan segmen ST
iskemik untuk kemungkinan STEMI atau non-STEMI.11
Pemeriksaan foto thoraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai
derajat kongesti paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain.
Kardiomegali merupakan temuan yang penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif
vena lobus atas, edema vaskular, edema interstisial, dan cairan alveolar
membuktikan adanya hipertensi pulmonal.11
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan:11

Anemia
Prerenal azotemia
Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat menimbulkan risiko aritmia
Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin angiotensin aldosterone)
Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan
tekanan intraventrikular, seperti gagal jantung
Selain itu kadar kreatinin, glukosa, albumin, enzim hati, dan INR dalam

darah juga perlu dievaluasi. Sedikit peningkatan troponin jantung dapat terjadi
pada pasien gagal jantung.11
Analisis gas darah memungkinkan penilaian oksigen (pO2), fungsi respirasi
(pCO2) dan keseimbangan asam basa (pH), terutama pada semua pasien dengan
distres pernafasan.11
3.1.5.2. Diagnosa11

22

Gambar 3.3. Algoritma Diagnostik Gagal Jantung


3.1.5.3. Diagnosis Banding10
a. Cor Pulmonale Chronic
b. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
c. Acute Respiratory Distress Syndrome
d. Pneumonia
3.1.6

Penatalaksanaan

Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah: 11


Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-

bahan farmakologis.
Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi
diuretik diet dan istirahat

1. Penatalaksanaan Farmakologi11

23

Beberapa pilihan obat-obatan pada pasien dengan gagal jantung, antara


lain:
I.

ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)


Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal

jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. ACEI memperbaiki


fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan

bukti A). ACEI kadang- kadang

menyebabkan

perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan


angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
II. PENYEKAT
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
III. ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
IV.

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung

dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
V. HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)

24

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,


kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
VI. DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40% dengan

irama sinus, digoksin dapat mengurangi

gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal


jantung ,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
VII. DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Tujuan dari
pemberian diuretic adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Terapi pada gagal jantung menurut derajat gagal jantung9
Derajat
NYHA I

Untuk survival/ morbiditas


Untuk gejala
Lanjutkan ACE inhibitor / ARB jika Pengurangan/

hentikan

intoleran ACE inhibitor, lanjutkan diuretik


antagonis aldosteron jika pasca-MI.
NYHA II

Tambah penyekat beta jika pasca MI.


ACE inhibitor sebagai terapi lini +/-

diuretik

tergantung

pertama, ARB jika intoleran ACE pada retensi cairan


inhibitor. Tambah penyekat beta dan
NYHA III

NYHA IV

antagonis aldosteron jika pasca MI.


ACE inhibitor + ARB atau ARB. Jika + diuretik + digitalis jika
intoleran ACE sendiri
Penyekat beta
Tambah antagonis aldosterone
Lanjutkan ACE inhibitor/ ARB
Penyekat beta
Antagonis aldosteron

masih simptomatik
+ diuretik + digitalis +
consider support inotrope

25

sementara
Tabel 3.4. Terapi Gagal Jantung Menurut Derajat Gagal Jantung
2. Terapi Non- Farmakologi 9
I. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam

keberhasilan

pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
II. Ketaatan Pasien Berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
III. Pemantauan Berat Badan Mandiri
Pasien harus memantau berat badan

rutin setap hari, jika terdapat

kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik
atas peritmbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
IV. Asupan Cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
V. Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasiIIa, tingkatan bukti C).
VI. Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi
I, tingkatan bukti C).
VII. Latihan fisik

26

Latihan

fisik direkomendasikan

kepada semua pasien gagal jantung

kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
VIII. Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III, tingkatan bukti B).

Gambar 3.4. Strategi Pengobatan Pada Pasien Gagal Jantung Kronik Simptomatik
(NYHA fc II-IV).13
3.1.7

Prognosis

14

27

Pasien gagal jantung memiliki prognosis yang buruk. Dalam satu


randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang
mengalami dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah 9,6% dan apabila
dikombinasi dengan perawatan ulang 60 hari menjadi 35,2%. Angka kematian
lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat, dengan
mortalitas 30% dalam 12 bulan. Pada pasien edema paru akut, angka kematian di
rumah sakit 12% dan mortalitas 1 tahun 40%.
Prediktor mortalitas tinggi antara lain Pulmonary Capillary Wedge
Pressure yang tinggi, sama atau lebih dari 16 mmHg, kadar natrium yang rendah,
dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat, dan konsumsi oksigen puncak yang
rendah.
Sekitar 45% pasien gagal jantung akan dirawat ulang paling tidak satu
kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama.
3.2 Stenosis katup mitral
3.2.1 Definisi
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari
atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral.1
Penyebab stenosis mitral paling sering demam rematik, penyebab lain adalah
karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid artritis, mukopolisakaridosis dan
kelainan bawaan.
3.2.2 Patogenesis
Rematik karditis akut adalah pankarditis yang melibatkan perikardium,
miokardium, dan endokardium. Daerah dengan iklim sedang serta negara maju
interval terjadinya rematik karditis dengan munculnya stenosis mitral berkisar
antara 10-20 tahun. Negara tropis, subtropis dan negara-negara berkembang
interval dapat lebih pendek. Tanda khas dari rematik karditis akut adalah aschoff
nodule. Lesi paling sering pada rematik endokarditis adalah mitral valvulitis.
Katup mitral mengalami vegetasi pada garis penutupan katup dan korda. Stenosis
mitral biasanya terjadi akibat episode berulang dari karditis yang diikuti dengan
penyembuhan dan ditandai dengan deposisi jaringan fibrosa. Stenosis mitral
terjadi akibat dari fusi dari komisura, kuspis, korda atau kombinasi dari ketiganya.
Hasil akhir katup yang mengalami deformitas terjadi fibrosis dan kalsifikasi. Lesi

28

tersebut akan berlanjut dengan fusi dari komisura, kontraktur dan penebalan dari
leaflets katup. Korda mengalami pemendekan dan fusi. Kombinasi ini akan
menyebabkan penyempitan dari orifice katup mitral yang membatasi aliran darah
dari LA (Left Atrium) dan LV (Left Ventricle).
Pada orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2.
Adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang
dari 2 cm2, darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika
didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara
abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral
berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan
untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang normal. Tekanan
atrium kiri yang meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan vena dan kapiler
pulmonalis, yang mengurangi daya kembang (compliance) paru dan menyebabkan
dispnea pada waktu pengerahan tenaga (exertional dyspnea, dyspnea d effort).
Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian klinis yang
meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang selanjutnya
mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai beratnya obstruksi,
penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler maupun kecepatan aliran.
Gradien tekanan bergantung tidak hanya pada curah jantung tapi juga denyut
jantung. Kenaikan denyut jantung memperpendek diastolik secara proporsional
lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran yang
melalui katup mitral. Oleh karena itu, pada setiap tingkat curah jantung tertentu,
takikardia

menambah

tekanan

meningkatkan tekanan atrium kiri.

gradien

transvalvuler

dan

selanjutnya

29

Tekanan diastolik ventrikel kiri normal pada stenosis mitral saja; penyakit katup
aorta, hipertensi sistemik, regurgitasi mitral, penyakit jantung iskemik yang terjadi
secara bersamaan dan mungkin kerusakan sisa yang ditimbulkan oleh miokarditis
reumatik kadang-kadang bertanggung jawab terhadap kenaikan yang menunjukan
fungsi ventrikel kiri yang terganggu dan/atau menurunkan daya kembang
ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam
berkurangnya fraksi ejeksi dan kecepatan memendek serabut yang mengelilingi,
terjadi pada sekitar seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat
berkurangnya preload kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam
miokardium yang berdekatan.
Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-rata dan
pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan menunjukan
kontraksi atrium yang menonjol dan tekanan bertahap menurun setelah
pembukaan katup mitral. Pada pasien dengan stenosis mitral ringan sampai
sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis

30

mungkin mendekati batas atas normal pada waktu istirahat dan meningkat seiring
dengan exercise. Pada stenosis mitral berat dan kapan saja ketika resistensi
vaskuler paru naik, tekanan arteri pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien
sedang istirahat, dan pada kasus ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik.
Kenaikan tekanan atrium kiri, kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis
selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan sistolik arteri pulmonalis melebihi
kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis mitral, atau pada keadaan dengan
lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterload ventrikel kanan
menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan diastolik akhir dan
volume ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme kompensasi
3.2.3 Gejala dan tanda stenosis mitral
Gejala yang lazim dirasakan oleh pasien dengan stenosis mitral adalah
cepat lelah, sesak nafas bila aktivitas (dyspnea d effort) yang makin lama makin
berat. Pada stenosis mitral yang berat, keluhan sesak nafas dapat timbul saat tidur
malam (nocturnal dyspnea), bahkan dalam keadaan istirahat sambil berbaring
(orthopnea).
Irama jantung berdebar terkadang juga dapat didengar apabila terdapat fibrilasi
atrium. Keadaan lebih lanjut bisa ditemukan batuk darah (hemoptysis), akibat
pecahnya kapiler pulmonalis karena tingginya tekanan arteri pulmonalis; keluhan
ini bisa disalahartikan sebagai batuk darah akibat TBC, apalagi pasien stenosis
mitral berat biasanya kurus. Pasien stenosis mitral juga kadang baru diketahui
setelah terkena stroke, terutama bila ada fibrilasi atrium yang mempermudah
terbentuknya trombus di atrium kiri dan kemudian lepas menyumbat pembuluh
darah otak. Pemeriksaan fisik dapat dijumpai malar facial flush, gambaran pipi
yang merah keunguan akibat curah jantung yang rendah, tekanan vena jugularis
yang meningkat akibat gagal ventrikel kanan. Kasus yang lanjut dapat terjadi
sianosis perifer. Denyut apikal tidak bergeser ke lateral, dorongan kontraksi
ventrikel kanan pada bagian parasternal dapat dirasakan akibat dari adanya
hipertensi arteri pulmonalis. Auskultasi dapat dijumpai adanya S1 akan mengeras,
hal ini hanya terjadi bila pergerakan katup mitral masih dapat fleksibel. Bila sudah
terdapat kalsifikasi dan atau penebalan pada katup mitral, S1 akan melemah. S2
(P2) akan mengeras sebagai akibat adanya hipertensi arteri pulmonalis. Opening

31

snap terdengar sebagai akibat gerakan katup mitral ke ventrikel kiri yang
mendadak berhenti, opening snap terjadi setelah tekanan ventrikel kiri jatuh di
bawah tekanan atrium kiri pada diastolik awal. Jika tekanan atrium kiri tinggi
seperti pada stenosis mitral berat, opening snap terdengar lebih awal. Opening
snap tidak terdengar pada kasus dengan kekakuan, fibrotik, atau kalsifikasi daun
katup. Bising diastolik bersifat low-pitched, rumbling dan dekresendo, makin
berat stenosis mitral makin lama bisingnya. Tanda auskultasi stenosis mitral yang
terpenting untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS interval yang
pendek dan lamanya rumble diastolik.
3.2.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari rontgen toraks pada pasien stenosis mitral
didapatkan pembesaran segmen pulmonal, pembesaran atrium kiri, karina bronkus
yang melebar dan bisa didapatkan gambaran hipertensi vena pulmonalis, serta
efusi pleura.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk membantu
menegakan diagnosis stenosis mitral adalah dengan metode noninvasif
ekokardiografi. Ekokardiografi merupakan metoda yang sangat sensitif dan
spesifik untuk mendiagnosis stenosis mitral. Two dimensional color Doppler flow
echocardiographic

imaging

dan

Doppler

echocardiography

memberikan

informasi yang kritis, mencakup perkiraan atau penilaian perbedaan transvalvuler


dan ukuran orifisium mitral, adanya regurgitasi mitral serta tingkat keparahan
yang menyertai stenosis mitral, luasnya restriksi daun-daun katup, tebalnya daun
katup dan derajat distorsi aparatus subvalvuler. 13

32

Ekokardiografi juga memberikan penilaian ukuran ruang-ruang jantung, perkiraan


tekanan arteri pulmonalis dan indikasi mengenai adanya regurgitasi trikuspid dan
pulmonal serta derajat keparahannya yang terkadang menyertai kejadian stenosis
mitral.
Pada pasien dengan stenosis mitral sedang sampai parah, EKG dapat
menunjukkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri (durasi gelombang P di lead II>
0,12 detik, gelombang P sumbu 45 ke -30 ditandai komponen negatif terminal ke
gelombang P di V1 [1 mm lebar dan 1 mm mendalam]) dan, umumnya, fibrilasi
atrium. Sebuah QRS berarti sumbu di bidang frontal lebih besar dari 80 dan rasio
lebih besar dari 1 R-to-S dalam memimpin V1 menunjukkan adanya hipertrofi
ventrikel kanan. Sebagai keparahan meningkat hipertensi pulmonal, QRS berarti
sumbu di pesawat bergerak frontal ke arah kanan
Pasien dengan MS hemodinamik signifikan hampir selalu memiliki bukti
pembesaran atrium kiri pada pandangan lateral dan oblik anterior kiri. Pembesaran
arteri paru, ventrikel kanan, dan atrium kanan (serta atrium kiri) umumnya terjadi
pada pasien dengan MS berat.. Mitral Stenosis akan memperlihatkan pembesaran
bayangan jantung dikarenakan tingginya tekanan atrium kiri. Awalnya rheumatic
Mitral Stenosis didistribusikan oleh atrium kiri ke arteri pulmonaris lalu lobus
bagian atas dari paru-paru. Kemudian arteri pulmonaris membesar seiring dengan
terjadinya hipertensi pada arteri pulmonaris. Pada foto thorax akan tampak
membesar atrium kiri, ventrikel kanan dan cabang-cabang dari arteri pulmonalis
3.2.4 Tata Laksana
Manajemen medis MS terutama diarahkan berikut: (1) pencegahan demam
rematik berulang, (2) pencegahan dan pengobatan komplikasi MS, dan (3)
perkembangan pemantauan penyakit untuk memungkinkan intervensi pada titik
waktu yang optimal. Pasien dengan MS yang disebabkan oleh penyakit jantung
rematik harus menerima penisilin profilaksis untuk beta-hemolitik infeksi
streptokokus untuk mencegah demam rematik berulang,
Terapi antikoagulan diindikasikan untuk pencegahan emboli sistemik pada
pasien MS dengan AF (persisten atau paroxysmal) dengan emboli sebelumnya
(bahkan jika dalam ritme sinus), dan didapatkan trombus atrium kiri.
Pasien tanpa gejala dengan ringan sampai sedang penyakit katup mitral
rematik harus memiliki pemeriksaan sejarah dan fisik setiap tahunnya, dengan

33

echocardiography setiap 3 sampai 5 tahun untuk stenosis ringan, setiap 1 sampai 2


tahun untuk stenosis moderat, dan setiap tahun untuk stenosis yang parah.
Evaluasi lebih sering sesuai untuk setiap perubahan dalam tanda-tanda atau gejala.
Semua pasien dengan MS yang signifikan harus disarankan untuk menghindari
pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang berat.
Pada pasien dengan MS berat, dengan gejala persisten setelah intervensi
atau ketika intervensi tidak mungkin, terapi medis dengan diuretik oral dan
pembatasan asupan natrium dapat meningkatkan gejala. Glikosida digitalis tidak
mengubah hemodinamik dan biasanya tidak bermanfaat bagi pasien dengan MS
dan ritme sinus, tetapi obat ini nilai dalam memperlambat laju ventrikel pada
pasien dengan AF dan dalam merawat pasien dengan sisi kanan gagal jantung.
Hemoptisis dikelola oleh langkah-langkah yang dirancang untuk
mengurangi tekanan vena paru, termasuk sedasi, asumsi dari posisi tegak, dan
diuresis agresif. Beta-blocking agen dan tingkat perlambatan-antagonis kalsium
dapat meningkatkan kapasitas latihan dengan mengurangi denyut jantung pada
pasien dengan irama sinus, terutama pada pasien dengan AF.
Pengobatan Aritmia
AF merupakan komplikasi yang sering dari MS parah. Manajemen AF
untuk pasien dengan MS mirip dengan manajemen untuk AF dari setiap penyebab.
Namun, biasanya lebih sulit untuk memulihkan dan mempertahankan ritme sinus
karena overload tekanan atrium kiri dalam hubungannya dengan efek dari proses
rematik pada jaringan atrium dan sistem melakukan.
Pengobatan langsung AF meliputi pemberian heparin intravena diikuti
oleh warfarin oral. Tingkat ventrikel harus diperlambat, sebagaimana dinyatakan
dalam American College of Cardiology / American Heart Association (ACC /
AHA) pedoman untuk pengelolaan AF, awalnya dengan beta blocker intravena
atau nondihydropyridine antagonis saluran kalsium, diikuti dengan panjangtingkat jangka kontrol dengan dosis oral agen ini. Ketika obat ini tidak efektif atau
ketika kontrol tingkat tambahan diperlukan, digoksin atau amiodarone dapat
dipertimbangkan. Digoxin saja untuk jangka panjang pengelolaan AF dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan disfungsi LV bersamaan atau gaya hidup.
Upaya yang harus dilakukan untuk membangun kembali ritme sinus
dengan kombinasi pengobatan farmakologis dan kardioversi. Jika kardioversi

34

direncanakan pada pasien yang telah memiliki AF selama lebih dari 24 jam
sebelum prosedur, antikoagulasi dengan warfarin selama lebih dari 3 minggu
ditunjukkan. Atau, jika hasil TEE tidak menunjukkan trombus atrium, kardioversi
langsung bisa dilakukan asalkan pasien secara efektif dengan antikoagulan
heparin intravena sebelum dan selama prosedur, dan dengan warfarin kronis
sesudahnya. Paroksismal AF dan konversi berulang, spontan atau diinduksi,
membawa risiko embolisasi.
Pada pasien yang tidak dapat diubah atau dipertahankan dalam ritme sinus,
digitalis harus digunakan untuk mempertahankan tingkat ventrikel saat istirahat di
sekitar 60 denyut / menit. Jika hal ini tidak mungkin, dosis kecil agen betablocking, seperti atenolol (25 mg sehari) atau metoprolol (50 sampai 100 mg
sehari), dapat ditambahkan. Beta blockers sangat membantu dalam mencegah
respon ventrikel yang cepat yang berkembang saat beraktivitas. Cardioversions
ulangi beberapa tidak diindikasikan jika pasien gagal mempertahankan ritme sinus
sedangkan pada dosis yang memadai dari suatu antiarrhythmic.
Pasien dengan AF kronis yang menjalani perbaikan atau penggantian
bedah MV MV dapat menjalani prosedur maze (operasi kompartemen atrium).
Lebih dari 80% dari pasien yang menjalani prosedur ini dapat dipertahankan
dalam ritme sinus pasca operasi dan dapat kembali fungsi atrium normal,
termasuk. tingkat keberhasilan yang memuaskan pada mereka dengan pembesaran
atrium kiri yang signifikan. Intervensi dini dengan perkutan valvotomi dapat
mencegah perkembangan AF.
1.
Mitral valvotomi
Percutaneous Balloon Mitral Valvotomi
Pasien dengan MS ringan sampai sedang yang tidak menunjukkan gejala
sering tetap demikian selama bertahun-tahun, dan hasil klinis mirip dengan usiacocok pasien normal. Namun, MS parah atau gejala dikaitkan dengan miskin hasil
jangka panjang jika stenosis tidak lega mekanis. Percutaneous BMV adalah
prosedur pilihan untuk pengobatan MS sehingga intervensi bedah sekarang
disediakan untuk pasien yang memerlukan intervensi dan tidak kandidat untuk
prosedur perkutan.

35

BMV dianjurkan untuk pasien dengan gejala sedang sampai berat MS (yaitu, area
katup mitral <1 cm2/m2 luas permukaan tubuh [BSA] atau <1,5 cm2 di berukuran
normal dewasa) dan dengan morfologi katup menguntungkan, tidak ada atau MR
ringan, dan tidak ada bukti trombus atrium kiri. Bahkan gejala-gejala ringan,
seperti penurunan halus dalam toleransi latihan, merupakan indikasi untuk
intervensi karena prosedur mengurangi gejala dan meningkatkan hasil jangka
panjang dengan risiko rendah prosedural. Selain itu, BMV direkomendasikan
untuk pasien tanpa gejala dengan sedang sampai parah ketika MS obstruksi katup
mitral telah mengakibatkan hipertensi pulmonal dengan tekanan sistolik paru
lebih besar dari 50 mm Hg pada saat istirahat atau 60 mm Hg dengan olahraga.

GAMBAR 5. Strategi Manajemen untuk pasien dengan stenosis mitral. F / U =


tindak lanjut, LA = kiri atrium, MVA = daerah katup mitral, PAP = arteri tekanan
sistolik paru, PBMV = perkutan balon valvotomi mitral.

36

Pada pasien mitral stenosis simptomatik (area katup < 1,5 cm 2 atau 1,7-1,8
cm2 pada kasus khusus) diindikasikan tindakan intervensi.adapaun jenis - jenis
tindakan intervensi adalah:
a. Intervensi non bedah yaitu Percutaneus Mitral Balloon Valvulotomy (PMBV)
Indikasi dilakukannya PMBV adalah :
Indikasi

Kelas

EBM
1. Pasien simptomatik klasifikasi NYHA II-IV, stenosis I
mitral sedang atau berat dengan area < 1,5 cm2,
morfologi katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, II a
tanpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat.
II a
2. Pasien asimptomatik dengan gradasi sedang-berat (area <
1,5 cm2), morfologi katup memenuhi syarat dengan

II b

hipertensi pulmonal, tanpa adanya thrombus atrium kiri


atau regurgitasi mitral sedang-berat.
II b
3. Pasien dengan klasifikasi NYHA II-IV, stenosis mitral
III
2
sedang atau berat dengan area < 1,5 cm , katup tidak
pliable disertai kalsifikasi dengan resiko tinggi operasi,
tanpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat.
4. Pasien asimptomatik dengan gradasi sedang-berat (area <
1,5 cm2), morfologi katup memenuhi syarat untuk
valvotomi balon, disertai onset atrial fibrilasi yang baru, ,
tanpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat.
5. Klasifikasi NYHA III-IV, gradasi sedang berat area < 1,5
cm2, katup kaku disertai kalsifikasi dan resiko rendah
untuk operasi.
6. Pasien dengan stenosis mitral ringan
BMV juga masuk akal untuk pasien bergejala yang berisiko tinggi untuk
operasi, bahkan ketika morfologi katup tidak ideal, termasuk pasien dengan
restenosis setelah BMV sebelumnya atau commissurotomy sebelumnya yang
tidak cocok untuk operasi karena resiko yang sangat tinggi. Ini termasuk pasien

37

lemah sangat tua, pasien dengan penyakit jantung iskemik yang berat terkait,
pasien yang MS rumit oleh penyakit paru, ginjal, atau neoplastik, wanita usia
subur di antaranya pengganti MV tidak diinginkan, dan wanita hamil dengan MS.
Prosedur dari PMBV adalah dengan memasukkan balon kateter melalui
vena femoralis kanan menuju atrium kiri melalui atrial septum, kemudian
sesampainya di orifisium katup mitral, balon dikembangkan sehingga katup mitral
melebar dan aliran darah kembali lancar.
Kontraindikasi PMBV :
Area katup mitral > 1,5 cm2, trombus di atrial kiri, regurgitasi mitral
derajat sedang atau lebih, kalsifikasi berat bikomisura, tanpa ada fusi komisura,
bersamaan dengan kelainan katup aorta berat, kombinasi stenosis/regurgitasi berat
tricuspid, PJK yang memerlukan bedah pintas koroner.
BMV dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan moderat untuk AF MS
dan baru-onset parah dan orang-orang dengan MS ringan ketika hipertensi
pulmonal signifikan hadir (lihat Gambar. 66-23). Dalam kelompok terakhir, ada
kemungkinan bahwa obstruksi katup adalah penyebab hipertensi paru, bahkan
ketika keparahan stenosis tidak memenuhi kriteria katup daerah untuk obstruksi
parah.
Teknik ini terdiri dari perkutan memajukan kateter balon apung kecil di
septum interatrial (setelah pungsi transseptal), memperbesar pembukaan,
memajukan (23 - sampai 25-mm) besar berbentuk jam pasir balon (balon Inoue),
dan menggembungkan itu dalam lubang (Gambar 66-24) [121] Atau, dua lebih
kecil (15 - sampai 20-mm). side by side balon melintasi lubang mitral dapat
digunakan. Teknik ketiga melibatkan retrograde, pelebaran nontransseptal dari
katup mitral, di mana balon diposisikan di katup mitral menggunakan kawat
pemandu steerable.
Pemisahan commissural dan fraktur kalsium nodular tampaknya
mekanisme yang bertanggung jawab untuk perbaikan dalam fungsi katup. Dalam
beberapa seri, hasil hemodinamik BMV telah menguntungkan (Gambar 66-25),
dengan pengurangan gradien tekanan transmitral dari rata-rata sekitar 18 sampai 6
mm Hg (lihat Bab. 59), (kecil rata-rata, 20 %) peningkatan curah jantung, dan dua
kali lipat rata-rata daerah katup mitral dihitung, dari 1 sampai 2 cm2 [113-115]
Hasil. terutama mengesankan pada pasien muda tanpa penebalan katup berat atau

38

kalsifikasi (lihat Gambar. 66-19) . Resistensi pembuluh darah paru Peningkatan


menurun dengan cepat, meskipun biasanya tidak sepenuhnya. Angka kematian
dilaporkan telah berkisar dari 1% sampai 2%.
Komplikasi termasuk emboli serebral dan perforasi jantung, masingmasing sekitar 1% dari pasien, dan pengembangan MR cukup parah memerlukan
operasi di lain 2% (sekitar 15% lebih rendah berkembang, tapi masih tidak
diinginkan, derajat MR). Sekitar 5% dari pasien yang tersisa dengan cacat kecil
septum atrium sisa, tapi ini menutup atau menurun dalam ukuran di sebagian
besar. Jarang, cacat cukup besar untuk menyebabkan sisi kanan gagal jantung,
komplikasi ini paling sering terlihat dalam hubungannya dengan valvotomi mitral
berhasil.
Kemungkinan manfaat hemodinamik dan risiko komplikasi dengan BMV
diperkirakan oleh fitur anatomi katup stenosed. Katup menebal kaku dengan
fibrosis Subvalvular luas dan kalsifikasi menyebabkan hasil suboptimal. Salah
satu sistem penilaian echocardiographic membagi pasien menjadi tiga kelompokmereka yang lentur yang, daun katup anterior noncalcified dan penyakit chordal
kecil (kelompok 1), noncalcified daun katup mereka yang lentur yang, anterior
tapi dengan penebalan chordal dan shortening (<10 mm panjang, kelompok 2) ,
dan orang-orang dengan bukti fluoroscopic kalsifikasi dari setiap tingkat aparat
katup (kelompok 3). Event-free survival pada 3 tahun yang tertinggi untuk
kelompok 1 (89%) dibandingkan dengan kelompok 2 (78%) atau kelompok 3.
(65%).
Dengan sistem penilaian alternatif echocardiographic., kekakuan leaflet,
brosur penebalan, kalsifikasi katup, dan penyakit Subvalvular masing-masing
mencetak gol dari 0 sampai 4. Sebuah skor 8 atau rendah biasanya dikaitkan
dengan akibat langsung dan jangka panjang yang sangat baik, sedangkan skor
melebihi 8 berhubungan dengan hasil kurang mengesankan, termasuk risiko
pengembangan MR. Kalsifikasi commissural juga merupakan prediktor dari hasil
yang buruk.
TEE harus dilakukan sesaat sebelum BMV untuk mengecualikan thrombus
atrium kiri dan mengkonfirmasi bahwa MR tidak sedang atau berat. TEE juga
sesuai untuk evaluasi keparahan MS dan morfologi katup mitral bila gambar

39

transtorakal suboptimal, namun aparat chordal kurang baik divisualisasikan


dibandingkan

dengan

pencitraan

transthoracic.

Selama

prosedur,

echocardiography transthoracic, transesophageal, atau intracardiac digunakan


untuk memantau penempatan kateter dan balon, menilai hasil hemodinamik
setelah inflasi masing-masing, dan mendeteksi komplikasi seperti MR.
Pada pasien dengan temuan anatomi yang sesuai, hasil jangka panjang
yang menguntungkan, dengan tingkat kelangsungan hidup yang sangat baik tanpa
cacat fungsional atau kebutuhan untuk operasi atau mengulangi BMV. Sebuah uji
coba secara acak prospektif di mana pasien dengan MS berat secara acak untuk
menjalani BMV, ditutup bedah valvotomi, atau valvotomi bedah terbuka memiliki
hasil klinis yang serupa dengan BMV dan teknik bedah terbuka yang unggul hasil
bedah valvotomi tertutup.
Setelah 7 tahun, daerah katup mitral adalah setara di BMV dan kelompok
bedah terbuka, baik secara signifikan lebih besar dibandingkan pada kelompok
valvotomi tertutup. Dalam studi lain acak yang mencakup pasien yang lebih tua
dengan morfologi katup kurang menguntungkan, dibandingkan dengan bedah
terbuka commissurotomy, pasien secara acak BMV mengalami peningkatan yang
lebih kecil di daerah katup dan kemungkinan lebih tinggi dari restenosis (28%
versus 18% pada 4 tahun). Hasil yang sangat baik juga telah dilaporkan pada
anak-anak dan remaja di negara berkembang, di mana pasien cenderung lebih
muda. Pasien-pasien muda biasanya memiliki katup lentur, yang ideal untuk
BMV.
2.
Bedah Valvotomi
Tiga pendekatan operasi yang tersedia untuk pengobatan MS rematik: (1)
valvotomi

mitral

tertutup

menggunakan

pendekatan

transatrial

atau

transventricular, (2) terbuka valvotomi (yaitu, valvotomi dilakukan di bawah


penglihatan langsung dengan bantuan cardiopulmonary bypass, yang dapat
dikombinasikan dengan teknik perbaikan lainnya, seperti reseksi leaflet, prosedur
chordal, dan annuloplasty saat MR hadir, dan (3) MV pengganti Intervensi bedah
untuk MS dianjurkan untuk pasien dengan MS berat dan gejala yang signifikan
(NYHA kelas. III atau IV) ketika BMV tidak tersedia, BMV merupakan
kontraindikasi karena beratnya thrombus atrium kiri atau sedang sampai parah
MR, atau ketika katup kalsifikasi dan risiko bedah dapat diterima. Pendekatan
bedah disukai adalah katup perbaikan (terbuka valvotomi , dengan atau tanpa
prosedur tambahan) bila memungkinkan. Operasi juga masuk akal untuk pasien

40

dengan MS berat dan hipertensi pulmonal berat ketika BMV tidak mungkin dan
dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan moderat untuk MS berat dengan
kejadian emboli berulang meskipun antikoagulasi.
Closed Mitral Valvotomi
Valvotomi mitral tertutup jarang digunakan di Amerika Serikat saat ini,
yang telah digantikan oleh BMV, yang lebih efektif pada pasien yang adalah
kandidat untuk valvotomi mitral tertutup. Valvotomi mitral tertutup lebih populer
di negara-negara berkembang, di mana biaya operasi jantung terbuka dan bahkan
kateter balon untuk BMV merupakan faktor penting dan di mana pasien dengan
MS yang lebih muda dan karena itu memiliki katup lebih lentur. Namun, bahkan
di negara-negara, valvotomi mitral tertutup sedang digantikan oleh BMV.
Prosedur ini dilakukan tanpa cardiopulmonary bypass, tetapi dengan
bantuan dari dilator transventricular. Ini adalah operasi yang efektif, asalkan MR,
trombosis atrium, atau kalsifikasi katup tidak serius dan bahwa fusi chordal dan
shortening tidak parah. Echocardiography berguna untuk memilih kandidat yang
cocok untuk prosedur ini dengan mengidentifikasi pasien tanpa kalsifikasi katup
atau fibrosis padat. Jika memungkinkan, valvotomi mitral tertutup harus
dilakukan dengan pompa siaga, jika ahli bedah tidak dapat mencapai hasil yang
memuaskan, pasien dapat ditempatkan pada bypass cardiopulmonary dan
valvotomi yang dilakukan di bawah penglihatan langsung atau katup diganti.
Rata-rata, daerah katup mitral yang meningkat sebesar 1 cm2, dengan
hanya 20% sampai 30% dari pasien yang membutuhkan penggantian MV dalam
waktu 15 tahun. Tingkat kematian di rumah sakit adalah 1% sampai 2% di pusatpusat berpengalaman. Perbaikan gejala ditandai terjadi pada kebanyakan pasien,
dan ada baik kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dipilih dengan skor
gema rendah. Jangka panjang tindak lanjut telah menunjukkan bahwa hasil yang
terbaik jika operasi dilakukan sebelum kronis AF dan / atau gagal jantung telah
terjadi, dan tingkat komplikasi yang lebih tinggi ketika katup kalsifikasi dan / atau
sangat menebal.
Open Valvotomi
Kebanyakan ahli bedah sekarang lebih memilih untuk melaksanakan visi
langsung atau valvotomi terbuka. Operasi ini paling sering dilakukan pada pasien
dengan MS yang mitral katup terlalu terdistorsi atau kalsifikasi untuk BMV.

41

Cardiopulmonary bypass didirikan dan, untuk mendapatkan hati, kering tenang,


suhu tubuh biasanya diturunkan, jantung ditangkap, dan aorta yang tersumbat
sebentar-sebentar. Trombi dikeluarkan dari atrium kiri dan embel-embel, dan yang
terakhir sering diamputasi untuk menghapus potensi sumber emboli pasca operasi.
Para commissures yang menorehkan dan, bila perlu, menyatu korda tendinea
dipisahkan, otot papiler yang mendasari dibagi, dan daun katup d? Brided
kalsium.
MR ringan atau bahkan moderat dapat dikoreksi dengan menggunakan
pendekatan yang sama seperti untuk perbaikan MR primer. Tekanan atrium dan
LV Kiri diukur setelah bypass telah dihentikan untuk mengkonfirmasi bahwa
valvotomi telah efektif. Ketika itu belum efektif, upaya lain dapat dibuat. Bila
perbaikan tidak mungkin-biasanya karena distorsi parah dan kalsifikasi dari katup
dan aparat Subvalvular, disertai MR yang tidak dapat dikoreksi-MV pengganti
harus dilakukan. Pada pasien dengan AF, labirin atrium kiri atau prosedur ablasi
AF biasanya dilakukan pada saat operasi untuk meningkatkan kemungkinan
jangka panjang ritme sinus. Valvotomi Open layak dan sukses di lebih dari 80%
dari pasien yang dirujuk untuk prosedur ini, dengan mortalitas operasi dari 1%,
tingkat reoperation untuk penggantian MV dari 0% sampai 16% pada 36-53
bulan, dan 10-tahun kelangsungan hidup aktuaria tingkat 81% sampai 100%.
Restenosis Setelah Valvotomi
Valvotomi mitral, baik perkutan atau operasi dan terbuka atau tertutup,
adalah paliatif daripada kuratif dan, bahkan ketika sukses, ada beberapa tingkat
disfungsi katup mitral sisa. Karena katup tidak normal pasca operasi, aliran
turbulen biasanya berlangsung di wilayah paravalvular, dan trauma yang
dihasilkan mungkin memainkan peran dalam restenosis. Perubahan ini sejalan
dengan perkembangan bertahap dari obstruksi dalam katup aorta bikuspid
kongenital dan tidak biasanya hasil dari demam rematik berulang. Kemungkinan
bahwa proses kalsifikasi leaflet tindih dan kekakuan meningkat ditumpangkan
pada katup rematik mirip dengan perubahan kalsifikasi terlihat pada stenosis
katup aorta.
Atas dasar klinis saja, berdasarkan munculnya kembali gejala, kejadian
restenosis telah diperkirakan berkisar luas, dari 2% menjadi 60%. Kambuhnya

42

gejala biasanya tidak disebabkan oleh restenosis tetapi mungkin disebabkan oleh
satu atau lebih dari kondisi berikut: (1) operasi pertama tidak memadai dengan
stenosis residual, (2) peningkatan beratnya MR, baik di operasi atau sebagai
akibat dari infeksi endokarditis, (3) perkembangan penyakit katup aorta, atau (4)
perkembangan penyakit arteri koroner. Restenosis Benar terjadi dalam waktu
kurang dari 20% dari pasien yang diikuti selama 10 tahun.
Dengan demikian, pada pasien benar dipilih, valvotomi mitral, namun
dilakukan-perkutan BMV, bedah tertutup atau terbuka valvotomi-adalah prosedur
berisiko rendah yang menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam ukuran
lubang mitral dan menguntungkan mengubah perjalanan klinis yang lain penyakit
yang progresif. Tekanan arteri paru jatuh cepat dan tegas ketika obstruksi mitral
secara efektif lega. Kebanyakan pasien mempertahankan perbaikan klinis selama
10 sampai 15 tahun masa tindak lanjut. Ketika prosedur kedua diperlukan karena
kemerosotan gejala, katup biasanya kalsifikasi dan lebih serius cacat
dibandingkan pada saat operasi pertama, dan rekonstruksi yang memadai tidak
mungkin. Dengan demikian, pengganti MV sering diperlukan pada saat itu.
Penggantian Katup Mitral
MV pengganti dianjurkan untuk pasien dengan gejala MR parah ketika
BMV atau bedah perbaikan MV tidak mungkin. Biasanya, MV pengganti
diperlukan untuk pasien dengan MS gabungan dan MR sedang atau berat, orangorang dengan kalsifikasi commissural yang luas, fibrosis parah, dan fusi
Subvalvular, dan mereka yang telah menjalani valvotomi sebelumnya. Tingkat
kematian untuk rentang operasi penggantian MV terisolasi dari 3% menjadi 8% di
sebagian besar pusat dan rata-rata 6,04% dalam basis data yang besar dari 16.105
operasi seperti untuk pasien dengan MS dan / atau MR dilaporkan dalam Society
of Thoracic Surgeons (STS) Nasional Database.
Katup prostetik yang berhubungan dengan peningkatan risiko karena
kerusakan katup dan antikoagulan kronis, sehingga ambang untuk operasi harus
lebih tinggi pada pasien yang menunjukkan bahwa evaluasi pra operasi
penggantian MV mungkin diperlukan dibandingkan pasien yang valvotomi saja
tampaknya ditunjukkan.
Umumnya, katup mekanik lebih disukai ketika pengganti MV untuk MS
diperlukan bila AF hadir karena kebutuhan untuk antikoagulasi kronis. Pada

43

pasien yang lebih muda dari 65 tahun yang berada dalam ritme sinus, katup
mekanis adalah wajar karena risiko kerusakan jaringan katup dan kebutuhan
kemungkinan untuk operasi kedua di masa depan. Namun, beberapa pasien yang
lebih muda dapat memilih katup bioprosthetic untuk pertimbangan gaya hidup,
meskipun risiko kerusakan katup. Sebuah katup bioprosthetic tepat pada pasien
yang tidak dapat mengambil warfarin dan wajar dalam setiap pasien yang lebih
tua dari 65 tahun.
MV pengganti ditunjukkan dalam dua kelompok pasien dengan MS yang
katup tidak cocok untuk valvotomi: (1) orang-orang dengan luas katup mitral
lebih kecil dari 1,5 cm2 di NYHA kelas III atau IV, dan (2) orang-orang dengan
MS berat (katup mitral daerah 1 cm2), NYHA Kelas II, dan hipertensi pulmonal
berat (tekanan sistolik arteri paru> 60 mm Hg). Karena risiko kematian operasi
mungkin tinggi (10% sampai 20%) pada pasien di NYHA kelas IV, operasi harus
dilakukan sebelum pasien mencapai tahap ini jika mungkin. Di sisi lain, bahkan
seperti pasien berisiko tinggi tidak boleh ditolak pilihan ini kecuali mereka
memiliki kondisi komorbiditas yang menghalangi operasi atau hasil yang
memuaskan.
Prognosis
Apabila timbul atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25% angka
harapan hidup 10 tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46% angka
harapan hidup 10 tahun). Hal ini dikarenakan angka resiko terjadinya emboli
arterial secara bermakna meningkat pada atrium fibrilasi.

BAB 4

44

PEMBAHASAN
TEORI

KASUS
os menderita CHF fc IV ec MS

Etiologi gagal jantung:


Fungsi jantung yang terganggu
e. Penyakit miokardial
Kardiomiopati
Miokarditis
Insufisiensi koroner
Infark miokard
f. Penyakit katup jantung
Penyakit jantung stenosis
Penyakit jantung regurgitasi
g. Penyakit jantung bawaan
h. Perikarditis konstriktif
Kerja yang berlebih
d. Peningkatan kerja tekanan
Hipertensi sistemik
Hipertensi pulmonal
Koartasi aorta
e. Peningkatan kerja volum
AV shunt
Pemberian
cairan

IV

berlebih
f. Peningkatan kerja perfusi
Tiroktoksikosis
Anemia
Tanda dan gejala:
Gagal jantung kiri : dispnea, orthopnea, Os
PND,

lelah,

sesak

nafas,

takikardi, PND,orthopnea.
Pada pemeriksaan fisik didapati suara
takipnea, bronki, P2 keras, S3 gallop.
pernafasan tambahan ronki, dan
Gagal jantung kanan : edema perifer,
murmur diastolic tipe MDM grade 2/4.
rasa kurang nyaman di kuadran perut
kanan

berkeringat,

mengeluhan

atas,distensi

vena

jugular,

hepatomegali, edem perifer.


Stenosis

mitral

bersifat low-pitched,

Bising

diastolik

rumbling

dan

45

dekresendo, makin berat stenosis mitral


makin lama bisingnya.

Pemeriksaan penunjang:
Pada EKG 12 lead
gambaran

abnormal

seluruh

penderita

meskipun

gambaran

Interpretasi rekaman EKG :


didapatkan

pada
gagal
normal

hampir
jantung,
dapat

AF, QRS rate 140x/I, QRS axis RAD,


QRS duration 0.06s, T inverted di II,
III, avF, V3-V6, Q patologis di V1, V2,
LVH (-), VES (-)

dijumpai pada 10 % kasus. Gambaran


yang sering didapatkan antara lain
gelombang

Q,

abnormalitas

ST-T,

Kesan EKG:
AF NVR + RAD + iskemik inferior
anterolateral + omiseptal

hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch


Kesan Ekardiografi:
block, dan fibrilasi atrium.
Ekokardiografi memberikan informasi MS severe, MR moderate, AR mild, TR
yang kritis, mencakup perkiraan atau moderate, PR mild, penebalan dan
penilaian perbedaan transvalvuler dan kalsifikasi AML dan PML
ukuran

orifisium

regurgitasi

mitral

mitral,

adanya 2D Doppler Cardiac valve : Mitral

serta

tingkat valve thickened, calcified PML & AML

keparahan yang menyertai stenosis


mitral
Obat-obat yang digunakan antara lain:
1.
2.
3.
4.

Diuretik bila terjadi retensi cairan


ACE-i dan bloker
ARB, bila os tidak toleran ACE-i
Aldosteron antagonis, hidralazine,
ISDN

Tirah baring
O2 2-4 L/i via nasal kanul
IVFD NaCl 0,9% 10

(mikro)
Inj. Furosemide 1x 40 mg
Spironolakton 1x 25 mg
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

gtt/i

46

Nebule ventolin 2,5 mg/8 jam


Captopril 3 x 6,25 mg

BAB 5
KESIMPULAN
Pasien perempuan 62 tahun menderita CHF fc IV ec MS + pneumonia dd
TB paru + Hipoalbumin +AKI dd CKD dan ditatalaksana dengan:
-

Tirah baring
O2 2-4 L/i via nasal kanul
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)
Inj. Furosemide 1x 40 mg
Spironolakton 1x 25 mg
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Nebule ventolin 2,5 mg/8 jam

47

Captopril 3 x 6,25 mg

DAFTAR PUSTAKA
1.

Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the

2.

management of heart failure. American Heart Association 2013; e246


Lefrandt, R.L. (ed.). Sinopsis Organ System: Kardiovaskular. Karisma

3.

Publishing Group, 2014; 144.


Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus
Sindrom Koroner Akut. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik

4.

Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan2006.


Dickenstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P,
Poole-Wilson PA, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatm ent of

5.

acute and chronic heart failure. Eur Heart J. 2008; 29: 2389-2390
Mosterd, A., Hoes, A.W., 2007. Clinical Epidemiology of Heart Failure. In:

6.
7.

Heart 93:11371146. Available from :


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1955040/pdf/1137.pdf
Kementerian Kesehatan RI. Situasi Kesehatan Jantung. 2014
Lupiyatama, S., 2012. Gambaran Peresepan Digoksinpada Pasien Gagal
Jantungyang Berobat Jalan di RSUP dr. Kariadi Semarang. Semarang: FK

8.

UNDIP.
Braunwald E. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald
E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Editors. Harrisons

48

Principle of Internal Medicine. 17th Edition.[internet] New York: McGraw


9.

Hill .
Lilly S. L. Patophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty. Lipincott Williams & Wilkins.2011


10. Dumitru, Ioana. Heart Failure. 2015.Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview
11. Bambang Budi Siswanto, et. al.Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Ed 1.
2015
12. NYHA. Classes of Heart Failure. 1994
13. J.V. McMurray J., Adamopoulos S., et al. ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart
Journal. 2012
14. Luthfi,Omar. Hubungan Antara Riwayat Dislipidemia dengan Angka
Mortalitas Gagal Jantung Akut di Lima Rumah Sakit di Indonesia pada Bulan
Desember 2005 2006. Jakarta: Universitas Indonesia. 2009.
15. Nasional Library of Medicine, 2012. Coronary Heart Disease. Available
from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007115.htm
16. Siregar, A.A. & Lubis, N.E., 2006. Penyakit Jantung Koroner pada Anak dan
Pencegahannya. Available from:
http://usupress.usu.ac.id/files/Bunga%20Rampai%20Kardiologi_Normal_bab
%201.pdf
17. Joewono, B. S., 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga University Press,
Surabaya: 122-129
18. Joewono, Soesetyo Boedi., 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga
University Press, Surabaya.
19. Djohan, T. B. A., 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
20. World Health Organization, 2002. WHO World Health Organization Report
2000, WHO, Genewa.
21. Rubenstein, D., Wayne, D., dan Bradley, J., 2003. Lecture Notes Kedokteran
Klinis. Erlangga, Jakarta
22. Arief, I., 2007. Diagnosis & Pengobatan Penyakit Jantung Koroner (PJK).
National
23. Cardivascular Center Harapan Kita. Available from:
http://www.pjnhk.go.id/content/view/205/31/

Anda mungkin juga menyukai