Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU BEDAH Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN DESEMBER 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

WOUND HEALING PADA ABSES COLLI SINISTRA

Oleh :
Dwi Astuti
105101101720

Pembimbing :
dr. Lukmansyah, Sp.B

(Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Bedah)

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Dwi Astuti
NIM : 105101101720
Judul Referat: Wound Healing Pada Abses Colli Sinistra

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Bedah Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, Desember 2022


Pembimbing,

dr. Lukmansyah, Sp.B

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iv
BAB I LAPORAN KASUS.................................................................................1
A. Identitas Pasien........................................................................................1
B. Anamnesis...............................................................................................1
C. Pemeriksaan Fisik...................................................................................3
D. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................4
E. Laporan Operasi......................................................................................6
F. Diagnosis.................................................................................................8
G. Tindakan..................................................................................................8
H. Prognosis.................................................................................................8
BAB II RESUME.................................................................................................9
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................10
A. Anatomi Kepala dan Leher.....................................................................10
B. Abses Colli..............................................................................................15
C. Penyembuhan luka..................................................................................22
D. Cara Penyembuhan Luka........................................................................24
E. Penyembuhan Jaringan Khusus...............................................................27
F. Gangguan Penyembuhan Luka................................................................30
G. Penanganan Luka....................................................................................33
H. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka........................34
I. Penyulit Penyembuhan Luka...................................................................36
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................38

3
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan
judul “Wound Healing Pada Abses Colli Sinistra” sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah.

Dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapan terima kasih kepada


dosen pembimbing, dr. Lukmansyah, Sp. B yang telah memberikan petunjuk,
arahan dan nasehat dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan kasus
ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih


banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari isi maupun penulisannya. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan itu dimasa yang akan datang.

Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca
secara umum dan penulis secara khusus. Aamiin.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Desember 2022

Penulis

4
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. RS
2. Umur : 55 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Pancana
5. Tanggal Masuk : 20/10/2022
6. No. Rekam Medik : 595913
7. Anamnesis : Autoanamnesis

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama
Luka bernanah di leher kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Syech Yusuf Makassar dengan keluhan utama
luka bernanah pada leher kiri sejak 1 bulan yang lalu, memberat
sejak 1 minggu yang lalu. Pada awalnya teraba benjolan yang
berisi cairan pada leher kiri yang berukuran kecil dan semakin
membesar 1 minggu terakhir, pasien mengeluhkan adanya nyeri.
Kemudian mengaku luka semakin memburuk setelah memberikan
ramuan dan dedaunan pada luka. Pasien juga memiliki gigi
berlubang yang tidak pernah di control dan ditangani oleh dokter
gigi. Lalu pasien datang berobat dan dilakukan pemeriksaan
anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang yang
menunjukkan adanya abses colli sinistra. Keluhan penyerta seperti
demam, nyeri kepala, sesak, batuk, rasa penuh di perut, dan nyeri

5
tulang disangkal. Buang air kecil dan buang air besar kesan baik.
Nafsu makan dan minum baik.
3. Riwayat Menstruasi
Menarche: umur 14 tahun, menopause umur 47 tahun.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Belum pernah mengalami keluhan serupa ssebelumnya. Riwayat
DM tidak terkontrol (+)
5. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
6. Riwayat Operasi
Belum pernah dilakukan operasi sebelumnya.
7. Riwayat Sosial & Pribadi
Riwayat sering mengonsumsi makanan dan minuman tinggi gula
dan tidak rutin mengonsumsi obat DM nya.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda Vital
o Keadaan Umum : Lemah
o Kesadaran : GCS E4M6V5 (Compos mentis)
o Tekanan darah : 120/80 mmHg
o Nadi : 88 x/menit
o Suhu : 36,8’C
o RR : 16x/menit
o SpO2 : 99% tanpa terapi O2
o VAS :4

2. Status Generalis
o Kepala-Leher :

6
a. Kepala : Tidak terdapat hematom, maupun luka
robek
b. Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
c. Hidung : Sekret (-), Darah (-)
d. Telinga : Sekret (-), Darah (-)
e. Leher : Pembesaran KGB (-)

o Thorax :
a. Paru :
o Inspeksi : Bentuk dan Gerak Simetris
o Palpasi : Vocal fremitus dalam batas normal
o Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
o Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler, suara tambahan (-)

b. Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
o Palpasi : Ictus cordis tak teraba
o Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung
o Auskultasi : S1/S2 reguler, bising jantung (-)

o Abdomen :
o Inspeksi : Datar, massa (-)
o Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
o Perkusi : Timpani pada seluruh region abdomen
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba

3. Status Lokalis
Regio colli sinistra:

7
o Inspeksi : Luka terbuka di leher kiri, pus (+), kulit
sekitar hiperemis (+)
o Palpasi : Nyeri tekan di sekitar luka (+), berbatas
jelas

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin pada tanggal 19


Oktober 2022 :

Haemoglobin 9.9 g/dl 12.3-15.3


Hematocrit 29.6 35.9-44.6
Erythrocyte 3.71 x 106/µL 4.10-5.10
White Blood Cell 7.30 x 103/ µL 4.11-11.3
Platelet Count: 301 x 103/µL 150-440
MCV 80.0 fL 80-96.1
MCH 26.5 pg 27.5-33.2
MCHC 33.3 g/L 33.4-35.5

Imunoserologi:

HbsAg Negatif Negatif

Hematologi:
Rapid diagnostic test Negatif Ag Negatif Ag
antigen SARS-Cov-2
Ag
Kimia:

Glukosa Sewaktu HI <200

8
2. Pemeriksaan Laboratorium Darah pada tanggal 20 Oktober
2022 :

Haemoglobin 10.6 g/dl 12.3-15.3


Hematocrit 31.5 35.9-44.6
Erythrocyte 3.98 x 106/µL 4.10-5.10
White Blood Cell 7.64 x 103/ µL 4.11-11.3
Platelet Count: 373 x 103/µL 150-440
MCV 79.1 fL 80-96.1
MCH 26.6 pg 27.5-33.2
MCHC 33.7 g/L 33.4-35.5

CT 7’30’’

BT 3’30”

GDS 293 mg/dl <200

HBsAg Non reaktif Non


reaktif
Anti HIV Negatif Negatif

Tatalaksana Pre-Operasi :
 Infuse RL 28 Tetes/Menit
 Ceftriaxone 1gr/12 jam/IV
 Ranitidine 1 amp/12 jam/IV
 Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
 Rencana operasi Drainase Abses + Debridement pada Kamis
pagi 20/10/2022
 Puasa 6-8 jam
 Konsul Anestesi

9
 Lapor OK (CITO)

E. Laporan Operasi :
Nama : Rahmatia Dg Sangngin
No.RM : 595913
Tanggal Operasi : 20 Oktober 2022
Jenis Anastesi : General Anestesi
Nama Ahli Bedah: dr. Lukmansyah, Sp.B
Diagnosa Pre-OP : Abses Colli Sinistra
Diagnosa Post-OP: Post drainase abses colli sinistra

Laporan :

 Pasien dalam posisi supine dengan General Anestesi


 Desinfeksi area operasi pada colli (s)
 Insisi pada colli (s)  10 x 10 x 8 cm
 Terdapat abses -> 1000 cc pus
Debridement dengan NaCl + betadin dengan kasa
 Kontrol pendarahan
 Bebat tekan dengan kasa steril

Tatalaksana Post-Operasi :

10
 Infus RL 28 tpm
 Ceftriaxone 1 gr/12 Jam/IV
 Ketorolac 30 mg/8 Jam/IV
 Ranitidin 50 mg/12jam/IV
 Metronidazole 500 mg/8 Jam/IV
 GV/hari

Dokumentasi Post Operasi :

11
F. Diagnosis

Abses Colli Sinistra

G. Tindakan

Drainase Abses + Debridement

H. Prognosis

 Ad vitam : dubia ad bonam


 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

12
BAB II

RESUME

Pasien atas nama Ny. RS dengan nomor rekam medik 595913 berumur 55
tahun dirawat di perawatan Bedah RSUD Syech Yusuf dengan post operasi
drainase abses colli sinistra. Adapun anamnesis yang telah dilakukan
menggunakan metode autoanamnesis. Pasien datang dengan keluhan luka
bernanah pada leher kiri sejak 1 bulan yang lalu, memberat sejak 1 minggu yang
lalu. Pada awalnya teraba benjolan yang berisi cairan pada leher kiri yang
berukuran kecil dan semakin membesar 1 minggu terakhir, pasien mengeluhkan
adanya nyeri. Kemudian mengaku luka semakin memburuk setelah memberikan
ramuan dan dedaunan pada luka. Pasien juga memiliki gigi berlubang yang tidak
pernah di kontrol dan ditangani oleh dokter gigi. Lalu pasien datang berobat dan
dilakukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan
penunjang yang mengarah adanya abses colli sinistra. Keluhan penyerta seperti
demam, nyeri kepala, sesak, batuk, rasa penuh di perut, dan nyeri tulang
disangkal. Buang air kecil dan buang air besar kesan baik. Nafsu makan dan
minum baik. Pasien memiliki riwayat penyakit terdahulu berupa Diabetes Melitus
yang tidak terkontrol, terbukti dengan hasil laboratorium glukosa sewaktu pada
tanggal 19 Oktober 2022 adalah HI dan pada tanggal 23 Oktober 2022 hasil
glukosa sewaktu pasien adalah 293 mg/dl. Kondisi DM pada pasien ini
merupakan salah satu faktor risiko untuk kasus abses colli pada pasien. Riwayat
keluarga pasien tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa. Pasien belum
pernah dilakukan operasi sebelumnya. Pasien memiliki Riwayat social dan pribadi
sering mengonsumsi makanan dan minuman tinggi gula dan tidak rutin
mengonsumsi obat DM nya. Setelah dilakukan anamnesis terpimpin, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan fisis berupa inspeksi yang didapatkan tampak luka
bernanah pada daerah leher sebelah kiri, pada palpasi didapatkan nyeri tekan
dengan nilai VAS 4, serta dilakukan pemeriksaan head to toe. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium Darah Rutin

13
pada tanggal 19 Oktober 2022, lalu didapatkan hasil yang bermakna berupa GDS
pasien HI yang mendukung untuk Riwayat penyakit Diabetes Melitus pada
pasien, serta didapatkan nilai hemoglobin 9.9 g/dl yang merupakan nilai abnormal
menunjukkan pasien mengalami anemia. Lalu hasil laboratorium Darah Rutin
khususnya GDS tanggal 20 Oktober 2022 pada pasien adalah 293 mg/dl.
Kemudian pasien dirawat inap di perawatan Bedah dan direncanakan operasi
drainase abses pada tanggal 20 Oktober 2022.
Tatalaksana pre operasi pada pasien berupa infus RL 29 tpm, ceftriaxone 1
gr/12 jam/IV, ranitidine 1 amp/12 jam/IV, ketorolac 30 mg/8 jam/IV, dipuasakan
6-8 jam, konsul anestesi. Operasi dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2022, jenis
anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan diagnose pre operasi
abses colli sinistra, diagnose post operasi adalah post drainase abses colli sinistra.
Untuk laporan operasi pasien dalam posisi supine dengan general anestesi,
desinfeksi area operasi pada colli sinistra, insisi pada colli sinistra  10 x 10 x 8
cm, terdapat abses 1000 cc pus, dilakukan debrideman dengan NaCl + betadin
dengan kasa, dilakukan control pendarahan dan beban tekan dengan kasa steril.
Tatalaksana post operasi berupa infus RL 28 tpm, ceftriaxone 1 gr/12
jam/IV, ketorolac 30 mg/8 jam/IV, ranitidine 50 mg/12 jam/IV, metronidazole
500 mg/8 jam/IV, serta dilakukan perawatan luka tiap hari. Adapun lama pasien
dirawat di perawatan Bedah selama 6 hari lalu pasien diminta untuk control di
Poli Bedah Umum untuk evaluasi penyembuhan luka pasien.

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. ANATOMI

Leher adalah penghubung antara kepala dan tubuh. Area leher memanjang
dari kepala hingga ke bahu dan dada. Sisi inferior leher dibatasi oleh manubrium
sternum, klavikula, hingga acromion. Sedangkan sisi superior dibatasi oleh batas
inferior mandibula, prosesus mastoideus tulang temporal, dan garis nuchal
superior tulang oksipital (Drake dkk., 2015). Batas-batas leher ditunjukan pada
gambar 1.

Gambar 1. Batas-batas leher (Drake dkk., 2015)


Keterangan :
1. Garis nuchal superior
2. Prosesus mastoideus
3. Mandibula
4. Vertebra servikal VII
5. Acromion
6. Manubrium Sternum
7. Klavikula

15
Leher berperan sebagai penyokong kepala, selain itu, leher juga berfungsi
sebagai jalan untuk sumsum tulang belakang, pembuluh darah dan saraf yang
lewat di antara kepala dan tubuh serta jalan masuk ke sistem 6 pencernaan dan
sistem pernafasan. (Hiatt dan Gartner, 2010). Landmark anatomi leher ditunjukan
pada gambar 2.

Gambar 2. Landmark anatomi leher (Hiatt dan Gartner, 2010).


Keterangan :
1. Mandibula
2. Tulang Hyoid
3. Kartilago Tiroid
4. Kelenjar Tiroid
5. Klavikul
6. Otot Trapezius
7. Processus Spinosus V. Cervical 5
8. Otot Sternokleidomastoid

1. Tulang leher
Kerangka tulang leher terdiri dari tujuh vertebra servikal. Vertebra servikal 1
dan 2 memiliki nama khusus yaitu Atlas (C1) dan Axis (C2). Foramina
transversal menjadi pembeda antara vertebra servikal dengan vertebra yang
lain dan berfungsi sebagai tempat lewatnya arteri vertebralis. Prosesus
spinosus vertebra servikal ketujuh merupakan prosesus yang paling panjang
dan mudah teraba dibandingkan dengan vertebra servikal lainnya (Applegate,
2010)

16
2. Otot leher
Otot yang berada di area leher ada banyak, namun kebanyakan adalah otot
kecil yang sulit dibedakan dari otot disekitarnya. Dua otot leher (trapezius
dan sternocleidomastoid) yang membentuk bagian luar 7 sevikal collar
membagi leher menjadi segitiga anterior dan posterior di setiap sisi. Segitiga
anterior dan posterior dari leher ditunjukan pada gambar 3.

Gambar 3. Segitiga anterior dan posterior dari leher (Drake dkk., 2015)
Keterangan :
1. Anterior midline leher
2. Axillary inlet
3. Superior thoracic aperture
4. Klavikula
5. Posterior triangle
6. Anterior triangle
7. Trapezius
8. Sternocleidomastoid

Struktur utama yang melewati kepala dan dada dapat diakses


melalui segitiga anterior. Segitiga posterior sebagian terletak di atas inlet
aksila, dan terhubung dengan struktur saraf dan pembuluh darah yang
masuk dan keluar dari ekstremitas atas (Drake dkk., 2015).

3. Viceral leher
a) Pharynx dan Larynx
b) Trachea
c) Esophagus

17
d) Thyroid & Parathyroid gland
e) Salivary gland (Parotid gland, Submandibular gland, Sublingual gland)
(Applegate, 2010)

4. Pembuluh darah pada leher


Berikut ini adalah pembuluh darah yang terletak di leher :
a) Internal Jugular Veins
b) Common Carotid Arteries
c) Internal Carotid Arteries
d) External Carotid Arteries
e) Vertebral Arteries (Applegate, 2010).

5. Persarafan pada leher


Ada delapan saraf servikal (C1 ke C8) yang terbagi menjadi :
a) C1 ke C7 muncul dari kanal vertebra masing-masing.
b) C8 muncul antara vertebra servikal 7 dan thorakal 1.
Rami anterior C1 hingga C4 membentuk pleksus servikalis.
Cabang utama dari pleksus ini memasok strap muscle, diafragma (saraf
frenikus), kulit pada bagian anterior dan lateral leher, kulit pada
dinding toraks anterior atas, dan kulit pada bagian inferior kepala.
Rami anterior C5 hingga C8, bersama dengan komponen besar
dari ramus anterior T1, membentuk pleksus brakialis, yang
menginervasi ekstremitas atas (Drake dkk., 2015).

6. Sistem limfatik leher


Komponen dari sistem ini termasuk nodus superfisial di sekitar kepala,
nodus servikal superfisial sepanjang vena jugularis eksternal, dan deep
servikal nodus membentuk rantai di sepanjang vena jugularis interna.
Pola dasar drainase adalah pembuluh limfatik superfisialis mengalir ke
nodus superfisial. Beberapa di antaranya mengalir ke nodus 9 servikal
superfisial dalam perjalanan ke deep servikal nodus dan yang lain mengalir
langsung ke deep servikal nodus.

18
a) Kelenjar getah bening superfisial Lima kelompok kelenjar getah
bening superfisial membentuk cincin di sekitar kepala dan tanggung
jawab utamanya untuk drainase limfatik pada wajah dan kulit kepala.
Pola drainase mereka sangat mirip dengan daerah distribusi arteri di
dekat lokasi mereka.
b) Kelenjar getah bening servikal superfisial Nodus servikal superfisial
adalah kumpulan kelenjar getah bening di sepanjang vena jugularis
eksternal pada permukaan superfisial otot sternokleidomastoid.
Nodus ini menerima drainase limfatik utama dari daerah posterior
dan posterolateral kulit kepala melalui nodus oksipital dan mastoid,
dan mengirim pembuluh limfatik ke arah nodus servikal yang dalam.
c) Kelenjar getah bening servikal yang dalam (Deep Cervical Nodes)
Nodul servikal yang dalam adalah kumpulan kelenjar getah bening
yang membentuk rantai di sepanjang vena jugularis interna. Mereka
dibagi menjadi kelompok-kelompok atas dan bawah di mana tendon
antara otot omohyoid melintasi arteri karotis umum dan vena
jugularis interna. Nodus yang paling superior pada kelompok
servikal profunda bagian dalam adalah nodus jugulodigastrik. Nodus
besar ini adalah tempat otot digastrik posterior melintasi vena
jugularis interna dan menerima drainase limfatik dari amandel dan
regio tonsil. Nodus besar lainnya, biasanya terkait dengan kelompok
servikal bawah 10 dalam karena berada pada atau hanya lebih rendah
dari tendon antara otot omohyoid, adalah simpul jugulo-omohyoid.
Nodus ini menerima drainase limfatik dari lidah. Nodus servikal
yang dalam akhirnya menerima semua drainase limfatik dari kepala
dan leher baik secara langsung atau melalui kelompok nodus
regional. Dari kelenjar servikal yang dalam, pembuluh limfatik
membentuk jugularis trunk kanan dan kiri, yang kosong ke saluran
limfatik kanan di sisi kanan atau duktus toraks di sisi kiri (Drake
dkk., 2015). Sistem limfatik leher ditunjukan pada Gambar 4.

19
Gambar 4. Sistem limfatik leher (Drake dkk., 2015).
Keterangan :
1. Pre-auricular/parotid nodes
2. Submental nodes
3. Submandibular nodes
4. Omohyoid muscle
5. Jugulo-omohyoid node
6. External jugular vein
7. Deep cervical nodes
8. Internal jugular vein
9. Superficial cervical nodes
10. Jugulodignastic node
11. Mastoid node
12. Occipital Node

B. ABSES COLLI

A. Pengertian
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam
ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat
penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik dapat berupa
nyeri serta pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena. Infeksi yang

20
terjadi di dalam ruang potensial leher ini dapat saling terkait antara satu
ruangan dengan lainnya, sehingga berpotensi menimbulkan komplikasi,
diantaranya: sumbatan jalan nafas, pneumonia, perikarditis, trombosis
vena jugularis, mediastinitis dan erosi arteri karotis.

B. Etiologi
Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Organisme aerob yang
sering dijumpai antara lain: Streptococcus viridans, Streptococcus ß-
haemoliticus, Staphylococcus, Klebsiella pneumoniae, sedangkan untuk
bakteri anaerob adalah Bacteriodes dan Peptostreptococcus (Huang et al.,
2005).

C. Patofisiologi
Proses abses merupakan reaksi perlindungan untuk mencegah
penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian Iain tubuh. Organisme atau
benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan
pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi
(peradangan), yang menarik kedatangan sejumIah darah putih (leukosit) ke
area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat, struktur akhir dari
suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul oleh sel-sel
sehat disekeliling abses, sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi
struktur lain di sekitarnya, Meskipun demikian seringkali proses
enkapulasi tersebut cenderung menghalangi sel-sel imun untuk
menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan
melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus. Abses harus dibedakan
dengan empyema.
Empyema mengacu pada akumulasi nanah dalam kavitas yang
telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada
akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses
terjadinya abses tersebut. abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya

21
terjadi akibat suatu infeksi suatu bakteri. Jika bakteri menyusup kedalam
suatu jaringan yang sehat maka akan terjadi suatu infeksi. Sebagian sel
mati dan hancur meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel
yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah
menelan bakteri sel darah putih akan mati, sel darah putih yang mati inilah
yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan
nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong, jaringan pada
akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses,
hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk melawan atau mencegah
penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka
infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun di bawah permukaan kulit,
tergantung pada lokasi abses.
Bakteri Gram Positif
(staphylococcus aureus Streptococcus mutan)

Mengeluarkan enzim hyaluronidase dan enzim koagulase

Merusak jembatan antar sel

Transport nutrisi antar sel terganggu

Jaringan rusak/mati/nekrosis

Media bakteri yang baik

22
Jaringan terinfeksi

Invasi kuman

Peradangan Sel darah putih

Kuman melepas endoksin mati

System imun menurun

Demam

Jaringan menjadi abses


Gangguan Thermoreguler (pre operasi)

Pembedahan & berisi PUS Pecah

Nyeri (Post Operasi)

Luka insisi
Nyeri (Post Operasi)

23
Reaksi peradangan
(Rubor, Kalor, Tumor, Dolor, Fungsiolaesea)

D. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala dari abses tergantung lokasi dan pengaruhnya
terhadap fungsi suatu organ atau saraf, karena abses merupakan salah satu
manifestasi peradangan maka manifestasi lain yang mingikuti abses dapat
merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, gejalanya berupa:
Gejala yang paling umum pada diagnosis adalah demam (86,1%) dan nyeri
leher (81,1%). Gejala lain adalah odynophagia (75,2%), edema serviks (60,3%)
dan trismus (47,5%). Pasien remaja (12,8%) memiliki gejala obstruksi jalan
napas, delapan pria dan lima wanita dengan usia rata-rata 31,3 tahun.

E. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bisa diawali dengan dosis antibiotik intravena.
Biasanya infeksi dari kuman patogen polimikrobial (gram positif, gram
negatif, aerobik, anaerobik dan kuman yang memproduksi β-laktamase).
Secara ideal, pemilihan antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes
kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Hasil biakan
kuman dan tes kepekaan antibiotik membutuhkan waktu yang agak lama,
sedangkan antibiotik harus segera diberikan. Oleh karena itu pemilihan
antibiotik yang diberikan biasanya berdasarkan data empiris.
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan di RSUD
Karanganya tatalaksana dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu di
tatalaksana dengan antibiotic kombinasi Ceftriaxone dan Metronidazol,
antibiotik Meropenem, dan dilakukan tindakan pembedahan berupa Insisi
dan drainase. Terdapat 5 kasus yang diberikan terapi antibiotik kombinasi
berupa Ceftriaxone dan metronidazol, namun pada kelompok ini
didapatkan adanya satu kasus dengan alert sign dari infeksi leher dalam
maka pasien tersebut memerlukan tindakan insisi dan drainase, sedangkan

24
satu kasus lainnya mempunyai riwayat DM dengan gula darah terkontrol
tidak dilakukan tindakan pembedahan karena tidak terdapat gejala
komplikasi dan membaik dengan terapi kombinasi. Terapi empiris
biasanya dimulai dengan Sefalosporin generasi ke-2 dikombinasikan
dengan metronidazol. Antibiotik kemudian diubah berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologis (Weiet al.,2017). Metriondazol juga efektif
sebagai amubisid. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang
lebih baik terhadap gram negative enteric dibandingkan dengan
sefalosporin generasi II.Ceftriaxone dan cefixime mempunyai efektivitas
terhadap streptococcus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negative
dan Haemofillus sp. Dari 8 kasus, 3 diantaranya masuk dalam kategori
kelompok dua karena ditemukan adanya perburukan gejala atau alert sign
pada pasien sehingga terapi antibiotik diganti dengan Meropenem, dua
kasus yang diberikan meropenem terdapat perbaikan gejalagejala dari
pasien tanpa perlu dilakukan tindakan pembedahan. sedangkan satu kasus
lainnya dari kelompok dua memerlukan tindakan insisi dan drainase abses.
Meropenem sensitif terhadap kuman Streptococcus aureus, Streptococcus
pneumonia, Streptococcus a hemolitikus, Klebsiellla sp, E. Colli.
Saat terjadi pembentukan abses, biasanya terapi medikamentosa
saja tidak cukup, apabila dengan terapi medikamentosa yang adekuat
selama 48 jam tidak ada perubahan, diperlukan tindakan pembedahan
seperti insisi dan drainase abses. Pemberian cairan yang adekuat, monitor
output-input, observasi status sirkulasi dan pulmonologi dari pasien harus
terus dilakukan untuk mencegah komplikasi dari infeksi ruang leher. Insisi
dan drainase atau pembedahan harus dilakukan, pada kasus-kasus infeksi
ruang leher yang telah terjadi komplikasi, atau antisipasi komplikasi yang
terjadi.

F. Komplikasi Menurut Siregear (2004)


Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan
sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang

25
ekstensif (gangrene). Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat
sembuh dengan sendirinya sehingga tindakan medis secepatnya di
indikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses
dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang, apabila
abses tersebut mendesak struktur yang baik.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang merujuk pada diagnose bedah abses
secara umum menurut Doenges, dkk (2010), meliputi:
1. Kultur: mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas
menentukan obat yang paling efektif
2. Leukosit (sel darah putih): leucopenia leukositosis ( 15.000- 30.000)
mengidentifikasi produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah
besar.
3. Pemeriksaan pembekuan: trombositopenia dapat terjadi karena
agregasi trombosit, PT/PTT mungkin memanjang menunjukkan
koagulopati yang diasosiasikan dengan iskemia hati / sirkulasi toksin
status syok.
4. Laktat serum meningkat dalam asidosís metabolic, disfungsi hati,
syok.
5. Urinalisis: adanya sel darah putih / bakteri penyebab infeksi sering
muncul protein dan sel darah merah.

Pemeriksaan diagnostik abses meliputi:


a. Pemeriksaan foto polos pedis: untuk mengetahui ada atau tidaknya
komplikasi.
b. Ultrasonografi (USG): dapat memberikan petunjuk tentang ukuran
abses dan adanya lokulasi atau abses multiple.

26
C. PENYEMBUHAN LUKA
Fase penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase
inflamasi, proliferasi, dan remodelling yang merupakan perupaan ulang
jaringan.
Fase inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari
kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan
perdarahan, dan tubuh berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi,
pengerutan ujung pembuluh darah yang putus (retraksi), dan reaksi hemostatis.
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang
keluar dari pembuluh darah.

Fase Proses Gejala dan Tanda


I Inflamasi Reaksi radang Dolor, rubor, kalor,
tumor
II Proliferasi Regenerasi/fibroplasia Jaringan
granulasi/kalus tulang
menutup
epitel/endotel/mesotel
III Remodelling Pematangan dan Jaringan
perupaan Kembali parut/fibrosis

Trombosit yang berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoatraktan


yang menarik sel radang, mengaktifkan fibroblast lokal dan sel endotel serta
vasokonstriktor. Sementara itu, terjadi rreaksi inflamasi.
Setelah hemostasis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade
komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan bradikinin dan anafilatoksin
C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan permeabilitas vaskular
meningkat sehingga terjadi eksudasi, bukan sel radang, disertasi vasodilatasi
setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis

27
reaksi radang menjelas, berupa warna kemerahan karena kapiler melebar
(rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktivitas selular yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus dinding
pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit
mengeluarkan enzim hidrolotik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran
luka. Monosit dan limfosit yang kemudian muncul, ikut menghancurkan dan
memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase
lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, dan luka hanya
dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah. Monosit yang berubah menjadi
makrofag ini juga menyekresi bermacam-macam sitokin dan growth factor
yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.

Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah
proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi
sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim
yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam amino
glisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan
mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini, serat kolagen dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini,
bersama dengan sifat kontraktil myofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi
luka. Pada akhir fase ini, kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan
normal. Nantinya, dalam proses remodelling, kekuatan serat kolagen
bertambah karena ikatan intramolekul dan antarmolekul menguat.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast, dan
kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), membentuk
jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut
jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari
dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi
oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi

28
kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya
permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi
juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase remodelling.

Fase remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi,
dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung
berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah
lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal
karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi
matang, kapiler baru menutup dan diserap Kembali, kolagen yang berlebih
diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan. Selama
proses ini berlangsung, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lentur,
serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.
Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira
80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah
penyembuhan. Perupaan luka tulang (patah tulang) memerlukan waktu satu
tahun atau lebih untuk membentuk jaringan yang normal secara histologis.

D. CARA PENYEMBUHAN LUKA


Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami.
Luka akan terisi oleh jaringan granulasi dan lalu ditutup oleh jaringan epitel.
Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau “sanatio per secundam
intentionem”. Cara ini biasanya memakan waktu cukup lama dan
meninggalkan parut yang kurang baik, terutama kalua lukanya menganga lebar.
Luka akan menutup dibarengi dengan kontraksi lebar.
Bila luka hanya mengenai epidermis dan sebagian atas dermis, terjadi
penyembuhan melalui proses migrasi sel epitel dan kemudian terjadi
replikasi/mitosis epitel. Sel epitel baru ini akan mengisi permukaan luka.

29
Proses ini disebut epitelisasi, yang juga merupakan bagian dari proses
penyembuhan luka. Pada penyembuhan jenis ini, kontraksi yang terjadi
biasanya tidaklah dominan.
Cara penyembuhan lain adalah penyembuhan primer atau sanatio per
primam intentionem, yang terjadi bila luka segera diupayakan bertaut, biasanya
dengan bantuan jahitan. Sebaiknya dilakukan dalam beberapa jam setelah luka
terjadi. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil.

Gambar 5
Penyembuhan luka
A. Penyembuhan primer didapat bila luka bersih, tidak terinfeksi, dan
dijahit dengan baik: (1) luka; (2) luka dijahit; (3) penyembuhan primer
B. Penyembuhan sekunder: (1) luka dibiarkan terbuka; (2) luka terisi
jaringan granulasi, epitel menutup granulasi mulai dari pinggir; (3) terisi
penuh dengan jaringan granulasi; (4) granulasi ditutup oleh epitel; (5)
proses perupaan Kembali disertai pengerutan.
C. penyembuhan primer tertunda atau penyembuhan dengan jahitan
tertunda: (1) luka dibiarkan terbuka; (2) setelah beberapa hari ternyata ada
granulasi baik tanpa gejala dan tanda infeksi; (3) dipasang jahitan; (4)
penyembuhan
Namun, penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka
yang terkontaminasi berat dan/atau tidak berbatas tegas. Luka yang

30
compang-camping seperti luka tembak, sering meninggalkan jaringan
yang tidak dapat hidup, yang pada pemeriksaan pertama sukar dikenali.
Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung
dijahit. Luka yang demikian sebaiknya dibersihkan dan dieksisi
(debrideman) dahulu dan kemudian dibiarkan selama 4-7 hari, baru
selanjutnya dijahit. Luka akan sembuh secara primer. Cara ini umumnya
disebut penyembuhan primer tertunda. Jika setelah debrideman, luka
langsung dijahit, diharapkan terjadi penyembuhan primer.

Gambar 6
Debridemen atau toilet luka (luka primer)
(1) Luka kasar atau kotor; (2) pembersihan dan pembilasan; (3)
debrideman yang terdiri atas pembuangan segala jaringan yang kotor atau
nekrotik termasuk pinggir luka; (4) jahitan lapis demi lapis; (5)
penyembuhan primer

Pada manusia, penyembuhan luka dengan caa reorganisasi dan regenerasi


jaringan hanya terjadi di epidermis, hati, dan tulang yang dapat
menyembuh alami tanpa meninggalkan bekas. Organ lain, termasuk kulit,
mengalami penyembuhan secara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak
diganti oleh jaringan ikat yang tidak sama dengan jaringan semula.

31
E. PENYEMBUHAN JARINGAN KHUSUS
Tulang
Pada patah tulang panjang yang konteksnya cukup tebal, terjadi
perdarahan yang berasal dari pembuluh darah di endostium, kanal Havers
pada korteks, dan periosteum. Hematom yang terbentuk segera diserbu
oleh proliferasi fibroblast yang bersifat osteogenic yang berasal dari
mesenkim periosteum dan sedikit dari endostium. Fibroblast osteogenic
berubah menjadi osteoblast dan menghasilkan bahan organic antarsel yang
disebut osteoid. Osteoblast yang terkurung dalam lacuna oleh osteoid
disebut osteosit. Proses pembentukan tulang ini disebut osifikasi. Bekas
hematom yang berosteoid disebut kalus yang tidak tampak secara
radiologis. Kalus akan makin padat dan tampak seperti perekat patahan.
Di daerah yang agak jauh dari patahan dan pendarahannya lebih
bagus, mulai terbentuk jaringan tulang karena proses peletakan kalsium
pada osteoid, sedangkan di daerah patahan sendiri, yang pendarahannya
lebih sedikit, osteoblast berdiferensiasi menjadi kondroblast dan
membentuk tulang rawan. Kalus eksterna dan interna yang berubah
menjadi jaringan tulang dan tulang rawan makin keras, dan setelah terisi
kalsium menjadi jelas terlihat pada pemeriksaan radiologi. Bagian tulang
rawan kemudian berubah menjadi tulang biasa melalui proses enkondral.
Pada saat ini, patahan dikatakan telah menyambung dan menyembuh
secara klinis. Selanjutnya, terjadi pembentukan tulang lamellar dan
perupaan ulang dari kalus primer ini disertai proses pengaturan Kembali
pertumbuhan epifisis sehingga sudut patahan akan pulih sampai derajat
tertentu.
Penyembuhan patah tulang yang bukan tulang pipa (tulang pendek)
berjalan lebih cepat karena pendarahan yang lebih kaya sehingga nekrosis
yang terjadi di pinggir patahan tulang tidak banyak dan kalus interna
segera mengisi rongga patah tulang.
Penyembuhan patah tulang yang terjadi pada Tindakan reduksi dan
pascafiksasi metal yang kuat berjalan lebih cepat dan lebih baik.

32
Penyembuhan semacam ini digolongkan penyembuhan per primam.
Dengan fiksasi, daerah patahan terlindung dari stress dan tidak ada
rangsang yang menimbulkan kalus sehingga setelah bahan osteosintesis
dikeluarkan, tulang kurang kuat dibandingkan dengan tulang yang sembuh
per sekundam dengan kalus.

Tendo
Bilat tendo yang merupakan ujung otot lurik terluka atau putus,
hematom yang terbentuk akan mengalami proses penyembuhan alami dan
menjadi jaringan ika yang melekat pada jaringan sekitarnya. Bagian distal
akan mengalami hipotrofi karena tidak ada yang menggerakkan. Dengan
demikian, tendo yang putus sama sekali tidak akan berfungsi Kembali.
Agar dapat berfungsi Kembali, tendo harus dijahit rapi dengan Teknik
khusus disertai perawatan khusus pasca Tindakan agar perlekatan dengan
jaringan sekitarnya dapat dicegah.

Fasia
Luka pada fasia akan mengalami penyembuhan alami yang normal.
Hematom dan eksudasi yang terbentuk akan diganti dengan jaringan ikat.
Bila otot tebal, kuat, dan luka robeknya tidak sembuh betul dengan atau
tanpa dijahit, mungkin akan tertinggal defek yang dapat menyebabkan
herniasi otot.

Otot
Otot lurik dan otot polos mampu sembuh dengan membentuk
jaringan ikat. Walaupun tidak beregenerasi, faal otot umumnya tidak
berkurang karena adanya hipertrofi sebagai kompensasi jaringan otot sisa.
Sifat ini menyebabkan luka otot perlu dijahit dengan baik.

33
Usus
Luka pada usus tentu harus dijahit, tidak dapat dibiarkan sembuh
per sekundam intentionem karena kebocoran isi usus akan menyebabkan
peritonitis umum. Penyembuhan biasanya cepat karena dinding usus
memiliki pendarahan yang kaya sehingga dalam 2-3 minggu, kekuatannya
dapat melebihi daerah yang normal.

Serabut saraf
Trauma saraf dapat berupa trauma yang memutus saraf atau trauma
tumpul yang menyebabkan tekanan atau tarikan pada saraf. Penekanan
akan menimbullkan kontusio serabut saraf dengan kerangka yang
umumnya masih utuh, sedangkan tarikan mungkin menyebabkan putusnya
serabut dengan kedua ujung terpisah jauh.
Bila akson terputus, bagian distal akan mengalami degenerasi
Waller karena akson merupakan perpanjangan sel saraf di ganglion atau di
tanduk deppan sumsum tulang belakang. Akson yang putus meninggalkan
selubung mielin kosong yang lama-kelamaan kolaps atau terisi fibroblast.
Sel saraf di pusat setelah 24-48 jam akan menumbuhkan akson bar uke
distal dengan kecepatan kira-kira 1 mm per hari. Akson ini dapat tumbuh
baik sampai ke ujungnya di organ akhir bila dalam pertumbuhannya
menemukan selubung mielin yang utuh. Dalam selubung inilah, akson
tumbuh ke distal. Bila dalam pertumbuhannya akson tidak menemukan
selubung yang kosong, pertumbuhannya atidak maju, dan akan
membentuk tumor atau gumpalan yang terdiri atas akson yang tergulung.
Keadaan ini disebut neuroma. Tentu saja tidak setiap akson akan
menemukan selubung mielin yang masih kosong dan yang sesuai,
terutama kalua saraf tersebut merupakan campuran sensoris dan motoris.
Kalua selubung mielin sudah dimasuki akson yang salah, akson yang
benar tidak mungkin menemukan selubung lagi.
Mengingat syarat tumbuhnya akson ini, lesi tekan dengan kerangka
yang relative lebih utuh memberikan prognosis lebih baik daripada lesi

34
tarik yang merusak pembuluh darah nutrisi. Melalui bedah-mikro, ujung
setiap fasikulus yang terputus dipertemukan, kemudian saraf yang terputus
itu disambung dengan menjahit epi dan dan perineuriumnya. Upaya ini
memberikan hasil yang lebih baik.

Jaringan saraf
Bila jaringan saraf mengalami trauma, sel saraf yang rusak tidak
akan pulih karena sel saraf tidak bermitosis sehingga tidak memiliki daya
regenerasi. Tempat sel yang rusak akan digantikan oleh jaringan ikat
khusus yang terdiri atas sel glia dan membentuk jaringan yang disebut
gliosis.

Pembuluh darah
Proses penyembuhan luka pada pembuluh darah bergantung pada
besarnya luka, derasnya arus darah yang keluar, dan kemampuan
tamponade jaringan sekitarnya. Pada pembuluh yang luka, serat elastin
pada dinding pembuluh akan mengerut dan otot polosnya berkontraksi.
Bila kerutan ini lebih kuat daripada arus darah yang keluar, luka akan
menutup dan perdarahan berhenti. Bila sempat terbentuk gumpalan darah
yang menyumbat luka, permukaan dalam gumpalan perlahan-lahan akan
dilapisi endotel dan mengalami organisasi menjadi jaringan ikat.
Bila hematom sangat besar karena arus darah yang keluat kuat,
bagian tengah akan tetap cair karena turbulensi arus, sedangkan dinding
dalamnya perlahan-lahan akan dilapisi endotel sehingga terjadi aneurisma
palsu.
Bila pembuluh sampai putus, ujung potongan akan mengalami
retraksi dan kontraksi akibat adanya serat elastin dan otot dinding.

F. GANGGUAN PENYEMBUHAN LUKA


Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh
(endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen terpenting

35
meliputi koagulopati dan gangguan system imun. Semua gangguan pembekuan
darah akan menghambat penyembuhan luka karena hemostatis merupakan titik
tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan system imun akan menghambat dan
mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan, dan kontaminasi.
Bila system daya tahan tubuh selular maupun humoral terganggu, pembersihan
kontaminan dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik.
Gangguan system imun dapat terjadi pada infeksi virus, terutama HIV,
keganasan tahap lanjut, penyakit menahun berat seperti tuberculosis, hipoksia
setempat, seperti ditemukan pada arteriosclerosis, diabetes melitus, morbus
Raynaud, morbus Burger, kelainan vascular (hemangioma, fistel arteriovenal),
atau fibrosis. System imun juga dipengaruhi oleh gizi kurang akibat kelaparan,
malabsorpsi, juga oleh kekurangan asam amino esensial, mineral, maupun
vitamin, serta oleh gangguan dalam metabolism makanan, misalnya pada
penyakit hati. Selain itu, fungsi system imun ditekan oleh keadaan umum yang
kurang baik, seperti pada usia lanjut dan penyakit tertentu misalnya peyakit
Cushing dan Addison.
Penyebab eksogen meliputi radiasi sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik (obat penekan reaksi imun) misalnya setelah transplantasi
organ, dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka.
Pengaruh setempat, seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati
seperti sekuester dan nekrosis, sangat menghambat penyembuhan luka.
Bila luka atau ulkus (borok) tidak kunjung sembuh, harus dilakukan
pemeriksaan Kembali dengan memperhatikan fase penyembuhan luka untuk
menentukan sebab gangguan. Lakukan anamnesis lengkap dianjurkan dengan
pemeriksaan fisik, radiologi, biakan dan kalua perlu biopsy
histologic/patologik serta pemeriksaan serologik.
Luka dikatakan kronik atau gagal sembuh bila gagal menutup atau
gagal mengalami epitelisasi dalam 30 hari. Apabila setelah dilakukan
pemeriksaan Kembali secara teliti yang diikuti dengan terapi optimal dan luka
tak kunjung sembuh, diperlukan intervensi edah. Sekarang ini banyak

36
dikembangkan penggunaan berbagai balutan atau terapi tambahan untuk
membantu penyembuhan luka, terutama untuk luka yang kronik, seperti
penggunaan terapi oksigen hiperbarik, penggunaan tekanan negative, enzim-
enzim serta berbagai jenis balutan.

Penyebab Akibat/contoh

Endogen

Koagulopati Perdarahan

Gangguan ssstem imun Infeksi virus HIV, keganasan lanjut,


TBC

Hipoksia lokal Nekrosis


Kelainan arteri: arteriosclerosis
Kelainan pendarahan: hemangioma,
fisel arteriovena

Gizi Malnutrisi

Malabsorpsi Penyakit saluran cerna


Defisiensi: asam amino esensial,
mineral, Fe, Cu, Zn, Mn

Gangguan metabolism Hipovitaminosis: A, B-kompleks,C


Penyakit hati
Diabetes melitus

Neuropati Anestesia: lepra

Infeksi jamur

Keganasan local Ulkus Marjolin

Konstitusional Keloid

37
Keadaan umum kurang baik Usia lanjut
Penyakit Cushing atau Addison
Anemia

Eksogen

Pascaradiasi Penghambatan angiogenesis dan


proliferasi

Imunosupresi Obat-obat sitostatik, imunosupresan,


kortikosteroid

Infeksi TBC, sifilis, difteri


Infeksi non spesifik

Jaringan mati Sekuester


Nekrosis

Kemiskinan vaskularisasi Luka di atas tendo Achilles


Luka di atas tibia

G. PENANGANAN LUKA
Diagnosis
Pertama-tama, dilakukan pemeriksaan secara teliti untuk memastikan
apakah ada perdarahan yang harus dihentikan. Kemudian, tentukan jenis
trauma, tajam atau tumpul, luasnya kematian jaringan, banyaknya kontaminasi,
dan berat ringannya luka.

Tindakan
Pertama dilakukan anestesia setempat atau umum, bergantung dari
berat dan letak luka, serta kondisi penderita. Luka dan sekitarnya dibersihkan
dengan antiseptik, kalau perlu dicuci dengan air sebelumnya. Bahan yang dapat
dipakai ialah larutan yodium povidone 1% dan larutan klorheksidin 0,5%.

38
Larutan yodium 3% atau alcohol 70% hanya digunakan untuk membersihkan
kulit di sekitar luka.
Kemudian, daerah sekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan
secara steril dilakukan Kembali pembersihan luka secara mekanis dari
kontaminan, misalnya pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau
(debrideman) dan dibersihkan dengan bilasan, guyuran, atau semprotan cairan
NaCl. Akhirnya, dilakukan penjahitan dengan rapi. Bila diperkirakan akan
terbentuk atau dikeluarkan cairan yang berlebihan, perlu dibuat mencegah
lengketnya kasa, misalnya kasa yang mengandung vaselin, ditambah dengan
kasa penyerap, dan dibalut dengan pembalut elastis.

H. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN


LUKA

Pemulihan jaringan dapat terhambat akibat bermacam-macam pengaruh,


sehingga menurunkan kualitas proses pemulihan. Variabel yang mempengaruhi
pemulihan bisa ekstrinsik (misal infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang
mengalami jejas. Penyebab terpenting ialah infeksi dan diabetes.

 Infeksi merupakan penyebab terpenting yang menghambat proses


pemulihan. Infeksi akan memperpanjang proses radang dan berpotensi
menambah luas tempat cedera.

 Nutrisi berperan penting pada pemulihan, defisiensi protein, misalnya,


pada khususnya defisiensi vitamin C akan menghambat sintesa kolagen
dan menghambat proses penyembuhan.

 Glukokortikoid (steroids) dikenal mempunyai efek anti-radang, pemberian


obat ini mengakibatkan lemahnya jaringan parut karena inhibisi produksi
TGF-P dan pengurangan fibrosis. Pada beberapa keadaan pengaruh
glukokortikoid menguntungkan. Misalnya pada infeksi kornea,

39
glukokortikoid dipergunakan (bersama antibiotik) untuk mengurangi
kemungkinan mata keruh akibat deposisi kolagen.

 Variabel mekanik seperti tekanan lokal yang meningkat atau torsi dapat
mengakibatkan luka tertarik menjadi pecah (dehisce).

 Perfusi buruk akibat arteriosklerosis dan diabetes atau karena obstruksi


drainase vena (misal varices) juga akan menghambat penyembuhan.

 Benda asing misal fragmen besi, kaca, atau tulang juga akan mengganggu
penyembuhan.

 Tipe dan luasnya jejas jaringan mempengaruhi proses pemulihan.


Restorasi lengkap hanya dapat terjadi pada jaringan yang terdiri atas sel
stabil dan sel labil, kerusakan jaringan yang terdiri atas sel permanen tidak
dapat dihindarkan akan mengakibatkan jaringan parut seperti pada infark
miokardium.

 Lokasi jejas dan sifat jaringan tempat jejas berada juga menentukan.
Contoh, inflamasi yang berasal dari jaringan berongga (misalnya pleura,
peritoneum, atau rongga sinovia) akan menyebabkan terbentuknya eksudat
yang ekstensif. Pemulihan terjadi dengan pencernaan eksudat, diinisiasi
oleh enzim proteolitik leukosit dan resorpsi eksudat yang menjadi encer.
Hal ini disebut resolusi, dan biasanya, apabila tidak ada nekrosis sel,
arsitektur normal jaringan akan pulih kembali. Apabila dijumpai
akumulasi eksudat yang banyak, akan terjadi organisasi eksudat. Jaringan
granulasi tumbuh di dalam eksudat dan akan terbentuk jaringan parut.

Aberasi pertumbuhan sel dan produksi ECM dapat terjadi pada


awal penyembuhan luka. Contohnya, akumulasi kolagen yang berlebihan
akan mengakibatkan jaringan parut yang tumbuh menonjol ke atas, disebut
keloid. Agaknya ada pengaruh keturunan pada timbulnya keloid, keadaan

40
ini lebih sering dijumpai pada orang Amerika asal Afrika. Penyembuhan
luka juga dapat menghasilkan jaringan granulasi yang berlebihan dan
menonjol sampai di atas permukaan jaringan kulit sekitarnya dan akan
mengganggu proses reepitelisasi. Jaringan tersebut disebut daging yang
membanggakan ("proud flesh") jaman dahulu, dan untuk restorasi
kontinuitas epitel dibutuhkan kauterisasi atau reseksi bedah jaringan
granulasi tersebut.

I. PENYULIT PENYEMBUHAN LUKA


Penyulit dini
Hematom harus dicegah dengan mengerjakan hemostasis secara teliti.
Hematom yang mengganggu atau terlalu besar sebaiknya dibuka dan
dikeluarkan.
Seroma adalah penumpukan cairan luka di lapangan bedah. Jika seroma
mengganggu atau terlalu besar, dapat dilakukan pungsi. Jika seroma kambuh,
sebaiknya dibuka dan dipasang penyalir.
Infeksi luka terjadi jika luka yang terkontaminasi dijahit tanpa pembilasan
dan eksisi yang memadai. Pada keadaan demikian, luka harus dibuka Kembali,
dibiarkan terbuka dan penderita diberi antibiotik sesuai dengan hasil biakan
dari cairan luka atau nanah.

41
Gambar 7
Penanggulangan luka
A. Luka
B. (1) Luka dijahit, lapis demi lapis; (2) penyembuhan primer
C. (1) Luka dijahit, tetapi terjadi hematom karena hemostasis kurang
sempurna dan/atau dibiarkan adanya ruang mati di luka; (2) hematom
merupakan lahan yang baik untuk berkembangnya infeksi dan abses;
(3) setelah abses pecah atau dibuka, luka harus dibiarkan menyembuh
secara sekunder; hematom/seroma dalam ruang mati juga dapat terjadi
bila pembersihan luka dan/atau eksisi luka tidak adekuat.

Penyulit lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat
kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen di
sini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka,
sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah. Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol.,
nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang-kadang

42
nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka
setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid justru tumbuh.
Kontraktur jaringan parut di bekas luka atau bekas operasi kadang
sangat mencolok, terutama di wajah, leher, dan tangan. Kontraktur dapat
mengakibatkan cacat berat dan gangguan gerak pada sendi, misalnya pada
luka bakar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrina YMR. Abses retrofaring [internet]. Medan: Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara; 2003 [diakses
tanggal 25 Februari 2013]. Tersedia dari: http://www.repository.usu.ac.id.2. Huang SH,
Yang SW, See LC, Lee MH, Chen TM, Chen TA. Deep neck abscess: an analysis of
microbial etiology and the effectiveness of antibiotics, infection and drug resistence
[internet]. USA: Dove Press; 2008 [diakses tanggal 24 Februari 2013]. Tersediadari
http://www.dovepress.com/deep- neck-abscess-an-analysis-of- microbial-etiology-and-
the effectiven.
2. Al-Sabah B, Bin Salleen H, Hagr A, Choi-Rosen J, Manoukian JJ, Tewfik TL, 2004.
Retropharyngeal Abscess in Children: 10-year study. J Otolaryngol. 33(6):352-355.
3. Ballenger JJ. Leher, orofaring dan nasofaring. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid Edisi 13. Alih bahasa: Staf Ahli Bag THT
RSCM-FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994: 295-304.

43
4. Boyanova L, Kolarov R, Gergova G, Deliverska E, Madjarov J, Marinov M, Mitov I,
2006. Anaerobic Bacteria in 118 Patient with Deep Space Head and Neck Infections from
the University of Hospital of Maxillofacial Surgery, Sofia, Bulgaria. J Med Microbiol.
55(Pt 9):1285-1289.
5. Fachrudin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2012. h. 204-8.
6. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the deep spaces of the neck. In: Bailey BJ ed. Head
& Neck Surgery Otolaryngology 3th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins co; 2001: 665-82.
7. Hasibuan LY, Soedjana H, Bisono. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, penyunting. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. h. 95-103

44

Anda mungkin juga menyukai