Anda di halaman 1dari 36

BLOK SISTEM SARAF DAN PERILAKU LAPORAN PBL

Selasa, 26 Agustus 2021

“Skenario 1“

Disusun Oleh:
Kelompok VII

Tutor:
dr. Irwan., Sp.JP

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2021
Daftar Nama Kelompok Penyusun

Nama Kelompok : Kelompok VII

Nama Ketua : Febrian Syahailatua (2019-83-037)

Sekretaris I : Debora Victori Imanuela Hetharia (2019-83-030)

Sekretaris II : Riska Jean Solissa (2019-83-036)

Anggota : 1. Keziang Dain Maha Notanubun (2017-83-102)

2. Jeane Mauren Soukotta (2018-83-031)

3. Nurul Tsaniyah Alvirah Maskat (2019-83-033)

4. Tiffani Wafi Idlal M (2019-83-034)

5. Thomas Preldho Sabono (2019-83-035)

6. Ayu Lestari (2019-83-038)

7. Ariel Sousii Makasale (2019-83-039)

8. Kezya Putri Maharani Muskitta (2019-83-040)

9. Damara Herlis Mailera (2019-83-041)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan penyertaanNya, kami dapat menyelesaikan tugas laporan yang diberikan
tepat pada waktunya. Laporan ini berisi hasil diskusi kami mengenai pembahasan
yang telah dilaksanakan dalam PBL tutorial 1 dan 2. Dalam penyelesaian laporan ini,
banyak pihak yang juga turut terlibat. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan Terima kasih kepada :

1. dr. Irwan., Sp.JP selaku tutor yang telah mendampingi kami selama diskusi
PBL berlangsung.
2. dr. Laura B. S. Huwae, Sp.S., M.Kes dan dr. Melita Ayuba selaku
Penanggung Jawab Blok Sistem Saraf dan Perilaku
3. Kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu, atas
kerjasama dan bimbingannya.

Serta semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu. Akhir kata kami menyadari sungguh bahwa pembuatan laporan ini masih
jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan laporan kami selanjutnya.

Ambon , 26 Agustus 2021

Kelompok VII

iii
DAFTAR ISI

Daftar Nama Kelompok Penyusun................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Permasalahan .........................................................................................................1
1.2 Seven Jumps ...........................................................................................................1
1.2.1 Step I : Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci ..........................................1
1.2.2 Step II : Identifikasi Masalah ...............................................................................1
1.2.3 Step III : Hipotesis Sementara..............................................................................2
1.2.4 Step IV : Klarifikasi dan Mindmapping ..............................................................5
1.2.5 Step V : Learning Objectives ...............................................................................6
BAB II PENDAHULUAN ............................................................................................ 7
2.1 Patomekanisme Hemiparesis, Nyeri Kepala, Mulut Mencong ........................7
2.2 Diagnosis Differential (Jenis-jenis Stroke) ......................................................15
2.3 Alur penegakan diagnosis sesuai skenario .......................................................19
2.4 Tatalaksana secara farmakologi dan non-farmakologi....................................23
2.5 Upaya Pencegahan ..............................................................................................26
BAB III PENUTUP..................................................................................................... 29
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 30

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patomekanisme Nyeri Kepala............................................................. 10


Gambar 2.2 Bagian Nervus Fasialis ....................................................................... 13
Gambar 2.3 Lesi UMN dan LMN Pada Nervus Fasialis ........................................ 14
Gambar 2.4 Cincinnati Prehospital Stroke Scale ................................................... 19
Gambar 2.5 Refleks Babinski ................................................................................. 21
Gambar 2.6 Siriraj Score ........................................................................................ 21
Gambar 2.7 Stroke Hemoragik pada Pemeriksaan CT-Scan .................................. 22
Gambar 2.8 Pilihan Obat Antihipertensi ................................................................ 25

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Permasalahan
Skenario 1
Seorang laki-laki berusia 60 tahun mengalami lemah separuh badan kanan
tiba-tiba dan mulut mencong ke kanan sejak 3 hari yang lalu, disertai nyeri kepala
dan muntah. Beberapa saat setelah mengalami lemah separuh badan, penderita
sulit diajak komunikasi dan mengantuk.

1.2 Seven Jumps


1.2.1 Step I : Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci
1. Kata Sukar : -
2. Kalimat kunci :
- Seorang laki-laki berusia 60 tahun mengalami lemah separuh badan kanan
tiba-tiba.
- Mulut mencong ke kanan sejak 3 hari yang lalu, disertai nyeri kepala dan
muntah.
- Beberapa saat setelah mengalami lemah separuh badan, penderita sulit
diajak komunikasi dan mengantuk

1.2.2 Step II : Identifikasi Masalah


1. Apa saja faktor yang menyebabkan pasien mengalami kelemahan pada separuh
badan?
2. Bagaimana patomekanisme nyeri kepala dan muntah?
3. Apa hubungan antara gejala dan penyakit yang dialami?
4. Apa ada hubungan usia dengan keluhan pasien?

1
2

5. Bagaimana upaya pencegahan dari gejala yang dialami pasien?


6. Apa ada hubungan kegiatan yang dilakukan dengan gejala pasien?
7. Apa saja jenis-jenis stroke dan jenis stroke yang dialami pasien di atas?
8. Apa saja penyakit-penyakit dengan gejala hemiparesis?
9. Apa saja klasifikasi nyeri kepala?

1.2.3 Step III : Hipotesis Sementara


1. Dari gejala yang ada pada skenario bisa diduga pasien mengalami stroke yang
pada akhirnya menyebabkan pasien mengalami kelemahan separuh tubuh
(hemiparesis). Hemiparesis dapat terjadi akibat adanya sumbatan/obstruksi pada
pembuluh darah pada circulus willisi, yakni : a. serebri anterior, a.serebri media,
a. koroid anterior. Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan
terjadinya stroke yang dikelompokan menjadi 2 yaitu yang tidak dapat diubah
dan dapat diubah. Yang tidak dapat diubah adalah usia, semakin tua usia,
semakin rentang terkena stroke dan yang kedua adalah jenis kelamin, laki-laki
lebih sering terkena stroke daripada perempuan. Kemudian yang dapat diubah
adalah hipertensi, ketika terjadi peningkatan tekanan darah, pembuluh darah
akan mengalami penyempitan atau bahkan dapat pecah, hal ini menyebabkan
aliran darah ke otak terhambat, dan yang kedua adalah diabetes mellitus,
pembuluh darah dari pasien DM cenderung mengalami penebalan, hal ini
menyebabkan diameter pembuluh darah mengecil dan menghambat aliran darah
ke otak, selanjutnya yang terakhir dyslipidemia, peningkatan LDL dan
penurunan HDL menyebabkan penumpukan kolesterol pada sel pembuluh darah
yang kemudian membentuk plak/aterosklerosis dan menyebabkan terjadinya
stroke.
2. Mekanisme nyeri kepala pada pasien ini disebabkan oleh 2 hal utama yakni
pecahnya pembuluh darah dan penekanan serebrum pada menings, kedua hal ini
dapat menyebabkan nyeri, sebab pada pembuluh darah dan meninges terdapat
reseptor D reseptor nyeri. Dan apabila terjadi pergeseran ataupun robekan dan
3

menyebabkan rasa nyeri.pada pasien gejala dengan stroke, kedua mekanisme ini
bekerja secara simultan. Robekan pada pembuluh darah menyebabkan darah
merembes, dan tumpukan rembesan darah ini kemudian menekan parenkim otak
ke arah meninges. Penekanan pada parenkim otak juga dapat menekan pusat
muntah pada batang otak serta pusat kesadaran pada korteks serebri.
Muntah adalah suatu refleks kompleks yang diperantarai oleh pusat muntah di
medula oblongata. Impuls-impuls aferen berjalan ke pusat muntah sebagai
aferen vagus dan simpatis. Impuls-impuls aferen berasal dari lambung atau
duodenum dan muncul sebagai respon terhadap distensi berlebihan atau iritasi,
atau kadang-kadang sebagai respon terhadap rangsangan kimia oleh emetik
(bahan yang menyebabkan muntah).
3. Jika tidak diobati penyakitnya maka gejala/keluhan yang dialami pasien akan
menjadi lebih parah. Kelumpuhan separuh badan (bisa terjadi karena sumbatan
pada a. serebri media, a. serebri anterior, a. koroid anterior) pasien sulit
berkomunikasi (sumbatan pada a. cerebri media), mengantuk (anoksia,
penurunan kesadaran akibat kurangnya oksigen yang masuk ke otak).
4. Hubungan : usia berhubungan dengan stroke, stroke bisa mnyerang setiap umur
tapi lebuh sering dijumpai pada usia tua yang >55 tahun resiko berlipat ganda.
Serangan stroke lebih banyak pada laki-laki, stroke juga bisa terjadi karena
multifactorial (DM, meminum alcohol, penyakit jantung). Biasanya orang tua
karena semakin tua usia semakin lemah organ-organ yang bekerja, sama halnya
dengan stroke jadi semakin lama semakin tua pembuluh darah semakin kurang
elastis jadi bisa kemungkinan. Pada orang muda juga bisa karena merokok
(hubungan dengan kerja jantung dan pembuluh darah) dan aktivitas yang
dilakukan (kurang olahraga, jadi kurangnya otot-otot yang berkontraksi
berhubungan dengan aliran darah).
5. Upaya pencegahan :
- Primordial: untuk mencegah timbulnya faktor risiko bagi yang belum punya
faktor risiko, dengan cara promosi kesehatan dengan kampanye atau poster.
4

- Primer: untuk mengurangi timbulnya stroke bagi yang punya faktor risiko
- Sekunder: untuk mereka yang pernah stroke agar tidak mengalami
kelanjutan.
- Tersier: untuk yang menderita stroke, agar kelumpuhan tidak bertambah
berat dan mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.
6. Kegiatan: mengacu pada pola hidup dari pasien, dilihat pola hidupnya sehat atau
tidak dari pasien dan diberikan edukasi bagi pasien.
7. Jenis: 1. TIA (transcien ischemic attack), 2. Inovulation (penyumbatan darah
secara regional), 3. complete stroke (sudah menetap dan tidak berkembang lagi,
gejala bermacam-macam tergantung lesi yang mengalami gangguan). Stroke
iskemik (akibat bekuan/sumbatan pada pembuluh darah otak, menyebabkan
timbulnya thrombus sehingga aliran terhenti, terbagi menjadi trombolitik dan
embolik) dan stroke hemorage (biasa dari kecelakaan, benturan sehingga
pecahnya pembuluh darah di otak atau bisa juga karena peningkatan tekanan
intracranial yang terlalu tinggi gejala bisa nyeri kepala lelah muntah).
Berdasarkan scenario pasien termasuk stroke iskemik.
8. Penyakit-penyakit dengan gejala hemiparesis dibagi atas :
a) Hemiparesis tanpa gejala peninggian tekanan intracranial
- Stroke non-hemoragik
- Emboli
- Thrombotik
b) Hemiparesis dengan peninggian tekanan intracranial
- Hematoma epidural
- Hematoma subdural
- Perdarahan intraserebral traumatic
- Serebritis/abses serebri
- Perdarahan intraserebral (PIS)
9. Nyeri kepala secara umum dapat dibedakan menjadi nyeri kepala primer dan
nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer mencakup nyeri kepala tipe
5

tegang, migren, dan klaster. Sedangkan, nyeri kepala sekunder merupakan


kondisi yang diakibatkan oleh penyebab lain, seperti trauma kepala dan leher,
gangguan vaskularisasi kranial dan servikal, gangguan intrakranial non-
vaskular, penggunaan obat maupun putus obat, infeksi, gangguan homeostasis,
ataupun gangguan psikiatrik.

1.2.4 Step IV : Klarifikasi dan Mindmapping


Klarifikasi : -
Mindmapping :

Laki-laki
60 tahun

STROKE Lemah separuh badan kanan, Penderita sulit


HEMORAGIK mulut mencong sebelah kanan + diajak komunikasi
nyeri kepala dan muntah dan mengantuk

Penyebab umum : Hipertensi Anamnesis :


- Perdarahan - Riwayat penyakit dahulu :
intraserebri Faktor risiko :
Hipertensi tidak terkontrol
- Perdarahan - Usia lanjut - Kebiasaan : Merokok 3
Subarachnoid - Hipertensi bungkus sehari
- Perokok berat Hasil CT Scan : Lesi hiperdens
- Konsumsi alkohol berat pada regio temporoparietal
sinistra → Stroke hemoragik
Tatalaksana : Pencegahan :
- Farmakologi - Primodial
- Non-Farmakologi - Primer
- Sekunder
- Tersier
6

1.2.5 Step V : Learning Objectives


1. Patomekanisme hemiparesis, nyeri kepala, dan mulut mencong
2. Diagnosis differensial (jenis-jenis stroke)
3. Alur penegakan diagnosis sesuai skenario
4. Tatalaksana secara farmakologi dan non-farmakologi
5. Upaya pencegahan sesuai skenario
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Patomekanisme Hemiparesis, Nyeri Kepala, Mulut Mencong


A. Patomekanisme Hemiparesis
Kata “hemi” berarti satu sisi, sementara “paresis” berarti kelemahan.
Hemiparesis adalah kelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh.
Hemiparesis terjadi akibat stroke, yang umumnya melibatkan otot-otot di
lengan, wajah dan kaki. Kondisi Hemiparesis adalah kondisi dimana
terjadinya kelemahan pada sebelah atau sebagian kanan atau kiri tubuh
(lengan, tungkai dan wajah) yang berlawanan dengan lesi yang terjadi di otak.
Ditemukan 70-80% pasien yang terkena serangan stroke mengalami
hemiparesis.1
Pada tahapan awal stroke, gambaran klinis yang biasanya muncul adalah
paralisis dan hilang atau menurunnya reflek pada tendon dalam. Apabila
reflex tendon dalam ini kembali muncul (biasanya dalam 48 jam),
peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus otot
abnormal) pada ekstremitas yang terkena dapat di lihat.1
Hemiparesis biasanya diakibatkan oleh adanya lesi saluran
kortikospinalis, yang berjalan turun dari kortikal neuron di lobus frontal ke
motor neuron sumsum tulang belakang dan bertanggung jawab untuk
pergerakan otot-otot tubuh dan anggota tubuhnya. Pada saluran tersebut
melalui beberapa bagian batang otak, yaitu otak tengah, pons dan medula,
masing-masing saluran yang melintasi ke sisi berlawanan pada bagian
terendah dari medula (mementuk struktur anatomi disebut sebagai piramida)
dan turun di sepanjang sisi berlawanan dari sumsum tulang belakang untuk
memenuhi kontralateral motor neuron. Sehingga sebelah sisi otak mengontrol

7
8

pergerakan otot dari sisi yang berlawanan dari tubuh dan dengan demikin
gangguan saluran kortikospinalis kanan pada batang otak atau struktur otak
atas menyebabkan hemiparesis pada sisi kiri tubuh begitu pula sebaliknya.1
Di sisi yang lain, lesi pada saluran sumsum tulang belakang
menyebabkan hempirasesis pada sisi yang sama dari tubuh. Otot pada wajah
juga dikendalikan oleh saluran yang sama. Saluran yang mengaktifkan wajah
(ganglion) dan saraf wajah muncul dari nukleus mengaktifkan otot-otot wajah
selama kontraksi otot wajah. Karena inti wajah terletak pada pons atas
decussation tersebut, lesi pada saluran pons atau struktur atas menimbulkan
hemiparesis pada sisi tubuh yang berlawanan dan paresis pada sisi yang sama
pada wajah yang disebut dengan hemiparesis kontralateral. jika wajah pasien
tidak terlibat, ini sangat sugestif dari lesi saluran pada bagian bawah batang
otak atau sum-sum tulang belakang. Karena sumsum tulang belakang
merupakan struktur yang paling kecil, sehingga apabila terjadi lesi tidak hanya
terjadi kelumpuhan di satu sisi, tetapi kedua sisi. Oleh karena itu, lesi pada
sumsum tulang belakang biasanya dapat menimbulkan kelumpuhan pada
kedua lengan dan kaki (quadriparesis) atau kedua kaki (paraparesis).1
Secara spesifik area otak yang rusak dan gejala yang terjadi dapat
dibedakan, sisi kanan hemiparesis, melibatkan cidera pada otak sisi kiri. Sisi
otak kiri memiliki fungsi untuk mengontrol berbicara dan berbahasa. Orang
dengan hemiparesis ini juga dapat mengalami kesulitan berbicara dan
memahami perkataan orang lain, serta sulit untuk menentukan perbedaan sisi
tubuh kiri atau kanan. Sisi kiri hemiparesis melibatkan cidera pada sisi otak
kanan yang memiliki fungsi untuk mengontrol proses belajar, jenis perilaku
tertentu, dan komunikasi nonverbal. Cedera pada area ini akan mengakibatkan
seseorang berbicara berlebihan, memiliki rentang perhatian pendek, serta
mengalami gangguan memori.1
9

B. Patomekanisme Nyeri Kepala


Nyeri kepala merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia
(greatest shared human affliction) dan merupakan salah satu masalah yang
sering terjadi pada anak dan remaja dimana dapat mengganggu pelajaran.
Nyeri kepala adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan
suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala. Nyeri kepala
umumnya diklasifikasikan sebagai nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder.2,3
Gangguan nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang sifatnya
“idiopatik”, nyeri kepala yang tidak terkait dengan kondisi patologi atau
penyebab lain yang mendasari, sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri
kepala yang dikaitkan dengan kondisi patologis yang mendasari, seperti
adanya tumor otak, aneurisma, penyakit inflamasi. Kejadian nyeri kepala
primer lebih sering terjadi dibandingkan nyeri kepala sekunder.2,3
Oleh HIS (International Headache Society), nyeri kepala
dikelompokkan menjadi 3 kategori umum, yaitu Nyeri kepala Primer
(Primary Headaches), Nyeri kepala Sekunder (Secondary Headaches), dan
Nyeri kepala dengan neuropati kranial, nyeri wajah lain dan nyeri kepala
lainnya (Painful cranial neuropathies, other facial pains and other
headaches).2
1. Nyeri Kepala Primer
Nyeri kepala primer merupakan nyeri kepala yang tidak diasosiasikan
dengan patologi atau kelainan lain yang menyebabkannya. Nyeri kepala
ini masih dibagi berdasarkan profil gejalanya menjadi:2
a) Migrain
Migrain memiliki dua subtipe mayor. Migrain tanpa aura dan
migrain dengan aura. Migrain tanpa aura yaitu nyeri kepala berulang
dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam, dengan karakteristik
nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
10

bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan
mual dan atau fotofobia dan fonofobia. Sedangkan, migrain dengan
aura terutama ditandai oleh gejala neurologis yang biasanya
mendahului atau kadang-kadang menemani saat nyeri kepala.
Beberapa pasien juga mengalami fase premonitory (fase pertanda),
terjadi beberapa jam atau hari sebelum nyeri kepala, dan fase resolusi.
Yang memberi pertanda dan gejala resolusi seperti menguap
berulang, kelelahan dan leher kaku dan / atau sakit.2,3
b) Nyeri kepala tipe tegang
Nyeri kepala tipe tegang sangat umum terjadi dengan prevalensi
seumur hidup dalam populasi umum berkisar antara 30% dan 78%
dalam studi yang berbeda, dan memiliki dampak sosial-ekonomi yang
sangat tinggi.2
2. Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang dikarenakan
penyakit lain sehingga terdapat peningkatan tekanan intrakranial atau
nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi maupun struktur.2

Gambar 2.1 : Patomekanisme nyeri kepala


Sumber : Jatmiputri, Belladonna Syifa Sabila, Maria, dkk. Pengaruh Stres Kerja
Terhadap Kejadian Nyeri Kepala Pada Pekerja Ground Handling (Studi Kasus di
Bandara Ahmad Yani Semarang). Faculty of Medicine, 2017. 18p.3
11

Sensitisasi nyeri kepala terdapat di nosiseptor meningeal dan


neuron trigeminal sentral. Sebagian besar pembuluh darah intrakranial
mendapatkan inervasi sensoris dari ganglion trigeminal, dan
menghasilkan neuropeptida yang akan mengaktivasi nosiseptor –
nosiseptor. 3
lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebagian besar
berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut
mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang
paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian
diikuti oleh SP (substance P), NKA (Neurokinin A), pituitary adenylate
cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul
prostaglandin E2 (PGEJ2), bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin
triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor-
nosiseptor. 3
Batang otak merupakan organ yang memiliki peranan penting
dalam transmisi dan modulasi nyeri baik secara ascending maupun
descending. Batang otak memainkan peranan yang paling penting
sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator
impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris sebahagian besar berpusat
di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus coeruleus,
nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi
nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja
dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan
struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut
juga sebagai generator dan modulator sefalgi. 3
Pertama, rangsangan yang menganggu diterima oleh nosiseptor
(reseptor nyeri) polimodal dan mekanoreseptor di meninges dan neuron
ganglion trigeminal. Pada innervasi sensoris pembuluh darah
intrakranial (sebagian besar berasal dari ganglion trigeminal) di
12

dalamnya mengandung neuropeptida seperti CGRP / Calcitonin Gene


Related Peptide, Substance P, Nitric oxide, bradikinin, serotonin yang
semakin mengaktivasi / mensensitisasi nosiseptor. Rangsangan tersebut
kemudian di bawa menuju cornu dorsalis cervical atas. Pada batang otak
terdapat transmisi dan modulasi nyeri (periaquaductal grey matter,
nucleus raphe magnus, formasio retikularis). Hipotalamus dan sistem
limbik memberikan respon perilaku dan emosional terhadap nyeri. Pada
talamus hanya terjadi persepsi nyeri. Terakhir pada korteks
somatosensorik dapat mengetahui lokasi dan derajat intensitas nyeri.3
C. Patomekanisme Mulut Mencong
Fungsi utama dari nervus facialis adalah mengontrol otot-otot mimik di
wajah. Selain itu juga memberikan innervasi untuk bagian posterior dari
musculus digastricus, stylohyoideus, dan musculus stapedius. Semua otot ini
adalah otot lurik yang berasal dari branchiomeric hasil dari perkebangan arcus
pharyngealis kedua.4
Otot-otot wajah terletak di jaringan subkutan anterior dan posterior dari
scalp, wajah, dan leher. Kebanyakan dari otot ini melekat pada tulang atau
fascia dan efek dari kontraksinya adalah berupa tertariknya kulit. Otot-otot ini
menggerakan kulit dan merubah ekspresi wajah. Otot-otot mimik juga
mengelilingi mulut, mata dan hidung dan berperan sebagai spingter dan
dilator untuk menutup dan membuka orifisium.4
Orbicularis oris berperan sebagai spingter di mulut. Buccinator berperan
dalam hal tersenyum dan membantu pipi tetap kencang. Orbicularis oculi
mentutup kelopak mata dan membantu aliran air mata. 4
13

Gambar 2.2 : Bagian Nervus Fasialis


Sumber: Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: UI
Publishing; 2021. 55.5

Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf vii jenis sentral dan
perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari 2 sisi, tidak lumpuh; yang lumpuh ialah bagian bawah dari
wajah. Pada gangguan n vii jenis perifer (gangguan berada di inti atau di
serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga
termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang
berjalan bersama saraf fasialis.5

Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat


persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus
wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik
(bilateral) (gambar 5.15). Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor
neuron dari nervus vii (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik)
akan mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah,
sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis,
mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan bilateral); tetapi ia kurang
dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai, memperlihatkan gigi geligi)
14

pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih dapat terjadi,
bila penderita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.5

Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang
volunter, maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor
neuron) nervus vii sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat
dijumpai pada strok dan lesi-butuh-ruang (space occupying lesion) yang
mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus, mesensefalon dan pons
di atas inti nervus vii. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak
terganggu. Kelumpuhan nervus vii supranuklir pada kedua sisi dapat
dijumpai pada paralisis pseudobulber.5

Gambar 2.3 : Lesi UMN dan LMN pada Nervus Fasialis


Sumber: Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: UI
Publishing; 2021. 56.5
15

2.2 Diagnosis Differential (Jenis-jenis Stroke)


A. Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan stroke yang terjadi akibat adanya bekuan
atau sumbatan pada pembuluh darah otak yang dapat disebabkan oleh
tumpukan thrombus pada pembuluh darah otak, sehingga aliran darah ke otak
menjadi terhenti. Stroke iskemik merupakan sebagai kematian jaringan
otak karena pasokan darah yang tidak kuat dan bukan disebabkan oleh
perdarahan. Stroke iskemik biasanya disebabkan oleh tertutupnya
pembuluh darah otak akibat adanya penumpukan penimbunan lemak (plak)
dalam pembuluh darah besar (arteri karotis), pembuluh darah sedang (arteri
serebri), atau pembuluh darah kecil.6,7 Gejala lateralisasi (fokal) lebih
menonjol: kelemahan gerak satu sisi, afasia, gangguan memori, kelumpuhan
nervus kranial (bicara pelo, mulut mencong, baal seisi wajah, kesulitan
menelan).(MMN) Stroke iskemik secara patogenesis dibagi menjadi:
1. Emboli Serebri
Stroke iskemik yang disebabkan karena embolik yang pada umumnya
berasal dari jantung. Gejalanya mendadak (paling cepat di antara semua
jenis stroke), stroke dengan jenis ini sering terjadi waktu bergiat, kadang
waktu istirahat. Umumnya kesadaran bagus, namun dapat menurun bila
emboli besar, dan sering mengenai usia decade 2-3 dan 7.6,7
2. Trombosis Serebri
Stroke iskemik yang disebabkan karena trombosis pada arteri karotik
interna secara langsung masuk ke arteri serebri media. Gejala
akut/subakut dan sering didahului gejala prodromal (TIA). Stroke jenis
ini sering terjadi waktu istirahat dan saat bangun pagi, dan biasanya
kesadarannya bagus. Sering mengenai usia decade 6-8.6,7
16

B. Stroke Hemoragik/Perdarahan
Stroke Stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak,
sehingga menimbulkan perdarahan di otak dan merusaknya. Stroke hemoragik
biasanya terjadi akibat kecelakaan yang mengalami benturan keras di
kepala dan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak.Stroke
6,7
hemoragik juga bisa terjadi karena tekanan darah yang terlalu tinggi.
Pecahnya pembuluh darah ini menyebabkan darah menggenangi
jaringan otak di sekitar pembuluh darah yang menjadikan suplai darah
terganggu, maka fungsi dari otak juga menurun. Penyebab lain dari
stroke hemoragik yaitu adanya penyumbatan pada dinding pembuluh
darah yang rapuh (aneurisme), mudah menggelembung, dan rawan
pecah, yang umumnya terjadi pada usia lanjut atau karena faktor keturunan.
Stroke hemoragik dibagi menjadi dua yaitu :6,7
1. Perdarahan Intraserebral (PIS)
PIS yaitu pendarahan terjadi dalam jaringan otak. Adapun gejala
klinis dari PIS ini beragam. Nyeri kepala berat, lemah, muntah, dan
adanya darah pada rongga subarakhnoid pada pemeriksaan fungsi lumbal
merupakan gejala penyerta yang khas. Penyebab yang paling utama
dari PIS pada lansia yaitu hipertensi, robeknya pembuluh darah,
rusaknya formasi/bentuk pembuluh darah, tumor, gangguan pembekuan
darah, dan sebab lain yang tidak diketahui. Pada perdarahan intrakranial,
bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada
salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau
gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan terutama pada usia lanjut.
2. Perdarahan Subarachnoid (PSA)
PSA merupakan keadaan yang akut. Pendarahan ini terjadi pada ruang
subarakhnoid (ruang sempit antar permukaan otak dan lapisan
17

jaringan yang menutupi otak). Darah di rongga subarakhnoid merangsang


selaput otak dan menimbulkan meningitis kimiawi.
Darah yang sampai pada ventrikel (rongga-rongga kecil)
dapat menggumpal dan mengakibatkan hidrosefalus akut. Penderita
PSA mengeluh nyeri kepala yang hebat, juga dijumpai nyeri di punggung,
rasa mual, muntah dan rasa takut. Dampak yang paling mencelakakan dari
PSA yaitu apabila perdarahan pembuluh darah itu menyebabkan
cairan yang mengelilingi otak dan mengakibatkan pembuluh darah
di sekitarnya menjadi kejang, sehingga menyumbat pasokan darah ke
otak.

Bedasarkan defisit neurologis dibagi menjadi empat jenis yaitu :6,7


a. Transient Ischemic Attack (TIA) Merupakan gangguan pembuluh
darah otak yang menyebabkan timbulnya defisit neurologis akut
yang berlangsung kurang kurang dari 24 jam. Stroke ini tidak akan
meninggalkan gejala sisa sehingga pasien tidak terlihat pernah
mengalami serangan stroke. Akan tetapi adanya TIA merupakan
suatu peringatan akan serangan stroke selanjutnya sehingga tidak
boleh di abaikan begitu saja.1,2
b. Reversible Ischemic Neurological Deficid (RIND)Kondisi RIND
hampir sama dengan TIA, hanya saja berlangsung lebih lama,
maksimal 1 minggu (7 hari). RIND juga tidak meninggalkan gejala
sisa.1,2
c. Complete Stroke Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang
menyebabkan deficit neurologis akut yang berlangsung lebih dari 24
jam. Stroke ini akan meninggalkan gejala sisa. 1,2
d. Stroke in Evolution (Progressive Stroke) Stroke ini merupakan jenis
yang terberat dan sulit di tentukan prognosanya.Hal ini disebabkan
kondisi pasien yang cenderung labil, berubah-ubah, dan dapat
mengarah ke kondisi yang lebih buruk.1,2
18

Berdasarkan klinisnya, stroke dibagi menjadi 2, yaitu : 6,7


a. Lacunar Syndromes (LACS)
Terjadi penyumbatan tunggal pada lubang arteri sehingga
menyebabkan area terbatas akibat infark yang disebut dengan lacune.
Istilah lacune adalah salah satu yang patologis dan akan tetapi
terdapat beberapa kasus di literature yang memiliki kolerasi patologi
dengan klinikoradiologikal. Mayoritas lacune terjadi di area seperti
nucleus lentiform dan gejala klinisnya tidak di ketahui.Terkadang
terjadi kemunduran kognitif pada pasien Lacunar yang lain juga
dapat mengenai kapsula interna dan pons di mana akan
mempengaruhi traktus asendens dan desendens yang menyebabkan
defisit klinis yang luas. Bila di ketahui lebih awal tentang dasar pola
neuovaskuler, lesi tersebut dapat di kurangi sehingga mempunyai
tingkat kognitif dan fungsi visual yang lebih tinggi. Jadi LACS
memiliki defisit maksimal dari gangguan pembuluh darah tunggal,
tanpa gsnggusn visual, tidak ada gangguan pada level fungsi kortikal
yang lebih tinggi serta tidak ada tanda gangguan pada batang otak.
b. Posterior Circulation Syndromes (POCS)
Menyebabkan kelumpuhan bagian saraf cranial ipsilateral (tunggal
maupun majemuk) dengan kontralateral defisit snsorik meupun
motoric.Terjadi pula defisit motorik-motorik bilateral.Gangguan
gerak bola mata (horizontal maupun vertical), gangguan cerebellar
tanpa defisit traktus bagian ipsilateral, terjadi hemianopia atau
kebutaan kortikal.
19

2.3 Alur penegakan diagnosis sesuai skenario


A. Anamnesis
Langkah awal dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien adalah
anamnesis, terkait dengan pasien suspect stroke ada beberapa pertanyaan yang
dapat diajukan kepada pasien seperti; waktu terjadinya keluhan apakah
keluhan terjadi secara tiba-tiba, saat pasien beraktivitas, atau saat pasien
baru bangun tidur?), faktor risiko pada pasien maupun keluarga , riwayat
merokok Konsumsi alcohol, ataupun menanyakan apakah pasien mengalami
riwayat jatuh/trauma yang akan membantu mengarahkan diagnosis kita. 8,9
Pada puskesmas, dapat digunakan Cincinnati prehospital scale (CPSS),
sebuah table yang dapat diisi oleh pasien atau keluarga pasien yang bisa
digunakan untuk mengklasifikasikan stroke yang dialami pasien. 9

Gambar 2.4 : Cincinnati Prehospital Stroke Scale.


Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman-Pengendalian-Stroke. 2013.
18p.9

Dengan menggunakaan CPSS kita dapat mengklasifikasikan stroke


pasien menjadi TIA (transient ischemic attack), Reversibel ischemic deficit
(RIND), stroke in evolution, completed stroke.2 Selain metode diatas, ada juga
metode FAST untuk mengenali stroke yakni :8
20

a. F (facial drop) dimana pasien mengalami mulut mencong/asimetris


b. A (arm weakness) dimana pasien mengalami kelemahan pada tangan
c. S (speech difficulties) dimana pasien mengalami kesulitan berbicara
d. T (time to seek medical help) yaitu waktu bila tiba di RS dengan cepat.

B. Pemeriksaan Fisik
Setelah selesai dengan anamnesis, selanjutnya pasien akan melewati
serangkaian pemeriksaan fisik. Ada beberapa pemeriksaan fisik yang
dilakukan untuk membantu diagnosis pasien, yaitu :9,10
1) Pemeriksaan derajat kesadaran (GCS) : menilai apakah pasien datang
dengan keadaan compos mentis atau sudah terjadi penurunan kesadaran
2) Defisit neurologis : kelemahan atau kehilangan sensori padaa wajah,
tangan, hemianopia, afasia, disfagia dan sebagainya.
3) Auskultasi dari jantung ke leher : menentukan apakah ada kelainan pada
jantung yang berkaitan dengan timbulnya stroke pada pasien
4) Tekanan darah pada ke-4 ekstremitas : pada skenario pasien mengalami
hipertensi dengan tekanan darah sebesar 200/100mmHg yang mana hal
ini dapat menjadi faktor risiko penyebab stroke pada pasien.
5) Pemeriksaan refleks patologis : dilakukan untuk menilai adakah refleks
patologis yang muncul pada pasien yang menginterpretasikan terjadinya
lesi pada otak pasien..Salah satu pemeriksaan refleks patologis yang
dilakukan dalam skenario adalah refleks babinski. Pemeriksaan refleks
ini dilakukan dengan kondisi pasien berbaring dengan tungkai diluruskan,
kemudian ppemeriksa menggores ujung palu refleks dengan perlahan
tanpa menimblkan nyeri ke bagian lateral telapak kaki pasien mulai dari
tumit hingga pangkal ibu jari kaki pasien. Refleks dikatan positif bila
terjadi dorsofleksi dari ibu jari pasien dan mekarnya jari-jari yang lain.
Hasil pemeriksaan yang positif menandakan terjadinya lesi pada UMN
(upper motor neuron) dari pasien
21

Gambar 2.5 : Refleks Babinski.


Sumber : Bahar A, Wuysang D. Pemeriksaan sistem motorik dan refleks fisiologis,
patologis dan prmitif. Makassar: Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hassanuddin; 2014. 19p.10

6) Penilaian dengan Siriraj Score : digunakan untuk menentukan jenis stroke


yang dialami pasien. Apakah tergolong kedalam stroke iskemik atau
stroke hemoragik.

Gambar 2.6 : Siriraj Score.


Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman-Pengendalian-Stroke.
2013. 19p.9
22

C. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendukung diagnosis pasien dengan suspect stroke yaitu :9,11,12,13,14,15
1) Darah lengkap : pada skenario terdapat kelainan pada Hb dan lekosit
pasien yang mengalami peningkatan, peningkatan Hb yang terjadi pada
pasien, menandakan terjadinya hipoksia pada tubuh pasien, serta
peningkatan pada leukosit pasien menandakan terjadinya inflamasi pada
tubuh pasien dalam hal ini adalah inflamasi pada pembuluh darah pasien
yang menyebabkan gangguan aliran darah ke otak.
2) Gula darah : gula darah yang tinggi dapat menjadi penanda penyakit
bawaan lain seperti diabetes mellitus yang merupakan faktor risiko
penyebab terjadinya stroke. Pada skenario didapati GDS normal, jadi gula
darah tidak menjadi faktor risiko penyebab stroke pada pasien.
3) EKG : menganalisis kelainan pada jantung yang mungkin berkaitan
dengan kejadian stroke pada pasien.
4) CT-Scan : untuk membantu diagnosis pasti pasien, digunakan untuk
menentukan jenis stroke yang dialami pasien. Pada skenario terdapat les
hiperdens pada region temporoparietal sinistra pasien yang merupakan
tanda khas terjadi pada stroke hemoragik. 9,11,12,13,14,15

Gambar 2.7 : Stroke Hemoragik pada Pemeriksaan CT-Scan.


Sumber : Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Jakarta: Departemen
neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 520p.8
23

5) Rontgen thoraks : menganalisis kelainan pada jantung dan pulmo yang


mungkin berkaitan dengan kejadian stroke pada pasien. Pada skenario
terdapat pembesaran pada jantung pasien (cardiomegaly)
6) Profil lipid (kolesterol total,HDL,LDL,trigliserida) : peningkatan profil
lipid yang terjadi pada pasien dapat menjadi faktor risiko terbentuknya
sumbatan pada pembuluh darah (aterosklerosis) yang menjadi faktor risiko
terjadinya stroke, dalam skenario terjadi peningkatan pada trigliserida
sebanyak 10mg/dl.

2.4 Tatalaksana secara farmakologi dan non-farmakologi


A. Farmakologi
1. Fibrinolitik/trombolitik (rtPA) intravena
Golongan obat ini digunakan sebagai terapi reperfusi untuk
mengembalikan perfusi darah yang terhambat pada serangan stroke akut.
Jenis obat golongan ini adalah alteplase, tenecteplase dan reteplase, namun
yang tersedia di Indonesia hingga saat ini hanya alteplase. Obat ini bekerja
memecah trombus dengan mengaktivasi plasminogen yang terikat pada
fibrin. Efek samping yang sering terjadi adalah risiko pendarahan seperti
pada intrakranial atau saluran cerna; serta angioedema. Kriteria pasien
yang dapat menggunakan obat ini berdasarkan rentang waktu dari onset
gejala stroke dapat dilihat pada tabel 1 (onset gejala <3 jam) dan 2 (onset
gejala 3-4,5 jam).16
2. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) dan lower molecular weight heparin
(LMWH) termasuk dalam golongan obat ini. Obat golongan ini seringkali
juga diresepkan untuk pasien stroke dengan harapan dapat mencegah
terjadinya kembali stroke emboli. Terapi antikoagulan dapat diberikan
dalam 48 jam setelah onset gejala apabila digunakan untuk pencegahan
kejadian tromboemboli pada pasien stroke yang memiliki keterbatasan
24

mobilitas dan hindari penggunaannya dalam 24 jam setelah terapi


fibrinolitik.16
3. Antiplatelet
Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke untuk
pencegahan stroke ulangan dengan mencegah terjadinya agregasi platelet.
Aspirin merupakan salah satu antiplatelet yang direkomendasikan
penggunaannya untuk pasien stroke. Penggunaan aspirin dengan loading
dose 325mg dan dilanjutkan dengan dosis 75- 100mg/hari dalam rentang
24-48 jam setelah gejala stroke. Penggunaannya tidak disarankan dalam
24 jam setelah terapi fibrinolitik.16
4. Antihipertensi
Peningkatan nilai tekanan darah pada pasien dengan stroke iskemik
akut merupakan suatu hal yang wajar dan umumnya tekanan darah akan
kembali turun setelah serangan stroke iskemik akut. Peningkatan tekanan
darah ini tidak sepenuhnya merugikan karena peningkatan tersebut justru
dapat menguntungkan pasien karena dapat memperbaiki perfusi darah ke
jaringan yang mengalami iskemik, namun perlu diingat peningkatan
tekanan darah tersebut juga dapat menimbulkan risiko perburukan edema
dan risiko perdarahan pada stroke iskemik. Oleh karena itu seringkali pada
pasien yang mengalami stroke iskemik akut, penurunan tekanan darah
tidak menjadi prioritas awal terapi dalam 24 jam pertama setelah onset
gejala stroke, kecuali tekanan darah pasien >220/120 mmHg atau apabila
ada kondisi penyakit penyerta.16
25

Gambar 2.8 : Pilihan obat Antihipertensi


Sumber : Presley B. Penatalaksanaan Farmakologi Stroke Iskemik Akut. Bul Rasional
[Internet]. 2013;12(1):6–8. Available from:http://repository.ubaya.ac.id/21378/1/Rasional
Vol 12 No 1.pdf.16

5. Obat Neuroprotektif
Tujuan pemberian obat golongan neuroprotektor adalah sebagai
perlindungan pada sistem saraf pusat yang mengalami infark. khususnya
penumbra.16

B. Non-Farmakologi
1. Terapi Akut
Intervensi pada pasien stroke iskemik akut yaitu dilakukan
bedah.Dalam beberapa kasus edema iskemik serebral karena infark yang
besar, dilakukan kraniektomi untuk mengurangi beberapa tekanan yang
meningkat telah dicoba.Dalam kasus pembengkakan signifikan yang
terkait dengan infark serebral, dekompresi bedah bisa menyelamatkan
nyawa pasien.17
2. Terapi pemeliharaan stroke
Terapi non farmakologi juga diperlukan pada pasien paska stroke.
Pendekatan interdisipliner untuk penanganan stroke yang mencakup
rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke
26

berulang pada pasien tertentu.Pembesaran karotid dapat efektif dalam


pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi berisiko tinggi
selama endarterektomi. itu modifikasi gaya hidup berisiko terjadinya
stroke dan faktor risiko juga penting untuk menghindari adanya
kekambuhan stroke. Misalnya pada pasien yang merokok harus
dihentikan, karena rokok dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan.17

2.5 Upaya Pencegahan

a. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan
primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti
berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat
selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu,
promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan
kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke
melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.18,19
b. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan
gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain menghindari rokok, stress, alkohol,
kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin,
kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan.18
Mengendalikan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung (misalnya
fibrilasi atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit
vaskular aterosklerotik lainnya. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang
seperti, makan banyak sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan
tuna, minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang rendah
27

lemak dan gula, serealia, dan susu rendah lemak serta dianjurkan berolah raga
secara teratur.18,19
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.
Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar
stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah obat-
obatan, yang digunakan asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat
antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80- 320
mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor risiko
penyakit jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan
kondisi koagulopati yang lain.18,19
Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg, merupakan pilihan obat antiagregasi
trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontra
indikasi terhadap asetosal (aspirin). Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko
stroke, misalnya mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada
penderita hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita
diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada
penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol,
hindari kelebihan berat badan, dan kurang gerak.18
d. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita
stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan
seharihari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik,
mental, dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari
dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli
okupasional, petugas sosial, dan peran serta keluarga. Rehabilitasi fisik pada
penderita stroke dilakukan dengan terapi yang dapat membantu proses
pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama
28

adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris


penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi,
dan keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur.18,19,20
Terapi yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau
OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti mandi, memakai baju, makan, dan buang air.
Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih
kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman
serta dapat berkomunikasi dengan orang lain.20,21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Stroke merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan


kematian pada penderita. Pola hidup yang tidak sehat seperti merokok, makan
makanan yang mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi serta kurang
berolahraga, merupakan faktor resiko yang serinh dilakukan oleh semua orang.
Stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragic,
berdasarkan skenario kemungkinan pasien mengalami stroke hemoragic, sehingga
mengakibatkan kelumpuhan di separuh bagian tubuh, nyeri kepala yang hebat,
muntah, dan mulut mencong. Hal ini disebabkan karena pasien merupakan lansia
yang sering merokok dan mempunyai tekanan darah yang tinggi, sehingga
membuat pembuluh darah menipis akibat degenerasi pembuluh darah pada lansia
hal ini mengakibatkan terjadi ruptur pada pembuluh darah otak, sehingga
mengakibatkan perdarahan di otak dan membuat tekanan intrakranial bertambah
hal inilah yang memicu terjadinya stroke hemoragic. Stroke dapat dicegah dengan
menerapkan pola hidup sehat, rajin berolahraga, dan pada pasien stroke dapat
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kekambuhan ulang, dengan cara rutin
mengkonsumsi obat dari dokter, rutin melakukan rehabilitasi medik, dan
mendapatkan motivasi dari keluarga.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Prasetyo DA. Efektivitas Mirror Therapy terhadap Peningkatan Kekuatan


Menggenggam pada Pasien Post Stroke dengan Hemiparesis di Rs. TK II dr,
Soepraoen Malang [thesis]. Malang: Faculty of Health Science Department of
Physiotherapy University of Muhammadiyah; 2019. 29-31p.
2. Siregar Sahala Audia. Hubungan Kualitas Tidur Dengan Nyeri Kepala Migren
dan Tensio Type Headache Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Stambuk 2014. Medan, Universitas Sumatera Utara, 2017. 5-16p.
3. Jatmiputri, Belladonna Syifa Sabila, Maria, dkk. Pengaruh Stres Kerja Terhadap
Kejadian Nyeri Kepala Pada Pekerja Ground Handling (Studi Kasus di Bandara
Ahmad Yani Semarang). Faculty of Medicine, 2017. 7-19p.
4. Wardana IYG. Aspek anatomi klinis nervus cranialis [tulisan]. Bali: Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2017. 6-8
5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: UI
Publishing; 2021. 55-6
6. Wardhana WA. Strategi Mengatasi & Bangkit dari Stroke. Yogyakarta: Pustaka
pelajar. 2011.
7. Rasyid AL, Soertidewi, L. Unit Stroke: Manejemen Stroke secara komperhensif.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2011.
8. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Jakarta: Departemen neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 1–782p.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman-Pengendalian-Stroke.
2013. 1-60p.
10. Bahar A, Wuysang D. Pemeriksaan sistem motorik dan refleks fisiologis,
patologis dan prmitif. Makassar: Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hassanuddin; 2014. 1–24p.

30
31

11. Amir SMJ, Wungouw H, Damajant P. Kadar glukosa darah sewaktu pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di puskesmas bahu kota manado. Jurnal e-
Biomedik.2015;3(1):32-40.
12. Naim MR, Sulastri S, HAdi S. Gambaran hasil pemeriksaan kadar kolesterol pada
penderita hipertensi di RSUD syeikh yusuf kabupaten gowa. Jurnal media
laboran.2019;9(2):33-8.
13. Sarira R, Warsyidah AA, Nardin. Gambaran hasil pemeriksaan kadar trigliserida
pada petugas perawatan lantai 4 RSU wisata Universitas Indonesia Timur
Makassar 2018. Jurnal media laboran.2017;7(2):1-6.
14. Rinawati D, Reza M. Gambaran hitung jumlah dan jenis leukosit pada eks
penderita kusta di RSK Sitanala Tangerang tahun 2015. Jurnal
medikes.2016;3(1):99-105.
15. Gunadi VIR, Mewo YM, Tiho M. Gambaran kadar hemoglobin ada pekerja
bangunan. Jurnal e-Biomedik.2016;4(2):1-6.
16. Presley B. Penatalaksanaan Farmakologi Stroke Iskemik Akut. Bul Rasional
[Internet]. 2013;12(1):6–8. Available from: http://repository.ubaya.ac.id/21378/1/
Rasional Vol 12 No 1.pdf
17. Goyena R, Fallis A. Stroke Non Hemoragik. J Chem Inf Model.
2019;53(9):1689–99.
18. Budianto P, Prabaningtyas H, Putra SE, Mirawati diah K, Muhammad F, Hafizan
M. Stroke iskemik akut : dasar dan klinis. 2021;(January):84p.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman-Pengendalian-Stroke.pdf.
Pedoman Pengendalian Stroke. 2013.1–2p.
20. Putra AHHP. 50 Years Oldman with Haemorrhagic Stroke. J Agromed Unila.
2014;13p.
21. Sinaga J, Sembiring E. Pencegahan Stroke Berulang Melalui Pemberdayaan
Keluarga Dan Modifikasi Gaya Hidup. J Abdimas. 2019;22(2):143–50.

Anda mungkin juga menyukai