Anda di halaman 1dari 21

BLOK MUSCULOSKELETAL LAPORAN PBL

Sabtu, 8 Oktober 2022

“Drop Foot”

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1

Tutor :
dr. Cokorda Istri Arintha Devi, Sp. An

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2022
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK 4

Ketua : Marines Leunupun................................................ 2019-83-022


Sekretaris 1 : Jane Paula Jovita Hehanussa ................................ 2019-83-032
Sekretaris 2 : Tesya Stevany Saiya ........................................... 2019-83-024
Anggota :
1. Lavenia Bertha Kaihatu ................................. 2018-83-040
2. Fira Azahra Rehalat ....................................... 2018-83-137
3. Sulthona Matdoan.......................................... 2018-83-144
4. Iren Dicke Sohilait ........................................ 2019-83-001
5. Stevani Kesaulya ........................................... 2019-83-002
6. Frandy Novembri Sunaidi .............................. 2019-83-004
7. Yuni Zikra Sangadji....................................... 2019-83-005
8. Revi Arenda Rumbawa .................................. 2019-83-015
9. Dian Ayu Sumardi ......................................... 2019-83-017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “Drop
Foot” ini tepat waktu.
Laporan ini memuat hasil diskusi kami selama tutorial 1 dan tutorial 2 Problem
Based Learning (PBL). Laporan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
kami ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Cokorda Istri Arintha Devi, Sp. An, selaku tutor yang telah mendampingi
kami selama diskusi PBL berlangsung.
2. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Akhir kata, kami menyadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan laporan kami selanjutnya.

Ambon, 8 Oktober 2022

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK 4 ................................................ i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Skenario ....................................................................................................... 1


1.2. Seven Jumps ................................................................................................ 1
1.2.1. Step I : Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci ..............................1
1.2.2. Step II : Indentifikasi Masalah ...............................................................1
1.2.3. Step III : Hipotesis Sementara ................................................................1
1.2.4. Step IV : Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping ................................3
1.2.5. Step V : Learning Objectives .................................................................3
1.2.6. Step VI : Belajar Mandiri .......................................................................4
1.2.7. Step VII : Presentasi dan Belajar Mandiri .............................................4

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Defenisi dan Etiologi Drop Foot ................................................................... 5


2.2. Patofisiologi Drop Foot ................................................................................ 5
2.3. Alur Penegakan Diagnosis Drop Foot ........................................................... 6
2.4. Diagnosis Banding Drop Foot ...................................................................... 9
2.5. Tatalaksana Drop Foot ................................................................................ 11
2.6. Pencegahan dan Edukasi Drop Foot ............................................................ 13

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ v

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Mind Mapping ................................................................................ 3


Gambar 2.1. Cara Memegang dan Manipulasi Retinoskop ................................. 11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Skenario
“Drop Foot”
https://vt.tiktok.com/ZSRHH2qPG/
1.2. Seven Jumps
1.2.1. Step I: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci
1.2.1.1. Identifikasi Kata Sukar
1. Drop foot : ketidakmampuan untuk mengangkat kaki depan karena
kelemahan dorso flexi kaki.
2. Neurologic disorder : Sebuah penyakit yang menyerang pada bagian
sistem saraf seperti otak, otot, saraf tulang belakang dan saraf tepi.
3. Saraf peroneal : Cabang dari saraf siatik yang berfungsi untuk
menggerakan dan sensasi ke kaki dan jari kaki.
1.2.1.2. Identifikasi Kalimat Kunci
Kaki kanan sukar digerakkan
1.2.2. Step II: Identifikasi Masalah
1. Faktor resiko apa saja yang terkait dengan skenario?
2. Apa pengobatan awal yang dapat diberikan sesuai dengan skenario?
3. Otot apa saja yang berfungsi mengontrol pergerakan dorso flexi
kaki?
4. Apa saja tanda dan gejala drop foot?
5. Apa saja pencegahan dan edukasi terhadap gejala yang sesuai
dengan skenario?
6. Diagnosis banding apa saja yang dapat diberikan sesuai dengan
skenario?
1.2.3. Step III: Hipotesis Sementara
1. Drop foot timbul karena adanya masalah persarafan dan pada
tungkai kaki. Faktor resiko yaitu duduk dengan melipat kaki yang
menyebabkan penyempitan siatik, dimana saraf ini memasok

1
gerakan dan sensasi ke kaki bagian bawah, kaki, dan jari kaki
menyebabkan drop foot di kemudian hari. Selain itu, stroke juga
dapat menyebabkan drop foot yang menyebabkan keterbatasan,
cedera dalam berolahraga, menggunakan gips karena patah tulang
dengan waktu yang cukup lama dan berlutut berkepanjangan dapat
menyebabkan terjadinya drop foot.
2. Pengobatan awal yang dapat diberikan yaitu penggunaan penyangga
pada pergelangan kaki untuk mengembalikan ke posisi yang normal.
AFO juga dapat diberikan dengan tujuan untuk dorso flexi jari-jari
kaki dan membantu stimulasi.
3. Otot yang mengontrol pergerakan dorso flexi : Tibialis anterior
disarafi oleh nervus peroneus profundus, muskulus perineus tertius,
muskulus ekstensor digitorum longus, muskulus ekstensor hallucis
longus dan muskulus fibularis tertius yang dipersarafi oleh nervus
fibularis posterior.
4. Gejala yang sering muncul pada penderita drop foot yaitu:
a. Kesulitan mengangkat kaki bagian depan, sehingga pada saat
berjalan nampak sedang menyeret kaki bagian depan.
b. Muncul steppage gait yaitu mengangkat kaki bagian atas lebih
tinggi seperti pada saat sedang menaiki anak tangga untuk
membantu kaki depan terangkat.
c. Muncul rasa kebas atau mati rasa pada kulit di sekitar kaki atau
ibu jari akibat steppage gait berulang, yang menekan kulit pada
daerah tersebut.
d. Hilangnya kontrol otot bagian tungkai bawah dan kaki, atrofi
kaki, gangguan saraf seperti stroke dan cedera olahraga,
penurunan massa otot dimana melemah sehingga massa otot
berkurang disebabkan karna autoimun, mati rasa atau hilangnya
sensasi sehingga sulit menggerakan kaki dan berjalan.
5. Pencegahan utama dari foot drop adalah dengan menghindari faktor
risiko yang dapat meningkatkan timbulnya kondisi tersebut.

2
Pencegahan umumnya dilakukan untuk menghindari risiko jatuh
atau tersandung akibat foot drop. Berikut ini beberapa tindakan yang
dapat dilakukan:
a. Selalu rapikan lantai dari barang-barang yang berserakan.
b. Hindari penggunaan karpet yang lebar.
c. Jauhkan kabel-kabel di sekitar area berjalan.
d. Gunakan pencahayaan yang pas di ruangan rumah, maupun di
sekitar tangga.
6. Diagnosis banding :
a. Gangguan pada serebelum : Menyebabkan gangguan
keseimbangan dan gaya jalan.
b. Gangguan neuro motorik : Menyebabkan kelemahan seluruh
ekstremitas.
c. Siatik neuropatik : Cedera pada neuro.
d. Poliomeilitis : Infeksi akut disebabkan oleh kelompok virus dari
neurotropik
1.2.4. Step IV: Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping

Gambar 1.1. Mind Mapping


1.2.5. Step V: Learning Objectives
1. Mahasiswa/I mampu menjelaskan defnisi dan etiologi drop foot
2. Mahasiswa/I mampu menjelaskan patofisologi drop foot

3
3. Mahasiswa/I mampu menjelaskan alur penegakan diagnosis drop
foot
4. Mahasiswa/I mampu menjelaskan diagnosis banding drop foot
5. Mahasiswa/I mampu menjelaskan tatalaksana drop foot
6. Mahasiswa/I mampu menjelaskan pencegahan dan edukasi drop foot
1.2.6. Step VI: Belajar Mandiri
(mencari jawaban dari learning objectives yang sudah ditentukan)
1.2.7. Step VII: Presentasi Hasil Belajar Mandiri
(mempresentasikan jawaban dari hasil belajar mandiri)

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Defenisi dan Etiologi Drop Foot


Foot drop merupakan suatu kondisi yang pergelangan kakinya mengalami
kesulitan untuk mengangkat atau menyeret ditanah selama fase ayunan dari
siklus berjalan. Foot drop biasanya terjadi pada penderita stroke, cedera tulang
belakang, atau gangguan lain dari sistem saraf yang mengakibatkan
melemahnya fungsi motorik bagian bawah. Salah satu metode untuk
mendeteksi foot drop adalah analisa gait. Analisa gait merupakan metode yang
paling populer untuk melihat variasi pola berjalan dan kemungkinan adanya
ketidaknormalan. Ketidaknormalan yang terjadi akibat foot drop disebabkan
oleh melemahnya otot tibialis anterior dan peroneal nerve.1
Foot drop dapat disebabkan oleh kerusakan saraf saja. Namun juga
disebabkan oleh kerusakan otot atau anatomi abnormal, kerusakan saraf, tumor
atau penyakit, cedera saraf tulang belakang, penyakit atau masalah terkait,
diabetes, neuropati, stroke, cedera dorsifleksor, toksisitas obat, cerebral palsy,
multiple sclerosis, distrofi amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan penyakit
parkinson.2
Diantara beberapa faktor yang menyebabkan DF adalah kerusakan saraf
perifer. Dimana saraf perifer yang terkena adalah common peroneal nerve.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan sangat khas yaitu hilangnya fungsi
motorik dari gerakan eversi dan ekstensi jari-jari kaki dan dorsoflexi secara
keseluruhan ataupun sebagian dapat terjadi pada ketiga gerakan ataupun salah
satu diantaranya. Fungsi sensoris yang terganggu pada area inervasi sensoris
dari common peroneal nerve yaitu pada bagian area dorso lateral tungkai
bawah dan maleolus lateralis serta punggung kaki dan kelima jari kaki. 2
2.2. Patofisiologi Drop Foot
Drop foot merupakan hasil dari gangguan neurologis dapat menjadi pusat
(otak sumsum tulang belakang) atau perifer (saraf terletak menghubungkan
dari sumsum tulang belakang ke otot atau reseptor sensorik). Drop foot hasil

5
dari patologi yang melibatkan otot-otot atau tulang yang membentuk kaki
bagian bawah. tibialis anterior adalah otot yang digunakan untuk mengangkat
kaki. itu dipersarafi oleh saraf peroneal fibula, yang cabang dari saraf sciatic.
saraf sciatic keluar ruang saraf lumbal. Otot tibialis anterior di hadapan foot
drop, membuat patologi jauh lebih kompleks daripada foot drop. Penurunan
kaki biasanya kondisi lembek atau tidak ada kontraksi otot. 3
2.3. Alur Penegakan Diagnosis Drop Foot
Foot Drop dapat menjadi tantangan untuk didiagnosis karena beberapa
penyebab potensial dengan gejala yang tumpang tindih. Proses diagnostik
untuk foot drop termasuk melakukan anamnesis yang baik dan benar,
pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang dan meninjau riwayat medis. Jika
diperlukan, satu atau lebih tes diagnostik mungkin diperlukan. Diagnosis drop
foot yang tepat akan sangat berengaruh terhadap rencana perawatan dan pilihan
terapi pembedahan:4
2.3.1. Anamnesis4
a) Keluhan Utama : Diduga pasien tidak bisa mengangkat kaki bagian
depan (Foot Drop).
b) Keluhan Penyerta : Apakah ada keluhan lain selain keluhan sulit
mengangkat kaki tersebut?
c) Riwayat Penyakit Dahulu : Apakah ada kelemahan pada kaki pasien atau
tidak?
d) Riwayat Keluarga : Apakah ada dari keluarga yang mengalami keluhan
yang sama?
e) Riwayat Trauma : Apakah ada trauma pada lutut atau pinggul?
f) Riwayat Kebiasaan : Duduk atau bersilah?
g) Riwayat Operasi : Pinggul atau lutut?
2.3.2. Pemeriksaan Fisik5
a) Tes Berjalan (Gait)2
 Hemiplegia gait
 Diplegic gait
 Neurophaty Gait (steppage gait)

6
 Myiopati gait (waddling gait)
b) Status Lokalis4
 Inspeksi : kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit. Jaringan lunak
yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo,ligamen, jaringan lemak,
fasia, kelenjar limfe. Tulang dan Sendi Sinus dan jaringan parut.
 Palpasi : Meraba Suhu kulit, jaringan lunak, nyeri tekan, tulang dan
juga mengukur panjang anggota gerak.
c) Pemeriksaan Sensoris5
 Sentuhan ringan
 Sensasi nyeri
 Sensasi getaran
 Propriosepsi
 Lokalisasi taktil
2.3.3. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi
laboratorium sampai saat ini belum menunjukan hasil yang bermakna.
Penurunan kaki unilateral spontan secara tiba tiba dengan keadaan awal
yang sehat, memerlukan investigasi lebih lanjut kedalam penyebab
seperti penyebab metabolik, termasuk diabetes, penyalahgunaan alkohol,
dan paparan racun.5 Tes-tes laboratorium yang sering digunakan adalah
sebagai berikut:5
 Gula darah puasa
 Hemoglobin A1C
 Tingkat sedimentasi eritrosit
 C – reaktif protein
 Elektroforesis protein serum atau immunoelectro-osmophoresis
 BUN
 Kreatinin
 Tingkat Vitamin B-12

7
b) Radiologi :
1) Foto Polos :
Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni,
pasca trauma dan non trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan
dengan plain foto tibia dan fibula serta pergelangan kaki untuk melihat
cedera tulang. Plain foto polos non trauma dilakukan dengan indikasi
kecurigaan adanya disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto yang
dilakukan dalam kasus disfungsi anatomi adalah plain foto polos kaki
dan pergelangan kaki, dimana dari hasil nanti dapat memberikan
informasi yang berguna. Selain itu plain foto polos tulang belakang
juga diperlukan untuk menilai jarak intravertebralis dan pedicle untuk
mengindikasikan adanya lesi pada saraf yang disebabkan oleh proses
metastase.5
2) Ultrasonografi :
Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan
terjadi pendarahan pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.5
3) Magnetic Resonance Imanging :
MRI dilakukan dengan indikasi kecurigaan terhadap tumor atau
massa tekan ke saraf peroneal, dimana dilakukan dengan sistem
standar 1,5 Tesla MRI. Magnetic Resonance Imanging digunakan
untuk menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi dari saraf perifer,
serta intraneural dan ekstraneural terkait lesi yang terjadi. 5
Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat
gambar anatomi lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi
yanglebiih tinggi, dan dengan bagian potongan yang lebih tipis.
Keunggulan pada MRI ini dapat memberikan gambar yang mampu
menunjukan organisasi fasciculus saraf perifer normal, sehingga
membuat saraf lebih jelas daat dibedakan dari jaringan lain (misalnya,
tumor atau pembuluh darah).5
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk
memungkinkan susunan bagian aksial dan memotong data di bagian

8
lain. Hal ini bermanfaat dalam mengetahui batas longitudinal
keterlibatan saraf tersebut.5
c) Elektromyelogram :
Gangguan metabolisme sering dijadikan diagnosis banding drop foot
seperti yang diuraikan sebelumnya. Drop foot biasanya juga di diagnosis
banding dengan beberapa keadaan seperti, spastisitas, distonia, penyakit
motor neuron, L5 radikulopati, plexopathy lumbosakral, kelumpuhan
saraf siatik, tekan peroneal neuropati, neuropati perifer dan beberapa
miopati.5
Elektromyelogram (EMG) berguna dalam membedakan diagnosa ini.
Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan
lokasi lesi, memperkirakan luasnya cedera, dan memberikan prognosis.
Selain itu EMG juga berguna sebagai studi sekuensial yang bertujuan
untuk memantau pemulihan lesi akut. Elektromyelogram (EMG) sangat
baik digunakan untuk melokalisasi kepala fibula. Elektromyelogram juga
digunakan untuk mengetahui perlambatan atau penurunan amplitudo
ekstensor digitorum brevis di daerah kompresi pada lesi myelin. Pada
perlambatan akann terlihat demyelinasi segmental dan penurunan
amplitudo terlihat dalam blok konduksi.5
2.4. Diagnosis Banding Drop Foot
1. Radikulopati Lumbal 5
Radikulopati lumbal merupakan sebuah proses patologi yang melibatkan
serabut saraf lumbal. Radikulopati ditandai dengan adanya kelemahan,
penurunan sensasi sensorik, atau penurunan motorik yang berkaitan dengan
radiks, maupun kombinasi di antara keduanya serta dapat timbul
bersamaan dengan nyeri radikular. Radikulopati lumbal mengarah pada
inflamasi serabut saraf. Istilah-istilah tidak harus dibingungkan dengan
herniasi discus, yang merupakan perubahan posisi diskus lumbal dari posisi
anatomisnya antara vertebrae (sering mencapai canalis spinalis). Banyak
proses patologis, seperti perambahan tulang, tumor, dan gangguan metabolik

9
(contoh; diabetes), dapat juga menyebabkan radikulopati lumbal. Gejala pasien
radikulopati lumbal 5, yaitu:6
a. Radiasi nyeri: Pantat, tungkai anterior atau lateral dan punggung kaki.
b. Deviasi gait: Kesulitan menjinjit.
c. Kelemahan motorik: Posterolateral femur, anterolateral tungkai dan
medial dorsal kaki.
d. Kehilangan refleks: Medral hamstring.
2. Parkinson
Penyakit Parkinson (PD) adalah penyakit neurodegeneratif yang ditandai
dengan hilangnya neuron dopaminergik secara progresif dan terjadi selama
bertahuntahun. PD merupakan penyakit neurodegeneratif kedua yang paling
umum di seluruh dunia dengan kejadian dan prevalensi meningkat seiring
dengan perubahan demografi populasi. Penyebab PD hingga kini masih kurang
dipahami dan tidak ada strategi terapeutik yang terbukti untuk memperlambat
perkembangan penyakit. Ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa
penyakit ini juga berkaitan dengan proses penuaan dan beberapa diantara
lainnya menyebutkan ada hubungan dengan kelainan genetik. Peningkatan
risiko penyakit Parkinson telah dikaitkan dengan adanya paparan pestisida,
konsumsi susu dan produk olahannya, riwayat melanoma, serta cedera otak
traumatis.7
Gejala utama penyakit ini adalah keluhan motorik, yang meliputi lambatnya
gerakan (bradikinesia), kekakuan, dan tremor saat istirahat. Dalam sumber
lainnya disebutkan bahwa gejala motorik khas dari PD meliputi tremor,
rigiditas, bradykinesia, dan instabilitas postural. Selain gejala motorik, ada
juga gejala non-motorik yang biasa terlihat pada pasien PD. Selama beberapa
dekade terakhir, banyak yang telah menunjukkan adanya keluhan nonmotorik
yang beragam ditemukan pada pasien PD. Gangguan tidur, disfungsi
gastrointestinal, disfungsi kandung kemih, dan bahkan kelelahan (kelelahan
yang ekstrem) telah dijelaskan sebagai keluhan non-motorik yang biasa
ditemukan pada pasien PD. Seorang yang mengidap PD juga terjadi
peningkatan kerentanan terhadap gangguan memori dan perubahan perilaku. 7

10
3. Ataksia
Ataksia berasal dari bahasa Yunani dan berarti “tanpa urutan.” Ataksia
mengacu pada gerakan yang tidak teratur, canggung, dan kesulitan
keseimbangan. Koordinasi gerakan memerlukan beberapa bagian sistem saraf
untuk bekerja bersama dan jika satu area mengalami kerusakan maka ataksia,
dapat terjadi. Area otak yang paling umum yang bertanggung jawab atas
ataksia adalah otak kecil. Gejala ataksia, yaitu:8
a. Kesulitan keseimbangan saat berdiri.
b. Kesulitan berjalan yang mungkin termasuk:
1) Berjalan dengan kaki terbuka lebar
2) Bergoyang atau jatuh ke satu sisi atau yang lain
3) Ketidakmampuan berjalan dalam garis lurus
4) Jatuh karena ketidakstabilan
c. Gerakan tangan yang tidak terkoordinasi dan canggung.
d. Tremor yang biasanya memburuk saat mendekati target.
e. Masalah dengan bicara, terutama pelo.
f. Masalah dengan gerakan mata yang dapat menyebabkan penglihatan ganda
atau kabur.
g. Pusing.
2.5. Tatalaksana Drop Foot
Tatalaksana non farmakologi perlu juga di laksanakan bagi pasien penderita
foot drop agar dapat membantu juga dalam proses penyembuhannya. Terlepas
dari pendekatan bedah atau konservatif, setiap pasien dengan foot drop harus
menjalani target ppelatihan. Tujuan terapeutik meliputi : 9
a. Untuk mengurangi atrofi serat otot
b. Untuk menjaga moobilitas pergelangan kaki
c. Untuk promote reinnervation setelah operasi saraf
d. Untuk mendapatkan control pusat setelah transfer tendon
e. Untuk meningkatkan kemantangan gaya berjalan secara umum
Ada juga beberapa tatalaksana kasual yang juga bisa dilakukan yaitu
neurolisis, tusukan dan aspirasi kista + ligasi cabang articular, reconstruction

11
dan bedah dekompresi/sequestrectomy, tergantung pada temuan (pengobatan
stroke dan pengurangan lesi yang menempati ruang secara bedah
(pengangkatan, perdarahan, reseksi tumor)). Ada pula transfer tendon dan
tindakan simtomatiknya yaitu:9
1) Transfer tendon
- Paresis parah otot tibialis anterior
- Mobilitas pergelangan kaki yang terjaga
- Kekuatan otot tibialis posterior yang baik
- Keoatuhan pasien (6 minggu masa pengobatan tindak lanjut)

2) Fisioterapi
- Pelatihan sensorik dorsiflexor kaki
- Pelatihan gaya berjalan, mengamati berjalan tanpa alas kaki
- Orthosis kaki pergelangan kaki yang disesuaikan
3) Teknik stimulasi
- TENS
- Stimulasi otot langsung (eksperimental)
- Botulinum toxin untuk pasien spastik.

12
Gambar 2.1. Diagnosis dan tatalaksana untuk foot drop.
Sumber: Carolus, A. E., Becker, M., Cuny, J., Smektala, R., Schmieder, K., & Brenke, C.
(2019). The interdisciplinary management of foot drop. Deutsches Arzteblatt International,
116(20), 347–354. https://doi.org/10.3238/arztebl.2019.03479

2.6. Pencegahan dan Edukasi Drop Foot


a. Pencegahan
Salah satu cara termudah dan efektif untuk menghentikan kaki terbentur ke
lantai adalah dengan memakai penyangga atau sisipan sepatu untuk menopang
kaki yang terjadi karena kaki yang sulit untuk diangkat. Hal tersebut dapat
menghindari ketidakseimbangan dan rasa sakit di tempat lain. 10
Dan untuk mencegah terulangnya kembali drop foot atau menghentikannya
terjadi di tempat pertama, maka harus menghindari menyilangkan kaki saat
duduk dan mencoba untuk tidak jongkok atau berlutut untuk waktu yang lama.
Jika itu tidak dapat dihindari, pastikan untuk beristirahat secara teratur dan
gunakan semacam bantalan untuk melindungi lutut. 10
b. Edukasi10

13
1) Mengingatkan pasien untuk tidak melipat atau meluruskan kaki terus
menerus.
2) Menyarankan ke pasien agar menyangga ankle dengan menggunakan bantal
agar berada pada posisi yang tepat.
3) Menyerankan ke pasien agar menggunakan AFO ketika beraktivitas.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Drop foot bukanlah penyakit, melainkan gejala dari masalah yang
mendasari. Tergantung pada penyebabnya, drop foot bisa bersifat sementara
atau permanen. Kebanyakan drop foot disebabkan oleh cedera pada saraf
peroneal dalam lumbal tulang belakang dan sakral. Saraf peroneal adalah
sebuah divisi dari saraf sciatic. Saraf peroneal berjalan di sepanjang bagian luar
kaki bagian bawah (dibawah lutut) dan bercabang ke masing-masing
pergelangan kaki, kaki, dan jari pertama dan kedua. Saraf ini berinervasi atau
mentransmisikan sinyal ke kelompok otot yang bertanggung jawab untuk
pergelangan kaki, kaki, dan gerakan jari kaki dan sensasi jari kaki.
Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik
dengan obat-obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi
tersebut dapat digunakan sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau
lebih modalitas. Penatalaksanaan lini pertama yang biasa dilakukan adalah
fisioterapi atau ankle-foot orthosis (AFO). Terapi medis meliputi obat-obat oral
seperti baclofen, dantrolene, atau tizanidine. Tindakan pembedahan untuk
penatalaksanaan drop foot meliputi selective tendon release, selective dorsal
rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Astrand, P. O., Rodahl, K., Dahl, H. A., & Stromme, S. B. (2018). Textbook of
Work Physiology: Physiological Bases of Exercise, 4 th ed. United States:
Human Kinetic.
2. Pristianto, A., Wijianto, & Rahman, F. (2018). Terapi Latihan Dasar. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
3. Nori SL, Stretanski MF. Foot Drop. 2022 Jun 25. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan–. PMID: 32119280.
4. Crisholm A. Drop foot impairment post stroke: Gait deviation and the
immediate effects of ankle-foot orthosis and functional electrical stimulation.
2018; 1(2): 4-7p.
5. Agna A, Lathifa K. Drop Foot. 2017; 3(2): 28-37p.
6. Pulposus HN. Low Back Pain Low Back Pain (LBP). Kesehatan Indonesia.
2016;5.
7. Nugraha P, Hamdan M. Profil Gejala Motorik dan Non-Motorik pada Pasien
Penyakit Parkinson. Aksona. 2020;1(5):154–8.
8. Dewanto A. Ataksia. Disord Ataxia. 2020;5(3):202.
9. Carolus, A. E., Becker, M., Cuny, J., Smektala, R., Schmieder, K., & Brenke,
C. (2019). The interdisciplinary management of foot drop. Deutsches Arzteblatt
International, 116(20), 347–354. https://doi.org/10.3238/arztebl.2019.0347
10. Sumantri, R. D., Laksmi, K., Dewi, P., Ayu, I. G., Aristya, M., Luh, N. I., Putu,
A. Y. U., Yulantari, I. N., & Antari, Y. U. L. (n.d.). Laporan status klinis stase
neuromuskuler rsup sanglah denpasar. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. 2019.

Anda mungkin juga menyukai