Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH TENTANG ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN RETLESS LEGS SYNDROME,

KEJANG, DAN EPILEPSI

Penyusun : Kelompok V

Yulius Magai

Zaharia

Asniati .S

Helena Oktavia Modouw

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNCEN

ABEPURA 2022
Kata Pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga kami dapat menyelesaikan makalah guna memenuhi tugas kelompok
untuk mata kuliah Keperetawatan Dewasa Sistem Muskuloskeletal, Integumen,
Persepsi Sensori Dan Persarafan, dengan judul : Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Retless Legs Syndrome, Epilepsy Dan Kejang. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Abepura, 12 September 2022

Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................................ii
Daftar Isi............................................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.................................................................................................................2
A. Latar Belakang........................................................................................................2
B. Rumusan Masalah..................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
D. Manfaat Penulisan.................................................................................................4
BAB II.................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................5
A. Konsep Penyakit.....................................................................................................5
1. Definisi...............................................................................................................5
2. Anatomi fisiologi.................................................................................................6
3. Etiologi...............................................................................................................8
4. Menifestasi klinis..............................................................................................10
5. Patofisiologi......................................................................................................13
6. Pathway............................................................................................................15
7. Pemeriksaaan fisik............................................................................................17
8. Pemeriksaan penunjang...................................................................................18
9. Penatalaksanaan..............................................................................................20
B. Proses Keperawatan.............................................................................................22
1. Pengkajian........................................................................................................22
2. Diagnosa...........................................................................................................23
3. Intervensi Keperawatan...................................................................................25
BAB III..............................................................................................................................30
PENUTUP.........................................................................................................................30
A. Kesimpulan...........................................................................................................30
Daftar Pustaka.................................................................................................................31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Restless legs syndrome (RLS), adalah suatu gangguan yang mempengaruhi


neurologi sensorik motorik yang biasanya ditandai dengan adanya gejala seperti
sensasi tidak nyaman pada anggota gerak bagian bawah seperti nyeri, kram otot,
dan kesemutan sehingga memaksa pasien untuk terus menggerakkan kaki, hal
tersebut membuat tidak nyaman dan mengarah pada kualitas hidup pasien dan
fungsi tubuhnya (Widianti dkk, 2017). perilaku restless legs syndrome (sindrom
kaki gelisah) menurut Mckhann & Marilyn (2016) menyatakan bahwa seseorang
yang mengalami restless legs syndrome (sindrom kaki gelisah) akan mengalami
sensasi yang tidak menyenangkan, biasanya akan mengalami kesulitan tidur
ataupun tetap tertidur dan perilaku ini pun dapat muncul ketika seseorang sedang
duduk di tempat yang sempit seperti tempat duduk pesawat, kursi ataupun meja.
Munculnya RLS intensif untuk menggerakkan kaki dan kadang – kadang bagian
lain dari tubuh, hal ini diperburuk dengan istirahat dan tidak aktif, khususnya di
malam hari dan membaik dengan aktivitas. Hal ini juga dapat mengganggu tidur
pada malam hari (Hosseini et al., 2017). Masalah yang sering muncul pada
penderita Restless Legs Syndrome salah satunya adalah masalah tidur yang
didukung oleh peneliian (Rahmi dkk., 2016) yang menyatakan sebanyak 10,4%
perawat mengalami masalah tidur yang diakibatkan oleh Restles legs syndrome.
(Ralie, 2017) Di dalam penelitian yang dituliskan oleh (Khachatryanet all., 2020)
menyatakan bahwa RLS (20,6%) dan penderitanya lebih banyak wanita.
Penelitian ini didukung dengan penelitian (Chavoshi, et all., 2015) bahwa
responden yang mengalami RLS lebih sering terjadi pada perempuan. Responden
wanita mengalami RLS disebabkan kadar ureum yang lebih tinggi.

Epilepsi adalah suatu kompleks gejala heterogen-suatu penyakit kronik yang


ditandai oleh kejang (seizure, bangkitan) berulang. Epilepsi merupakan penyakit
neurologik tersering kedua setelah stroke, sekitar 1% dari populasi dunia

iv
mengidap epilepsi (Katzung et al, 2015). Secara global, diperkirakan 2,4 juta
orang didiagnosis menderita epilepsi setiap tahunnya (World Health Organization,
2017). Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi
diperkirakan terdapat 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia
5-10 kasus per 1000 orang dan insidensi 50 kasus per 100.000 orang per tahun.
Namun ada studi yang melaporkan bahwa prevalensi epilepsi di Indonesia
berkisar 0,5% sampai 2% dari jumlah penduduk. Insidensi paling tinggi pada
umur 50 tahun. Pasien epilepsi terjadi sebelum umur 18 tahun sebesar 75%
(Masriadi, 2016). Epilepsi merupakan penyakit neurologis kronis yang memiliki
manifestasi sering kejang yang tidak terkontrol (Du et al, 2016). Kejang yang
tidak beralasan (atau refleks) dengan kemungkinan terjadi kejang lebih lanjut
yang serupa dengan resiko kekambuhan pada umumnya (setidaknya 60%) setelah
dua serangan kejang tidak beralasan yang terjadi dalam 10 tahun kedepan (Giri et
al, 2016). Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak
yang selanjutnya menganggu koordinasi otot (Kristanto, 2017). Kejang
merupakan episode terbatas disfungsi otak yang tejadi karena kelainan lepas
muatan (discharge) neuron-neuron serebrum (Katzung et al, 2015). Kejang terjadi
akibat pelepasan neuron korteks yang berlebihan dan ditandai oleh perubahan
aktivitas listrik yang diukur dengan electroencephalogram (EEG). Kejang terjadi
akibat eksitasi atau dari penghambatan neuron yang tidak teratur (Wells et al,
2015). Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak 2 lebih
dominan daripada proses inhibisi (Masriadi, 2016).

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan Kejang ?


2. Bagaimana etiologi Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan Kejang ?
3. Apa manifestasi klinis dari Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan Kejang ?
4. Bagaimana patofisiologi Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan Kejang ?
5. Bagaimana pathway dari Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan Kejang ?
6. Bagaimana pemeriksaan fisik Restless Legs Syndrome, epilepsy, Kejang ?

v
7. Apa pemeriksaan penunjang pada Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan
Kejang ?
8. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Restless Legs Syndrome, epilepsy,
dan Kejang ?
9. Bagaimana cara melakukan asuhan keperawatan pada Restless Legs
Syndrome, epilepsy, dan Kejang ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan mengimplementasikan asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami Retless Legs Syndrome, epilepsy,
dan kejang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi dari Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan Kejang
b. Mengetahui etiologi, patofiologi serta pathway pada Restless Legs
Syndrome, epilepsy, dan Kejang
c. Mengetahui penemeriksaan penunjang pada Restless Legs Syndrome,
epilepsy, dan Kejang

D. Manfaat Penulisan

Sebagai bahan informasi, gambaran, referensi serta menegakkan teori para ahli
untuk mendapatkan hasil proses keperawatan optimal serta memecahkan
masalah keperawatan pada penyakit Restless Legs Syndrome, epilepsy, dan
Kejang

vi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit

1. Definisi
a. Restless Legs Syndrom
Restless legs syndrome (RLS), adalah suatu gangguan yang
mempengaruhi neurologi sensorik motorik yang biasanya ditandai dengan
adanya gejala seperti sensasi tidak nyaman pada anggota gerak bagian
bawah seperti nyeri, kram otot, dan kesemutan sehingga memaksa pasien
untuk terus menggerakkan kaki, hal tersebut membuat tidak nyaman dan
mengarah pada kualitas hidup pasien dan fungsi tubuhnya (Widianti dkk,
2017).
Restless Legs Syndrome (RLS) juga dikenal sebagai penyakit Willis-
Ekbom merupakan suatu gangguan neurologi yang terjadi pada anggota
badan sehingga menimbulkan gangguan tidur. Biasanya pasien yang
mengalami gangguan ini akan mengeluhkan dorongan untuk
menggerakkan kaki yang semakin memburuk saat istirahat tetapi
menghilang dengan aktivitas seperti berjalan. Pasien juga umumnya
mengeluhkan rasa nyeri yang biasanya timbul di malam hari yang
kemudian menyebabkan kelelahan saat beraktivitas di pagi hari. Umumnya
penyakit ini banyak diderita pada kelompok usia tua dan jenis kelamin
wanita. Restless legs syndrome sebagian besar berkaitan dengan defisiensi
besi, kehamilan dan gangguan ginjal kronis (Budiarsa, 2019).
b. Epilepsi
Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya timbul
mendadak dalam serangan-serangan berulang, pada sebagian besar disertai
penurunan kesadaran, dan dapat disertai atau tidak disertai kejang
(Markam, Soemarmo, 2013).

vii
c. Kejang
Kejang demamadalahbangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38 ºC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (IDAI, 2016).Kejang demam merupakan serangan kejang
yang terjadi karena kenaikan suhu Tubuh (suhu rektal diatas 38 ºC)
(sujono Riyadi 2013). Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya
maka tidak disebut kejang demam. National Institute of Health (1990)
menggunakan Batasan usia lebih dari 3 bulan. Sedangkan menurut IDAI
(2016) kejang demam dapat terjadi pada usia lebih dari 1 bulan-5 tahun.

2. Anatomi fisiologi
System saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang
terdiridari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) sertamedulla
spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous
system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua
cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib(autonomic nervous system)
yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis(sistem
saraf parasimpatis). Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium)
dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk
melindungi struktur saraf terutama terhadap resikobenturan atau guncangan.
Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari

viii
a. Cerebrum (otak besar)
Terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi
dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat
pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap dan
pembau serta pusat pemikiran. Sebagian kecil substansia gressia masuk ke
dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi
tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer
cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia basalis termasuk termasuk
padaganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls
pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri.Fungsi thalamus

ix
terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.Thalamus juga
merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri
dari beberapa nukleus yang masingmasing mempunyai kegiatan
fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk
mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital,
tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan
sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi
perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus
berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang
mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya
prosesproses patologik ekstrakranium
3) Formation Riticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak
(superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas
cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi
stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirimke
cortex cerebri.
b. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa
cranial posterior.Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka. System saraf tepi
(nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang
otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang
c. Batang otak atau brainstern
Batang otak terdiri atas diencephalon, midbrain, pons dan medulla
oblongata merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat
pernapasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat
muntah.
d. Medulla spinalis

x
Fungsi medula spinalis: 1) Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu
motorik atau kornu ventralis, 2) Mengurus kegiatan refleks spinalis dan
reflek tungkai, 3) Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi
menuju cerebellum, 4) Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua
bagian tubuh.

3. Etiologi
a. Restless legs syndrome
Dalam banyak kasus, penyebab sindrom kaki gelisah belum diketahui.
Namun penyebabnya bisa genetis, mengingat banyak pengidap sindrom
kaki gelisah yang memiliki saudara yang juga mengalami sensasi tersebut.
Sindrom kaki gelisah memiliki kaitan dengan beberapa kondisi medis
termasuk penyakit Parkinson, diabetes, dan neuropati perifer (kerusakan
atau penyakit saraf yang merusak fungsi sensasi, gerakan atau kelenjar
tergantung pada saraf mana yang terpengaruh). Penelitian menunjukkan,
sindrom kaki gelisah mungkin ada hubungannya dengan tidak
berfungsinya sirkuit saraf pada ganglia basal (sekelompok struktur di
pangkal otak dengan tautan ke area yang mengendalikan gerakan), yang
menggunakan dopamin neurotransmitter (Budiarsa, 2019).
b. Epilepsy
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering
kita sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang
epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi
epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :

Kejang fokal Kejang umum


1) Trauma kepala 1) Penyakit metabolic
2) Stroke 2) Reaksi obat
3) Infeksi 3) Idiopatik
4) Malformasi vaskuler 4) Faktor genetic
5) Tumor (Neoplasma) 5) Kejang fotosensitif

xi
6) Displasia
7) Mesial Temporal Sclerosis

c. Kejang
Penyebab kejang demam Menurut Maiti & Bidinger (2018) yaitu:
Faktor-faktor periental, malformasi otak konginetal
1) Faktor Genetika
Faktor keturunan dari salah satu penyebab terjadinya kejang demam,
25-50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota
keluarga yang pernah mengalami kejang demam.
2) Penyakit infeksi
a) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius, pharyngitis,
tonsillitis, otitis media.
b) Virus : varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus
penyebab demam berdarah)
3) Demam Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada
waktu sakit dengan demam tinggi, demam pada anak paling sering
disebabkan oleh : ISPA, Otitis media, Pneumonia, Gastroenteritis, ISK
4) Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula
darah kurang dari 30 mg% pada neonates cukup bulan dan kurang dari
20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau hiperglikemia
5) Trauma
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera
kepala
6) Neoplasma, toksin Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia
berapa pun, namun mereka merupakan penyebab yang sangat penting
dari kejang pada usia pertengahan dan kemudian ketika insiden
penyakit neoplastik meningkat
7) Gangguan sirkulasi

xii
8) Penyakit degenerative susunan saraf.

4. Menifestasi klinis
a. Retless legs syndrome
1) Keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki karena adanya
sensai yang tidak nyaman, yang dapat berkurang dengan pergerakan
dan biasanya terjadi pada saat istirahat atau malam hari.
2) Keluhan tipikal yang umum dan membuat pasien RLS datang mencari
pengobatan adalah adanya ganguan tidur(insomnia)
3) Meningkatnya sensitifitas terhadap rasa nyeri

b. Epilepsy
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari
otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.

xiii
a) Kejang Absans Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan
mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai
peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak
terdeteksi.
b) Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada
otot anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bias sangat
singkat atau lebih lama.
c) Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris
yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau
berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal.
Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap
dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase
tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air
liur, dan peningkatan denyut jantung.
e) Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang
mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama,
biasanya sampai 2 menit.
f) Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita
sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan
c. Kejang
Manifestasi klinik klien dengan kejang demam antara lain:
1) Suhu Tubuh >38 ºC
2) Serangan kejang biasanya berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3) Sifat bangkitan dapat berbentuk :
a) Tonik : mata ke atas, kesadaran hilang dengan segera, bila berdiri
jatuh ke lantai atau tanah, kaku lengan fleksi, kaki/kepala/leher
ekstensi, tangisan melengking, kaku, apneu, peningkatan saliva

xiv
b) Klonik : gerakan menyentak kasar pada saat Tubuh dan
ekstremitas berada pada kontraksi dan relaksasi yang berirama,
hipersalivasi, dapat mengalami inkontinensia urin dan feses
c) Tonik Klonik - Akinetik : tidak melakukan gerakan
4) Umumnya kejang berhenti sendiri, anak akan terbangun dan sadar
kembali Tanpa adanya kelainan saraf

5. Patofisiologi
a. Retless legs syndrome
Patofisiologi pada umumnya untuk membedakan antara RLS primer dan
sekunder , sebagian besar RLS adalah primer (etiologinya belum diketahui
secara pasti), sedangkan proporsi RLS bentuk sekunder antara 20-50 %.
Banyak penyakit medis dan penggunaan obat- obatan yang dikaitkan
dengan RLS, diantaranya:
1) Anemia (Ferritin <20 ug/l)
2) Uremia, dialysis
3) Rheumatoid Athritis
4) Defisiensi Folat, Magnesium
5) Gangguan tidur lain: Narkolepsi, obstructive sleep apnea syndrome,
REM sleep behavior disorder
6) Penyakit Parkinson
7) Myelopati termasuk efek lambat dari anasthesi spinal
8) Radikulopati, polineuropati
b. Epilepsy
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di
luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi
pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron
bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan
melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan

xv
inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim 24
sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat
dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang
(epileptogenesis).
c. Kejang
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+ ) dan sangat sulit dilalui dengan mudah oleh ion natrium
(Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl- ). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedang di luar sel. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan
oksigen akan meningkat 16 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas
muatan listrik.Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neutransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung
lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meninngkatnya
kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tak
teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan meningkatnya aktifitas
otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Lestari, 2016).

xvi
6. Pathway
Gambar pathway RLS

Restless Legs Syndrome (RLS)

RLS Primer RLS Sekunder

Bersifat idiopatik (Berkaitan dengan Multifaktor seperti Gangguan


yang penyebabnya Saraf, Defisiensi Zat Besi, Kehamilan, dan
belum diketahui
secara pasti Penyakit Ginjal Kronik)

Tidak Berfungsinya Sirkuit Saraf


pada Ganglia Basal

Dopamin Neurotransmitter Terganggu

xvii
Gerakan Tak Terkendali

Gangguan Neurologi pada Anggota Badan

Nyeri Akut Gangguan Pola


Tidur

Gambar pathway epilepsy


Factor prediposisi

Trauma lahir, cedera kepala, penyakit infeksi, keracunan, masalah-masalah


sirkulasi ganguan metabolic

Ganguan pada neuron/sel-sel saraf

Pelepasan energy elektrokimia

Lepasan muatan listrik yang berlebih di neuron syaraf pusat

Pelepasan implus abnormal secara mendadak dan berlebihan di otak


ketidaksinkronan implus

Penurunan kesadaran Gerakan fisik yang tidak


teratur

xviii
Kejang epileptic

Epilepsy

Parsial Umum

Sederhana kompleks absens mioklonik tonik-klonik atonik

Kesadaran menurun aktivitas otot meningkat

Resiko cedera Reflek menelan menurun Metabolisme meningkat

Aspirasi kebutuhan O2 meningkat suhu tubuh naik

Konsentrasi O2 Dipsnea Hipertermi


Bersihan jalan
nafas tidak efektif dalam tubuh
menurun
Pola nafas tidak
efektif

Metabolisme anaerob

Asam laktat menumpuk

Nyeri akut

xix
Gambar pathway kejang

Infeksi bakteri, virus, Ransangan mekanik


dan parasite dan biokimia

Perubahan konsentrasi
Reaksi inflamasi ion di ruang ekstraseluler

Proses demam Keseimbangan potensial


membrane ATPASE

+
Difusi Na+ dan K+

Resiko kejang
Kejang
berulang
<15 menit >15 menit

Kurang informasi
Tidak menimbulkan Perubahan suplay
pengobatan kondisi,
gejala sisa darah ke otak
prognosislanjut dan diet

Resiko kerusakan sel


Kurang pengetahuan
neuron otak
xx

Ketidakefektifan
Inkordinasi kontraksi perfusi jaringan
7. Pemeriksaaan fisik
Pemeriksaan Gejala klinis
Kepala dan leher Sakit kepala, leher terasa kaku
Thoraks Pada klien dengan sesak, biasanya
menggunakan otot bantu napas
Ekstermitas Keletihan,, kelemahan umum,
keterbatasan dalam beraktivitas,
perubahan tonus otot, gerakan
involunter/kontraksi otot
Eliminasi Peningkatan tekanan kandung
kemih dan tonus sfingter. Pada post
iktal terjadi inkontinensia
(urine/fekal) akibat otot relaksasi
Sistem pencernaan Sensitivitas terhadap makanan,
mual/muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang, kerusakan
jaringan lunak

xxi
8. Pemeriksaan penunjang
a. Restless legs syndrome
1) Nerve conduction velocities dan electromyogram
Dilakukan jika terdapat manifestasi klinis yang tidak khas dan
menyerupai neuropati peerifer
2) Polysomnography
Biasanya dilakukan pada pasien yang memiliki ganguan tidur lainnya
seperti sleep breathing related disorder atau jika ingin mengukur
derajat ganguan tidur yang terjadi pada pasien
b. Epilepsy
1) Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada
EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
2) Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer
Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitive dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan (Consensus Guidelines on
the Management of Epilepsy, 2014).
c. Kejang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit kejang demam adalah
1) Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk penyebab
demam atau kejang, pemeriksaan dapat meliputi darah perifer

xxii
lengkap, 19 gula darah, elektrolit, urinalisi, dan biakan darah, urin
atau feses.
2) Pemeriksaan cairan serebrosphinal dilakukan untuk menegakkan atau
kemungkinan terjadinya meningitis. Pada bayi kecil sering kali sulit
untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukam meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan fungsi lumbal, fungsi lumbal dilakukan
pada :
a) Bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan
b) Bayi berusia 12-18 bulan dianjurkan
c) Bayi lebih usia dari 18 bulan tidak perlu dilakukan
3) Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) tidak direkomendasikan,
pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas,
misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun,
kejang demam fokal.
4) Pemeriksaan CT Scan dilakukan jiak ada indikasi :
a) Kelainan neurologis fokal yang menetap atau kemungkinan
adanya lesi structural di otak
b) Terdapat tanda tekanan intracranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, ubun-ubun menonjol, edema pupil) (Yulianti, 2017).

9. Penatalaksanaan
a. Retless legs syndrome
Untungnya, sebagian besar kasus RLS dapat ditangani tanpa obat-obatan.
Namun pada beberapa kasus, penanganan menggunakan obat-obatan,
mungkin diperlukan. Berikut penanganan yang dapat dilakukan pada
seseorang yang mengalami Restless Leg Syndrome.
1) Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup dan melakukan kegiatan tertentu dapat
memberikan beberapa bantuan pada orang dengan gejala RLS ringan
sampai sedang. Langkah-langkah ini termasuk menghindari atau
mengurangi penggunaan alkohol dan tembakau, mengubah atau

xxiii
mempertahankan pola tidur yang teratur, memijat kaki, mandi dengan
air hangat, atau menggunakan bantal pemanas atau kompres es.
2) Suplemen Zat Besi
Untuk orang dengan kadar TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang
rendah, mungkin bisa mengkonsumsi suplemen zat besi, karena
kekurangan zat besi merupakan salah satu faktor resiko penyebab
terjadinya Restless Leg Syndrome.
3) Obat anti kejang
Obat anti-kejang adalah obat-obatan lini pertama bagi mereka yang
menderita RLS. BPOM telah menyetujui Gabapentin Enacarbil untuk
pengobatan RLS sedang hingga berat, Obat ini tampaknya sama
efektifnya dengan pengobatan Dopaminergik (dibahas di bawah).
4) Agen Dopaminergik
Obat-obatan ini, sebagian besar digunakan untuk mengobati penyakit
Parkinson. Mereka telah terbukti mengurangi gejala RLS ketika
mereka diminum pada malam hari. BPOM telah menyetujui
Ropinirole, Pramipexole, dan Rotigotine untuk mengobati RLS
sedang sampai berat. Meskipun obat yang terkait dopamin efektif
dalam mengelola gejala RLS.
5) Opioid
Obat-obatan seperti Metadon, Kodein, Hidrokodon, atau Oxycodone
adalah golongan NARKOTIKA, kadang-kadang diresepkan untuk
mengobati seseorang dengan gejala RLS yang lebih parah yang tidak
merespon dengan baik terhadap obat lain.
6) Benzodiazepin
Benzodiazepin juga merupakan obat golongan antikejang. Obat-
obatan ini dapat membantu seseorang untuk tidur lebih nyenyak.
Namun, bahkan jika diminum hanya pada waktu tidur, obat ini
kadang-kadang dapat menyebabkan kantuk di siang hari, mengurangi
energi, dan mempengaruhi konsentrasi. Benzodiazepin seperti

xxiv
Clonazepam dan Lorazepam. Karena obat ini dapat memperburuk
gangguan tidur lainnya, obat ini digunakan sebagai obat lini terakhir.
b. Epilepsy dan kejang
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal menurut
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014) yaitu :
1) Tatalaksana farmakologi
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam
per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti,
dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat
yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih
belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit
2) Non farmakologi
Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama kali
adalah
a) ABC (Airway, Breathing, Circulation)
b) Setelah ABC aman, Baringkan pasien ditempat yang rata untuk
mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh kearah danger
c) kepala dimiringkan dan pasang sundip lidah yang sudah di
bungkus kasa
d) singkirkan benda-benda yang ada disekitar pasien yang bisa
menyebabkan bahaya
e) lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan
f) bila suhu tinggi berikan kompres hangat
g) setelah pasien sadar dan terbangun berikan minum air hangat
h) jangan diberikan selimut tebal karena uap panas akan sulit
dilepaskan (Nayiro, 2017).

B. Proses Keperawatan

xxv
1. Pengkajian
Pengkajian kegawatdaruratan pada pasien epilespi menurut Soemarmo, 2015).

a) Pengkajian kondisi/kesan umum


Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b) Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien
dengan berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien.
Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan
pengkajian selanjutnya. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU
meliputi:
1) Alert (A): Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2) Velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal
dan nyeri ketika dicubit dan ditepuk wajahnya
c) Pengkajian primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk
mengidentifikasi dengan segera masalah aktual dari kondisi life treatening
(mengancam kehidupan). Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan. Prioritas penilaian dilakukan
berdasarkan :
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal Ditujukan untuk
mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas, Distres pernafasan, Adanya
kemungkinan fraktur cervical. Pada fase ini, biasanya ditemukan klien
mengatupkan giginya sehingga menghalangi jalan napas, klien
menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya
ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut
2) Breathing Pada fase ini, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan
sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post
iktal, klien mengalami apneu.

xxvi
3) Circulation Terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya
dalam keadaan tidak sadar.
4) Disability Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan
atau karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa
bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
5) Exposure Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan
thoraks, apakah ada cedera tambahan akibat kejang
d) Pengkajian sekunder meliputi
Identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit ataupun riwayat
kejang, dan pemeriksaan fisik (head to toe)

2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien restless legs
syndrome, (PPNI 2017) :

No diagnosa subyektif objektif


1 Nyeri akut berhubungan dengan mengeluh nyeri tampak meringis
proses penyakit Bersikap protektif
Gelisah
Frekuensi nadi meningkat
Sulit tidur

2 Gangguan pola tidur Mengeluh sulit tidur -


berhubungan dengan kecemasan Mengeluh sering terjaga
Mengeluh tidak puas tidur
Mengeluh pola tidur berubah
Mengeluh istirahat tidak cukup

Diagnosa yang muncul pada epilepsy dan kejang

3 bersihan jalan napas tidak efektif Dispnea Gelisah


berhubungan dengan peningkatan Sulit bicara Sianosis
sekresi mucus orthopnea Bunyi napas menurun
Frekuensi napas berubah
Pola napas berubah
4 Pola napas tidak efektif Dispnea Penggunaan otot bantu pernapasan
berhubungan dengan kerusakan Fase ekspirasi memanjang
neuromuskuler Pola napas abnormal
5 perfusi jaringan perifer tidak - Pengisian kapiler >3 detik
efektif berhubungan dengan Nadi perifer menurun
hipoksia Akral teraba dingin
Warna kulit pucat
Turgor kulit menurun
6 Hipertermi berhubungan dengan - Kulit merah
infeksi mikroorganisme Kejang

xxvii
Takikardi
Takipnea
Kulit terasa hangat
7 Resiko cedera berhubungan - Penurunan kesadaran
dengan kejang/psikomotor,
disorientasi/penurunan status
mental
8 Resiko aspirasi berhubungan - -
dengan penurunan tingkat
kesadaran sekunder terhadap
kejang

xxviii
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
SDKI, (2017) Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
SLKI, (2019) SIKI, (2018)
1 Nyeri akut Setelah dikakukan Observasi -Nyeri merupakan pengalaman subyektif dan
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, frekuensi, harus dijelaskan oleh pasien. Identifikasi
proses penyakit selama 1x24 jam intensitas nyeri karakteristik nyeri dan faktor yang
diharapkan Tingkat nyeri 2. Identifikasi skala nyeri berhubungan merupakan suatu hal yang
menurun. 3. Identifikasi factor penyebab nyeri amat penting untuk memilih intervensi yang
Kriteria Hasil : Terapeutik cocok dan untuk acara keefektifan dari terapi
1. pasien mengatakan 1. Berikan teknik nonfarmakologis (tarik yang diberikan
nyeri berkurang nafas dalam)
2. pasien tenang rileks 2. Fasilitas istirahat dan tidur
3. skala nyeri turun 3 Edukasi
4. tanda- tanda vital batas 1. Jelaskan penyebab dan pemicu nyeri
normal 2. Jelaskan strategi pereda nyeri
3. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4. Anjarkan teknik nonfarkamkologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik (jika perlu)

2 Gangguan pola tidur Setelah dilakukan Observasi - Dengan mengetahui kebutuhan tidur
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Kaji faktor yang menyebabkan gangguan pasien, perawat dapat mengawasi pasien
kecemasan selama 3x24 jam tidur untuk tidur sesuai kebutuhannya
diharapkan tingkat 2. Monitor waktu makan dan minum dengan - Beberapa pengobatanyang diterima pasien
kecemasan klien waktu tidur bisa mempengaruhi pola tidur pasien
menururn dengan kriteria 3. Monitor/catat kebutuhan tidur pasien
hasil : setiap hari dan jam
1. keluhan kesulitan Terapeutik
tidur menurun 4. Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas
2. Keluhan sering sebelum tidur (membaca)
terjaga menurun 5. Ciptakan lingkungan yang nyaman

29
3. Perasaan segar Edukasi
sesudah tidur atau 6. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
istirahat meningkat 7. Diskusikan dengan pasien dan keluarga
tentang teknik tidur pasien

Diagnose keperawatan Intervensi keperawatan (NIC)


Tujuan dan kriteria hasil
(NOC)
3 bersihan jalan napas NOC : Respiratory status: a. kaji ulang fungsi pernafasan: bunyi nafas, - penurunan bunyi nafas indikasi atelectasis,
tidak efektif airway patency Setelah kecepatan, irama, kedalamam, dan pengunaan ronchi indikasi?ketidakmampuan
berhubungan dengan diberikan askep selama 2x24 otot bantu membersihkan jalan nafas sehingga otot otot
peningkatan sekresi jam, diharapkan bersihan b. Berikan posisi yang nyaman untuk bantu digunakan dan kerja pernafasan
mucus jalan nafas klien kembali mengurangi dispnea. - meningkatkan ekspansi paru, ventilasi
efektif dengan kriteria hasil: c. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; maksimal, membuka area atelectasis dan
a. Frekuensi pernapasan lakukan penghisapan sesuai keperluan. peningkatan gerakan secret agar mudah
dalam batas normal (16- d. Anjurkan asupan cairan adekuat. dikeluarkan
20x/mnt) e. Ajarkan batuk efektif - mencegah obstruksi/aspirasi. suction
b. Irama pernapasn normal f. Kolaborasi pemberian oksigen dilakukan apabila pasien tidak mampu
c. Kedalaman pernapasan g. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai mengeluarkan secret
normal indikasi. - peningkatan cairan oral dapat membantu
d. Klien mampu dalam mengencerkan sputum
mengeluarkan sputum secara - pengumpulan sekresi dapat
efektif mengganggujalannya pernafasan
e. Tidak ada akumulasi - menurunkan kekentalan sekresi
sputum
4 Pola napas tidak efektif NOC : a. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha - indicator obstruksi trakea/spasme laring
berhubungan dengan a. Respiratory status : respirasi yang membutuhkan evaluasi dan intervensi
kerusakan Ventilation b. Perhatikan gerakan dada, amati simetris, segera
neuromuskuler, b. Respiratory status : penggunaan otot aksesori, retraksi otot
peningkatan sekresi Airway patency c. Vital sign supraclavicular dan intercostal
mucus Status c. Monitor suara napas tambahan

30
Kriteria Hasil : d. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea,
a. Mendemonstrasikan batuk hyperventilasi, napas kussmaul, napas cheyne-
efektif dan Respiratory stokes, apnea, napas biot’s dan pola ataxic
monitoring e. Atur posisi pasien semifowler/fowler
b. Perhatikan gerakan dada, f. kolaborasi pemberian Oksigen
amati simetris, penggunaan
otot aksesori, retraksi otot
supraclavicular dan 40 suara
nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
c. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (klien tidak
merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, tidak
ada suara nafas abnormal)
d. Tanda Tanda vital dalam
rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan)
5 Hipertermi berhubungan Setelah di lakukan tindakan Fever treatment - suhu >38℃ menunjukkan proses penyakit
dengan infeksi keperawat selama 3x4 jam a. Monitor suhu sesering mungkin infeksius akut. Pemeriksaan tanda-tanda
mikroorganisme diharapkan thermogulasi b. Monitor warna dan suhu kulit vital merupakan pengukuran fungsi tubuh
Dengan Kriteria Hasil: c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR yang digunakan untuk memberikan
a. Suhu tubuh dalam rentang d. Monitor penurunan tingkat kesadaran gambaran kedaan umum pasien
normal e. Monitor WBC, Hb, dan Hct
b. Nadi dan RR dalam f. Monitor intake dan output
rentang normal g. kompres hangat pada lipatan paha dan aksila
c. Tidak ada perubahan h. kolaborasi pemberian obat anti piretik
warna kulit dan tidak ada i. Berikan pengobatan untuk mengatasi
pusing penyebab demam

31
6 perfusi jaringan perifer NOC a. Monitor TTV
tidak efektif a. Circulation status b. Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman,
berhubungan dengan b. Neurologic status kesimetrisandan reaksi
hipoksia c. Tissue Prefusion : cerebral c. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur,
Setelah dilakukan asuhan nyerik epala
selama 1x24 jam perfusi d. Monitor level kebingungan dan orientasi
jaringan cerebral tidak e. Monitor tonus otot pergerakan
efektif teratasi dengan f. Monitor tekanan intrkranial dan respon
kriteria hasil : nerologis
a. Tekanan systole dan g. Catat perubahan pasien dalam merespon
diastoledalam rentang yang stimulus
diharapkan h. Monitor status cairan
b. Tidak ada i. Tinggikan kepala 0-45 tergantung pada
ortostatikhipertensi konsisi pasien
c. Komunikasi jelas
d. Menunjukkan konsentrasi
danorientasi
e. Pupil seimbang dan
reaktif
f. Bebas dari aktivitas kejang
g.Tidak mengalami nyeri
kepala
7 Resiko cedera Setelah dilakukan tindakan Observasi:
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 - Identifikasi kebutuhan keselamatan
kejang/psikomotor, jam resiko cedera tidak - Monitor perubahan status keselamatan
disorientasi/penurunan terjadi dengan kriteria hasil: lingkungan
status mental a. kejadian cedera menurun Terapeutik:
b. tidak terdapat kekakuan -Hilangkan bahaya keselamatan
otot -Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
c. pasien tenang risiko
d. kekuatan otot normal -Sediakan alat bantu kemanan linkungan (mis.
Pegangan tangan)
-Gunakan perangkat pelindung (mis. Rel
samping, pintu terkunci, pagar)

32
Edukasi
-Ajarkan individu, keluarga dan kelompok
risiko tinggi bahaya lingkungan

8 Resiko aspirasi SLKI Observasi


berhubungan dengan Tingkat Aspirasi Setelah - Monitor tingkat kesadaran, batuk, munrah dan
penurunan tingkat dilakukan intervensi kemampuan menelan
kesadaran sekunder keperawatan selama 3x 24 - Monitor status pernapasan
terhadap kejang jam, maka status gangguan - Monitor bunyi napas, teutama setelah
aspirasi menurun dengan makan/minum
kriteria hasil : - Periksa residu gaster sebelum memberi asupan
1. Tingkat kesadaran oral
meningkat - Periksa kepatenan selang nasogastric sebelum
2. Kemampuan menelan memberi asupan oral Terapeutik
meningkat - Posisikan semi Fowler (30 – 45 derajat) 30
3. Kebersihan mulut menit sebelum memberi asupan oral
meningkat - Pertahankan posisi semi Fowler (30 – 45
4. Dyspnea menurun derajat) pada pasien tidak sadar
5. Kelemahan otot menurun - Pertahankan kepatenan jalan napas (mis.
6. Akumulasi sekret teknik head tilt chin lift, jaw thrust, in line)
menurun - Pertahankan pengembangan balon
7. Wheezing menurun endotracheal tube (ETT)
8. Batuk menurun - lakukan penghisapan jalan napas, jika produksi
9. Penggunaan otot aksesori sekret meningkat
menurun - Sediakan suction di ruangan
10. Sianosis menurun Edukasi
11. Gelisah menurun - Anjurkan strategi mencegah aspirasi
12. Frekuensi napas
membaik

33
34
Menurut penelitian Adi & dkk (2016) bahwa Salah satu tindakan mandiri yang
dapat dilakukan pada pasien epilepsy yaitu mencegah cedera fisik pada anak
dengan cara pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang pencegahan dan
penatalaksanaan anak saat kejang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
melakukan pengkajian atau wawancara dengan orang tua dan dengan literature
catatan medical record, catatan dokter, catatan keperawatan, catatan lab, dan hasil-
hasil penunjang lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa panganan kasus
dengan epilepsy yaitu masalah teratasi, intervensi dilanjutkan dengan
menganjurkan kepada orang tua pada saat dirumah memberikan pertolongan
pertama pada anak saat kejang dan mengatasi anak dengan baik.

Menurut Esti Sorena & dkk (2019) yang telah melakukan penelitian yaitu
efektifitas kompres hangat terhadap suhu tubuh pada anak di RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tekhnik
accidential sampling sebnyak 19 responden. Pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan data primer dan data sekunder. Dimana hasil penelitian
diapatkan kecenderungan penurunan suhu tubuh setelah dilakukan kompres
hangat pada anak dengan peningkatan suhu tubuh diruang edelveis RSUD
dr.M.Yunus Bengkulu dengan rata-rata penurunan (0,7525℃).diharapkan perawat
anak dapat mengimplementasikan intervensi kompres hangat pada peningkatan
suhu tubuh yang dirawat di rumah sakit atau di rawat dirumah.

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Retsless Lesg Syndrom adalah kelainan neurologis yang di karakteristikkan


dengan adanya dorongan yang sangat untuk menggerakkan ekstremitas yang
terjadi pada sebagaian atau seluruh kaki. Dan biasanya terjadi saat istirahat
ataupun malah hari yang nantinya dapat menimbulkan timbulnya ganguan tidur
Diagnosis dari RLS juga sering keliruh oleh karena cara penggambaran yang
berbeda dari setiap penderitannya. Contoh dalam beberapa perasaan yang
mereka alami pada kaki mereka seperti rasa berdenyut, tertekan, geli, pegal,
keram, terbakar, ataupun nyeri.
Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya timbul
mendadak dalam serangan-serangan berulang, pada sebagian besar disertai
penurunan kesadaran, dan dapat disertai atau tidak disertai kejang.
Kejang demamadalahbangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38 ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(IDAI, 2016). Dari beberapa kasus diatas maka timbulah beberapa masalah
keperawatan yang didiagnosakan sebagai berikut: Nyeri akut berhubungan
dengan sindrom koroner akut, bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan
dengan peningkatan sekresi mucus, Hipertermi berhubungan dengan infeksi
mikroorganisme, dan intervesi keperawatan yang telah direncanakan untuk di
implementasikan kepada pasien-pasien yang mengalami kasus tersebut.

36
Daftar Pustaka

Dewi, A & Arina, M. (2021). Gambaran Karakeristik Responden dengan Restless


Legs Syndrome pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit
UNS Surakarta. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12415.
Diakses pada 05 september 2022

Nugroho A, alib & Irdawati . (2016) upaya cedera fisik pada anak dengan
epilepsy di RSUD pandan Arang Boyolali.
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/45342 . Diakses pada 13 september 2022

Sorena. E, Slamet. S, & Sihombing, B. (2019). Efektifitas kompres hangat


terhadap suhu tubuh pada anak di RSUD dr.M.Yunus Bengkulu.
https://doi.org/10.33369/jvk.v2i1.10469 . Diakses pada 13 september 2022

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat


Persatuan Perawat Nasional Indonesia

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperwatan Indonesia(2nd ed). DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Cetakan II). Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Masriadi H. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Trans Info.

Lestari,Titik. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta. Nuha Medika 

Budiarsa, I. (2019). Jurnal RLS dr. IGN.pdf.


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/288e15b319008b6b
d1d399d7f717e379.pdf

Hosseini, H., Kazemi, M., & Azimpour, S. (2017). The effect of vibration on the
severity of restless legs syndrome in hemodialysis patients. Nickan Research
Institute, 6(2), 113–116. https://doi.org/10.15171/jrip.2017.22. Diakses pada

37
Widianti, A. T., Hermayanti, Y., & Kurniawan, T. (2017). Pengaruh Latihan
Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrome Pasien Hemodialisis. Jurnal
Keperawatan Padjadjaran, 5(1), 47–56.
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/349.

Rahmi, Z., & Kuntarti, K. (2016). Masalah Tidur dan Strategi Koping pada
Perawat Di Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Indonesia, 19(1), 16–23.
https://doi.org/10.7454/jki.v19i1.428

38
Format dan Rubrik Penilaian Makalah
dan Presentasi Kelompok :
Topik/Judul Makalah :
Hari/Tanggal :

ASPEK PENILAIAN
A. LAPORAN/MAKALAH
Kurang Cukup Baik (72-79) Sangat Baik
Item Penilaian
(45-55) (56-72) (80-100)
1. Sistematika Penulisan
2. Komponen Makalah: Konsep
Penyakit
3. Komponen Makalah:
Proses Keperawatan
4. Referensi
Catatan Perbaikan:

B. PRESENTASI KELOMPOK
Kurang Cukup Baik (72- Sangat Baik
Item Penilaian
(45-55) (56-72) 79) (80-100)
1. Media Penyajian (ppt)
2. Ketepatan waktu Presentasi
3. Kerjasama Tim (Partisipasi anggota
Tim)
4. Penguasaan Materi oleh Presenter
5. Kepercayaan diri
Catatan Perbaikan;

C. SESI DISKUSI
Penguasaan
No NIM Nama Sikap Komunikasi Catatan
Materi
1.
2.
3.
5.
6.
7.
8.
dst

39

Anda mungkin juga menyukai