Disusun Oleh:
Kelompok 6
Tutor:
dr. Arlen Resnawaldi, Sp.OG
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, laporan ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.
Laporan ini berisi hasil diskusi kami mengenai skenario 3 yang telah
dibahas pada PBL tutorial 1 dan 2. Dalam penyelesaian laporan ini banyak pihak
yang turut terlibat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Tuhan YME, karena atas kasih karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
seluruh kegiatan PBL kami.
2. dr. Arlen Resnawaldi, Sp.OG, selaku tutor yang telah mendampingi
kami selama diskusi PBL berlangsung.
3. dr. Laura B.S. Huwae, Sp.S, M.Kes, dan dr. Melita Ayuba, selaku
penanggung jawab Blok Sistem Saraf dan Perilaku yang telah banyak
memberikan informasi dan mengatur berjalannya PBL kami.
4. Semua pihak yang turut serta, yang tak dapat kami ucapkan satu per satu.
Akhir kata, kami menyadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan laporan kami selanjutnya.
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
1
2) Apa saja kemungkinan diagnosis terkait skenario?
3) Apa saja yang termasuk dalam pemeriksaan tanda meningeal?
4) Apa saja klasifikasi kejang?
5) Patofisiologi demam sesuai dengan skenario?
6) Apakah ada hubungan kejang dengan gejala pasien?
7) Mekanisme dari kejang
2
pada persendian panggul, dimana dinilai positf jika sebelum
mencapai sudut 70o sudah didapati rasa sakit dan tahanan.
c. Kernig sign, dilakukan dengan memfleksikan salah satu paha
pasien pada persendian panggul hingga membuat sudut 90o, lalu
tungkai bawah sisi yang sama diekstensikan pada persendian lutut
hingga membuat sudut 135o atau lebih. Dinilai positif jika terdapat
tahanan sebelum mencapai sudut 135o atau terdapat rasa nyeri.
d. Brudzinski I (brudzinki neck sign), tangan pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, lalu fleksikan kepala
sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada, dan tangan lainnya
ditempatkan di dada pasien untuk mencegah badan pasien
terangkat. Nilai positif jika terjadi fleksi involunter pada kedua
tungkai.
e. Brudzinki II (brudzinki contralateral sign), posisi pasien berbaring
lalu satu tungkai difleksikan pada persendian panggul dengan
tungkai lainnya dalam keadaan ekstensi. Positif jika pada tungkai
yang ekstensi ikut terfleksi pada sendi panggul dan lutut.
4) Klasfikasi kejang:
a. Kejang Tonik: Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir
dengan berat badan rendahdengan masa kehamilan kurang dari 34
minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat.
b. Kejang Klonik: Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral,
bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-
pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan
biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
c. Kejang Mioklonik: Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan
ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
d. Ada klasifikasi parsial. Terbagi atas parsial sederhana bersifat
motorik atau abnormal unilateral. Parsial kompleks dimulai dengan
3
kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi perubahan
kesadaran yg disertai dengan hgejala motorik sensorik otomatisma,
seperti mengcepkan bibir, menguyah, menarik baju. Ada
generalisata. Hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral
dan simetrik
5) Demam timbul karena terjadi inflamasi, infeksi oleh patogen-
patogen seperti bakteri virus dll. Ketika trjdi proses inflamasi ada
pelepasan IL-1 dan IL-6. Yang dimana sitokin akan melewati ABB.
Dan menginduksi terjdinya prostaglandin. Mengubah termostat di
hipotalamus dan mengalami vasokontriksi. Sehingga terjdinya
demam. Secara umum demam berfungsi sebagai sistem pertahanan
tubuh. Berdasarkan scenario ditemukan tanda meningeal (+),
berarti bias kita pikirkan penyebab demamnya ini berasal dari
adanya infeksi pada meningen oleh virus,bakteri atau jamur. karena
saat terjadi invasi, maka tubuh akan mengeluarkan mediator
inflamasi yang akan menginduksi makrofag, sel endotel dan system
RE untuk memproduksi dan melepaskan sitokin piogenik (IL-1, IL-
6, TNF, IFN) ke dalam sirkulasi sistemik. kemudian sitokin
piogenik dan dan toksin-toksin mikroba yg ada akan memicu
dikeluarkannya PGE2 di hipotalamus. PGE2 akan meningkatkan
set point termostatik di hipotalamus ke tingkat suhu demam. pusat
vasomotor akan mengirimkan sinyal untuk mempertahankan panas
dengan cara menggigil sehingga terjadilah demam
6) Hubungannya kalau misalnya dilihat pasien mengalami infeksi
bakteri, apabila mencapai lapisan menings dapat terjadi peradangan
dan kerusakan bagian-bagian otak. Otak memiliki mekanisme
pertahanan. Apabila mengalami kerusakan terjadinya kerusakan
pada proses inhibisi dan eksitasi maka terjadinya kejang. Dilihat
dari eksitasi terhubung dengan neurotransmitter, ada glutamat
asetilkolin dan serotinonin dll. Ada neutransmitter inhibisi ada pada
medulla spinalis dan otak
4
7) Terjadi mekanisme dimana proses eksitasi lebih dari proses
inhibisi. Hal ini diakibatkan karena kerusakan sel otak. Yang
mengakibatkan terjadinya hipereksitasi. Proses hipereksitasi ini
menyebabkan peningkatan neurotransmiter glutamat lebih dari
neutransmitter gabba yang mengakibatkan terjadinya kejang
1.2.2.1 Klarifikasi
1.2.2.2 Mind Mapping
Laki-laki 20
tahun
Batuk dan
2 hari sebelumnya Tidak sadarkan demam
tidak dapat BAK diri
5
DD:
-Epilepsi general,
-Meningitis Bakterial
-Malaria cerebral
-Meningioensefalitis
6
1.2.7 Step VII: Presentasi Hasil Belajar Mandiri
BAB II
PEMBAHASAN
7
2.1 Etiologi Terkait Skenario
Terdapat beberapa penyebab yang terjadi pada masalah meningitis yaitu
bakteri, factor predisposisi, faktor maternal, dan faktor imunologi.
Penyebabnya Terdiri dari beberapa yaitu.
a. Bakteri, yaitu Haemophilus influenza (tipe B), Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Listeria monocytogenes, dan
Staphylococcus aureus.
b. Faktor predisposisi, yaitu jenis kelamin laki-laki lebih sering
dibandingkan
dengan wanita
c. Faktor maternal, yaitu ruptur membran fetal, infeksi maternal pada
minggu terakhir kehamilan
d. Faktor imunologi, yaitu defisiensi mekanisme imun,defisiensi
immunoglobulin, anak yang mendapat obat-obat imunosupresi.
e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury
yang
berhubungan dengan sistem persarafan.
8
splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis kranium, infeksi telinga,
infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda asing di dalam
sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt merupakan alat berupa
saluran khusus yang terhubung dari otak ke rongga perut serta pemasangan
alat tersebut sesuai dengan prosedur pembedahan yang dilakukan untuk
membebaskan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh Hidrosefalus), dan
penyakit kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol,
dan sirosis hepatik).2
Selain itu juga ada beberapa faktor resiko lain yang bisa menyebabkan
infeksi pada sistem saraf pusat yaitu :
9
Penyakit meningitis akan lebih mudah tersebar ketika orang-orang tinggal
dengan jarak berdekatan atau lingkungan yang terisolasi. Berada di ruang
yang sempit dan kecil, dan semakin padat jumlah populasi suatu wilayah,
semakin mudah penularan mikroorganisme penyebab meningitis.
meningkatkan risiko paparan penyakit meningitis, contohnya seperti;3,4
a) Asrama
b) perguruan tinggi
c) Barak
d) Tempat penitipan anak
4. Wilayah geografis
Tinggal di daerah dengan populasi nyamuk atau kutu pembawa virus dpat
meningkatkan resiko untuk mengalami encephalitis juga.3,4
5. Pekerjaan
Orang yang bekerja di lingkungan tertentu seperti peternak atau pekerja
kebun binatang yang sering melakukan kontak langsung dengan hewan
ternak juga berisiko menderita infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis
dan enchepalitis karena hewannya yang membawa virus dan bakteri.
Mereka dapat terkena parasit penyebab meningitis seperti Angiostrongylus
cantonensis dan Baylisascaris procyonis. Parasit jenis itu berasal dari
hewan-hewan seperti siput, ikan, dan unggas.3,4
6. Kehamilan
Pada ibu hamil meningitis dapat menular pada proses melahirkannya,
Penularan meningitis dari ibu kepada bayinya yang baru lahir sangat
mungkin terjadi, apabila sang ibu memiliki infeksi pada saluran kelahiran
yang dapat menyebabkan sang bayi tertular. Dan enchepalitis yang
disebabkan oleh toxoplasma gondii yang ditularkan melalui transplasenta
dari ibu pada janinya Ibu hamil juga berisiko terinfeksi listeriosis.
Penyakit yang disebabkan bakteri listeria bisa yang dapat menimbulkan
meningitis.3
7. Tidak Divaksin
10
Risiko meningkat pada orang yang tidak mendapatkan vaksin baik
meningitis atau encephalitis untuk anak-anak maupun dewasa yang
direkomendasikan.3
1. Anamnesis
Anamnesis pada kasus neurologis memegang peranan penting untuk
membantu menegakkan diagnosis. Anamnesis yang baik dan cermat dapat
membantu menegakkan diagnosis hampir 70%. Anamnesis dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu alloanamnesis yang dilakukan pada orang
tua, wali atau orang yang dekat dengan pasien, dan autoanamnesis yang
dilakukan langsung pada pasien. Pada skenario ini, anamnesis yang
dilakukan ialah autoanamnesis.5
Dalam melakukan anamnesis diperlukan untuk menggali informasi
tentang pasien yang dimulai dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan juga dapat digali informasi mengenai riwayat sosial ekonominya.5
Dalam skenario ini, telah diketahui usia dan jenis kelaminnya serta
keluhan yang menyebabkan pasien datang menjumpai dokter. Keluhan
yang disampaikan oleh pasien perlu digali lebih dalam lagi, dengan
menanyakan beberapa pertanyaan terkait lokasi, kualitas, kuantitas, waktu
terjadi, kronologi, faktor yang memperberat dan memperingan, serta ada
tidaknya keluhan penyerta yang pasien rasakan. Pertanyaan yang diajukan
bisa seputar ada tidaknya nyeri kepala, muntah, perasaan pusing, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan memori, gangguan
kesadaran, gangguan motorik, dan sebagainya.5
2. Pemeriksaan Fisik
Dapat dilakukan pemeriksaan tanda vital, melihat ada tidaknya tanda
trauma, bekas suntikan, hematoma, dan sebagainya. Selain itu, juga perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan lainnya, seperti :6
11
1) Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan tingkat kesadaran pasien dapat dinilai baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Kualitatif dapat dinyatakan sebagai
compos mentis, somnolen, stupor, dan koma. Sedangkan, kuantitatif
dapat dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan
memperhatikan 3 komponen yaitu respon mata, motorik, dan verbal.6
12
berbaring. Sampai sekarang masih sering digunakan untuk memeriksa
tanda meningeal.6
Selanjutnya Josep Brudzinski seorang ilmuwan Polandia pada
tahun 1909 mengenalkan tanda lain dalam mendeteksi adanya tanda
meningeal. Tanda yang diperkenalkan adalah gerakan fleksi bilateral di
sendi lutut dan panggul yang timbul secara reflektorik akibat
difleksikannya kepala pasien ke depan sampai menyentuh dada. Tanda
ini dikenal sebagai tanda Brudzinski I.6
Sebelumnya Brudzinski juga telah memperkenalkan adanya tanda
tungkai kontralateral sebagai tanda perangsangan meningeal, yaitu
gerakan fleksi di sendi panggul dengan tungkai pada posisi lurus di
sendi lutut akan membangkitkan secara reflektorik gerakan fleksi sendi
lutut dan panggul kontralateral. Tanda ini dikenal sebagai Tanda
Brudzinski II. Urutan I dan II hanya menunjukkan urutan
pemeriksaannya saja, bukan urutan penemuannya.6
Selain tanda-tanda yang sudah dideskripsikan di atas masih ada
beberapa tanda meningeal yang lain namun ada satu tanda lagi yang
cukup penting yaitu kaku kuduk. Pada pasien meningitis akan
didapatkan kekakuan atau tahananpada kuduk bila difleksikan dan
diekstensikan.6
Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini
berturutturut akan dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut:2
a. Kaku Kuduk
a) Penderita berbaring terlentang di atas tempat tidur.
b) Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi dan
ekstensi.
c) Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan,
dagu penderita tidak dapat menyentuh dua jari yang
diletakkan di incisura jugularis, terdapat suatu tahanan.
13
Gambar 2.1 Tanda Kaku Kuduk
Sumber: Kementerian Riset, Teknologi DPT, Maret US, Kedokteran F. Buku Manual
Keterampilan Klinik Topik Pemeriksaan Neurologi Dasar. 2019;(0271):11–4.
b. Tanda Kernig
a) Pasien berbaring terlentang.
b) Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan
sendi lutut dari pasien.
c) Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut.
d) Tanda Kernig positif jika pada waktu dilakukan
ekstensi pada sendi lutut < 135o, timbul rasa nyeri,
sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal.
c. Tanda Brudzinski I
a) Pasien berbaring terlentang.
14
b) Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala
pasien.
c) Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien
dengan cepat, gerakan fleksi ini dilakukan semaksimal
mungkin.
d) Tanda Brudzinski positif jika sewaktu dilakukan
gerakan fleksi kepala pasien timbul fleksi involunter
pada kedua tungkai.
d. Tanda Brudzinski II
a) Pasien berbaring terlentang.
b) Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif
pada sendi panggul dan sendi lutut (seperti Tanda
Kernig).
c) Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan
gerakan di atas tadi, tungkai yang kontralateral secara
involunter ikut fleksi.
15
Gambar 2.4 Tanda Brudzinski II
Sumber: Kementerian Riset, Teknologi DPT, Maret US, Kedokteran F. Buku Manual
Keterampilan Klinik Topik Pemeriksaan Neurologi Dasar. 2019;(0271):11–4.
1. Meningitis
Meningitis suatu peradangan yang mengenai piameter (lapisan dalam
selaput otak) dan arakhnoid yang membungkus jaringan otak dan medula
spinalis. Kejadian tertinggi meningitis adalah antara kelahiran sampai
berumur 2 tahun, dengan risiko terbesar setelah lahir pada 3-8 bulan.7
Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus
influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan
pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh Meningococcus,
Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria. Penyebab
meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus.7
Gejala meningitis pada orang dewasa yaitu: Demam, sakit kepala
hebat, leher kaku, muntah, fotofobia, kejang, gangguan kesadaran
berupaletargi sampai koma, kadang dijumpai infeksi saluran pernapasan
bagian atas.7
16
Jika penyebabnya berupa meningitis Tuberkulosa , maka keluhan
yang timbul terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksi biasa. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. Stadium II atau stadium
transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala ditandai dengan
nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi
dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata. Stadium
III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran sampai koma hingga meninggal dunia.7
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan rangsangan meningeal pada
penderita dengan meningitis biasanya ditemukan hasil positif. Kemudian
pada pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis pasti maka
dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal. Pada
Meningitis Serosa (meningitis Tuberkulosa) terdapat tekanan yang
bervariasi, cairan jernih, sel darah putih PMN meningkat, glukosa dan
protein normal, kultur (-). Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan
meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat,
glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.7
Pemeriksaan foto X-ray thoraks, foto kepala (sinus/ mastoid), dapat
diusulkan untuk mengidentifikasi fokus primer infeksi serta pada
pemeriksaan EEG dijumpai gelombang lambat yang difus di kedua
hemisfer, penurunan voltase karena efusi subdural atau aktivitas delta
fokal bila bersamaan dengan abses otak. Untuk CT SCAN dan MRI
Dapat mengetahui adanya edema otak, hidrosefalus atau massa otak yang
menyertai meningitis.7
2. Ensefalitis
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme. Berdasarkan penyebabya, ensefalitis
dibedakan menjadi : Ensefalitis supurativa disebabkan oleh
17
Staphylococcus aureus, Streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa,
ensefalitis syphilis yang disebabkan oleh Treponema pallidum, ensefalitis
virus yang bisa disebabkan karena virus (rabies, parotitis, morbili,
zoster-varisella, herpes simpleks, virus Epstein-barr dan AIDS),
ensefalitis parasit yang disebabkan karena malaria, toxoplasmosis,
amoebiasis serta ensefalitis karena fungi dan riketsia. Penyakit ini dapat
dijumpai pada semua umur mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.7
Manifestasi klinis ensefalitis biasanya ditandai oleh trias
ensefalitis, yakni demam, kejang dan kesadaran menurun. Bila
berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi
umum dan muncul tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti :
nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur,
kejang, kesadaran menurun. Jika abses terletak pada serebeli, nyeri
kepala terasa di daerah suboksipital, dan belakang telinga.7
Bila terjadi peningkatan TIK , pada funduskopi tampak adanya
edem papil. Adanya defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas
abses, ditandai adanya defisit nervi kraniales pada pemeriksaan
n.cranialis, hemiparesis, reflex tendon meningkat, kaku kuduk, afasia,
hemianopia, nistagmus, ataksia.7
3. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan salah satu jenis
stroke hemoragik dan merupakan penyakit cerebrovaskular yang bersifat
merusak setelah pecahnya aneurisma intrakranial, mendorong darah
masuk kedalam ruang subarakhnoid sehingga menyebabkan gangguan
perfusi dan fungsi otak.8
Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAH
aneurisma, yaitu “the worst headache of my life”. Nyeri kepala parah
yang biasanya muncul mendadak dan mencapai intensitas maksimum
dalam hitungan detik atau menit (thunderclap headache). Gejala lain
yang mungkin muncul, yaitu penurunan kesadaran, mual dan/ atau
18
muntah, fotofobia, defisit neurologis fokal atau kejang, retinal
haemorrhage.8
Pemeriksaan CT-scan tanpa kontras merupakan tahap diagnosis
pertama SAH. Sensitivitas CT-scan hampir mendekati 100% pada 3 hari
pertama setelah onset gejala, namun menurun hingga 50% pada hari ke-5
hingga ke-7 setelah onset gejala. Apabila CT-scan menunjukkan hasil
negatif namun kecurigaan klinis SAH tinggi, maka dapat dilakukan
pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan
antara 6-12 jam setelah onset gejala (sensitivitas mendekati 99%) karena
cairan serebrospinal (CSF) kembali normal setelah 3 minggu.8
Berdasarkan 3 kemungkinan diagnosis diatas, diagnosis yang
hampir mendekati keluhan yang dialami pasien adalah meningitis.
Namun untuk menegakan diagnosis pasti maka diperlukan beberapa
tambahan informasi mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang lainnya, yang dapat membantu dalam menegakan
diagnosis pasti dari skenario.
1. Tatalaksana meningitis
Pengobatan meningitis biasanya dimulai berdasarkan kecurigaan
klinis atau jumlah sel CSF abnormal/diferensial karena hasil kultur CSF
dapat diperoleh dalam satu atau dua hari. Setiap pasien dengan
kekhawatiran untuk sepsis atau syok septik harus dimulai pada rejimen
empiris antibiotik spektrum luas dan antivirus bahkan sebelum melakukan
LP agar tidak menunda pengobatan. Penatalaksanaan sepsis berat dan syok
harus mengikuti pedoman sepsis saat ini. Steroid tambahan harus
dipertimbangkan pada pasien dengan dugaan meningitis bakteri karena
penelitian pada hewan telah menunjukkan pengurangan peradangan, dan
dengan demikian mengurangi gejala sisa neurologis, dengan
penggunaannya. Morbiditas sekunder akibat gangguan pendengaran adalah
19
gejala sisa neurologis yang diketahui pada kasus meningitis bakterial yang
parah. Karena itu steroid dianjurkan untuk diberikan dengan dosis awal
antibiotik.9
Gambar 2.5. Rekomendasi Antibiotik Sesuai Usia Dan Patogen Kausatif Paling Sering
Sumber : Kaitlin M. Bowers 1 Vishnu V. Mudrakola. Neuroinfections : Presentation , Diagnosis ,
and Treatment of Meningitis and Encephalitis. 2020;(July):93–102
2. Tatalaksana Ensefalitis
Mirip dengan meningitis, pengobatan untuk ensefalitis dimulai
berdasarkan kecurigaan klinis karena pengujian CSF untuk etiologi
tertentu tidak akan memberikan hasil pada hari yang sama. Selain
pengobatan khusus penyakit, pemantauan ketat untuk hipoglikemia,
peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang adalah penting. Pada semua
pasien dengan ensefalitis, dianjurkan untuk memulai asiklovir intravena
empiris (Rekomendasi Infectious Disease Society of America [IDSA] A-
level) karena memiliki profil efek samping yang rendah dan telah terbukti
mengurangi kematian pada ensefalitis HSV dari 70%. menjadi 10-20%.
Jika pasien HSV positif, asiklovir harus dilanjutkan selama minimal 2
minggu, di mana sebagian besar sumber merekomendasikan LP ulang
untuk memandu manajemen lebih lanjut. Ada kekurangan bukti untuk
mendukung penggunaan glukokortikoid pada HSV, virus Epstein-Barr,
atau ensefalitis VZV. Pengobatan untuk ensefalitis reseptor anti-NMDA
20
adalah imunoterapi dan pengangkatan tumor dini dalam pengaturan kasus
paraneoplastik. Imunoterapi meliputi kortikosteroid dosis tinggi,
imunoglobulin intravena, dan transfusi tukar.9
21
Permasalahan-permasalahan yang tersebut diatas merupakan salah satu
wujud cerminan kurang pahamanya masyarakat awam mengenai konsep
dasar dari imunisasi/vaksinasi. Kekurang pahaman ini kemungkinan
disebabkan karena kurangnya informasi mengenai imunisasi/vaksinasi.10
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
23
(otitis media). juga bisa dilakukan pem darah,ct scan/mri untuk mengecek
adanya edema,hidrosefalus / tuberculoma yg mengiringi meningitis. diagnosis
sendiri belum dapat ditegakkan karen minimnya informasi, sehingga harus
dilakukan berbagai pem penunjang untuk diagnosis bandingnya sendiri bisa
karena epilepsi, meningitis, ensefalitis dll ( disesuaikan pembahasan pbl ).
untuk tatalaksana sendiri bisa memberi antibiotik pada meningitis, bisa
diberikan diazepam/fenition pada kejangnya, jika terdapat ensefalitis maka
bisa diberikan asiklovir/ceftriaxon jika tanda meningeal positif. terakhir untuk
pencegahan terdapat primer dimana fokusnya pada meningkatkan imun, dan
pola hidup sehat. sekunder sama halnya pada tatalaksana sendiri dan tersier
untuk fokus dalam pemulihan seperti fisioterapi dan rehabilitasi.
24
DAFTAR PUSTAKA
10. Nirmala, F. F., & Harlina, T. (2017). Pandangan anggota ormas islam di
wilayah Maluku terhadap imunisasi/vaksinasi meningitis serta kajiannya
secara biologi. Jurnal Biology Science & Education, 3(2), 22–28.
vi